LETAK GEOGRAFIS
Pada awal berdirinya Paroki St Lusia Salak memiliki tiga wilayah pelayanan yakni Kabupaten Pakpak Bharat, Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil. Di Kabupaten Pakpak Bharat ada 12 stasi, Kota Subulussalam satu stasi dan di Kabupaten Aceh Singkil satu stasi. Pada 30 Agustus 2020 Stasi Penanggalan (di wilayah Kota Subulussalam) dan Stasi Mandumpang (di wilayah Kabupaten Aceh Singkil), oleh kebijakan Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung OFM Cap secara resmi diserahkan wilayah kegembalaan kepada Keuskupan Sibolga. Dengan demikian, saat ini, wilayah kegembalaan Paroki St Lusia Salak hanya meliputi Kabupaten Pakpak Bharat.
SEJARAH BERDIRI DAN KEADAAN UMAT
Gereja Katolik Paroki St Lusia Salak merupakan hasil pemekaran dari Paroki Maria Pertolongan Orang Kristen Sidikalang. Sejak tahun 2011, tepatnya 11 Agustus 2011, Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFM Cap menetapkan wilayah ini menjadi Kuasi Paroki. Pada tahun 2015 lewat Surat Keputusan Uskup Keuskupan Agung Medan, RP Mandius Siringringo OCarm resmi menjadi Pastor Kuasi Paroki ini. Setelah tujuh tahun menjadi Kuasi Paroki, tepatnya tanggal 22 Juli 2018, bertepatan dengan Pesta Bakti Budaya Pakpak yang dirayakan oleh seluruh umat Katolik se-Kuasi Paroki St Lusia Salak, Mgr Anicetus Bongsu Sinaga, OFM Cap mengumumkan secara resmi berdirinya Paroki St Lusia Salak. Pada tahun 2019 terjadi pergantian Pastor Kepala Paroki dari RP Mandius Siringoringo O’Carm kepada RP Yoakhim Lako O’Carm. Vikaris Parokial yang pernah melayani Paroki ini adalah RP Kardiaman Simbolon O’Carm, RP Marcelinus Monang Sijabat O’Carm, dan yang sedang bertugas saat ini RP Sohmon Ranja Capah O’Carm. Pada tanggal 12 Desember 2021, Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung melantik Dewan Pastoral Paroki Periode 2021 – 2026.
Dalam rentangan waktu antara 2011 sampai dengan 2018 sebagai Kuasi Paroki, tepatnya akhir Desember 2017, berdiri satu stasi yakni Stasi Simarpara yang berpelindungkan St Fransiskus Asisi. Dan pada tahun 2019 berdiri satu stasi lagi hasil dari pemekaran Stasi Simperbung, yakni Stasi Kuta Ujung.
Umat Paroki St Lusia Salak pada umumnya bersuku Pakpak Simsim. Selain itu ada juga bersuku Pakpak tapi dari suak yang berbeda. Sekedar sebagai catatan Suku Pakpak terdiri dari lima Suak yakni, Suak Simsim, Suak Boang, Suak Kelasen, Suak Pegagan dan Suak Keppas. Ada juga umat yang berasal dari Batak Toba, Batak Karo dan juga Nias. Dalam kegiatan gereja pada umumnya menggunakan bahasa Pakpak; dua stasi yakni Stasi Lae Marempat dan Stasi Bagindar menggunakan bahasa Toba. Saat ini, Paroki St Lusia Salak memiliki 4 lingkungan di Gereja Paroki dan 14 Stasi.
Di wilayah Paroki St Lusia Salak juga berdiri Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di bawah yayasan St Don Bosko. Sekolah Dasar yang berpelindungkan St Vinsensius berdiri tahun 2015. Pada tahun 2021, oleh permohonan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dan masyarakat sekitar, Yayasan St Don Boskon mendirikan Sekolah Menengah Pertama yang berpelindungkan St Yosef. Kongregasi yang dipercayakan untuk melayani proses pendidikan di SD St Vinsensius dan SMP St Yosef adalah KSSY.
TOKOH PELINDUNG: SANTA LUSIA
Lusia lahir di Sirakusa, di pulau Sisilia, Italia pada abad ke-4. Orangtuanya adalah bangsawan Italia yang beragama Kristen. Ayahnya meninggal dunia ketika dia masih kecil, sehingga perkembangan dirinya sebagian besar ada dalam tanggungjawab ibunya Eutychia. Semenjak usia remaja, Lusia sudah berikrar untuk hidup suci murni. Ia berjanji tidak menikah. Namun ketika sudah besar, ibunya mendesak dia agar mau menikah dengan seorang pemuda kafir. Hal ini ditolaknya dengan tegas. Pada suatu ketika ibunya jatuh sakit. Lusia mengusulkan agar ibunya berziarah ke makam Santa Agatha di Kathania untuk memohon kesembuhan. Usulannya ditanggapi baik oleh ibunya. Segera mereka ke Kathania. Apa yang dikatakan Lusia ternyata benar-benar dialami oleh ibunya. Doa permohonan mereka dikabulkan: sang ibu sembuh. Bahkan Santa Agatha sendiri menampakkan diri kepada mereka berdua. Sebagai tanda syukur, Lusia diizinkan ibunya tetap teguh dan setia pada kaul kemurnian hidup yang sudah diikrarkannya kepada Kristus.
Kekaisaran Romawi pada waktu itu diperintah oleh Diokletianus, seorang kaisar kafir yang bengis. Ia menganggap diri keturunan dewa; oleh sebab itu seluruh rakyat harus menyembahnya, atau menyembah patung dewa-dewa Romawi. Umat Kristen yang gigih membela dan mempertahankan iman menjadi korban kebengisan Diokletianus. Mereka ditangkap, disiksa dan dibunuh. Situasi ini menjadi kesempatan emas bagi pemuda-pemuda yang menaruh hati pada Lusia namun ditolak lamarannya: mereka benci dan bertekad membalas dendamnya dengan melaporkan identitas keluarga Lusia sebagai keluarga Kristen kepada kaisar. Kaisar termakan laporan ini sehingga Lusia pun ditangkap; mereka merayu dan membujuknya dengan berbagai cara agar bisa memperoleh kemurniannya. Tetapi Lusia tak terkalahkan. Ia bertahan dengan gagah berani. Para musuhnya tidak mampu menggerakkan dia, karena Tuhan memihaknya. Usahanya untuk membakar Lusia tampak tak bisa dilaksanakan. Akhirnya seorang algojo memenggal kepalanya sehingga Lusia tewas sebagai martir Kristus oleh pedang seorang algojo kafir.
Lusia dihormati di Roma, terutama di Sisilia sebagai perawan dan martir yang sangat terkenal sejak abad ke-6. Untuk menghormatinya, dibangunlah sebuah gereja di Roma. Namanya dimasukkan dalam Doa Syukur Agung Misa. Mungkin karena namanya berarti “cahaya” maka pada Abad Pertengahan orang berdoa dengan perantaraannya memohon kesembuhan dari penyakit mata. Konon, pada waktu ia disiksa, mata Lusia dicungkil oleh algojo-algojo yang menderanya; ada pula cerita yang mengatakan bahwa Lusia sendirilah yang mencungkil matanya dan menunjukkan kepada pemuda-pemuda yang mengejarnya. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 13 Desember 304. Semoga kisah suci hidup Santa Lusia memberi peringatan kepada kita, supaya bertekun dalam doa dan selalu memohon perlindunganNya.