Sejarah gereja Stasi St. Paulus Helvetia adalah sebagai berikut:
Sejarah yang tertulis di sini bersumber pada sejarah singkat Stasi Santo Paulus Helvetia yang ditulis dalam rangka perayaan pesta pelindung St. Paulus pada tgl 29 Juni 2016 yang puncaknya dirayakan pada tgl 03 Juli 2016. Pada waktu itu adalah perayaan pesta pelindung pertama kali sejak berdiri stasi St. Paulus ini.
Sekitar tahun 1970-an di daerah Helvetia sudah ada kira-kira 30 keluarga umat Katolik yang terpencar di berbagai titik. Secara administratif Helvetia pada saat itu masih tergabung ke dalam Kabupaten Deli Serdang. Untuk mengikuti ibadat atau perayaan Ekaristi, umat Katolik tersebut setiap Minggu terpaksa harus pergi jauh-jauh ke Gereja terdekat. Waktu itu gereja terdekat adalah gereja St. Yosef Sei Sikambing atau kadang ke gereja paroki, yakni Hayam Wuruk.
Seiring dengan pertumbuhan umat yang semakin banyak dan jarak antara tempat tinggal beberapa umat orang umat, tercetuslah keinginan untuk membangun tempat ibadat atau gereja agar umat Katolik yang berdomisili di daerah Helvetia dapat beribadat dan merayakan Ekaristi setiap Minggu.
Sebagai penggagas pertama untuk pendirian rumah ibadat ini adalah antara lain Bpk. GW. Sitohang dan Bpk. G. Simanjorang (keduanya telah almarhum). Bersama dengan beberapa umat, mereka bergotong royong mendirikan sebuah rumah ibadat. Puji Tuhan salah seorang umat, Bpk. Atok Serang, dengan ikhlas menghibahkan sebidang tanah berukuran 12 m x 20 m yang terletak di Pasar 2 (Jalan Karya), di pinggir Jalan Ringroad yang sekarang.
Ketika itu pastor yang melayani umat di Gereja Helvetia datang dari Hayam Wuruk. Namun sejak tahun 1976, seiring dengan makin pesatnya jumlah pertumbuhan umat, maka pelayanan kepada umat di Gereja Helvetia diserahkan kepada pastor-pastor dari Tarekat PME (yang berasal dari Kanada), yang ketika itu berdomisili di Sei Sikambing, antara lain Pastor Martin, Pastor Marchel, Pastor Gregory, Pastor Bertrand, Pastor Jhon, Pastor Raymond, dan Pastor Colombus.
Melihat jumlah umat yang sudah semakin banyak, maka pada tahun 1980, Pastor Bertrand dan Pastor Marschel berencana membangun gereja baru. Ketika itu Perum Perumnas menyediakan lahan (pertapakan) untuk lokasi gereja. Lahan untuk lokasi gereja ini sebenarnya cukup luas, karena waktu itu Bpk. Cosmas Batubara menjabat sebagai Menteri Perumahan Rakyat. Namun umat kita tidak segera memanfaatkan kesempatan itu. Akibatnya, sebagian lokasi itu ada denominasi (sekte) lain terlebih dahulu membangun tempat ibadat. Baru sesudah itu umat Katolik tergerak untuk membangun gereja di lokasi yang sekarang Jl. Kemuning Raya No. 1 Helvetia.
Panitia pembangunan gereja di Jl. Kemuning Raya dimotori oleh 3 orang tokoh, yakni Bpk. BL. Samosir sebagai ketua, kemudian Bpk. AJ. Sihotang sebagai sekretaris, dan Bpk. G. Simanjorang sebagai bendahara. Pada tahun 1982 akhirnya gereja ini pun selesai dibangun. Yang Mulia Uskup Agung Medan, ketika itu Mgr. AG. Pius Datubara, didampingi oleh Pastor Bertrand PME, berkenan memberkati dan meresmikan gereja Katolik di Perumnas Helvetia dengan pelindung Santo Paulus Rasul.
Pada awalnya gereja Stasi St. Paulus (dan stasi-stasi lain) menginduk ke paroki Hayam Wuruk Medan, kemudian menjadi bagian dari Paroki Tristasi yang terdiri dari Stasi St. Yosef Sei Sikambing, Stasi St. Paulus Helvetia dan Stasi Cinta Damai.
Per bulan Juni 2019 di stasi ini dimulai misa harian pada setiap hari Rabu. Keputusan ini diambil atas permohonan stasi kepada pastor paroki yang per 01 September 2018 dipegang oleh P. Fiorentius Sipayung, OFMCap. Selanjutnya pada tgl 07 Maret 2021 pastor paroki yang sama meresmikan gua Maria Bunda Allah di stasi ini dengan harapan agar umat lebih berdevosi kepada Bunda Maria.
Saat ini ada 15 lingkungan di Stasi St. Paulus Helvetia ini. Menurut data statistik per 31 Oktober 2021 yang dilaporkan dalam rapat paripurna paroki pada Desember 2021, jumlah umat di stasi ini sebanyak 480 KK dengan jumlah jiwa sebanyak 1.634 orang.
Tiga stasi tersebut di atas sangat melekat para proses berdirinya paroki baru di pinggiran kota Medan, yakni Paroki Tristasi. Kisah perjalanannya demikian:
Pada suatu waktu dibentuklah Paroki Luar Kota yang mencakup Sei Sikambing, Cinta Damai, Binjai, Aceh, Lubuk Pakam, Delitua, dan Belawan. Yang melayani adalah Pastor Oppung Bornok seorang Pastor Kapusin. Kemudian Paroki ini diserahterimakan kepada Pastor PME yang tinggal di Sei Sikambing dengan Pastor Kepala Paroki adalah Pastor Martin PME. Pelayanan Pastor PME menitikberatkan pada pembinaan para pengurus dengan mengadakan sermon dengan lokasi yang berpindah-pindah. Setelah Pastor PME kembali ke Kanada kemudian digantikan oleh Pastor Vinansius Deo, OFM Cap. Saat itulah diprakarsai pembangunan gereja di Helvetia. Pastor Vinansius Deo memprakarsai pembangunan gereja baru di Sei Sikambing pada tahun 1984. Pembangunannya diselesaikan oleh Pastor Johanes Veldkamp pada tahun 1987. Di saat yang bersamaan gereja Helvetia juga sedang dibangun oleh Perumnas.
Pada tanggal 1 Januari 1985, P. Johanes Veldkamp memulai pelayanannya, walaupun beliau juga menjabat Ekonom KAM. Menurut penuturannya, ketiga stasi cukup berbeda satu sama lain. Stasi St. Yosef, Sei Sikambing merupakan stasi paling tua, persatuan dan kesatuan antara umat perintis dan umat yang datang kemudian masih terus diperjuangkan.
Setelah gereja baru di Jln. Kemuning Raya, Perumnas Helvetia dibangun, jumlah umat bertambah pesat. Mereka datang dari segala penjuru dan dari segala suku serta pekerjaan. Rasa kesatuan dan kebersamaan umat masih rendah. Stasi St. Maria Cinta Damai terdiri dari pelbagai suku, yang kadangkala menjadi pemicu keretakan relasi antar pribadi. Lagi, masa bakti para petugas belumlah diatur dengan periodisasi. Para pengurus memang menjalankan tugas dengan kehendak baik (dengan keterbatasan pengetahuan agama dan keterampilan pastoral ala kadarnya). Otomatis, kalau orang terlalu lama dalam posisi tertentu, bisa tidak berubah baik dalam pelayanan dan dalam pembaharuan.
Maka pertama-tama Pastor Veldkamp mulai menjajaki dan melaksanakan periodisasi pengurus. Syukurlah, pemilihan itu tidak menimbulkan masalah dan pengurus baru didukung oleh pengurus lama dan umat.
Walaupun ketiga stasi ini (St. Yosef Sei Sikambing, St. Maria Cinta Damai dan St. Paulus Helvetia) semakin menyatu dan membentuk satu paroki, tetapi secara administratif masih tercatat di dua paroki. Data Permandian dan perkawinan masih dicatat di dua paroki Induk (Katedral dan St. Antonius Hayam Wuruk). Maka, Pastor Paroki memohon kepada Keuskupan agar ketiga stasi itu dimekarkan menjadi paroki tersendiri. Hal itu dikabulkan tahun 1988. Karena mudika sudah dua kali mengadakan Tristasi-Cup, maka nama paroki baru itu pun ditabalkan menjadi “Tristasi”. “Saya tidak ingin satu gereja disebut gereja induk dan kedua yang lain gereja stasi”, dalih Pastor Veldkamp waktu itu. Dengan semangat itu dibentuklah Dewan Paroki, dimana ketiga stasi terwakili. Pada bulan Oktober 1988, Paroki Tristasi disahkan dan Dewan Paroki pun dilantik.
Paroki Tristasi ini berada di pinggiran kota Medan. Dengan bertambahnya penduduk, bertambah juga jumlah umat Katolik. Tahun 1985 jumlah umat Katolik berkisar 3.500 orang, tahun 1994 sudah sekitar 6.500 orang. Pada Tahun 1993 satu stasi lagi bertambah yakni St. Petrus, Purwodadi yang merupakan pemekaran dari Stasi St. Maria Cinta Damai. Pada waktu itu sudah dibeli juga tanah di Sukadono, untuk persiapan pembangunan Gereja St. Yakobus, Sukadono, yang merupakan pemekaran dari Stasi St. Paulus Helvetia.
Pastor Veldkamp melayani paroki hanya hari Sabtu sore dan Hari Minggu. Selain untuk merayakan sakramen, beliau memberikan banyak perhatian kepada Dewan Paroki dan pengurus stasi: di tangan merekalah kehidupan paroki. Selain itu juga diberi perhatian khusus kepada Mudika, di antaranya mendukung Tristasi Cup, Rawil Cup, piknik rohani ke Berastagi, dll.
Walau beliau dengan senang hati melayani umat Paroki Tristasi, semua tugas di Keuskupan mulai mengatasi kemampuannya. Lagi pula rasanya perlu seorang pastor yang purnawaktu melayani paroki yang begitu pesat berkembang. Karena itu beliau memohonkan ke Bapa Uskup agar melepaskannya dari tugas sebagai pastor yang purnawaktu di paroki Tristasi. Maka, mulai bulan Juli 1994 beliau digantikan oleh P. Jan Van Maurik.
Dari tahun 1995 sampai dengan 1998, P. Jan van Maurik tinggal di luar wilayah paroki (di pastoran Hayam Wuruk). Pada waktu itu pula diserahkan tugas kepadanya untuk mengawasi pembangunan baru biara Kapusin dengan fasilitas/kantor dan aula yang dapat dipakai oleh Paroki Tristasi. Pembangunan kantor paroki dan aula merupakan ‘kemurahan hati’ Ordo Kapusin Propinsi Medan untuk mendukung perkembangan Paroki Tristasi.
Sebelum pembangunan biara tersebut, beberapa saudara kapusin menyewa sebuah rumah di Jln. Pembangunan, gang Dame Helvetia. Di sana pastor paroki ditemani oleh P. Benyamin A.C. Purba (direktur utama PT. Bina Media Perintis pada waktu itu), dan P. Augustinus Yew. Mereka tinggal di tengah umat, tidak terasing dari masyarakat.
Waktu P. Veldkamp menyerahkan reksa pastoral paroki Tristasi (1994) kepada P. Jan van Maurik, stasi baru St. Petrus Purwodadi (1990) sudah ada. Stasi ini merupakan pemekaran dari Stasi Santa Maria Cinta Damai. Walaupun stasinya sudah empat, namun nama paroki tetap masih dipertahankan, karena nama itu menyatakan suatu pandangan. Waktu gereja Stasi St. Jakobus didirikan (nomor 5), nama paroki juga tetap masih Tristasi. Menurut informasi stasi ini pemekaran dari Stasi St. Paulus Helvetia. Gereja stasi ini diresmikan pada tgl 03 Nopember 2002 oleh Vikjen KAM, P. Paulinus M. Simbolon, OFMCap.
Salah satu segi yang menarik dari Paroki Tristasi pada waktu itu ialah tersedianya SDM yang kaya. Itu terasa di segala bidang, mulai dari personalia Dewan Paroki. Selalu ada tukar-menukar pikiran di antara pastor dan para anggota Dewan Paroki. Pastor sangat dihormati dalam pendapatnya, tetapi untunglah, para Dewan Paroki juga tidak tinggal diam. Dan beberapa anggota bahkan memberikan sumbangsihnya dalam pengembangan pikiran Dewan Paroki di tingkat KAM.
Kekayaan SDM ini bukan hanya nampak di Dewan Paroki. Pimpinan stasi-stasi masing-masing tetap cukup mantap sehingga sangat meringankan beban kerja pastor paroki. Berkat SDM yang kaya itu juga tidak terlalu sulit untuk mendirikan suatu Perkumpulan Simpan Pinjam dengan sisipan kata “Mandiri”. Karena itu dengan harapan umat tidak perlu lagi pinjam uang kepada pastor atau paroki. Umat sendiri sanggup menyediakannya melalui koperasi. Alangkah baik jika pastornya tetap ikut serta di dalamnya untuk mendampingi karya teman-teman pengurus.
Walaupun dari tahun ke tahun jumlah umat berkembang (dan dengan itu juga jumlah stasi), namun pastor paroki masih menyisihkan waktu untuk tugas-tugas non-parokial, seperti menjadi anggota Yayasan St. Thomas, moderator dari Kumpulan Warakawuri St. Monika KAM. Ada juga waktu untuk mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan, mengunjungi orang-orang sakit, dan menemani organisasi Pasukris. Pastor Hubert Tamba memulai kegiatan itu ketika untuk sementara waktu beliau menggantikan Pastor Veldkamp (Juli 1994-Februari 1995) yang menjalani cuti ke Belanda.