1. Stasi St. Yosep – Dr. Mansyur
Diprakarsai oleh Bapak Laurentius Sayangen Barus, seorang katekis yang tadinya pemuka agama Protestan (pertua GBKP) dari Tigalingga, Kabupaten Dairi. Dia mengumpulkan, beberapa jemaat warga Katolik yang berasal dari suku karo dan berdomisili di Jl. Dr. Mansur dan sekitarnya yang letaknya jauh dari Paroki Santo Antonius dari Padua dengan iman yang teguh dan kokoh, berkumpul dan berdoa bersama-sama secara rutin dan kemudian membentuk lingkungan doa jalan Dr. Mansur sekitarnya. Mereka adalah umat yang telah memeluk agama Katolik dan yang masih belum memeluk salah satu agama tetapi berniat memeluk agama Katolik.
Pada tahun 1964, Bapak Laurentius Sayangen Barus yang biasa dipanggil dengan Pa Barus menghimpun umat Katolik, membimbing dan memimpin doa dan ibadat bersama setiap hari Minggu, Bapak Laurentius S. Barus juga memberikan pelajaran agama Katolik bagi para katekumen baru yang berminat menjadi umat Katolik. Rumah Bapak Laurentius S. Barus dijadikan sebagai tempat belajar agama Katolik, juga sebagai tempat beribadat dan setelah itu mereka dibaptis atau diterima. Gereja/jemaat yang baru berdiri ini mengalami pertumbuhan iman yang luar biasa. Mengingat jarak tempuh yang cukup jauh dari sekitar Jl. Dr. Mansur ke Gereja Hayam Wuruk dan transportasi belum ada, maka dibangunlah sebuah Gereja Sederhana di Jl. Dr. Mansur.
Para jemaat perdana ini mulai mengumpulkan dana maupun hasil ladang mereka (padi). Dengan keterbatasan kemampuan ekonomi dan semangat yang tinggi dan kuat serta kebersamaan yang teguh, maka pada tahun 1964, mereka dapat membeli sebidang tanah milik Bapak Taman Sinuhaji, terletak di Jl. Dr. Mansur dengan ukuran 100 M x 40 M dan direncanakanlah untuk membangun sebuah gedung gereja semi permanen dan sederhana.
Para jemaat perdana tidak hanya menyumbang dari keterbatasan mereka, tetapi mereka juga terlibat secara langsung dalam pekerjaan pembangunan fisik Gereja. Kemauan keras dan niat yang tulus dengan semangat gotong royong yang sangat tinggi dari jemaat perdana dibangunlah sebuah gedung gereja dengan lantai semen seluas 84m2, dengan ukuran 7 m x 12 m, rangka kayu meranti kelas satu, dinding beton setinggi 1 m dan sisanya papan. Dengan dibangunnya gereja tersebut maka pada Tanggal 15 April 1967 Pastor Paroki meningkatkan status lingkungan Santo Yoseph menjadi Stasi Santo Yoseph.
Seiring dengan berjalannya waktu, gereja yang tadinya hanya berukuran 7 x 12 meter sudah tidak sanggup lagi menampung jemaat beribadah. Sehingga pada tahun 1965 – 1966 dilakukan renovasi terhadap bangunan gereja dengan menambah panjang 9 meter sehingga bangunan hasil renovasi ini menjadi 7 x 21 meter. Setelah selesainya renovasi ini maka pada tanggal 15 April 1967 Pastor Johanes Marsinus Brans, OFMCap meresmikan gereja stasi St. Yoseph Dr. Mansyur Medan.
Pada Tahun 1984 dilakukan pembangunan Gereja yang kedua. Pengumpulan dana pembangunan gereja dimulai pada waktu itu. Dalam jangka waktu yang cukup lama, walaupun dana yang menjadi tanggungan umat stasi belum mencapai target, pihak Keuskupan Agung Medan mulai mendirikan bangunan gedung gereja baru di samping kiri bangunan gereja lama, dengan ukuran 12 m x 29 m. Jarak antara dinding gedung gereja lama dan baru + 1m. Sehingga pada tanggal 19 September 1993 gedung gereja baru ini diberkati pemakaiannya oleh YM. Uskup Agung Medan.
Pada tahun 1997 atas prakarsa P. Johannes Veldkam, OFMCap dibangun sebuah gua Maria, di lokasi tanah Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph. Gua Maria ditempatkan pada sudut kanan belakang gereja.Pembangunan gua Maria juga sudah dilakukan renovasi satu kali. Dengan dilakukan renovasi gua Maria dibangun juga pagar di sekitar gereja untuk menjaga keamanan lingkungan Gereja.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota Medan, atas inisiatif Pastor Karolus Sembiring, OFMCap, pada tanggal 17 Januari 2010 dicanangkan renovasi dan pengembangan tahap II. Setelah proses dan pengumpulan dana pada Juli 2011 dilaksanakan peletakan batu penjuru renovasi dan pembangunan tahap II. Pada tanggal 20 Juli 2013 Panitia pembangunan mengadakan konser Rohani “Muliakanlah Tuhan” yang di Ketuai oleh Bapak Ruben Simangunsong di Hotel Santikan Dyandra, sehingga terkumpullah dana sejumlah + Rp. 400 juta. Dengan terkumpulnya dana tersebut renovasi fisik bangunan gedung gereja dapat diselesaikan pada Februari 2015. Ukuran gedung dari keadaan lama berubah menjadi 42 m x 19 m dengan daya tampung 700 orang. Lalu pada tahun 2022 atap gereja yang lama dan “palas-palas” telah diganti dengan biaya yang cukup besar dan dana seluruhnya diusahakan oleh umat sendiri. Sehingga Jumlah umat sekarang ini ada 188 KK (699 jiwa) 5 lingkungan.
2. Stasi St. Maria Pintu Surga - Sei Agul
Pada Agustus 1965, beberapa umat Katolik yang tinggal di Sei Agul, selama dua tahun, setiap hari Minggu merayakan imannya di gereja Hayam Wuruk dengan berjalan kaki atau bersepeda. Jarak tempuh dari Sei Agul ke Hayam Wuruk sekitar 4 km. Seusai merayakan Ekaristi di gereja, umat di Sei Agul dan di sekitar Pabrik Tenun Kampung Sekip membuat pertemuan rutin. Pada bulan Juli 1967, mulailah dijajaki kemungkinan untuk mendirikan gereja di Sei Agul, dan bulan Agustus 1968 diadakan pertemuan pertama. Dalam pertemuan itu, peserta sepakat untuk mendirikan gereja Katolik di Sei Agul. Setelah didata, selanjutnya dilaporkan kepada Pastor Paroki. Paroki menyetujui dan menghunjuk Pastor Cornelius Kwee, O.Carm menjadi penanggung jawab pembangunan gereja di Sei Agul. September 1968, dalam acara makan bersama diputuskan untuk mendirikan gereja Katolik di Sei Agul. Nama pelindung gereja berdasarkan saran dari Pastor Cornelius Kwee, O.Carm yakni Gereja Katolik St. Maria Pintu Surga. Tempat sementara gereja ini di rumah keluarga Bapak Lim dengan lantai tanah. Demikianlah kurang lebih 2 tahun umat beribadat dengan duduk di atas tikar lalu berkembang dengan adanya bangku darurat yang dibuat dari batang bambu. Tahun 1969 direncanakan untuk membeli tanah pertapakan gereja ukuran 30 x 40 m. Dengan semangat yang tinggi, umat mengumpul dana, untuk pembelian tanah dan rencana pembangunan. Atas kerjasama anggota, Pastor Paroki dan Keuskupan, gereja pun dibangun. Pada tahun 1970, bangunan gereja diresmikan. Pada tahun ini juga terjadi pergantian Pastor Paroki dan sekaligus dibentuk juga kepengurusan yang lebih permanen. Usaha-usaha selama masa kepengurusan ini, pada tahun 1975 didirikan SD Katolik disamping Gereja. Demikianlah kepengurusan tersebut berlangsung selama kurang lebih 21 tahun, sampai berdirinya bangunan gereja pada tanggal 2 Agustus 1990. Pada saat itu juga lah terjadi perubahan kepengurusan yang baru.
Pada bulan Oktober 2018, dirayakan Pesta Jubileum 50 Tahun berdirinya Gereja Katolik Santa Maria Pintu Surga Sei Agul. Perayaan ini dibentuk panitia Jubileum dan dilaksanakan dengan meriah. Misa perayaan Jubileum ini dipimpin oleh Mgr. Anicetus B. Sinaga, dengan Pastor Paroki RP. John Rufinus Saragih, OFMCap. Seiring dengan perkembangan penduduk maka pada tahun 2022 jumlah umat mencapai 223 KK (861 jiwa).
4. Stasi St. Fransiskus Xaverius – Sunggal
Pada tahun 1961 beberapa umat Katolik berdomisili di Desa Tapian Nauli – Sunggal sekitarnya yang kebanyakan berasal dari Pulau Samosir. Mereka merindukan tempat yang menetap untuk beribadat atau Perayaan Ekaristi. Maka, pada Oktober 1962 diadakan ibadat perdana di Rumah Op. Luhut Sitanggang yang terletak di Desa Tapian Nauli Sunggal (sekarang Jl. Bersama Pasar 3 Tapian Nauli-Sunggal). Pada saat itu secara aklamasi ditetapkan Op. Luhut sebagai Voorhanger, Op. Rio Naibaho sebagai sekretaris dan dibantu beberapa orang pengurus lain. Kepengurusan ini bersifat sementara, belum secara resmi dilaporkan kepada Pastor Paroki. Tahun 1989 dibentuk 3 lingkungan doa, dan akhirnya Gereja resmi berdiri 18 Oktober 1967.
Pada bulan Oktober 2017 yang lalu dirayakan Pesta Jubileum 50 Tahun Gereja Stasi St. Fransiskus Xaverius – Sunggal. Perayaan pesta ini dilaksanakan dengan membentuk panitia Pesta Jubileum dan dihadiri oleh semua umat. Misa berlangsung meriah yang dipimpin oleh Mgr. Anicetus B. Sinaga dan didampingi oleh Pastor Paroki (RP. John Rufinus Saragih, OFMCap), P. Raymond dan P. James dari Velangkanni. Dalam Misa khusus pada saat homili Uskup menyampaikan harapan bahwa semua umat Katolik khususnya pada Fokus Pastoral KAM 2017 ini, iman umat semakin bertumbuh. Seiring dengan perkembangan jumlah umat, pada tahun 2022 ini tercatat, 6 lingkungan, dengan jumlah umat stasi St. Fransiskus Xaverius – Sunggal mencapai 177 KK (826 jiwa).
4. Kapel Karya Kasih
Kapel Karya Kasih ini didirikan oleh Pastor Antonius Siegfried van Dam, OFMCap. Karya Kasih statusnya bukanlah stasi seperti gereja stasi lain, walaupun demikian setiap Minggu dirayakan Ekaristi yang dilayani oleh pastor dari komunitas Hayam Wuruk. Umat yang hadir pada perayaan Ekaristi ialah beberapa penghuni lansia Karya Kasih, para suster KSSY yang berkarya di rumah lansia dan umat sekitar. Di tempat ini dibangun kapel yang sebenarnya tujuan awalnya adalah untuk para suster dan para penghuni lansia Karya Kasih, tetapi dalam perjalanan waktu ternyata umat yang berada di sekitarnya ikut menghadiri Misa setiap hari Minggu.
Pada tahun 2020 karena pandemi covid-19 membuat Karya Kasih lock down. Kapel pun tidak bisa dipakai. Maka + 2 tahun umat, yang biasanya bergereja ke Karya Kasih, merayakan Ekaristi ke Gereja Paroki Jl. Hayam Wuruk. Kesulitan muncul karena tidak semua umat memiliki kendaraan, maka atas prakarsa Pengurus Lingkungan dicarilah dan disewa rumah selama dua tahun ke depan.
Pada bulan Desember 2021 rumah yang disewa tersebut digunakan umat sebagai tempat ibadah dan disebut sebagai “Rumah Doa Polonia”. Dengan perkembangan dan pertumbuhan umat di wilayah Polonia tersebut maka jumlah umat pada tahun 2022 ini tercatat 90 KK (384 jiwa) sebanyak 3 lingkungan.