C. Definitif menjadi Paroki
Pendirian Paroki Parapat yang definitif dimulai lebih serius oleh P. Beatus Jennisken, OFMCap. Beliau memulai misi itu sejak tahun 1952. Walaupun ada kesulitan dari pihak zending Protestan, P. Beatus bercita-cita bahwa misi Katolik harus berdiri kokoh di Kota Parapat. Misi dimulai dengan mendirikan rumah di daerah Tomok Siholing, Pulau Samosir. Dari sana beliau dengan semangat melaksanakan karya misi ke Parapat, termasuk menghidupkan kembali komunitas Sualan yang telah lama terlantar. Pada tanggal 5 September 1952 P. Jennisken mulai menggagas Stasi Parapat.
Pada tahun itu, jumlah umat telah bertambah menjadi 60 KK. Dua tahun berikutnya (1954) secara resmi berdirilah Stasi Parapat, yang juga tempat bergabung umat komunitas Sualan. Perayaan tersebut dipimpin oleh Superior Regularis, P. Ferrerius v.d. Huurk, OFMCap, dan didampingi P. Beatus Jenniken sebagai parokus pertama. Umat dari Girsang, Ajibata, Motung, serta Onan Runggu ikut serta dalam pesta gembira tersebut. Ketua Dewan Stasi pada waktu itu adalah Bapak Pain Petrus Sinaga (A. Flora).
Pendirian Stasi Parapat ditentang oleh pihak gereja HKBP dengan melayangkan surat keberatan kepada Asisten Wedana (struktur jabatan dalam pemerintahan Hindia Belanda yang kira-kira sama dengan camat sekarang) di Tanah Jawa. Surat itu dibatalkan karena ditengarai penuh dengan sentimen pribadi dan keagamaan.
Sesudah perayaan pendirian gereja Stasi Parapat, P. Jennisken mulai menggagasi pembangunan gereja permanen. Keluarga P. Jennisken sangat banyak membantu biaya pembangunan. Dalam proses pembangunan itu, umat berperan aktif seperti bergotong-royong dan memberikan sumbangan berupa pasir dan batu padas sebanyak dua truck/KK. Pembangunan itu mulai terlaksana pada tanggal 17 Oktober 1955.
Seiring dengan berdirinya Gereja Parapat, P. Jennisken memindahkan kedudukan paroki dari Tomok ke Parapat pada tanggal 1 April 1955. Keputusan itu dilihat sangat positif. Pelayanan pastoral dapat berjalan lebih mantap karena didukung fasilitas dan jalur transportasi yang lebih memadai.
Pada tangggal 2 Januari 1956, ketika P. Marianus v.d. Acker, OFMCap, menjadi Superior Regularis Ordo Kapusin Medan, gereja baru dibangun dan menjadi Gereja Katolik Biara Kapusin dan sekaligus berfungsi sebagai gereja Stasi Parapat. Pada tahun itu juga dibangun gedung seminari untuk Novisiat Biara Kapusin serta gedung untuk pendidikan Filsafat dan Teologi bagi para calon imam. Dalam proses pembangunan itu, Superior Regularis Ordo Kapusin Medan menegaskan bahwa komunitas di Parapat bukan lagi Pastoran Katolik Parapat melainkan Biara Kapusin Parapat.
D. Pergantian Penggembalaan dan Perkembangan Wilayah Pelayanan
Dengan berdirinya Paroki Parapat pada tahun 1952, pelayanan kerohanian terhadap umat semakin baik dan penyebaran misi Katolik semakin berkembang. Pada awalnya, Paroki Parapat melayani stasi-stasi yang menyebar di daerah sebagian Pulau Samosir, sebagian daerah Simalungun dan sebagian daerah Toba. Untuk pelayanan di daratan Pastor memakai sepeda motor dan untuk pelayanan di sekitar Danau Toba, beliau mempergunakan kapal.
Beberapa catatan tentang perkembangan umat Gereja Katolik Paroki Parapat dapat dilihat dari jumlah stasi yang cukup banyak, ditambah lagi dengan wilayah pelayanan yang begitu luas. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, P. Jennisken mendirikan beberapa stasi a.l.: Sigapiton (1950), Stasi Tomok (1952), Stasi Motung (thn. 1953), Sosor Tolong (1954), Sipangan Bolon (1955), Sipolha (1958), Pulo-pulo (1959), Repasilautu (1961), Lumban Pea (1962), Tambun Rea (1963) dan Pondok Bulu (1964). Selain itu, P. Jennisken tetap mengunjungi beberapa stasi yang sudah didirikan sebelumnya dan masuk bagian wilayah Paroki Onanrunggu dan kemudian masuk bagian Paroaki Parapat, a.l: Stasi Sipinggan (1938), Stasi Pangaloan (1938), Stasi Sosor Tolong (1939) dan Stasi Hutagurgur (1942).
Dengan semangat tak kenal lelah, P. Jennisken juga menjelajah daerah Simalungun dan melayani beberapa stasi yang sebelumnya masuk wilayah pelayanan misi dari Pematang Siantar serta mendirikan beberapa stasi yang baru. Stasi tersebut adalah Stasi Tigadolok (1934), Tomuan Dolok I (1934), Palianaopat (1936), Marihat Raja (1936), Lumban Ri (1953), Nagori Asi (1953), Marihat Baru (1960) dan Lumban Gorat (1961).
Sejak tahun 1966, P. Raymond Rompa, OFMCap. bertugas menjadi Pastor Paroki menggantikan P. Jenisken. Pada masa tugasnya, beliau memelihara seluruh iman umat yang semakin berkembang. Dan, pada tahun 1970, beliau mendirikan stasi Lanting. Selanjutnya, tugas Pastor Rompa digantikan oleh P. Sylverius Yew, OFMCap., yang berkarya sejak tahun 1972 sampai tahun 1975.
Melihat luasnya daerah pelayanan (31 stasi) dan semakin bertambahnya jumlah umat maka pada tahun 1972 beberapa stasi, yang semula dilayani dari Parapat, bergabung dengan Paroki St. Yosef, Jln. Bali, Pematang Siantar, yang berdiri sejak tahun 1966. Stasi-stasi tersebut adalah: Stasi Tigadolok, Tomuan Dolok I, Palianaopat, Marihat Raja, Lumban Ri, Nagori Asi, Marihat Baru dan Lumban Gorat.
Sejak tahun 1972 Paroki Parapat semakin fokus melayani umat di sekitar Parapat, Lumban Julu, dan Tomok. Stasi-stasi yang tetap dilayani Paroki Parapat sejak itu ada sebanyak 23 stasi. Ke-23 stasi tersebut adalah stasi: Aeknatolu, Ajibata, Girsang, Huta Gurgur, Lanting, Lumban Pea, Parapat, Pondok Bulu, Pulo-pulo, Repa Sileutu, Pangaloan, Sibisa, Sigapiton, Sipinggan, Sosor Tolong, Sipolha, Sirungkungon, Sipangan Bolon, Sibolopian, Tomok, Tambun Rea, dan Tanjungan.
Sejak tahun 1975 P. Anselmus Mahulae OFMCap bertugas sebagai Pastor Paroki. Beliau berkarya di Parapat hanya satu tahun. Untuk melanjutkan karya pastoral paroki, P. Sylverius kemudian ditugaskan kembali menjadi Pastor Paroki dari tahun 1976-1979. Selanjutnya, sejak tahun 1979 hingga 1983, P. Hyginus Silaen, OFMCap menjadi Pastor Paroki. Pada masa tugasnya, beliau mendirikan Stasi Ujung Mauli (1980) dan Horsik (1980). Karya lain yang diupayakan P. Silaen adalah menggagasi berdirinya CU Tao Toba (01 Sep-tember 1979) dan menyelesaikan permasalahan tanah di Lumban Gambiri lokasi PPU Parapat sekarang, yang permasalahannya diselesaikan sampai ke tingkat Mahkamah Agung pada tgl. 26 Juli 1983.
Estafet kegembalaan paroki dilanjutkan oleh P. Marianus Simanullang, OFMCap. Beliau bertugas sebagai Pastor Paroki dari tahun 1983 sampai tahun 1985. Tugas sebagai Pastor Paroki selanjutnya diemban oleh P. Venantius Sinaga, OFMCap dari tahun 1985 sampai tahun 1990. Pada masa tugas beliau, Paroki Parapat menyelenggarakan Pesta Tahbisan Imam pada tahun 1989. Imam yang ditahbiskan pada waktu itu adalah P. Richard Sinaga, OFMCap. (putra stasi Girsang) dan P. Ludovikus Siallagan, OFMCap. (putra Stasi Palianaopat Siantar). Pesta tersebut dilaksanakan di Open Stage Pagoda, Parapat. Beliau mendirikan Stasi Sibosur (1986), Stasi Parmonangan (1986), dan Stasi Onansampang, yang memekarkan diri dari Stasi Sibisa pada tahun 1989. Hingga tahun ini jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 28 stasi.
Selanjutnya, P. Alfonsus Simatupang, OFMCap. bertugas sebagai Pastor Paroki sejak tahun 1990. Seiring dengan adanya kebijakan mendirikan Dewan Paroki di setiap paroki KAM, P. Alfonsus juga mendirikan Dewan Paroki Parapat, menggalakkan Kelompok Tani dan kursus-kursus bagi Pengurus Gereja. Satu stasi yang didirikan pada periode Pastor ini adalah Stasi Ambarita pada tahun 1993. Dengan demikian, Paroki Parapat sejak tahun itu berjumlah 29 stasi.
Perkembangan Paroki selanjutnya diemban oleh P. Nelson Sitanggang, OFMCap. yang bertugas dari tahun 1996 sampai tahun 2000. Pada masa tugasnya, P. Nelson memindahkan Kantor Paroki dari Biara Kapusin Parapat ke kompleks PPU Parapat pada tahun 1996 setelah beliau membangun sebuah gedung untuk itu. Sebelumnya, sejak tahun 1952 – 1996, kegiatan pelayanan paroki berpusat di Biara Kapusin Parapat. Sejalan dengan ide itu, P. Nelson, sejak tahun 1998, membangun gedung megah untuk Pusat Pembangunan Umat (PPU) yang terletak di Jl. Merdeka No. 53 A Parapat. Tujuan penting membangun gedung itu adalah menjadi pemusatan pendidikan dan pembinaan iman umat.
Pada waktu acara peresmian Kantor Paroki dan PPU Parapat pada tgl. 20 Mei 2001, Uskup Agung KAM Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap., meresmikan nama paroki dengan nama pelindung Santo Fidelis, sehingga nama Paroki menjadi “Paroki Santo Fidelis Parapat”. Nama itu tidak lepas dari nama pelindung Biara Novisiat Kapusin Parapat, yakni Santo Fidelis Sigmaringen.
Hal lain yang pantas dicatat pada masa tugas P. Nelson adalah dikeluarkannya buku “Pedoman Pastoral, Siihuthonon ni Ruas Katolik Paroki St. Fidelis Parapat”, sebuah buku yang berfungsi sebagai Anggaran Dasar Paroki Parapat. Pedoman ini dikeluarkan pada bulan November 1999, sebagai penerapan dari buku Pedoman Pelayanan Pastoral Paroki Keuskupan Agung Medan (P4KAM) yang dikeluarkan oleh Keuskupan pada tgl. 21 Agustus 1990.
Pastor Arie van Diemen, OFMCap. ditugaskan menjadi Pastor Paroki yang baru. Beliau memulai tugasnya sejak tahun 2000 hingga tahun 2007. Suatu peristiwa bersejarah di Paroki terjadi pada masa tugas beliau, yakni pemekaran paroki pada hari Minggu, tanggal. 29 Oktober 2006. Sebanyak 10 (sepuluh) stasi, yakni stasi-stasi yang berada di seberang Danau Toba, bergabung ke Paroki Tomok–Simanindo. Oleh karena itu stasi yang tinggal pada wilayah pelayanan Paroki Parapat sejak itu berjumlah 19 stasi.
Tugas selanjutnya dilaksanakan oleh P. Samuel Aritonang, OFMCap. sejak thn 2007 sampai 2009. Pada periode ini, usaha untuk merehap gereja Stasi Lumban Pea dan Stasi Pulo-pulo sudah mulai dirancang dan pembangunannya selesai pada pada tahun 2010 dan 2011. Satu stasi yang didirkan oleh P. Samuel adalah Stasi Dolok Parmonangan pada tahun 2008 sebagai pemekaran dari Stasi Pondok Bulu. Dengan demikian jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 20 stasi.
Kemudian P. Donatus Marbun, OFMCap. berkarya menjadi Pastor Paroki sejak tahun 2009. Beliau ditemani oleh P. Dionisius Purba, OFMCap. sebagai Pastor Rekan (2009-2011) dan P. Christian Lumban Gaol, OFMCap, sebagai Pastor Rekan (2011-2012). Untuk tujuan karya pastoral, P. Donatus meminta kehadiran P. Frans Situmorang, OFMCap., menjadi pastor asistensi satu kali sebulan di Parapat.
Beberapa gagasan P. Donatus cukup nyata di Paroki Parapat, mis.: melengkapi peralatan liturgi gereja di setiap stasi; merenovasi beberapa bangunan gereja stasi; melengkapi nama pelindung paroki: “Santo Fidelis Sigmaringen”; merancang motto Paroki: Teratur, Mandiri, dan Berkembang; menata ruang sekretariat Kantor Paroki dan PPU Parapat, menggalakkan sermon-sermon rayon, memulai penugasan penulisan sejarah-sejarah setiap stasi, dll. Pada masa P. Donatus telah digagas perihal pemekaran Stasi St. Yosef Repa Sileutu.
Sejak tgl. 25 November 2011 tugas Pastor Paroki dilaksanakan oleh P. Christian Lumban Gaol, OFMCap. Dalam tugas yang masih baru ini, beliau melanjutkan karya-karya pastoral paroki melalui kursus-kursus, sermon-sermon, rekoleksi pengurus gereja, merenovasi pembangunan gereja stasi Sirungkungon, Dolok Parmonangan, dan Onansampang dan mengunjungi ke-20 stasi di Paroki serta menanggungjawabi pengembangan PPU Parapat. Fokus perhatian dan pelayanan Pastor ini lebih terarah pada bidang liturgi gereja.
Secara khusus, pada tahun 2013, P. Christian bersama panitia merancang dan melaksanakan Pesta Syukur (Jubileum) 80 tahun misi gereja Katolik di daerah Paroki Parapat. Pesta puncaknya akan dilaksanakan pada tgl. 09 Februari 2014. Beberapa kegiatan diprogramkan untuk ini termasuk penyusunan buku sejarah paroki dan perampungan sejarah gereja setiap stasi se-paroki. Pada masa P. Christian, stasi St. Andreas Sigaol-gaol, pemekaran dari Stasi St Yoseph Repa Sileutu, didirikan dengan misa pertama pemberkatan gereja pada tanggal 31 Mei 2015.
Kemudian RP. Ferdinan Lister Tamba OFMCap. pindah tugas ke paroki St. Fidelis Parapat sebagai pastor rekan dan juga sebagai formator novisiat kapusin Parapat sejak 30 Nopember 2014. Dia bertugas di paroki St. Fidelis Parapat sejak 30 Nopember 2014 sampai 01 Agustus 2016. Pada tanggal 27 September 2015 serah terima jabatan pastor paroki dari RP. Christian Lumbangaol, OFMCap. kepada RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap. dilaksanakan.
Di dalam Sidang Paripurna Tahun pastoral 2015 tanggal 29-30 Januari 2016 atas pertimbangan dari RP. Hiasintus Sinaga, diputuskan bahwa Stasi Induk Parapat yang selama ini bergabung dengan Stasi Girsang sebagai Rayon terjadi perobahan bahwa Parapat menjadi Rayon Tersendiri (Rayon Kota Parapat). Sementara itu Stasi Girsang bergabung ke rayon Ajibata. Sejak itu, setiap lingkungan di Kota Parapat (10) berhak mengikuti kegiatan dan perlombaan yang diselenggarakan paroki sama seperti stasi-stasi “Pagaran” lainnya. Dampak positif dari keputusan dan kebijakan ini, jika ada kegiatan / pertandingan secara parokial, jumlah peserta dari Parapat meningkat luar biasa. Dari antara 50 s/d 80 orang peserta menjadi 250 s/d 300 orang peserta.
Pada tanggal 21 Januari 2016 parokus bertemu dengan Mgr. Anicetus B. Sinaga dan Ekonom KAM perihal rencana pembangunan gereja paroki Parapat. Dan atas restu Uskup Agung Medan maka pada tanggal 12 Maret 2017 dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan gereja paroki di lokasi gereja biara kapusin Parapat dan sekaligus penggalangan dana. Proses pembangunan selanjutnya untuk sementara dihentikan karena adanya musibah tembok penahan longsor dan peninjauan ulang kelayakan lahan.
Surat Keputusan Uskup Agung Medan No. 473/IM/SMMR/KA/VIII/’19 menugaskan RP. Anthony Nguyen Van Viet, SMMR sebagai Vikaris Parokial dan sebagai Pembimbing Rohani para novis asal Vietnam, terhitung sejak tanggal 01 September 2019. Beliau datang ke Parapat dan disambut secara resmi pada tanggal 13 September 2019. Pastor Antony kemudian dipindahkan ke Paroki St Josep Jl. Kain Batik Pematang Siantar. Beliau dikenal sebagai pastor yang rendah hati.
Tanggal 20 Agustus 2016 RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap, Ketua PSE KAM, RP. Markus Manurung dan Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap bersama dengan tokoh adat dan tokoh agama lainnya bertemu dengan Bapak Presiden RI, Joko Widodo, Gubernur Sumatera Utara dan para menteri di Inna Hotel Parapat. Pertemuan ini terselenggara dalam rangka Carnaval Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71. Dalam pertemuan itu Mgr. Anicetus Sinaga dengan sangat serius mengetengahkan kepada Bapak Presiden bahwa pihak Gereja Katolik KAM mendukung “soft-torism” dalam bingkai Badan Otorita Danau Toba (BODT). Pesan Mgr Sinaga terang bahwa penduduk di sekitar Danau Toba tidak menjadi penonton atau bahkan korban atas dampak gerakan BODT itu sendiri.