Sejarah KAM

5177

Sejarah Berdirinya Keuskupan Agung Medan

1911

Berdirinya Prefektur Apostolik Sumatera dengan tempat kedudukan Prefek Padang.

1923

Berdirinya Prefektur Apostolik Bengkulu dan Prefektur Apostolik Pangkal Pinang.

1932

Prefektur Apostolik Padang menjadi Vikariat Apostolik.

1939

Prefektur Apostolik Bengkulu menjadi Vikariat Apostolik Palembang dengan tempat kedudukan Vikaris Apostolik di Palembang juga.

1941

Nama Vikariat Apostolik Padang diganti menjadi Vikariat Apostolik Medan. Tempat kedudukan Vikaris Apostolik dipindahkan ke Medan juga.

1951

Prefektur Apostolik Pangkal Pinang menjadi Vikariat Apostolik.

1952

Berdirinya Prefektur Apostolik Tanjung Karang dan Prefektur Apostolik Padang.

1959

Berdirinya Prefektur Apostolik Sibolga.

1961

Berdirinya Hirarki di Indonesia dengan Sumatera dan Pulau – pulau sekitarnya sebagai satu Propinsi Gerejawi :

Keuskupan Agung Medan, Keuskupan-Keuskupan Padang, Palembang, Tanjung Karang, Pangkal Pinang, dan Prefektur Apostolik Sibolga.

Prefektur Apostolik Batavia (1807), yang mana berubah menjadi Vikariat Apostolik Batavia pada 1842, telah menaungi seluruh area di Nusantara sejak abad ke-19. Pada awal permulaan abad ke-20, pemerintah Vikar Apostolik Batavia mengajukan permohonan kepada beberapa Kaum Religius Belanda untuk memulai karya misionaris di Indonesia. Pada tahun 1902, kaum misionaris Belanda dari Hati Kudus Yesus (MSC) memberikan respon dengan setuju untuk wilayah bagian timur dari Nusantara, Pimpinan Kapusin Belanda untuk pertama kalinya mendirikan Prefektur Apostolik di Kalimantan pada tahun 1905, dan untuk Pulau Sumatera dan yang berbatasan dengan kepulauan Riau, Bangka, Belitung pada tanggal 30 Juni 1911. Prefektur Apostolik Sumatera telah didirikan oleh Mgr. Liberatus Cluts, OFMCap yang menjabat sebagai Prefek pertama yang bertempat tinggal Padang dari tahun 1912-1921. Selama periode ini perhatian utama diberikan perhatian penuh untuk kegiatan pastoral diantaranya dari Eropa, Eurasia, dan Cina untuk pertama kelima paroki yang didirikan pada abad ke-19.

Prefek Apostolik yang kedua yaitu Mgr. Mathias Brans, OFMCap, yang menjabat dari 1921 sampai 1954, membuat orientasi baru dalam mewujudkan misi. “Kita harus saling memiliki” dia menulis surat ke Belanda, “pihak pastoral hanya peduli pada anggota kolonial Eropa”. Beliau melihat bahwa pada kenyataannya misionaris berkarya diantara masyarakat pribumi Sumatera. Tetapi beliau juga dilarang oleh kebijakan hukum yang keji dari pemerintahan kolonial Belanda, tidak ada misi baru dalam wilayah yang sudah siap untuk dipekerjakan. Mgr. Brans memulai perjuangan panjangnya kembali dengan pemerintah kolonial dengan membawa masalah tersebut kepada Dewan Parlemen Belanda bersama dengan penarikan kembali Article 123/177, sungguh perjuangan penuh dengan surat dan permohonan – permohonan yang akhirnya berhsail dimenangkan pada tahun 1928 dimana untuk daerah Sibolga, tahun 1933 untuk daerah Batak Tapanuli dan tahun 1939 untuk Kepulauan Nias.

Dalam kenyataannya, butuh perhatian lebih untuk kegiatan pastoral di wilayah berbeda di Sumatera. Sumatera Selatan yang dipisahkan dari bagian Utara tahun 1923 dan Kongregasi dari Hati Kudus Yesus (SCJ) mulai berkarya di Prefektur Apostolik Bengkulu (yang kemudian menjadi Palembang) yang baru didirikan dan Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SSCC) di Prefektur Apostolik Pangkal Pinang (termasuk Riau, Bangka, dan Kepulauan Belitung). Sedang Pimpinan Kapusin sendiri telah tinggal di Sumatera bagian Utara. Kongregasi-kongregasi baru juga didirikan di Sawahlunto (1922), Paya Kumbuh (1924), dan Bukit Tinggi (Fort de Kock) pada tahun 1926.

Banyak kaum misionaris mulai berdatangan pada tahun 1902-an ke Prefektur Apostolik Padang. Tahun 1923, Kongregasi Belanda, para Frater berkarya sebagai pimpinan muda di Padang, seperti sebelumnya Suster-suster Berbelas Kasih (Tillburg) masuk lebih dulu pada tahun 1885. Pada tahun 1925, Suster-suster Fransiskanes (Bennebroek) membuka biara dan sekolah di Sawahlunto, Payakumbuh, dan Bukittinggi. Baru setelah itu pimpinan para imam dan frater Kapusin datang dari Belanda untuk mendukung perluasan tempat berkarya para misionaris di Sumatera Utara (Medan dan Daerah Siantar). Suku Batak yang berada di daerah tersebut masih melarang untuk masuk ke dalam wilayah mereka sampai pada tahun 1933. Pada tahun 1931 seorang imam ditemukan di Pematangsiantar seorang diri dengan tempatnya sedang berkarya di dataran tinggi Batak Tapanuli untuk mencari siapa-siapa yang ingin menjadi Katolik.

Setelah pemerintahan memberikan ijin untuk bisa memasuki wilayah Tapanuli diman missio dari Protestan telah lebih dulu ada sejak 1861, tempat pertama yang telah dibuka jalan adalah Balige melalui selatan Danau Toba tahun 1934 dan dari sanalah dimulai misi Agama Katolik ke Pulau Samosirpada tahun 1936. Mereka sendiri yang meminta masyarakat Batak Toba untuk menerima Imam-imam Katolik dengan kehidupan mereka yang menarik untuk diperdebatkan dimana perbedaan antara kepercayaan Protestan dan kepercayaaan Katolik.

Pada tahun 1938, sebuah paroki ditemukan berada di daerah Seribudolok (Wilayah Batak Simalungun) dan Sidikalang di sebelah Timurlaut dari Danau Toba, yang juga berfungsi sebagai tempat singgah di wilayah sekitar Batak Karo. Setelah berkarya dari Pulau Samosir pada tahun 1939 mulai dialihkan bersamaan dengan berlandaskan imam-imam baru di Palipi dan Onanrunggu, dan juga pangururan pada tahun 1940. Di periode yang sama kaum misionaris mulai karya di sebelah Tenggara dari Danau Toba dan mulai membuka tempat singgah di Lintongnihuta (1937) dan Pakkat (1940) diman Batak Pakpak dan Dairi tinggal. Sebuah paroki telah berhasil dibuka di Sibolga pada tahun 1929, satu tahun setelah itu telah dibuka jalan bagi Misionaris Katolik, dan untuk pertama kalinya pastoran Imam Katolik telah didirikan di Pulau Nias pada tahun 1939. Jadi, sebelum Perang Dunia ke-2 dimulai, para kaum misionaris berada dibawah naungan Vikariat apostolik di hampir seluruh wilayah Barat dan Utara Sumatera yang merupakan satu visi dari Mgr. Mathias Brans, OFMCap ketika beliau menulis “Kita harus saling memiliki …”. Pada tahun 1941, Vikariat Apostolik pindah dari Padang menuju Medan, yang merupakan pusat kota dari Sumatera Utara dan sebagai akibatnya, Vikariat Apostolik Padang berubah nama menjadi Vikariat Apostolik Medan.

Pada April tahun 1942 seluruh Imam Belanda, Frater, dan para Suster dikirim ke kampung pengasingan untuk jangka waktu masa penjajahan Jepang terhadap Indonesia (1942-1945). Tetapi generasi pertama dari Katolik yang baru terbentuk tidak bersedia untuk ikut. Sekelompok katekis dan para pemimpin kaum awam telah diinstruksikan sebelumnya dan mereka dirawat dari Tapanuli. Sebagai ucapan terima kasih atas dedikasi yang luar biasa, banyak umat Katolik memberi dukungan, dorongan, dan memberi semangat tidak hanya selama masa perang berlangsung tetapi juga selam periode dari tahun 1945-1950, yang mana kaum misionaris dibebaskan dari kampung pengasingan, dimana mereka masih ditahan di Medan karena ketidakstabilan dan ketidakamanan situasi didalam baik itu dikarenakan konflik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dengan Belanda. Selama ada kabar mengenai kembalinya Agresi Militer Belanda, pasukan Belanda tidak mengikuti Kaum Misionaris Belanda kembali ke tempat mereka. Hanya bagian pesisir pantai padang, Medan, Tanjung Balai, dan di daerah Pematangsiantar.

Kaum reguler yang berkarya di Tapanuli telah dikembalikan pada tahun 1950. Untuk keberhasilan mereka para imam-imam bertemu dengan Komunitas Katolik yang jumlahnya jauh menurun selama beberapa tahun perang berlangsung, selain itu banyaknya ucapan terima kasih atas kegiatan yang dilakukan para katekis dan para pimpinan kaum awam. Tujuan kedepannya sudah bagus namun jumlah pekerjanya di lapangan masih terlalu sedikit.

Pada tahun 1952 bagian selatan dari Vikariat telah dibagi dan dipercayakan kepada kongregasi asal Italia yang bernama Misionaris St. Fransiskus Xaverius (SX) dari Parma. Dalam hal ini Pimpinan Kapusin lebih berkonsentrasi terhadap bagian Utara dari Vikariat Apostolik, dimulai dari Medan di bagian Timur Sibolga dan Nias dibagian Barat. Tetapi Mgr. Brans masih melihat beberapa misionaris dari luar negeri yang pantas berkarya demi perkembangan yang lebih bermanfaat. Beliau berhasil dengan mengajak Pimpinan Kapusin Jerman yang baru saja selesai mengadakan perjalanan dari China tahun 1949. Tahun 1955 kelompok pertama tiba dan kelompok kedua tahun 1958. Tanggal 17 Nopember 1959, wilayah Sibolga berhasil memisahkan diri dari Vikariat Apostolik Medan dan didirikan kembali Vikariat Apostolik Sibolga meliputi Nias, Tapanuli Tengah, Kota Sibolga.

Selama kurang lebih 48 tahun Prefektur Apostolik Sumatera sendiri telah dibagi ke dalam 6 wilayah kekuasaan. Selanjutnya, sejalan dengan pembentukan Hierarki Gereja Indonesia padat tanggal 3 Januari 1961, Sumatera menjadi Provinsial Gereja yang sah diantaranya Keuskupan Agung Medan, Keuskupan Padang, Palembang, Pangkalpinang, Tanjung Karang (pecahan dari Palembang tahun 1952) dan Prefektur Apostolik Sibolga.

Tahun 1954, setelah 33 tahun berdedikasi untuk gereja di Sumatera, Mgr. Mathias Brans, OFMCap membutuhkan istirahat dan ingin kembali ke Belanda. Dalam pidatonya tahun 1921,”Kita harus saling peduli, tidak hanya peduli terhadap kaum biarawan dari kolonial Eropa” dan beliau terkenal dengan perjuangannya untuk mendapatkan persetujuan guna membuktikan karya misionaris yang sesungguhnya dikalangan penduduk asli Sumatera, membuat beliau menjadi penemu Gereja Sumatera yang sesungguhnya. Berdasarkan pengarahannya, satu biji yang ditanam berhasil tumbuh dengan cepat menjadi lima puluh bahkan tujuh puluh biji. Bukti keberhasilan beliau adalah Mgr. Dr. Ferrerius van den Hurk, OFMCap (1955-1976) yang mana selama periode menjabat di Keuskupan menjadi saksi perkembangan Gereja di daerah Sumatera Utara menjadi lebih dewasa dan hasilnya dapat dirasakan berkat usaha dari para imam, frater, suster, dan para kaum awam dan diyakinkan manjadi puncak perkembangan agama Katolik di Indonesia yang pernah ada.

Dikarenakan terpisahnya Padang (1952) dan Sibolga (1959), mereka yang bertugas di lapangan lebih berkonsentrasi terhadap daerah Tapanuli di sekitar Danau Toba. Tahun 1952 sebuah pastoran kembali didirikan di Lawe Desky (Aceh Selatan) dan juga di daerah Tebing Tinggi di pesisir timur dimana banyak perkampungan Batak yang masih baru yang mulai berkembang. Secara bertahap namun pasti perpindahan masyarakat Batak berjalan secar perlahan dalam mencari daratan yang cocok untuk ditanamai di sekitar daerah pesisir timur, hal itu disebabkan adanya kelangkaan di masyarakat Tapanuli sendiri dalam hal banyaknya biara-biara yang baru saja dibangun begitu juga dengan: Kisaran (1968), Perdagangan (1970), Aek Kanopan (1975), dan Aek Nabara !978). Tetapi dalam hati yang paling dalam, masyarakat Tapanuli berharap biara-biara dapat juga dibuka seperti di daerah: Parapat (1953), Parsoburan dan Silaen (1959-sekarang menjadi pusat misi) dan di daerah Barat daya : Tarutung (1958) dan Parlilitan (1960).

Medan dan Pematangsiantar menjadi daya tarik yang atraktif melihat perkembangan populasi berkembang dengan cepat, dan sebagai akibat dari jumlah yang kecil dari masyarakat Katolik terpaksa didirikan banyak biara-biara di tempat tersebut. Pada tahun 1962 melihat di sekeliling Medan dipisahkan dari pusat tempat biarawan berkarya dan menjadi satu unit pastoral yang jelas, maka pada tahun 1968 didirikan Rumah Pastor di Pasar Merah dan Lubuk Pakam, Delitua (1969), Pasar Baru (1975), Medan Timur (1979), dan Binjai (1980) semua subsidi tersebut merupakan Paroki tertua untuk Medan sekitarnya. Hal yang sama juga dialami di Pematangsiantar Paroki Jalan Bali telah didirikan tahun 1967, diikuti pada tahun 1968 oleh Paroki Jalan Medan dan ditahun 1976 distrik diluar Kota Siantar menjadi sebuah Distrik Pastoral yang terpisah.

Agaknya perkembangan yang lambat berasal dari daerah Karo dan Dairi dimana kebanyakan dari masyarakat setelah perang usai masih mencari dimana ada musuh. Paroki Kabanjahe dipisahkan dari Seribudolok tahun 1948, mengingat selalu bersama sampai pertengahan tahun 60-an. Setelah kegagalan dalam tindakan komunis tahun 1965, dan pemerintahan membujuk kaum musuh untuk melihat daripada pengetahuan kerja dari kaum religius suatu rasa simpatik yang sangat besar untuk membangun kepercayaan bagi Katolik. Sebagai akibatnya didirikan paroki-paroki baru di dataran tinggi Karo: Bandar Baru (1975) dan Tigabinanga (1977). Di wilayah Dairi banyak kaum Batak Toba pindah ke daerah ini untuk menjadi Kristen. Diantara masyarakat Katolik dengan mereka Paroki Tigalingga (1966) dan Sumbul (1968) sudah tidak bisa dipungkiri lagi.

Setelah dengan persiapan yang hati-hati , Mgr. Ferrerius van den Hurk, OFMCap pada tahun 1974 membutuhkan seorang asisten muda dan tahun 1975 Mgr. A.G.P. Datubara, OFMCap berubah nama menjadi Uskup Pembantu Medan. Setelah masa transisi selam satu tahun, Uskup van den Hurk mengundurkan diri dan Mgr. Datubara menjadi Uskup Medan yang baru. Di bawah petunjuk Mgr. van den Hurk (1955-1976), gereja di Sumatera Utara tumbuh berkembang dengan pesat dan suatu kegembiraan yang sangat besar beliau melihat biji buah yang ditanam di ratusan tempat untuk kehidupan religius, lusinan kaum biarawan dan keuskupan yang pertama sekali mengangkat asli pribumi untuk memimpin ratusan umat Katolik yang ada.