Sabtu, April 27, 2024
More
    BerandaParokiParoki Medan Padang Bulan

    Paroki Medan Padang Bulan

    Pelindung
    :
    Santo Fransiskus dari Asisi
    Buku Paroki
    :
    Sejak 15 September 1975. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Medan – Hayam Wuruk
    Alamat
    :
    Jl. Bunga Ester No. 93B, Pasar VI, Kel. Padang Bulan Selayang II, Kec. Medan Selayang – 20131
    Telp.
    :
    061-8214761 / 0812 7860 5400 (WA)
    Email
    :
    sanfrancis.padangbulanmedan@gmail.com
    Website
    :
    parokipadangbulan.id
    Jumlah Umat
    :
    2.976 KK / 10.847 jiwa 
    (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi
    :
    5
    01. Gedung Johor
    04. Simpang Kuala
    02. Pasar Baru
    05. Simpang Selayang
    03. Perumnas Simalingkar

    RP. Andreas Elpian Gurusinga, OFMConv
    09.01.’71
    Parochus
    RP. Bonaventura Hendrikus R. Gultom, OFMConv
    03.05.'79
    Vikaris Parokial
    RP. Yohanes K. Sensianus Jebarus, OFMConv
    29.08.'78
    Vikaris Parokial
    RP. Lodofikus Suban Hayong, OFMConv
    14.08.'91
    Vikaris Parokial

    Sejarah Paroki St. Fransiskus Asisi - Medan Padang Bulan

    Sejarah Singkat Paroki (klik untuk membaca)
    Tidak lama setelah G/30/S/PKI pada tahun 1965, sejumlah keluarga suku Karo yang tidak lagi merasa aman untuk tetap tinggal di kampung mereka, dan juga sejumlah keluarga suku Toba yang sedang mencari lahan yang baru untuk dihuni, akhirnya mulai tiba di daerah pinggiran kota Medan. Di tempat hunian mereka yang baru, mereka mulai merasakan betapa pentingnya kesatuan dan agama, yaitu Katolik.
    Dua Pastor Kapusin mendapat tugas untuk memelihara dan melayani mereka: yaitu P. Diego Van Biggelar, OFMCap. dari paroki Katedral, yang berkarya bagi kelompok suku Toba, sementara yang satu lagi adalah P. Johannes Maximus Brans, OFMCap. dari paroki St. Antonius di Hayam Wuruk, yang memberikan pelayanan bagi kelompok suku Karo. Pada tahun 1966, kedua Pastor tersebut saling bertukar pikiran untuk mulai membantu para umat di daerah tesebut dan mulai menyajikan program katekese. Pelayanan kedua pastor itu dibantu oleh beberapa orang katekis awam. Salah satu katekis awam yang sangat berperan dalam pelayanan itu adalah Bapak Laurentius S. Barus, yang aktif melakukan pelayanan katekese bagi umat dan calon umat Katolik. Beliau juga aktif mendampingi para pastor dalam pelayanan dan berkatekese. Dengan tak kenal lelah, beliau mengajak dan membimbing umat dengan segala kemampuan yang dimilikinya supaya rajin berdoa. Ia melaksanakan katekese di rumah-rumah umat Katolik, doa rosario, ibadat lingkungan, mengunjungi dan mendoakan orang sakit.
    Pelayanan yang dilakukannya membuat banyak orang tertarik dan kemudian dibaptis menjadi Katolik. Kemudian ia meminta kepada pastor paroki Hayam Wuruk supaya diberi izin untuk melaksakan katekese secara khusus di Padang Bulan (wilayah paroki St. Fransiskus Assisi, Padang Bulan – Medan saat ini) sekitar tahun 1965-an. Hal yang sama juga dilakukannya di Padang Bulan dan berkat Tuhan banyak orang yang tertarik dan menjadi Katolik. Dalam pelayanan dan katekesenya, ia selalu dibimbing oleh para pastor (seperti P. Johannes Maximus Brans, OFMCap., P. Timmermars, OFMCap., P. Wim van der Weiden, OFMCap.) dan dibantu oleh kelompok pemuda/i (kemungkinan besar mahasiswa/i dan para pelajar yang beragama Katolik) dengan kegiatan katekese, doa rosario, dan ibadat dari rumah ke rumah dan dari lingkungan ke lingkungan. Dengan cara demikian, akhirnya semakin banyak orang yang tertarik menjadi Katolik. Dalam hal ini sangat jelas tampak peranan kaum awam dan para pemuda dalam pelayanan dan katekese di Padang Bulan.
    Jumlah umat Katolik bertambah terus, baik dari suku Karo maupun dari suku Toba, yang merupakan dua suku mayoritas di Padang Bulan pada masa itu (dan juga mungkin sampai saat ini). Hal ini merupakan suatu hal yang menggembirakan karena dua suku yang berada di wilayah yang sama menganut satu agama yang sama, Katolik. Dua suku yang berbeda menjadi komunitas yang sama dan membangun komunitas yang sama yakni komunitas Katolik. Akan tetapi pada tahun 1967, akibat timbulnya masalah internal yang berhubungan dengan adanya perbedaan suku dan bahasa, maka komunitas semula tadi menjadi terpecah dua, yaitu suku Karo ditempatkan di Paroki St. Antonius – Hayam Wuruk, sedangkan suku Toba di Paroki Katedral. Walaupun demikian, umat Katolik semakin hari semakin bertambah terus seiring dengan pelayanan dan katekese yang tidak kenal henti (baik oleh para pastor maupun katekis awam) dan didukung oleh pertambahan jumlah penduduk, perkembangan kota, pertumbuhan ekonomi, dsb.
    Misi P. Johannes Maximus Brans, OFMCap., bersama para katekis awam yang memberikan pelayanan dan katekese bagi kelompok suku Karo di Padang Bulan akhirnya berbuah lebih nyata, yang diiringi oleh pertumbuhan dan perkembangan umat Katolik di Padang Bulan yang semakin meningkat. Beberapa waktu kemudian pada tahun 1967, dengan menggembirakan terbentuklah Stasi St. Paulus di Pasar Baru - Padang Bulan dengan gedung gereja permanen yang sudah siap untuk digunakan.
    Stasi St. Paulus ini sangat berperan penting bagi terbentuknya paroki baru, paroki St. Paulus, Padang Bulan – Medan, yang berasal dari nama stasi tersebut. Akan tetapi peran penting stasi ini tidak hanya sekadar nama saja. Hal yang paling penting adalah peranan umat stasi St. Paulus tersebut dalam katekese, bertambahnya jumlah umat, perkembangan stasi, tidak hanya di sekitar stasi tersebut bahkan juga sampai ke tempat lain di luar kota Medan. Sumbangan umat, baik dari segi tenaga, perhatian, pemberian diri maupun materi menjadi hal penting dalam perkembangan stasi, jumlah umat, perkembangan iman, semangat berkatekese, dan proses pembentukan. Bahkan setelah terbentuk paroki pun peranan umat sangat penting dalam perjalanan selanjutnya sampai kini dan masa yang akan datang.
    Berdirinya Paroki St. Paulus, Pasar Baru - Padang Bulan
    Pada tahun 1975, para misionaris OFMConv., yang sudah berkarya di paroki St. Yosep – Deli Tua (mulai tahun 1968) dan Paroki “Sang Penebus” – Bandar Baru (mulai dari tahun 1971), semakin meningkat dalam jumlah dan semangat berkarya mereka. Kemudian mereka meminta kepada Uskup Medan pada waktu itu, Mgr. Ferrerius Van Den Hurk, OFMCap. lahan baru sebagai tempat menjalankan karya kerasulan di daerah yang jauh guna memperluas daerah yang sudah diserahkan kepada mereka sebelumnya.
    Oleh Mgr. Antonius Van Den Hurk, OFMCap. dipilihlah daerah pinggiran kota Medan (Padang Bulan) yang berdampingan dengan Paroki Delitua. Beliau secara resmi mengajukan untuk mengambil alih stasi misionaris St. Paulus di Pasar Baru – Padang Bulan, yang sebelumnya adalah bagian Paroki St Antonius - Hayam Wuruk, yang memiliki kira-kira 1000 umat. Akan tetapi di kemudian hari, daerah itu masih dirasakan terlalu kecil, maka diputuskan untuk mengambil sebagian dari daerah Paroki Delitua yang berdekatan dengan daerah baru tersebut, yaitu beberapa stasi yang sebelumnya menjadi bagian wilayahnya yaitu Pancur Batu dan Kutalimbaru, seluruhnya mencakup 8 stasi yang memiliki 2.500 umat. Sejak saat itulah secara resmi para misionaris OFMConv. Telah memulai karya kerasulan mereka di daerah pinggiran kota Medan, di Padang Bulan.
    Pastor Paroki yang perdana adalah P. Umberto Davoli, OFMConv. Beliau berusaha keras memberikan pelayanan yang terbaik sebagai penggerak untuk mengumpulkan semua umat Katolik dan mengaktifkan paroki baru tersebut. Akan tetapi karena kondisi kesehatannya yang memburuk, maka beliau tidak dapat bertahan lama untuk tinggal dan berkarya di tengah-tengah umat di Padang Bulan. Ia akhirnya kembali ke Italia. Setelah masa transisi yang singkat, akhirnya pada tahun 1977, P. Antonio Murru, OFMConv. dipilih sebagai pastor paroki untuk melanjutkan karya pelayanan yang sudah dimulai P. Umberto Davoli, OFMConv. P. Antonio Murru, OFMConv. menjabat sebagai parokus selama beberapa periode hingga tahun 1989. Sampai saat ini, beliau adalah pastor yang paling lama bertugas sebagai pastor paroki di Padang Bulan. Selama masa beliau menjadi pastor paroki, ia bersama dengan saudara-saudaranya OFMConv. yang lain dan para katekis awam bersama-sama membangun dan mengembangkan paroki ini sampai ke pelosok desa di luar kota Medan. Dengan berkat Allah dan kerja keras mereka, paroki ini pun berkembang secara terus menerus. Perhatiannya pada pengembangan iman, sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan masyarakat membuat banyak orang tertarik untuk menjadi Katolik. Jumlah umat, pengetahuan agama dan iman Katolik berkembang secara significant. Bahkan dari paroki ini kemudian muncul calon-calon imam, biarawan-biarawati dan guru agama. Sumbangan umat, baik secara materi maupun tenaga dan perhatian tetap mengiringi karya misi di paroki ini.
    Selain yang telah disebut di atas, ada satu hal penting lain yang perlu diingat pada masa P. Antonio Murru, OFMConv. yakni adanya rencana untuk membangun gereja baru bagi paroki. Bangunan gereja yang sederhana di Pasar Baru sudah tidak cukup untuk menampung umat dalam merayakan ibadat karena perkembangan jumlah umat yang semakin bertambah banyak. Maka direncanakanlah untuk membangun sebuah gereja paroki yang lebih besar untuk menampung umat dalam beribadat. Para pengurus gereja dan umat ternyata juga memiliki pemikiran yang sama. Maka dicarilah lokasi bagi gereja baru yang sudah direncanakan tersebut dan akhirnya dibelilah sebidang tanah di Pasar VI, Jln. Bunga Ester, Kel. Padang Bulan Selayang II, Medan. Pastoran kemudian dibangun di tanah yang baru dibeli tersebut. Namun rencana pembangunan gereja baru yang lebih besar itu tidak pernah terealisasi sampai akhir periode P. Antonio Murru, OFMConv. sebagai pastor paroki St. Paulus – Padang Bulan.
    Pastor paroki berikutnya adalah P. Salvatore Sabato, OFMConv., tahun 1989-1992, dan P. Tarcisio Centis, OFMConv. sejak tahun 1992-1996, yang secara bergantian memegang jabatan sebagai pastor paroki dengan P. Giuseppe Brentazolli, OFMConv. Pada masa ketiga pastor ini, perkembangan umat dan paroki terus berlanjut dengan metode pelayanan yang hampir sama dengan pastor paroki sebelumnya.
    Satu hal penting terjadi pada sekitar tahun 1995 yakni peletakan batu pertama bagi pembangunan gereja baru paroki di Pasar VI, yakni pada masa P. Tarcisio Centis, OFMConv. sebagai pastor paroki. Rencana yang sudah digagas oleh sebelumnya P. Antonio Murru, OFMConv. ini akhirnya mulai terealisasi. P. Antonio Razzoli, OFMConv., dipilih sebagai ketua pelaksana pembangunan sekaligus sebagai arsitek dan bendahara pembangunan. Pembangunan ini melibatkan seluruh umat, baik dalam hal dana, materi maupun tenaga dan perhatian. Dana berasal dari dana misi OFMConv. untuk misi di Indonesia, para donatur dan sumbangan umat. Gereja tersebut akhirnya selesai dibangun dan rampung pada tahun 1996. Gereja baru itu diberi nama Gereja St. Fransiskus Assisi.
    Paroki St. Paulus menjadi Paroki St. Fransiskus Assisi - Padang Bulan
    Selesainya gereja baru paroki di Pasar VI sebagaimana yang telah disebut di atas adalah peristiwa penting dalam sejarah paroki St. Paulus, Padang Bulan – Medan. Gereja St. Fransiskus Assisi tersebut pada tahun yang sama, tahun 1996, kemudian menjadi gereja induk paroki. Nama paroki kemudian menjadi Paroki St. Fransiskus Assisi, Padang Bulan – Medan (sedangkan Gereja St. Paulus, gereja paroki sebelumnya kemudian menjadi salah satu stasi dari paroki). P. Antonio Razzoli, OFMConv. kemudian menjadi pastor paroki pada tahun yang sama (1996) hingga tahun 2000.
    Paroki ini pun kemudian semakin berkembang dalam berbagai aspek hingga saat ini. Pastor paroki yang berikutnya adalah P. Simson Sitepu, OFMConv. tahun 2000-2004, P. Joseph Lesta Pandia, OFMConv. tahun 2004-2010, P. Maximilianus Kalef Sembiring, OFMConv. (2010-2021), RP. Simon Kemit, OFMConv. (2012-2013) dan RP. Andreas Elpian Gurusinga, OFMConv (2013 – sekarang).
    Hingga tahun 1993, Paroki St. Fransiskus Assisi, Padang Bulan - Medan mencakup 21 stasi dengan 11.000 umat. Kemudian menurut data statistik Keuskupan Agung Medan tahun 2009, Paroki St. Fransiskus Assisi, Padang Bulan – Medan, terdiri dari 21 stasi, dengan jumlah umat sebanyak 18.508. Perlu diperhatikan bahwa salah satu dari stasi tersebut, yaitu Stasi St. Yohanes Paulus II, Namo Pecawir, telah menjadi tempat kehormatan untuk menyambut kedatangan Bapa Paus Yohannes Paulus II pada tahun 1989 selama kunjungannya ke pulau Sumatera. Kedatangan Bapa Paus pada tahun 1989 tersebut tentu menjadi momen penting bagi umat paroki ini dan juga sangat berguna bagi perkembangan semangat hidup beriman dari umat.
    Pemekaran St. Fransiskus Assisi - Padang Bulan, Medan
    Paroki St. Maria - Tanjung Selamat
    Pada hari Minggu, tanggal 3 Agustus 1997, Stasi St. Maria Medan Permai, salah satu stasi dari Paroki St. Fransiskus Assisi, Padang Bulan – Medan, secara resmi menjadi paroki baru, dengan nama Paroki Santa Maria, Tanjung Selamat - Medan, berdasarkan Surat Keputusan (SK) No. 453/GP/KA/1997 oleh Mgr. A. G. Pius Datubara OFM Cap., Uskup Agung Medan. Stasi St. Maria Medan Permai berdiri pada bulan Oktober 1987, yang misionarisnya adalah P. Antonio Murru, OFMConv., pastor paroki ke-2 paroki St. Paulus, Padang Bulan – Medan.

    Paroki St. Yohanes Paulus, Tuntungan
    Demi pelayanan pastoral yang lebih intensif terhadap jumlah umat yang cukup banyak ini oleh ordinaris wilayah dirasa agak mendesak untuk melakukan pemekaran paroki. Maka pada tanggal 12 Oktober 2014 Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap menginaugurasi Quasi Paroki St. Yohanes Paulus II, Tuntungan.

    Kuasi Paroki St. Fransiskus Xaverius, Simalingkar B
    Minggu, 17 Juli 2016, telah dilaksanakan Inaugurasi Paroki St. Fransiskus Xaverius – Simalingkar B, Medan dengan misa yang dipimpin oleh Vikep Medan Hayam Wuruk, RP Harold Harianja OFMCap. Bersama konselebran, Parokus St. Fransiskus Assisi – Padang Bulan, RP Andreas Gurusinga, OFMConv, Parokus St. Yohanes Paulus II – Tuntungan, RP Mario Lumban Gaol OFM Conv, Parokus Simalingkar B, RD. Sebastianus Eka Bhakti Sutapa dan Pastor Rekan RD. Desman Marbun dan perwakilan Kuria, RD. Fernandus Saragi. Dengan diinaugurasikan Kuasi Paroki St. Fransiskus Xaverius, Simalingkar B, maka jumlah stasi Paroki St. Fransiskus Assisi menjadi 5.
    Paroki St. Fransiskus Assisi pada Masa Kini
    Situasi Geografis Paroki
    Situasi umum
    Wilayah Paroki St. Fransiskus Assisi Padang Bulan mencakup beberapa kecamatan di Kabupaten Deli Serdang dan Kota Madya Medan. Penduduk di setiap kecamatan ini didominasi oleh suku Karo dengan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Karo. Penduduk yang berdomisili di sekitar Kota Madya Medan umumnya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari karena penduduknya beragam etnis. Suku Batak Toba dan suku Batak Karo merupakan suku yang mendominasi di stasi kota. Selain itu terdapat juga suku-suku lain seperti Toba, Simalungun, Nias, Jawa, Cina, Flores dan lain sebagainya. Keanekaragaman suku ini disertai juga keanekaragaman agama. Agama yang dianut di beberapa kecamatan tersebut adalah Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha. Umat yang lebih dominan di wilayah ini adalah Islam dan Kristen. Kerukunan hidup beragama di tempat ini sangat dijunjung tinggi. Kerukunan beragama ini tampak dalam gaya hidup sehari-hari yaitu saling menghargai dalam merayakan hari raya keagamaan.

    Situasi Khusus
    Berdasarkan teritorial kegembalaan, Paroki St. Fransiskus Assisi Padang Bulan adalah salah satu paroki di wilayah Keuskupan Agung Medan. Para pelayan parokial di Paroki ini berdomisili di Pastoran Katolik St. Fransiskus Asisi Padang Bulan. Umat Katolik di Paroki St. Fransiskus Assisi Padang Bulan untuk rayon satu yakni stasi kota didominasi oleh suku Batak Karo dan suku Batak Toba serta sebagian kecil dari suku lain seperti Simalungun dan Nias. Rayon dua dan rayon tiga yang berada di daerah pedesaan umumnya didominasi oleh umat dari suku Batak Karo. Umat di rayon dua dan rayon tiga menggunakan bahasa Karo dalam pelaksanaan kegiatan ibadat. Umumnya mata pencaharian umat Katolik di Paroki St. Fransiskus Assisi Padang Bulan adalah bertani, pegawai pemerintahan dan pedagang.

    Keadaan Umat: Latar Belakang Sosio-Edukatif, Kultur, Religius dan Ekonomi
    Wilayah paroki Santo Fransiskus Assisi Padang Bulan, didiami orang-orang yang memiliki latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam, juga tingkat pendidikan dan ekonomi yang beragam. Suku yang berbeda seperti Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Cina, Jawa, Nias dan Flores. Keberagaman suku ini didukung dengan keunikan budaya masing-masing. Kenyataan ini menjadi suatu kekayaan yang dapat membantu memajukan gereja walau kadang menimbulkan suatu masalah sosial yang situasional. Latar belakang umat yang berbeda satu dengan yang lain turut mempengaruhi cara hidup dan cara pikir dengan sudut pandang yang berbeda dari setiap orang. Berikut ini akan diuraikan masalah situasional masyarakat di tempat ini.

    Sosio-Edukatif
    Secara umum rata-rata umat di wilayah paroki St. Fransiskus Assisi Padang Bulan pernah mengenyam pendidikan bukanlah suatu kesimpulan yang terlalu naif. Teramat sulit bagi kita untuk menemukan umat katolik yang belum melek huruf terutama di wilayah kota. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ada satu atau dua orang atau lebih yang berada di lingkungan pedesaan yang belum melek huruf. Masa pendidikan tentu mempunyai jenjang yang berbeda dimulai dari jenjang pendidikan paling awal yakni Taman Kanak-kanak, jenjang Sekolah Dasar sampai pada jenjang tertinggi (doktorat).

    Di stasi wilayah kota seperti Pasar VI, Pasar Baru, Simpang Kuala, Perumnas Simalingkar, Simalingkar B, Simpang Selayang sebagian besar umat telah mengenyam pendidikan di sekolah menengah umum, pendidikan tinggi bahkan tertinggi. Ini dilihat dari mata pencaharian mereka yang lebih dominan bertugas sebagai guru, dosen, pengawas, pegawai pemerintah, pegawai perusahaan dan direktur perusahaan bahkan ada yang duduk di kursi parlemen. Selain itu ada juga yang sudah mengantongi gelar sarjana yang bekerja bukan di instansi pemerintahan atau swasta melainkan berwiraswata tanpa menutup kenyataan bahwa ada yang bekerja serabutan dan pengangguran. Bila dipersentasekan lebih dari 70% umat pernah mengenyam pendidikan sarjana, terlepas dari tamat atau tidak tamat. Selebihnya hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Sedangkan di wilayah pedesaan jenjang pendidikan yang lebih dominan adalah tingkat Sekolah Dasar dan Menengah.

    Tingkat pendidikan yang berbeda inilah yang membuat gaya pemikiran umat berbeda-beda. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi mereka yang berkehendak untuk memajukan paroki, terutama bagi para tenaga pastoral. Mereka dituntut untuk belajar dan belajar mengisi pengetahuan mereka guna mengimbangi pengetahuan yang semakin hari semakin berkembang dan untuk mencari terobosan-terobosan yang berdayaguna serta tepat bagi kemajuan bersama. Paradoks bahwa ada umat yang pemikirannya sungguh maju sedangkan masih ada umat yang gaya pemikirannya masih ‘terbelakang’. Salah satu contoh adalah dalam hal penyampaian kabar gembira. Tidak jarang muncul unek-unek yang kurang membangun dari umat walau khotbah sudah dipersiapkan dengan baik.

    Sosio-Kultur
    Kebudayaan di wilayah Paroki Santo Fransiskus Assisi – Padang Bulan, cukup bervariasi. Kebudayaan yang bervariasi ini tampak dari beberapa suku yang mendiami wilayah paroki Santo Fransiskus dari Assisi – Padang Bulan. Suku-suku yang dimaksud adalah suku Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Nias, Cina, Jawa, Melayu dan Flores. Suku Batak Karo dan Batak Toba merupakan suku yang dominan karena memiliki jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan suku-suku yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa budaya yang lebih dominan adalah budaya Batak Karo dan Batak Toba.
    Keragaman budaya ini memberikan pengaruh yang positif bagi kehidupan menggereja. Di satu sisi keragaman budaya ini, yang pada dasarnya adalah baik, turut memberi warna dalam kehidupan menggereja. Saling melengkapi untuk membangun iman umat menuju suatu bonum Communae, yang dengan gaya bahasa Gereja sekarang adalah menuju Habitus Baru. Di sisi lain, keragaman budaya ini menjadi suatu tantangan bagaimana memformatnya sebagai suatu kekuatan membangun hidup persaudaraan dan hidup menggereja. Menyatukan berbagai budaya untuk melahirkan kata sepakat bukanlah suatu perkara yang mudah. Di stasi tertentu di wilayah paroki Santo Fransiskus Asisi Padang Bulan ini muncul persoalan budaya yang mempengaruhi keberimanan seseorang. Misalnya dalam pemilihan pengurus dewan stasi.
    Sosio-Religius
    Religiusitas umat beriman secara kuantitas boleh dikatakan sangat baik. Hal ini terlihat dari data-data statistik umat paroki yang setiap tahun memperoleh penambahan jumlah umat. Dari segi kualitas sepertinya kenyataan ini tidak berbanding lurus dengan data kuantitas dalam menghidupi iman itu. Banyak faktor yang turut mempengaruhi terjadinya hal ini. Kurangnya pemahaman umat akan agama dan Gereja merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang menyebabkannya. Lebih kasat mata dapat dilihat dalam persentase kehadiran umat ke gereja baik di stasi-stasi kota maupun di stasi-stasi pedesaan.
    Di stasi, keterlambatan umat untuk hadir ke gereja kebanyakan dipengaruhi oleh kegiatan pribadi baik itu bisnis ataupun kesibukan lain. Kesibukan-kesibukan pribadi itulah yang lebih mendominasi karena kehidupan menggereja sepertinya belum menjadi suatu kebutuhan bagi sebagian orang. Pengetahuan umat tentang agama dan Gereja yang belum mendalam membuat mereka lebih banyak hadir di gereja saat petugas pastoral mengunjungi stasinya. Selain itu, pribadi yang menjadi pengurus dewan stasi sebagian besar belum memiliki pengetahuan yang cukup sesuai kebutuhan stasi. Dengan kata lain mereka menjadi pengurus gereja karena mau bukan karena memiliki kompetensi yang cukup. Oleh karena itu para pengurus masih perlu diberikan pembekalan dan pendampingan dalam banyak hal, seperti pendalaman Kitab Suci, kepemimpinan, dan pedoman pastoral Gereja dan Keuskupan.
    Doa lingkungan secara umum sudah lancar meskipun ada lingkungan / stasi-stasi tertentu yang kurang memperhatikan hal ini. Paroki juga memprogramkan doa lingkungan pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan bahan yang telah dipersiapkan ke setiap lingkungan atau stasi. Doa lingkungan yang diprogramkan dari paroki khususnya pada bulan Maria, Bulan Rosario, bulan Kitab Suci Nasional, dan Masa Prapaskah. Kegiatan kategorial mudika masih dalam proses perkembangan.
    Sosio-Ekonomi
    Ekonomi merupakan masalah yang paling mendasar dalam membangun iman umat. Hal ini berlaku tidak hanya bagi umat yang berekonomi lemah tetapi juga umat yang berekonomi mapan mengingat tuntutan perekonomian tidak pernah sampai pada taraf yang memuaskan bagi manusia. Hal ini berlaku juga bagi umat katolik di wilayah paroki Padang Bulan. Keadaan ekonomi yang kerap kurang berpihak kepada mereka yang tidak memiliki modal membuat mereka harus bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, terutama kebutuhan hidup yang peling mendasar. Memang bagi sebagain umat yang berekonomi mapan, kenyataan demikian tidaklah terlalu mempengaruhi kehidupan keberimanannya. Akan tetapi bagi umat yang tingkat perekonomiannya mendekati pas-pasan atau rendah, kenyataan demikian turut mempengaruhi kehidupan menggereja mereka. Ada umat merasa kurang nyaman hadir ke gereja karena kewajibannya sebagai warga gereja belum tertutupi. Akhirnya memutuskan non aktif dari kegiatan gereja untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
    Paroki St. Fransiskus Asisi Menuju Destinasi Wisata Rohani dengan Kehadiran Gua Maria Ratu Segala Bangsa
    04 Oktober 2022, bertepatan dengan pesta pelindung Paroki St. Fransiskus Assisi dan 25 tahun berdirinya Gedung Gereja Paroki, Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap, memberkati dan meresmikan Gua Maria Ratu Segala Bangsa. Gua Maria tersebut kini menjadi salah satu destinasi rohani.
    Stasi-stasi di Paroki
    1. Stasi Santo Laurensius, Simpang Selayang
    Stasi St. Laurensius Simpang Selayang berdiri pada tahun 1966, jumlah umat pada saat itu 38 (tiga puluh delapan) kepala keluarga. Pada saat itu gedung gereja belum ada dan masih menumpang di gedung Sekolah Dasar Negeri yang ada desebelah sisi kanan gereja sekarang. Saat itu (tahun 1966) gereja masih jarang, hanya ada di Hayam wuruk ( St. Antonius) dan Gereja Katolik Pancur Batu yang sangat jauh dari Simpang Selayang. Sehingga gereja di Simpang Selayang sangat dibutuhkan, karena umatnyapun semakin bertambah, maka waktu itu sekalipun meminjam gedung sekolah harus dilakukan untuk dapat melayani umat Katolik di Simpang Selayang.
    Tahun 1968 bulan maret, dilaksanakan Permandian yang pertama, dan pada tahun itu mulailah dibangun Gereja semi permanen (setengah batu, setengah kayu) dengan ukuran 9m x 12m, imam yang berkarya saat itu adalah Pastor Frans Sitepu. Pada tahun 1978 umat semakin bertambah menjadi 180 KK, maka renovasi gereja dilaksanakan lagi menjadi lebih besar dengan bentuk seperti Payung oleh Pastor Antonio Murru, OFMConv.
    Pada tahun 1989 umat semakin bertambah menjadi 280 KK, dan oleh Pastor Antonio Murru, OFMConv dan Pastor Antonio Razoli, OFMConv., Gereja Simpang Selayang di Renovasi kembali menjadi lebih besar yang dapat menampung umat ± 600 jiwa (gereja sekarang). Saat ini umat di Stasi St. Laurensius Simpang Selayang sudah mencapai 446 KK, dengan jumlah 1875 jiwa dengan perincian 1667 dewasa, remaja 74, balita 134. Kondisi ini juga menjadi perhatian seluruh umat, pengurus gereja dan Pastor Paroki. Saat ini untuk pengembangan gereja di Stasi Simpang Selayang sudah dibentuk Panitia Pembangunan/Pengadaan pertapakan gereja. Panitia ini sekarang sudah dapat membeli sebidang tanah pertapakan gereja seluas ± 2.100 m², dengan dana dari swadaya umat yang berlokasi di daerah Jl. Bunga Pancur IX Pokok Mangga Medan.
    Kaitan nama pelindung dengan harapan dan cita-cita serta visi-misi stasi. Gereja berjuang untuk memupuk kesatuan dan persaudaraan cinta kasih ditengah umat didalam kesetiaan kepada Kristus. Secara Geografis gereja Katolik Stasi St. Laurensius Simpang selayang bereda di sebelah Selatan kota medan, tepatnya di jalan Jamin Ginting Km 11,7 dengan batas wilayah sebagai berikut:
    Sebelah Barat berbatasan dengan Paroki St. Maria
    Sebelah Timur berbatasan dengan Stasi Pancur Batu
    Sebelah Utara berbatasan dengan Stasi Pasar VI St Fransiskus Assisi Padang Bulan
    Sebelah Selatan berbatasan dengan Stasi Perumnas Simalingkar/Simalingkar B
    Secara Demografi umat di Stasi Simpang Selayang berasal dari 4 (empat) kelurahan, yaitu: kelurahan Simpang Selayang, kelurahan Kemenangan Tani, kelurahan Laucih, Kelurahan Mangga yang berada di kecamatan Medan Tuntungan. Mata pencaharian penduduk adalah PNS, Wiraswasta, Pegawai Swasta, Pedagang, Petani dan buruh. Persentasi suku masyarakat sekitar: suku karo 72%, suku lain 28% dan persentasi suku umat: suku Karo 82%, suku lain 18%.
    Pengaruh budaya terhadap kebijakan dan program Stasi berjalan dengan baik didalam semangat kesatuan umat. Keadaan perekonomian umat dengan praktek keimanannya sudah berjalan semakin baik, yang selalu mendukung program-program kerja pengurus gereja baik dalam pelaksanaan perayaan-perayaan gereja, terlibat dalam pembangunan stasi-stasi, dll.
    Jumlah kepala keluarga saat ini 446 KK, jumlah jiwa 1875 orang dengan persentasi perkembangan umat setiap tahun 6%.
    Yang menjadi kesulitan, tantangan dan harapan dalam membangun dan mengembangkan penghayatan iman umat adalah keterbatasan media/informasi dalam berkatekese dan kesadaran seluruh umat dan pengurus untuk terlibat aktif dalam hidup menggereja.
    2. Stasi St. Theresia, Perumnas Simalingkar
    Walaupun pada tahun 1986 Perumnas Simalingkar sudah mulai dihuni oleh para penduduk baru, namun Umat Katolik belum terkumpul (antara yang satu dengan yang lain belum saling mengenal). Hal tersebut berlangsung sampai dengan bulan Agustus 1987. Didorong oleh rasa persatuan dan cinta kasih, maka pada bulan September 1987 umat katolik Perumnas Simalingkar mulai saling mencari, sehingga pada bulan itu juga perkumpulan doa sudah mulai terlaksana walaupun masih berstatus lingkungan, yaitu lingkungan Perumnas Simalingkar Stasi St. Petrus Simpang Kuala dan Ketua Lingkungannya adalah Bapak M. Simbolon.
    Pada bulan Oktober 1987 umat Katolik Perumnas Simalingkar mulai mengadakan Kebaktian mingguan yang pelaksanaannya diadakan di rumah-rumah umat secara bergantian yaitu:
    1. Minggu I di rumah Bapak AM. Rumapea (Jl. Nyiur 7 No. 19).
    2. Minggu II di rumah Bapak TA. Dachi (Jl. Teh 10 No. 26).
    3. Minggu III di rumah Bapak HK. Purba (Jl. Teh 1 No. 27).
    4. Minggu IV di rumah Bapak P. Tarigan (Jl. Nyiur Raya II No. 24).
    5. Minggu V di rumah Bapak B. Simatupang (Jl. Teh 5 No. 16).
    Sehingga pada tahun 1988 Perumnas Simalingkar resmi menjadi satu Stasi, Vorhagernya ialah Bapak M. Simbolon. Stasi muda ini terdiri dari 4 lingkungan yaitu:
    1. Lingkungan 1 terdiri dari Jalan Kopi, Jalan Karet, dan Jalan Coklat, Ketua lingkungannya adalah Bapak S. Sinambela.
    2. Lingkungan 2 terdiri dari Jalan Teh, Jalan Sawit, dan Jalan Nyiur, Ketua Lingkungannya adalah Bapak HK. Purba.
    3. Lingkungan 3 terdiri dari Jalan Cengkeh, Jalan Pala, dan Jalan Lada. Ketua Lingkungannya adalah Bapak Drs. B. Ginting.
    4. Lingkungan 4 terdiri dari Jalan Damar, Jalan Rotan, Jalan Jati, dan sebahagian jalan Pala, Ketua Lingkungannya adalah Bapak Ir. A. Pinem.
    Pada tanggal 25 Desember 1987 umat Stasi Perumnas Simalingkar merayakan Perayaan Natal I yang diadakan di rumah Bapak Drs. HK. Purba Jalan Teh 1 No. 27 yang dihadiri juga oleh Pastor Paroki Padang Bulan pada saat itu adalah Pastor Antonio Murru.
    Karena Umat Katolik Perumnas Simalingkar terus bertambah sehingga kebaktian gereja tidak memungkinkan lagi dilaksanakan di rumah umat. Maka sejak bulan September 1988 kebaktian Gereja diadakan dirumah Bapak S. Sinambela jalan Karet 18 No. 37, hal ini dirasa memungkinkan karena rumah dimaksud terdiri dari 2 unit dan tempat inilah Natal II dirayakan.
    Pada tahun 1988 umat katolik Perumnas Simalingkar bertambah dengan cepat, dengan dibukanya Perumnas Simalingkar fase B. Umat yang berdomisili di fase B ini seluruhnya masuk ke dalam Lingkungan 2.
    Dengan perkembangan umat yang sangat cepat pembentukan Panitia pembangunan gereja katolik Perumnas Simalingkar dianggap mendesak, sementara irama dari umat masih berbeda maka pada tahun 1989 Panitia terbentuk untuk mempercepat pengumpulan dana pembangunan gereja dengan formulasi:
    Ketua : Letkol. Leo Hutabarat, SH
    Sekretaris : Drs. HK. Purba
    Bendahara : Ir. P. Tarigan

    Terbentuknya panitia ini adalah berdasarkan spontanitas dengan tujuan agar pembangunan gereja cepat terlaksana, panitia dimaksud bukanlah hasil usulan atau berdasarkan hasil rapat umat. Panitia setengah resmi ini semata-mata bertujuan untuk mengumpulkan dana pembangunan gereja dari luar.
    Pada tahun 1990 Dewan Paroki Padang Bulan mengeluarkan SK No. 32/PB/90 tentang Pengurus Gereja stasi St. Theresia dengan formulasi sebagai berikut:
    Vorhanger : Bapak M. Simbolon
    Wakil Vorhanger I : Bapak AST. Situmorang
    Wakil Vorhanger II : Bapak JF. Waruru
    Ketua Dewan Sosial/Jasmani : Bapak Drs. E.P. Tinambunan
    Ketua Dewan Sosial/Jasmani I : Bapak Ir. P. Tarigan
    Ketua Dewan Sosial/Jasmani II : Bapak S. Sinambela
    Sekretaris : Bapak F.F Waruru
    Sekretaris I : Bapak Drs. HK. Purba
    Sekretaris II : Bapak Drs. A. Situmorang
    Bendahara : Bapak AM. Rumapea
    Bendahara I : Bapak AG. Sitepu
    Bendahara II : Bapak U. Sianipar.
    Setelah beberapa pengurus gereja dan umat antara lain M. Simbolon, Hw. Paulus, S. Sinambela serta yang lain-lainnya mengadakan berbagai usaha untuk memperoleh pertapakan gereja yaitu dengan menghubungi kantor Perum perumnas Simalingkar, kantor Perum Perumnas Helvetia, kantor Walikota Medan, kantor Kesra Wilayah II malah sampai menyurati Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia maka pihak yang berwewenang memberikan pertapakan gereja untuk umat Katolik perumnas Simalingkar Medan yang terletak di Jalan Tembakau 17/Jalan Kemenyan Raya ujung. Dan pada tanggal 15 April 1990 peletakan batu pertama diadakan yang dihadiri juga oleh yang mulia Uskup Agung Medan MGR. AGP. Datubara. Sesuai dengan SK Dewan Paroki No. III/DP/93 pada tanggal 19 Juni 1993 Vorhanger Stasi perumnas Simalingkar mengalami pergantian, yakni dari Bapak M. Simbolon kepada Bapak S. Pandia yaitu mantan Vorhanger dari stasi Simpang Selayang.
    Pada tahun 1993 susunan Kepanitiaan dalam usaha pembangunan gereja Katolik perumnas Simalingkar kembali berubah yaitu langsung ditangani oleh Dewan Stasi dengan formulasi sbb:
    Ketua : Bapak S. Pandia
    Wakil Ketua : Bapak S. Sinambela
    Sekretaris : Bapak F.F. Waruru
    Wakil Sekretaris : Bapak K. R. Tamba
    Bendahara : Bapak B. B Sembiring
    Wakil Bendahara : Ny. AM. Rumapea
    Anggota : AST. Situmorang Ir. P. Tarigan
    Pada tahun 1994 (keadaan September 1994) jumlah lingkungan di stasi Perumnas Simalingkar Medan St. Theresia adalah sebanyak 8 Lingkungan yaitu:
    1. Lingkungan St. Petrus dengan jumlah umat 50 KK dan Ketua Lingkungan adalah Bapak U. Sianipar.
    2. Lingkungan St. Yosep jumlah umat 31 KK dan Ketua Lingkungan Bapak Drs. D. Simbolon.
    3. Lingkungan St. Yohanes jumlah umat 43 KK dan Ketua Lingkungan Bapak B. Ginting.
    4. Lingkungan St. Antonius jumlah umat 54 KK dan Ketua Lingkungan Bapak Leonard Munthe.
    5. Lingkungan St Sebastianus jumlah umat 55 KK dan Ketua Lingkungan Drs. M. Tarigan.
    6. Lingkungan St. Maria jumlah 30 KK dan ketua Lingkungan Bapak AG. Sitepu.
    7. Lingkungan St. Mikael jumlah umat 60 KK dan Ketua Lingkungan M. Manalu.
    8. Lingkungan St. Fransiskus jumlah umat 25 KK dan Ketua Lingkungan Drs. J. Simanjorang.
    Jumlah umat sampai pada bulan September 1994 adalah 348 KK dan diperkirakan 1392 jiwa. Dengan perkembangan yang begitu pesat data Gereja St. Theresia pada tahun 2015 terdiri dari 21 Lingkungan dengan 665 KK dan perkiraan 2500 jiwa.
    3. Stasi Santo Petrus Simpang Kuala
    Gereja Katolik St. Petrus Simpang Kuala berdiri tahun 1956 dengan jumlah umat sekitar 20 KK. Gereja ini berdiri diatas tanah yang dibeli oleh Keuskupan (Uskup Mgr. AGP Datubara ) dengan ukuran 8 x 12 m yang terletak di Jln. Pintu Air IV Gg. Pertama (lorong V) Simpang Kuala Medan. Kurang lebih 10 tahun umat memakai gereja ini, seturut perkembangan jaman dan bertambahnya jumlah umat, maka disepakatilah untuk memindahkan lokasi gereja dan mencari lokasi baru. Lokasi gereja lama dijual kepada keluarga Pandiangan dan hasil penjualan pertapakan gereja tersebut dipergunakan untuk membeli tapak gereja baru yaitu di Jl. Luku I No. 1 Medan. Sekitar 2 tahun gereja yang lama masih tetap dipakai untuk beribadah setiap hari minggunya walaupun sudah dijual, menunggu pengumpulan dana dan pembangunan gereja dilokasi yang baru. Dengan berbagai upaya dan kerjasama umat yang pada waktu itu sangat bersemangat untuk dapat beribadah di lokasi gereja yang baru, maka umatpun dengan bersusah payah bekerja dengan sukarela dan mencari donator untuk penyelesaian gereja tersebut, kurang lebih 1 tahun gereja inipun selesai dibangun dengan semi permanen dan ukuran luas bangunan yang sempit. Nama simpang kuala hingga sekarang masih tetap dipakai adalah bermaksud untuk mengenang asal gereja yang lama.
    Pada tahun 1968, umat pindah ke Jl. Luku dengan gereja yang sangat sederhana dengan tiang bambu, dingding tepas dan atap rumbia. Tahun 1972, gereja dibangun dengan semi permanen (setengah batu) bentuk salib (kecil di depan dan melebar ke kiri dan ke kanan), di bawah paroki Katedral Jl. Pemuda. Tahun 1990 pembangunan secara permanen dimulai oleh umat dengan Pastor Antoni Murru dengan tidak mengganggu bangunan lama tetap ditengah bangunan baru, setelah bangunan baru selesai, maka bangunan lama dibongkor disinilah istilah Tigor Pulos yang hanya orang-tua pendahulu yang mengerti apa artinya dan Tigor Pulos ini langsung dari uskup Mgr. AGP. Datubara. Karena pada masa pembangunan inilah terjadi masalah dengan umat muslim sekitar lokasi gereja Jl. Luku yang menolak pembangunan gereja tersebut. Untuk memperjuangkan pembangunan gereja ini, ada umat yang ditangkap dan dipenjarakan di Tebing Tinggi (Deli Serdang) demi berdirinya gereja ini. Dari tahun 1972 hingga sekarang, gereja St. Petrus Sp. Kuala sudah mengalami beberapa kali renovasi, dan terakhir tahun 2012 yaitu penambahan balkon gereja di bahagian depan dekat pintu masuk dan menara gereja. Renovasi ini dilakukan bertujuan untuk menampung umat yang dari tahun ke tahun mengalami pertamhan yang sangat pesat yaitu sekitar 17 lingkungan dengan jumlah umat 650 KK.
    Pada tahun 2013, Gereja St. Petrus Simpang Kuala dimekarkan menjadi 2 stasi yaitu Stasi baru Gereja Santo Yosep Gedung Johor, dengan pengurangan 3 Lingkungan yaitu kurang lebih sebanyak 130 KK. Sejak saat itu, Stasi Sp. Kuala tinggal 14 lingkungan lagi dengan jumlah umat kurang lebih 500 KK. Kehadiran umat setiap minggu berkisar kurang lebih 60% dan lebih didominasi oleh kaum ibu-ibu/perempuan. Kelompok kategorial yang ada sekarang yaitu : kelompok Ibu-ibu, Bapak-bapak, Lansia, OMK, AREKA, dan BIA. Kelompok bapak-bapak pernah meraih juara II Koor pada Perayaan Paskah se-Paroki Padang Bulan tahun 2012, dan Stasi St. Petrus pernah menjadi juara 1 Koor pada Perayaan Natal 6 Paroki se –Konventual di Delitua.
    4. Stasi St. Paulus, Pasar Baru
    Gereja Santo Paulus Pasar Baru beralamat di Jalan Pasar Baru No. 27 Padang Bulan Medan, berdiri sejak tahun 1968 di bawah Paroki Hayam Wuruk, yang dipelopori oleh Pastor Brans Van Hag. Pada tahun 1975 gereja Santo Paulus Pasar Baru resmi berkembang dan diserahkan ke Ordo Konventual serta ditetapkan sebagai gereja Paroki Padang Bulan Medan. Menurut Pastor Brans, gereja ini merupakan replica dari gereja Katolik Kabanjahe dengan jumlah umat + 100 KK dengan wilayah layanan penggembalaan dari simpang kampus USU sampai dengan Komplek Rumah Sakit Jiwa Tuntungan.
    Sejalan dengan semakin padatnya gereja saat missa dan perkembangan umat Katolik di wilayah Padang Bulan Medan sekitarnya, akhirnya pada tahun 1998 Gereja Paroki Padang Buolan dipindahkan ke Pasar VI dengan dibangunnya gereja yang baru yang dipelopori oleh Pastor Razoli. Gereja Pasar Baru ditutup dan tidak dipergunakan lagi, seluruh kegiatan berpusat di gereja yang baru tersebut.
    Selanjutnya setelah beberpa tahun kosong, Uskup Agung Medan Pius Datubara pada saat itu, berkeinginan agar gereja Pasar Baru yang tidak dipergunakan lagi tersebut dijadikan sebagai perpustakaan dan poliklinik bagi para suster. Namun umat gereja Pasar Baru yang lama bersama dengan Pastor Simson Sitepu, dengan alasan jarak yang semakin jauh dan sulitnya transportasi ke gereja Paroki di Pasar VI, meminta kepada Uskup agar memperkenankan gereja Pasar Baru tersebut dapat dipergunakan kembali sebagai tempat ibadah dan ditetapkan sebagai gereja Stasi. Setelah melalui perjuangan dann usaha maka pada tahun 2002 gereja Pasar Baru kembali dijadikan sebagai tempat kebaktian dan ditetapkan sebagai gereja stasi Santo Paulus Pasar Baru dengan jumlah umat + 150 KK, wilayah layanan mulai dari simpang kampus USU sepanjang Jalan Jamin Ginting sampai dengan Perumahan Citra Garden.
    Gereja Pasar Baru kembali berbenah melengkapi semua peralatan untuk kebaktian mengingat semua peralatan gereja sebelumnya telah disumbangkan kepada gereja yang membutuhkan karena gereja Pasar Baru tidak dipergunakan lagi. Akhirnya pada tahun 2010, diputuskan gereja Pasar Baru dibangun kembali secara totral dengan swadaya umat dan bantuan donatur. Saat ini tahun 2015 gereja Santo Paulus Pasar Baru telah selesai dibangun dan masih dalam tahap finishing.
    Umat gereja Stasi Santo Paulus tidak mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ketahun, disebabkan umat merupakan orang lama yang sudah berumur. Orang tua tersebut banyak yang sudah meninggal, namun anak-anaknya banyak yang merantau sehingga pertambahan umat tidak mengalami peningkatan yang nyata. Saat ini gereja Stasi Santo Paulus Pasar Baru, banyak dikunjungi oleh mahasiswa untuk kebaktian pada hari minggu dan pada waktu hari-hari besar keagamaan gereja Katolik, hal ini terutama disebabkan karena gereja ini relative mudah diakses oleh transportasi umum. Saat ini gereja Santo Paulus Pasar Baru terdiri dari 5 (lima) Lingkungan.
    Kelompok kategorial yang ada di Stasi saat ini yaitu : Ibu-ibu Stasi, OMK, Raka/Mesdinar dan kelompok Lansia.
    5. Stasi St. Yosep, Gedung Johor
    Gereja Katolik Santo Yosep Gedung Johor merupakan Stasi termuda yang bernaung di bawah Paroki St. Fransiskus Assisi Padang Bulan, Keuskupan Agung Medan. Stasi Santo Yosep adalah merupakan pemekaran dari Stasi St. Petrus Simpang Kuala Medan. Sebanyak 3 lingkungan umat Stasi Santo Petrus Sp. Kuala ( kurang lebih 131 KK) disatukan menjadi satu untuk membentuk Stasi baru yaitu Stasi Santo Yosep Gedung Johor pada tanggal 01 Januari 2014, sesuai dengan Surat Keputusan St. Fransiskus Assisi Pada Bulan Nomor:30/PBB/SK/2014 yang ditanda tangani oleh Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap.
    Pembentukan Gereja Stasi Santo Yosep ini berawal dari kerinduan umat Katolik yang berada di kawasan Gedung Johor yang selama ini beribadah bersama dengan Suster-suster KSSY dan anak-anak Panti Asuhan Karya Murni di Kapel Karya Murni walaupun sebenarnya secara administratif umat 3 lingkungan yang berada di kawasan gedung johor ini terdaftar di Stasi Santo Petrus Sp. Kuala namun umumnya mereka pada setiap hari minggunya sudah beribadah di Kapel Susteran KSSY bersama dengan para Suster-suster dan Panti Asuhan Karya Murni. Seiring dengan pesatnya perkembangan umat Katolik yang berada di Kawasan Gedung Johor serta untuk meningkatkan pelayanan pastoral kepada umat, maka sangat dipandang perlu untuk membentuk satu Stasi baru. Karena belum memiliki Gereja sendiri, maka hingga sekarang umat Stasi Santo Yosep masih beribadah di Kapel Susteran KSSY Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor.
    Jumlah umat Stasi Santo Yosep saat ini kurang lebih 131 KK dan jumlah umat sebanyak 518 jiwa. Untuk menampung umat yang beribadah setiap minggunya, Gedung Kapel yang hanya mampu menampung kurang lebih 250 jiwa, sementara umat yang hadir rata-rata setiap minggunya mencapai 650 orang (para Suster-suster, anak panti asuhan karya murni dan asrama putrid) ini sudah tidak mampu lagi untuk menampung umat sebanyak itu sehingga, separuh dari umat yang beribadah tersebut harus berada diluar Kapel yang sudah diberi teratak. Untuk kemandirian umat Stasi Santo Yosep dalam beribadah, maka pada tahun 2014 telah dibentuk panitia pembangunan gedung Gereja Stasi Santo Yosep Gedung Johor disekitar lokasi tanah milik Suster KSSY. Suster KSSY telah bersedia memberi tanah milik mereka dengan ganti rugi.
    Pada tanggal 3 Desember 2017, Gereja Katolik St. Yosep diberkati oleh Mgr. Anicetus B. Sinaga. Dengan demikian, umat Katolik stasi St. Yosep Gedung Johor berpindah ke Gereja yang baru untuk melaksanakan ibadat.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :
    Artikel sebelumnya
    Artikel selanjutnya

    JADWAL USKUP & VIKJEN KAM

    KALENDER LITURGI

    Terbaru