loader image
Sabtu, Desember 14, 2024
BerandaParokiParoki Balige

Paroki Balige

Pelindung

:

Santo Yosef

Buku Paroki

:

Sejak 1 Januari 1935. Sebelumnya bergabung dengan Sibolga

Alamat

:

Jl. Tandang Buhit No. 1, Kab. Toba 22313

Telp./HP/WA

:

0632 – 21192 / 0813 9674 4755

Email

:

parokisantoyosefbalige@gmail.com 

Jumlah Umat

:

1.912 KK / 7.700 jiwa (data Biduk per 05/02/2024)

Jumlah Stasi

:

28

1. Tarabunga
2. Tambunan
3. Lumban Binanga
4. Hutahaean
5. Ujung Tanduk
6. Matio
7. Silaen
8. Pintu Batu
9. Sitorus
10. Sibalingga
11. Sianipar
12. Huta Gurgur
13. Natolutali
14. Sigordang
15. Sibide
16. Amborgang
17. Hulahuli
18. Janji Matogu
19. Lumban Manurung
20. Lumban Sitorus
21. Narumonda
22. Pangasean
23. Pardomuan
24. Paritohan
25. Sibuntuon
26. Sigaol
27. Sihubakhubak
28. Siregar
 
 

RP. Cypriano Barasa OFMCap

23.02.'76

Parochus

RP. Hotraja Purba OFMCap

22.04.’88

Vikaris Parokial

     

Sejarah Paroki St. Yosef | Balige

I. Titik Awal Misi hingga Dekade 50-an (klik untuk membaca)
1.1 Titik Awal Misi di Balige

Deretan Bukit Barisan berdiri di sekeliling lembah hijau yang luas. Sebuah danau terbentang kebiruan terbentang di depannya. Kedua bentang alam ini membentuk Kawasan Danau Toba. Bentang alam yang telah melestarikan kehidupan orang-orang yang tinggal di dalamnya diturunkan dalam tradisi unik selama berabad-abad. Batak Toba adalah salah satu sub-etnis yang mendiami kawasan Danau Toba. Salah satu pusat kebudayaan masyarakat Batak Toba adalah Balige.

Sejarah berdirinya paroki St. Yosef Balige pada hakikatnya adalah sejarah masuknya agama Katolik ke Tanah Batak itu sendiri. Sejarah ini dimulai pada 12 Agustus 1933, ketika Prefektur Apostolik di Medan (1921 – 1954), Mgr. Mathias Brans, OFM Cap berhasil mendapatkan izin untuk melakukan misi Katolik ke Tanah Batak (Batak Landen) dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dengan demikian, terbukalah pintu misi Katolik di Tanah Batak yang sebelumnya terhalang oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang melarang praktik zending ganda . Pada tanggal 8 Februari 1934, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengutus seorang pastor untuk menetap di Balige. Pastor ini adalah Pastor Sybrandus van Rossum, seorang imam Kapusin berusia 30 tahun. Ketika Sybrandus van Rossum tiba di Balige pada tanggal 5 Desember 1934, Tanah Batak resmi menjadi daerah misi Katolik. Hari itu menandai titik awal keberadaan Gereja Katolik di Balige.

Pastor Sybrandus van Rossum memilih Balige sebagai pos misi karena dua alasan. Alasan pertama adalah karena lokasi geografis yang merupakan pusat dan memiliki penduduk yang lebih padat dibandingkan daerah lain di Tanah Batak. Kedua, Nommensen telah memilih Tarutung sebagai pusat zending, sehingga Balige tetap membuka peluang bagi karya misionaris Katolik. Dengan keluwesan dan keterbukaannya dalam berkomunikasi, Sybrandus van Rossum mudah dan cepat untuk berhubungan dengan banyak orang.

Memang, sejak awal Mgr. Brans telah berpesan kepada van Rossum untuk menjalin kontak dengan sebanyak mungkin orang, baik siang maupun malam.

Perjumpaan Sybrandus van Rossum dengan masyarakat sekitar di tepi Danau Toba merupakan perjumpaan yang secara jenaka terekam dalam berbagai naskah, di mana dua orang nelayan yang sedang berlayar di danau itu terkejut melihat sosok orang asing menyapa mereka di tengah danau malam hari itu. Ternyata pertemuan itu sungguh bersejarah, karena dua nelayan itu, satu Protestan dan lainnya Parmalim, menjadi simbol pertemuan antara seorang Katolik dan dua kelompok besar masyarakat Batak saat itu.

Sejak malam itu ratusan hingga ribuan orang telah datang kepada Sybrandus van Rossum di gubuknya di tepi danau untuk bertanya, berdiskusi, atau meminta bantuannya karena mereka percaya para misionaris datang untuk membawa kemajuan bagi peradaban mereka.Setelah itu, banyak orang mulai tertarik padanya sehingga mereka berbondong-bondong dari desa-desa sekitar Balige untuk menemuinya. Tujuan utama kedatangan mereka adalah untuk meminta agar sekolah segera dibuka. Pastor Sybrandus van Rossum melihat lebih dalam permintaan mereka dengan mengirim orang lain ke desa untuk melihat situasi sebenarnya. Jika ada prospek yang menjanjikan, mereka mulai dibimbing untuk mempelajari katekismus Katolik di rumah. Jika pembelajaran berjalan lancar, akan diupayakan untuk mendirikan tempat berkumpul sederhana, yang nantinya dapat digunakan sebagai gedung sekolah sekaligus gereja.

Melihat perkembangan misi yang menjanjikan di Tanah Batak, maka untuk memperkuat jumlah personel, kepala misi Kapusin mengirimkan Pastor Diego van den Bigelaar, OFM Cap untuk ditempatkan di Balige. Pada tanggal 8 Januari 1935, Diego van den Bigelaar tiba dari Belanda ke Belawan.

Pada tanggal 12 Januari 1935, Sybrandus van Rossum membaptis satu orang di Sigompulon Pahae , pada tanggal 10 Februari 1935 satu orang di Hutabarat, Tarutung dan satu orang di Lumbanpea Balige. Sementara itu, pada 27 Februari 1935, sekitar 50 orang datang secara rutin ke gereja. Tempat peribadatan di Tambunan Lumbanpea dilaksanakan di rumah salah satu anggota, yakni Ompu Hobul Tambunan. Sedangkan tempat peribadatan di Balige adalah Rumah Pertukangan Toba yang berada di tepi Danau Toba—yaitu rumah yang disewa oleh Pastor Sybrandus van Rossun.

Baptisan massal pertama di Balige berlangsung pada tanggal 16 Mei 1935 di Lumbanpea Tambunan Balige, total 26 orang yang dibaptis. Setelah setengah tahun, tercatat ada sekitar 600 orangyang dibaptis di Balige dan ada sekitar 3200 katekumen. Yang dipermandikan kebanyakan anak-anak. Hal ini terjadi karena ada kebijakan misi yang mengharuskan orang dewasa untuk belajar lebih lama, sehingga anak-anak mereka dibaptis terlebih dahulu.

Keinginan menjadi anggota Gereja Katolik tidak hanya datang dari desa-desa sekitar Balige tetapi juga dari masyarakat yang tinggal di Samosir, Humbang Hasundutan dan Silindung. Mereka memohon kepada pastor untuk datang ke sana juga. Atas permintaan tersebut, pada pertengahan Mei 1935, van Rossum untuk pertama kalinya menyeberang ke Pulau Samosir dan membuka stasi, yang dalam bahasa Batak Toba disebut huria pagaran.

Menurut catatan Vikaris Apostolik Medan, pada Juli 1935, delapan stasi telah berdiri di sekitaran Balige. Kedelapan stasi tersebut adalah: 1. Stasi Tambunan, 2. Stasi Pintu Batu, 3. Stasi Lumban Manurung, 4. Stasi Lumban Sitorus, 5. Stasi Sibuntuon—lima stasi ini masih aktif sampai sekarang, dan tiga lagi sudah tutup, yaitu 1. Stasi Sitoluama, 2. Stasi Hauanatas, 3. Stasi Pardinggaran. Pada akhir tahun 1935, ada 3 imam yang menetap di Balige, antaralain: Pastor Sybrandus van Rossum OFM Cap, Pastor Diego van de Bigelaar OFM Cap dan Pastor Procopius Handgraaf OFM Cap.

Pada tanggal 29 Oktober 1935, Misi Katolik membeli sebidang tanah milik Marinus Simanjuntak yang berada di pinggir jalan raya menuju Tarutung (sekarang Jalan Lintas Sumatera) yang di atasnya terdapat gedung bioskop, rumah dan gudang beras yang besar. Kemudian, gedung itu direnovasi menjadi gereja, pastoran dan sekolah . Tanah dan bangunan ini diberkati dan diresmikan oleh Mgr. Mathias Brans, OFM Cap pada tahun 1936 dengan nama pelindung St. Yosef.

Melihat semakin bertambahnya jumlah anggota gereja Katolik di Tanah Batak, khususnya di daerah Samosir, pada tanggal 27 Januari 1936 Mgr. Brans menugaskan Pastor Diego van de Bigelaar sebagai imam yang khusus melayani di daerah Samosir. Sejak itu, ia mengintensifkan kunjungannya ke orang-orang di Samosir dan mulai tinggal di sana. Pada tanggal 15 April 1936, Bruder Archarius Rentinck, OFM Cap tiba di Belawan dan langsung ditempatkan di Balige sebagai tenaga ahli konstruksi untuk menangani semua gedung misi di Tanah Batak. Kemudian, ia segera mendirikan pusat pertukangan di tepi Danau Toba.

Pada akhir November 1936, lima imam tiba di Belawan sebagai misionaris baru. Tiga di antaranya ditempatkan di Balige, yaitu: Pastor Dagobertus Sinnema OFM Cap, Pastor Lukas Randers OFM Cap dan Pastor Oscar Nuijten OFM Cap. Dalam laporan akhir tahun 1936, tercatat ada 5 imam dan 1 bruder yang tinggal di Pastoran Balige dan 37 lokasi huria pagaran, yang juga terletak di wilayah Lintongnihuta, Doloksanggul dan Tarutung.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 8 Oktober 1937 dibukalah Paroki Sibuntuon Bagasan dan Pastor Sybrandus van Rossum ditugaskan untuk melayani paroki tersebut. Dengan demikian, tugasnya di Balige digantikan oleh Pastor Marinus Spanjers OFM Cap.

1.2 Pendudukan Jepang Hingga Awal Kemerdekaan

Misi Katolik tentu dipengaruhi oleh situasi politik. Pada tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Ketika kekuasaan diambil alih oleh Jepang, orang-orang Belanda yang masih berada di Indonesia ditawan oleh tentara Jepang, termasuk juga para pastor yang bermarkas di Tanah Batak.

Karena semua orang Belanda akan diasingkan, para misionaris mulai berpikir tentang bagaimana melayani orang-orang ketika mereka diasingkan. Pada suatu kesempatan, mereka mengadakan pertemuan untuk menunjuk sejumlah katekis, pemimpin jemaat selama misionaris berada di kamp-kamp tahanan Jepang. Langkah ini diambil karena umat Katolik pada waktu itu masih tergolong baru, bahkan sebagian besar masih katekumen.

Untuk memudahkan koordinasi para katekis, atas usul Pastor Marinus van den Acker pada bulan Juli 1942 para katekis dikumpulkan di Balige untuk membentuk Badan Pimpinan Dewan Misi Darurat Katolik Wilayah Tapanuli. Badan ini bertujuan untuk membahas berbagai masalah yang terjadi di pelayanan, terutama masalah antar umat.

Setelah badan ini terbentuk, Bonifacius Panggabaean diangkat sebagai ketua. Dalam pelayanan, katekis terkadang mengalami permasalahan dalam keorganisasian. Meskipun demikian, patut dibanggakan bahwa sebagian besar umat masih tetap semangat dan bertahan dalam kehidupan imannya, meskipun ada juga yang kurang semangat bahkan meninggalkan iman katoliknya. Beberapa katekis yang telah bertahun-tahun mengabdi dalam pelayanan bagi umat antara lain: Johannes Chrisostomus Calvin Tampubolon, JIA Situmorang, Bonifacius Panggabean, C Siagian, JM Samosir, R Pardede, J Sinaga, W Simangunsong dan S Silaban.

Para katekis ini banyak mengambil alih tugas pelayanan imam seperti mengajar, membabtis, bahkan memberi pemberkatan perkawinan.

Pada bulan Agustus 1945, tentara Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu dan harus kembali ke tanah airnya. Tiga hari setelah Jepang menyerah, rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Orang Belanda yang menjadi tawanan Jepang dibebaskan termasuk para misionaris, tetapi tidak diizinkan untuk melayani umat. Sehingga katekis harus berusaha lebih keras dalam melayani umat.

Karena misionaris sudah tidak diperbolehkan lagi melayani umat, Mgr. Brans mendatangkan seorang imam pribumi dari Keuskupan Agung Semarang yaitu Romo Stanislaus Sutapanitra SJ untuk mengabdi di Tanah Batak pada tahun 1948. Imam itu hanya bertugas selama 3,5 bulan di Tanah Batak karena ia kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Kemudian pada bulan Agustus 1948, seorang imam baru didatangkan lagi, yaitu Agustinus Poedjahandaja, seorang imam diosesan dari Keuskupan Agung Semarang dan bertugas di Balige sampai Maret 1949.

1.3 Babak Baru untuk Misi

Selama tahun 1950-an situasi secara bertahap mulai membaik. Babak baru dalam sejarah misi sedang terjadi. Para misionaris mulai kembali bekerja secara teratur dan jumlah umat paroki terus bertambah. Peningkatan jumlah umat yang luar biasa itu bukan semata-mata karena pewartaan para imam, tetapi karena pewartaan umat sendiri.

Melihat pesatnya perkembangan jumlah umat dan jarak antar stasi yang relatif jauh dari paroki, maka diusulkan untuk membuka sejumlah paroki baru. Usulan ini ditanggapi secara positif dan didukung penuh oleh Vikariat Apostolik. Maka pada tahun 1951 didirikan Paroki Doloksanggul yang merupakan anak dari Paroki Lintongnihuta dan Balige. Setahun kemudian, Paroki Parsoburan yang merupakan anak dari Paroki Balige didirikan . Pada tanggal 1 Agustus 1957, didirikanlah Paroki Tarutung yang juga merupakan anak dari Paroki Balige. Pendirian paroki-paroki baru ini berdampak besar pada pertumbuhan jumlah orang Batak yang memeluk agama Katolik karena pelayanannya semakin intensif.

Dalam perkembangan selanjutnya, Paroki Sibuntuon Bagasan digabung kembali dengan Paroki Balige.

Pada perkembangan selanjutnya sejumlah stasi yang telah didirikan, namun pada akhirnya harus dihentikan karena jumlah orang yang semakin berkurang. Pasalnya, sebagian besar penduduknya bermigrasi ke tempat lain atau berpindah agama. Sejumlah stasi yang akhirnya harus ditutup adalah Stasi Sitoluama, Stasi Pardinggaran, Stasi Haunatas, Stasi Barimbing, dan Stasi Meat.

Selain pembukaan paroki baru, kehadiran tarekat hidup bakti—suster dan bruder—di paroki sangat mempengaruhi pelayanan iman umat. Suster-suster Kongregasi FCJM membuka komunitas di Balige pada tanggal 30 Mei 1938. Mulanya mereka mengadakan pelayanan kesehatan keliling dan membuka poliklinik di sekitar Balige. Kemudian pada tahun 1953, mereka mendirikan Sekolah Kejuruan Puteri (SKP).

Frater CMM membuka komunitas di Balige sejak 31 Agustus 1950. Mereka mendirikan SMP Budi Dharma tahun 1950, Sekolah Keguruan (SGA) tahun 1953 dan SMA Bintang Timur Balige tahun 1956. Selain itu, para suster FCJM juga mengelola asrama putri dan para Frater SMM mengelola asrama putra. Asrama ini untuk menyediakan akomodasi bagi siswa sekolah tersebut yang tinggal jauh dari Balige.

II. Masuknya Kongregasi FCJM & CMM
2.1 Kongregasi FCJM

Dalam rangka meningkatkan dukungan bagi misi di Balige, pada bulan Februari 1934 Mgr. Brans mengunjungi biara Suster FCJM di Tanjung Balai untuk meminta para Suster FCJM membuka karya misi di Balige. Karena permintaan tersebut sesuai dengan visi kongregasi “Menjadi Saksi Cinta Hati Kudus Yesus dan Hati Kudus Maria”, maka pimpinan Suster FCJM menjawab kebutuhan Mgr. Brans.

Pada tanggal 2 November 1936, Sr. M. Veronica Hartog dan Sr. M. Cypriana de Vogel tiba di Balige untuk memulai komunitas di Balige. Hal pertama yang mereka lakukan adalah belajar bahasa Batak. Selanjutnya mereka mencari rumah yang cocok untuk para suster. Pada tanggal 11 Desember 1937 Suster Magdala dan Sr. M. Cypriana ditugaskan untuk menjelajahi Balige. Pastor Spanyers membantu kedua Suster itu menemukan sebuah rumah. Tidak jauh dari pusat pasar Balige yaitu di Sangkarnihuta terdapat dua buah rumah batu yang indah yang saling berdekatan dengan taman luas yang bisa disewa. Maka pada awal tahun 1938 Muder M. Renata meminta Pastor Spayer untuk membuat kontrak dengan pemilik rumah sebelum 1 Mei 1938. Hal ini sesuai dengan kesepakatan bahwa para suster akan memulai pelayanannya di Balige pada tanggal 30 Mei 1938.

Tanggal 30 Mei 1938 adalah hari dimulainya pemekaran komunitas dan karya FCJM di daerah misi di Tanah Batak. Di awal pekerjaannya, para suster membuat jadwal pelayanan kesehatan di sekitar Balige untuk menyembuhkan penyakit yang diderita banyak orang seperti disentri, malaria, cacing tambang, luka, dan kudis karena kebersihan yang kurang. Menggunakan fasilitas perawatan keliling, mereka mengunjungi stasi selama tiga hari dalam seminggu. Rata-rata jumlah pasien adalah 80-100 orang per kunjungan.

Pada tahun 1942 Jepang menduduki Balige. Awalnya Jepang menginginkan rumah suster menjadi tempat tinggal mereka, tetapi berkat pengaruh keempat suster Jerman, rencana ini digagalkan. Oleh Jepang, rumah suster itu lantas ditunjuk sebagai lokasi rumah tawanan. Pastor van den Acker termasuk di antara mereka yang ditahan di rumah biarawati itu.Kesempatan ini menghibur para suster karena setiap hari mereka bisa menghadiri misa kudus.

Tiga Imam dan seorang Bruder ditambah sembilan Suster ditahan di rumah Suster bersama dengan 50 orang Belanda lainnya. Pada bulan November 1942 semua suster Belanda harus ditahan di Medan dan meninggalkan Balige. Pada tahun 1943 rumah suster SCMM di Sibolga diduduki tentara Jepang, sehingga tiga suster SCMM bergabung dengan suster FCJM di Balige.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, para suster yang ditawan oleh Jepang dibebaskan. Namun karena suasana berubah karena euforia kaum pribumi yang menikmati kemerdekaannya yang diwujudkan dalam sentimen anti asing, pada tanggal 20 Desember 1945, para suster di Balige menerima surat dari Pastor van den Acker yang menyarankan agar mereka segera meninggalkan Balige dan pergi ke Medan demi keselamatan.

Pada tanggal 16 Mei 1951, dua suster perintis yang berani, Sr. M. Aleyda Bot dan Sr. M. Paauw datang lagi ke Balige untuk mempersiapkan diri dan memulai kembali pembenahan komunitas. Pada awal tahun ajaran 1951 di Komunitas Balige para suster dihadapkan pada kegiatan baru. Pada tahun 1953, SMP putri dibuka namun tidak dilanjutkan dan diganti dengan Sekolah Kepandaian Putri (SKP).

Pada tanggal 15 Mei 1954, rumah suster dan pusat kesehatan dipindahkan dari Sangkarnihuta ke Pardede Onan (lokasi sekarang). Bangunan poliklinik lama kemudian digunakan untuk pelatihan postulan dan novis, sehingga jumlah suster bertambah. Pada tahun 1955 pembangunan rumah baru di Pardede Onan dimulai. Meski tidak semuanya selesai, namun pada 3 Juni 1956 diadakan pemindahan besar-besaran. 

Sejak tahun 1989, karya pendidikan yang dikelola oleh para suster yang bertahan hingga saat ini adalah TK Assisi dan SD San Francesco. Para suster juga bekerja dalam pelayananlain: di poliklinik, di sekolah-sekolah yayasan keuskupan, dan di asrama putri St. Katarina untuk siswa sekolah menengah pertama dan atas. Selain itu, para suster juga aktif dalam bidang pastoral di paroki.

2.2 Kongregasi CMM

Pasca kemerdekaan, seiring dengan dimulainya babak baru misi di Balige, Mgr. Brans memandang perlu juga upaya memperkuat kerja misi pendidikan. Untuk itu, Mgr. Brans mengundang Kongregasi CMM untuk bekerja. Undangan ini mendapat respon positif dari Kongregasi CMM. Komunitas Frater CMM di Balige didirikan pada tanggal 31 Agustus 1950. Awalnya, hanya ada dua frater yang bekerja, yaitu: Frater Rudolf Ouddekken dan Frater Cyprianus de Beek, yang kemudian meninggal pada tanggal 23 September 1951.

Kiprah CMM dimulai dengan mendirikan SMP, kemudian dilanjutkan dengan membuka SGA pada tahun 1952. Hingga tahun 1991, sekolah ini menghasilkan ratusan guru yang kemudian mengajar di sekolah dasar Katolik dan sekolah umum. Awalnya Frater tinggal di dekat gereja Katolik, dan pada tahun 1955 Frater pindah ke Soposurung, di mana gedung SMP dan SGA selesai dibangun.

Di Soposurung, para frater mendapat rumah dari seorang dokter yang pernah bekerja di Balige sebelum Perang Dunia II, dan rumah ini masih dihuni para frater sampai saat ini. Saat mereka pertama kali pindah ke Soposurung waktu itu, jumlah frater ada enam orang. Dari tahun 1956 sampai 1970-an dibuka novisiat di Balige untuk calon frater dari Sumatera.

Namun panggilan untuk wilayah Sumatera tidak terlalu berkembang, sehingga pada tahun 1970, novisiat Frater CMM Balige ditutup.

Saat itu ada 4 frater Indonesia yang tinggal di Balige, yaitu Frater Fransiskus Simbolon, Frater Paulus Edja, Frater Albert Fau, dan Frater Martinus Waoma. Belakangan, Frater Fransiskus Simbolon dan Frater Martinus Waoma meninggalkan kongregasi. Frater Paul Edja dan Frater Albert Fau tetap berada di komunitas sampai meninggal.

Karena jumlah frater di Sumatera sangat minim, sedangkan pekerjaan pendidikan, asrama, pembinaan kepemudaan, dan sebagainya membutuhkan banyak tenaga kerja, maka pada tahun 1982 tiga frater dari wilayah Maluku - Sulawesi diutus untuk membantu frater di Balige. Mereka adalah Frater Harold de Lange, Frater Pieter Janvan Lierop, dan Frater Herman Mandagi.

Sampai saat ini Frater CMM masih berkarya di Paroki Santo Yosef Balige. Saudara-saudara bekerja di sekoalh (SMP dan SMA), asrama Budhi Dharma, SMA BTB, minishop dan pastoral. Biara Frater maish tetap di Soposurung dan saat ini ada 8 frater yang berada di komunitas Balige.

III. Perkembangan Terkini
3.1 Situasi Demografis 

Pusat Paroki St. Yosef, Balige terletak di jantung Kota Balige yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Toba. Lokasi ini tepatnya di Jalan Tandang Buhit Nomor 1, Desa Pardede Onan, Kecamatan Balige. Bangunan gereja paroki menghadap ke Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) dan di belakang terdapat pastoran dan bersebelahan dengan biara Suster FCJM.

Paroki St. Yosef, Balige terdiri dari satu gereja paroki dan 28 gereja stasi yang tersebar di wilayah Kabupaten Toba. Paroki ini terbagi menjadi 4 Rayon, yaitu: Rayon Balige yang terdiri dari 15 lingkungan, Rayon Laguboti terdiri dari 6 stasi, Rayon Porsea terdiri dari 13 stasi, dan Rayon Silaen terdiri dari 9 stasi.

Pembagian rayon pada awalnya ditujukan ke wilayah kecamatan yang berkesempatan bertemu bersama di hari pekan (dalam bahasa Batak Toba disebut onan). Pada akhir pekan, pengurus gereja menjadwalkan sermon untuk setiap stasi di wilayah tertentu, misalnya onan Balige untuk kecamatan Balige dan Laguboti pada hari Jumat, onan Porsea untuk kecamatan Porsea dan Silaen pada hari Rabu.

Seiring dengan pemekaran Kabupaten Toba, Rayon Laguboti saat ini meliputi Kecamatan Laguboti, Balige dan Tampahan. Rayon Porsea meliputi kecamatan Porsea, Bonatua Lunasi dan Parmaksian. Sedangkan Rayon Silaen masih hanya mencakup Kecamatan Silaen.

Secara geografis, Paroki St. Yosef Balige berbatasan dengan Paroki St. Fidelis Parapat di sebelah Utara. Sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Paroki St. Christophorus Siborongborong. Sebelah Timur berbatasan dengan Paroki St. Yosef Parsoburan.

Pada awal berdirinya paroki ini, umat Katolik sebagian besar memiliki mata pencaharian petani tradisional dalam masyarakat agraris. Semakin berkembangnya daerah, semakin banyak pula umat bermata pencaharian lain seperti pedagang, pegawai/guru, dan sebagai buruh pabrik sarung dan ulos (tenun).

Kawasan Balige telah lama dikenal sebagai kawasan pendidikan yang berpusat di Soposurung. Hingga saat ini, perkembangan Balige sebagai pusat pendidikan masih terus berlangsung. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya berbagai sekolah di daerah tersebut, misalnya SMP, SMA/ SMK dan Perguruan Tinggi. Selain kota pendidikan, Kota Balige juga dikenal sebagai kota industri tenun (ulos/sarung).

Dengan kondisi ekonomi seperti ini, banyak orang datang ke Balige untuk mengenyam pendidikan atau bekerja sebagai guru, pedagang atau pegawai swasta. Sementara itu, banyak putra dan putri asli Balige pergi ke luar daerah/ luar negeri untuk melanjutkan pendidikan dan mencari penghidupan yang lebih baik. Dengan kondisi tersebut, perkembangan umat Katolik di Balige kini lebih didominasi oleh pendatang, dan hal ini semakin didukung dengan pemekaran pemerintah Kabupaten Toba dengan Balige sebagai ibukotanya, sehingga saat ini masyarakat yang berstatus antara pegawai atau guru mulai berimbang dengan petani dan kemudian karyawan.

Sesuai dengan konteks demografi, maka salah satu adalah mengakomodasi tradisi dan budaya lokal dalam kegiatan-kegiatan liturgi, contohnya menginkulturasi Pesta Gotilon dalam misa khusus untuk ucapan syukur atas panen. Selain itu bentuk inkulturasi budaya juga diungkapkan lewat pemakaian alat-alat musik dan tarian tradisional Batak dalam perayaan-perayaan ekaristi khusus seperti pada Pesta Kristus Raja dan ulang tahun paroki atau stasi.

Sebagai bagian dari kegiatan pelayanan pastoral, sejak tahun 1981 Paroki Balige mendirikan Credit Union Harapan Baru (CU-HB) yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan ketahanan ekonomi umat paroki. Umat paroki didorong untuk menjadi anggota CU-HB yang merupakan lembaga keuangan mikro yang melayani peminjaman modal usaha bagi anggotanya.

Akses terhadap modal usaha ini sangat penting bagi umat paroki, khususnya yang bermata pencaharian sebagai petani. Saat ini CU-HB telah berkembang dan memiliki anggota sebanyak 1.831 orang.

3.1 Situasi Pastoral

Saat ini, Paroki St. Yosef Balige masuk ke dalam wilayah Vikarat Episkopal Doloksanggul dengan Pastor Ambrosius Nainggolan, OFMCap sebagai Vikaris Episkopal. Reksa pastoral di Paroki St. Yosef Balige sejak berdiri sampai sekarang dilakukan oleh para imam Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap). Saat ini Pastor Paroki adalah Pastor Monaldus Banjarnahor, OFMCap. Adapun imam-imam yang pernah mengabdi di Paroki St. Yoseph Balige secara Kronologis adalah sebagai berikut (semuanya dari ordo Kapusin kecuali disebutkan lain):

1934 – 1946

P. Sybrandus van Rossum
P. Diego van den Biggelaar
P. Procopius Handgraaf
P. Marianus van den Acker
P. Oscar Nuyten
P. Lucas Raenders
P. Anacletus Snyders
P. Radboud Waterius

P. Marians Spanipers
P. Werenfridus Joosen
P. Panduamus Kromeer
P. Bernard van den Laar
P. Jenniskers
P. Ubaldus Esser
P. Ausfriden Liefri

1946 – 1970

P. Pudjahandoyo (Pr-KAS)
P. Sutapanitra (SJ)
P. Beatus Jennikers
P. Marianus van den Acker
P. Oktavianus van den Klaar
P. Nilus Weigmans
P. Isodorus Woestenberg
P. Godhard Liebreks

P. Rocklus Rensens
P. Isaias Krool
P. Theodorus van Eyk
P. Pancratius van Mechelen
P. Straalen
P. Remigius Bleijs
P. Pius Datubara
P. Wiro van Diemen

1970 – 1980

P. Asterius van Reen
P. Johannes Simamora
P. Elias Sembiring
P. Hubertus Tamba

P. Krool
P. Leo Sipahutar
P. Alfonsus Simatupang
P. Thadeus

1980 – 1999

P. Dominikus Situmorang
P. Justinus Tinambunan
P. Anselmus Sihaloho
P. Honorius Sihaloho
P. Gabriel L. Tobing
P. Asterius van Reen

P. Bonifasius Simanullang
P. Samuel Oton Sidin
P. Marcelinus Manalu
P. Carolus Sembiring
P. Albinus Ginting
P. Crispinus Silalahi

2000 – 2002

P.Thomas Sinabariba
P. Hyginus Silaen

P. Hugolinus Malau
P. Fridolinus Simanjorang

2000 – 2002

P.Thomas Sinabariba
P. Hyginus Silaen

P. Hugolinus Malau
P. Fridolinus Simanjorang

2002 – 2004

P. Markus Manurung
P. Yosafat Ivo Sinaga

P. Damianus Gultom

2004 – 2006

P. Louis Uran
P. Yosafat Ivo Sinaga

P. Damianus Gultom

2006 – 2007

P. Yosafat Ivo Sinaga
P. Damianus Gultom

P. Liberius Sihombing

2007 – 2012

P. Angelo Purba
P. Arie van Diemen

P. Ivan Siallagan
P. Fransiskus Manullang

2012 – 2018

P. Leopold Purba
P. Romualdus Limbong

P. Eno Samosir
P. Petrus Sinaga

2018

P. Ambrosius Nainggolan

P. Petrus Sinaga

2019 - 2022

P. Monaldus Banjarnahor
P. Petrus Sinaga

P. Hotraja Purba

3.1 Tata Kelola Administratif

Sejak berdirinya Gereja Katolik Santo Yosef Balige, pencatatan administrasi secara konsisten dilakukan untuk kelengkapan pendataan. Catatan terdiri dari Pembaptisan, Penguatan, Komuni Pertama, Pernikahan, Pengurapan Orang Sakit, dan Kematian. Hal ini terlihat dari ketersediaan arsip pada saat dibutuhkan oleh pengurus paroki dan stasi jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Di bagian Liber Baptis, pendaftaran dimulai dari tahun 1935 hingga sekarang, pada tahun 2022. Hingga tahun 2022, paroki ini memiliki 12 Liber Baptist dengan rincian sebagai berikut: Liber Baptist I (1935-1940), Liber Baptist II (1940-1946), Liber Baptist Baptis III (1947-1966), Liber Baptist IV (1966-1980), Liber Baptist Va (1981-1986), Liber Baptist Vb (1986-1993), Liber Baptist Vc (1993-1995), Liber Baptist VI (1995- 2002), Liber Baptist VII (2002-2007), Liber Baptist VIII (2007-2014), Liber Baptist IX (2014-2020), Liber Baptist X (2020 hingga sekarang).

Buku-buku baptisan ada dan konsisten dalam penomoran dan penulisan buku. Namun buku-buku lama masih menggunakan ejaan lama. Sedangkan yang baru telah ditulis sesuai dengan standar ejaan Indonesia (EYD) saat ini. Saat ini, pencatatan komputerisasi sedang berlangsung. Selanjutnya, buku baptisan, komuni pertama, krisma, pernikahan dan buku kematian harus berhubungan satu sama lain. Basis data untuk tiap buku sudah tertata dengan baik, namun perlu konsistensi dalam pencatatan. Catatan bahwa di semua stasi masih belum ada buku pencatatan baptis.

Buku Sakramen Perkawinan tercatat dalam 6 bagian, antara lain: Buku Sakramen Perkawinan I (1935-1972), Buku Sakramen Perkawinan II (1972-1984), Buku Sakramen Perkawinan III (1984-2002), Buku Sakramen Perkawinan IV (2002-2012). 2011), Buku Sakramen Perkawinan V (2011-2018), Buku Sakramen Perkawinan VI (2018 sampai sekarang). Dari data tersebut, penerimaan Sakramen Perkawinan terbanyak dilaksanakan pada tahun 2007 sebanyak 112 pasangan.

Berkas penyelidikan Kanonik berasal dari tahun 1948 hingga hari ini. Hal-hal yang berkaitan dengan berkas ini belum sepenuhnya tuntas, terutama pada awal berdirinya paroki ini dan baru selesai dalam 20 tahun terakhir. File ini tersimpan dengan baik dan rapi.

Pada bagian pencatatan Buku Penguatan, paroki telah mencatat secara rinci dari tahun 1935 sampai sekarang. Hal ini tertuang dalam beberapa bagian Buku Krisma, antara lain: Buku Krisma I dan IA (1935-1983), Buku Krisma II (1993-2018), Buku Krisma III (2018 - sekarang). Di dalam buku itu terlihat jelas jumlah orang yang menerima Sakramen Penguatan dari tahun ke tahun. Antara tahun 1984 dan 1992, tidak ada penerimaan Sakramen Penguatan di paroki.

Proses pencatatan orang yang menerima Komuni Pertama di paroki baru ada sejak tahun 2000. Sebelumnya, tidak ada data orang yang menerima Komuni Pertama. Dengan demikian, diharapkan lebih banyak perhatian diberikan pada pencatatan di masa depan.

Secara keseluruhan, buku untuk pencatatan Komuni Pertama dalam kondisi baik dan pada umumnya memperlihatkan konsistensi penulisan dan penomoran. Meski demikian, masih terdapat ketidakkonsistenan dalam pencatatan di sebagian kecilnya.

3.2 Statistik Umat

Saat ini pengumpulan data statistik lengkap sedang berlangsung. Pengelolaan data dilakukan dalam sebuah database yang disebut Basis Integrasi Data Umat Keuskupan (BIDUK). Untuk sementara, database ini berisi entri dari 7.489 jiwa umat paroki. Rentang usia umat yang tercatat di database tersebut berkisar antara 0 hingga 104 tahun dengan rata-rata usia umat adalah 30,5 tahun. Mayoritas terbesar (~95%) umat paroki mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK). Profesi yang banyak ditekuni masyarakat umumnya adalah petani tradisional, pengusaha/pedagang, guru, dan pegawai negeri. Sejumlah kecil lainnya bekerja sebagai karyawan di bisnis swasta. Masih banyaknya data yang belum terisi lengkap dalam formulir BIDUK membuat sulitnya memperoleh statistik deskriptif holistik pada profil umat. Namun dewan paroki masih terus melakukan pengisian data untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai data umat paroki.

Video Profil :

Lokasi Paroki :

RELATED ARTICLES

JADWAL USKUP & VIKJEN

KALENDER LITURGI

FOKUS PASTORAL KAM 2024

spot_img