loader image
Jumat, Februari 7, 2025
BerandaParokiParoki Parapat

Paroki Parapat

Pelindung
:
Santo Fidelis Sigmaringen
Buku Paroki
:
Sejak 1 Agustus 1952. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Onan Runggu dan Pematangsiantar
Alamat
:
Jl. Sirikki No. 6, Parapat – 21174
Telp.
Ktr. Paroki
Faks.
:
:
:
0625 – 41024
Jl. Merdeka No. 53A
0625 – 41932
Email
:
parokiparapat@ymail.com
Jumlah Umat
:
1.818 KK / 7.469 jiwa
(data Biduk per 05/02/2024)
Jumlah Stasi
:
20
 
01. Aek Natolu
04. Girsang
07. Lumban Pea
10. Pondok Bulu
13. Sibisa
16. Sipangan Bolon
19. Tambun Rea
02. Ajibata
05. Horsik
08. Motung
11. Pulo-pulo
14. Sigaolgaol
17. Sipolha
20. Ujung Mauli
03. Dolok Parmonangan
06. Lanting
09. Onan Sampang
12. Repa Sileutu
15. Sigapiton
18. Sirungkungon
 

 

RP. Fransiskus Manullang OFMCap
15.04.'68
Parochus
     
     

 

Sejarah Paroki St. Fidelis Sigmaringen - Parapat

Awal Misi dan Perkembangan (klik untuk membaca)
A. Pengantar
Misi Gereja Katolik di wilayah Parapat merupakan sebagian kecil dari misi Gereja di Tano Batak. Tanah Batak, Tapanuli, sudah lama diimpikan oleh para missionaris Gereja Katolik. Pemikiran itu muncul sangat dilatarbelakangi oleh besarnya minat orang Batak sendiri yang sejak tahun 1922 meminta kehadiran Misi Katolik. Beberapa tokoh orang Batak menulis surat permohonan kepada pemimpin Gereja Katolik yang berpusat di Padang.
Sejak tahun 1911, Padang dijadikan sebagai Prefektur Apostolik, yakni Prefektur Apostolik Sumatra. Atas permintaan tersebut, pemimpin misi Gereja membulatkan hati untuk mengarahkan karya misi ke daerah Tano Batak. Akan tetapi, hal itu tidak segera terwujud karena berbenturan dengan peraturan pemerintah Belanda yang melarang adanya misi ganda antara Katolik dan Protestan di suatu daerah, sebab karya zending Protestan di kalangan orang Batak Toba sudah dimulai sejak tahun 1860.
Pemimpin Gereja Katolik di Padang, Mgr. Matias Brans, OFMCap berusaha meminta ijin dari pemerintah Belanda untuk masuk ke daerah Tapanuli mengingat bahwa masih banyak di daerah Tapanuli yang belum menjadi Kristen. Sementara menunggu ijin tersebut, Gereja Katolik sudah mulai berkontak dengan orang Batak di daerah Medan, Sibolga dan Pematangsiantar. Misi Gereja Katolik sebenarnya sudah mulai di Medan sejak tahun 1878 oleh anggota Serikat SJ, yaitu P. Wennecker, SJ., yang mengunjungi Medan secara berkala. Selanjutnya misi masuk ke daerah Sibolga pada tahun 1923 oleh P. Marinus Spinjers, OFMCap., dan ke daerah Laras (Pematangsiantar) pada tahun 1931 oleh P. Aurelius Kerkers, OFMCap.
Pada tahun 1933, Mgr. Brans menerima kabar gembira bahwa pemerintah Belanda mengijinkan Gereja Katolik masuk ke Tanah Batak. Ijin itu diterbitkan sangat dilatarbelakangi juga oleh semakin banyaknya desakan orang Batak kepada Pemerintah Belanda agar Gereja Katolik diijinkan masuk ke daerah mereka. Momen tersebut tidak disiasiakan oleh karya misi. Dengan segera, Mgr. Brans mengutus para missionaris pergi ke segala penjuru Tanah Batak dengan pesan: “Pergilah, carilah kontak dengan masyarakat, entah waktu siang atau pun waktu malam”.
Dengan ijin yang ada, para missionaris menjalankan tugas dengan semangat dan tanpa kenal lelah. Dan, dalam waktu yang relatif singkat, Gereja Katolik sudah memasuki daerah-daerah yang kemudian menjadi paroki-paroki penting yakni: Balige (1934), Sawah Dua (1934), Simbolon, Palipi, Pulo Samosir (1936), Lintong Nihuta (1937), Pematangsiantar (1938), Saribudolok (1938), Sidikalang (1938), Onanrunggu (1939), Pangururan (1942) dan Pakkat (1942). Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, Misi Gereja Katolik sudah tersebar luas ke berbagai daerah.
Permulaan misi Katolik tidak serta-merta mudah diterima masyarakat. Sebagaimana pengalaman P. Sybrandus OFMCap, yang telah tinggal di Balige sejak tanggal 5 Desember 1934, awal kehadirannya memperoleh kesulitan dan hambatan dari pemerintah kolonial Belanda. Hambatan lain beliau alami juga dari sebagian rakyat yang mendiami daerah Toba, Humbang dan Rura Silindung. Akan tetapi, beliau memiliki hati yang penuh cinta kasih dan tetap optimis untuk menyebarkan misi Katolik di wilayah Tapanuli. Sebagai langkah awal, P. Sybrandus mempelajari dan menguasai bahasa Batak Toba, sehingga beliau dapat berdialog dengan warga yang dijumpainya di jalan-jalan dan di “lapo-lapo” (kedai-kedai).
Selain pelayanan rohani, Pastor juga memperhatikan kesehatan masyarakat, mengusahakan pendidikan, dan bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat. Dengan metode tersebut, perlahan-lahan beliau mendapat rasa simpati dari warga setempat. Beliau melayani kerohanian umat dan berkarya untuk menyebarkan ajaran dan misi Katolik dari kota Balige sampai ke Porsea, Lumban Julu, Sibisa, dan ke beberapa tempat sekitarnya. Daerah Parapat dan sekitarnya tidak ketinggalan menjadi sasaran Misi yang di kemudian hari menjadi Paroki Parapat.
B. Awal Misi dan Perkembangan
Gereja Katolik Paroki Parapat memulai sejarahnya pertama-tama dari wilayah luar Parapat. Wilayah Parapat sendiri berada di antara segitiga paroki yang telah ada yakni Paroki St. Laurensius Jl. Sibolga Pematang Siantar, Paroki Balige dan Paroki Onan Runggu. Posisi kota Parapat yang berada di wilayah pertigaan membuat proses pembentukan paroki datang dari tiga arah.
Dari arah Pematang Siantar, karya misi Gereja Katolik masuk ke daerah Parapat terjadi pada awal tahun 1934 dengan kehadiran P. Aurelius Kerkers, OFMCap. Stasi yang pertama dibentuk adalah stasi Girsang dan komunitas Sualan pada tahun 1934. Pada tahun tersebut, gereja darurat sudah didirikan di Girsang dan Sualan. Pendirian gereja stasi Girsang dapat terlaksana setelah pastor berkomunikasi dengan Bpk. Anggarajim Sinaga yang sudah tertarik masuk menjadi Katolik. Satu tahun kemudian, rumah pastor (pastoran) dibangun di samping gereja Stasi Girsang. Para misionaris datang mengunjungi umat secara berkala dan bermalam di stasi ini. Selain para misionaris, Bpk. Kenan Hutabarat, seorang katekis dari Pematang Siantar, datang juga mengunjungi dan mengajari umat stasi.
Dalam tahun yang hampir bersamaan, para misionaris para misionaris juga sudah mengunjungi Ajibata. Beberpa umat cukup antusias menjadi Katolik. Pada tahun-tahun awal itu umat Ajibata masih beribadat bersama umat stasi Girsang. Lambat laun mereka beribadat di rumah umat di daerah Sijambur sejak tahun 1938. Tahun itulah dijadikan sebagai tahun berdirinya Stasi Ajibata. Seterusnya, umat Stasi Ajibata mendirikan gereja darurat pada tahun 1966 yang direhab secara bertahap dan akhirnya menjadi gereja permanen.
Selanjutnya, dari Girsang, bersama Bpk. Kenan Hutabarat, para misionaris perlahan-lahan memperkenalkan Gereja Katolik di Kota Parapat. Pada saat itu tekanan berat dialami oleh Gereja Katolik terutama dari pihak Gereja HKBP yang sudah terlebih dahulu berdiri di Kota Parapat. Atas dukungan P. Aurelius, sekitar tahun 1938, Bpk. Kenan berhasil membeli rumah kecil di daerah Dolok Pangulu, Jl Sirikki (di sekitar Wisma Biara Kapusin sekarang). Rumah itu dikenal juga dengan nama “rumah ijuk”. Perlahan-lahan Bpk. Kenan memperkenalkan Gereja Katolik. Akan tetapi, misi lebih intensif dilaksanakan sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia oleh usaha P. Diego van den Biggelaar.
Misi dari arah Balige terjadi pada tahun 1934 di Sibisa oleh Bpk. Johannes Nadapdap. Bpk. Johannes mengenal Gereja Katolik dari P. Sybrandus van Rossum, OFMCap., misionaris di Balige. Kemudian beliau memperkenalkan ajaran Katolik kepada keluarganya yang menganut aliran kepercayaan parmalim. Atas dukungan P. Sybrandus, pada tahun 1935 gedung gereja Katolik bersifat darurat didirikan di Desa Sosor Pea Sibisa. Pada masa awal ini sudah ada umat 10 KK. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1936 jumlah umat bertambah menjadi 40 KK.
Pada tahun-tahun berikunya Gereja Katolik memasuki daerah lain yakni Sirukkungon (1939). Kehadiran Gereja di Sirukkungon adalah atas inisiatif masyarakat dan mereka mengundang kehadiran P. Sybrandus. Awalnya mereka hanya 15 KK. Pada tahun yang sama P. Sybrandus mendirikan Stasi Aek Natolu. Mereka awalnya mengadakan peribadatan di rumah Bpk. Emmanuel Sitorus, yang juga kepala kampung di tempat itu.
Arah misi ketiga yakni dari Samosir, yang dipelopori oleh P. Beatus Jennisken, OFMCap. Stasi Sirukkungon yang sebelumnya dilayani oleh P. Sybrandus selanjutnya mendapat pelayanan dari Paroki Onan Runggu. Pada tahun 1950 Gereja Katolik didirikan di Sigapiton, dengan jumlah umat 7 KK, dan mendapat pelayanan dari Onan Runggu.
Kegemilangan misionaris Belanda di sekitar Tanah Batak secara khusus, dan secara umum di Nusantara, untuk sementara terhenti pada tahun 1942. Belanda yang telah berkuasa di nusantara selama kurang lebih 350 tahun digantikan oleh Jepang. Guna menegakkan kekuasaannya, pemerintah militer Jepang mengeluarkan undang-undang yang mengatur dan membatasi gerak lembaga agama. Pada April tahun 1942 para misionaris berdarah Belanda, baik imam, Frater dan suster, ditangkap dan dikirim ke kamp pengasingan selama masa penjajahan Jepang hingga tahun 1945.
Penyerahan Jepang kepada sekutu pada 14 Agustus tahun 1945 ternyata belum mengakhiri kemandekan karya misi Katolik. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer yang pertama atas negara Indonesia. Situasi tersebut mengakibatkan banyak umat meninggalkan Gereja. Sementara itu, para misionaris telah dibebaskan dari pengasingan, walaupun mereka masih ditahan di Medan karena ketidakstabilan dan ketidakamanan situasi karena konflik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan Belanda.
Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 membuat kondisi politik dan keamanan lebih stabil. Namun penetapan garis demarkasi antara Parapat dan Ajibata mengakibatkan kesulitan tertentu bagi masyarakat. Ketika itu, wilayah Parapat-Tigaraja masuk daerah kekuasaan Belanda sementara Ajibata masuk daerah Republik. Penduduk dari kedua daerah ini tidak diperbolehkan melintas melewati garis demarkasi. Penetapan dan pelarangan itu menghambat misi Gereja.
Sejarah Gereja yang tersakiti semasa penjajahan Jepang hingga masa perang kemerdekaan Indonesia (1942-1947) menjadi pengisi halaman kosong Periode Gereja Katolik Indonesia. Pada periode ini ditegaskan peranan kaum awam yang bukan biarawan-biarawati dalam jatuh-bangun eksistensi kehidupan Katolik. Para guru agama atau katekis yang telah mendapat pendidikan dari para misionaris menjadi tulang punggung pelayanan Gereja. Peranan mereka tidak dapat diremehkan. Di Tapanuli, terorganisasi dengan tokohnya Bonifasius Panggabean dari Balige. Mereka bekerja tanpa gaji. Hal yang sama juga terjadi di tempat-tempat dimana para misionaris telah mendirikan komunitas umat Katolik. Pada periode “awam” ini juga di beberapa tempat umat menjadi berkurang.
Pelayanan para misionaris tampil kembali setelah masa internir berakhir. Mereka langsung bergerak cepat untuk mendapatkan kedudukan yang kuat di kota Parapat. Pada tahun 1948 P. Diego yang dibantu oleh Bpk. Kenan Hutabarat berhasil membeli tanah pertapakan untuk gereja yang terletak di daerah Lumban Gambiri, tepatnya Jl. Merdeka (lokasi PPU sekarang), dari Op. Gokman Sinaga, Op. Tunggul Sinaga, dan Padang Sinaga. Namun setelah dilaporkan kepada P. Biggelaar OFMCap, pastor tersebut kurang setuju dengan lokasi yang telah dibeli. Tanah tersebut tidak rata dan labil, maka sempat dibiarkan. Pastor kembali meminta Bpk. Kenan untuk mencari tanah yang lebih strategis. Kemudian tanah baru diperoleh di lokasi “rumah ijuk” (ala di belakang gereja sekarang) di sekitar Dolok Pangulu (Jl. Sirikki Parapat, dekat wisma biara kapusin sekarang). Bangunan yang ada di lokasi tanah tersebut berukuran 6x7 meter. Rumah ini difungsikan sebagai gereja darurat dan digunakan lebih kurang tiga tahun untuk kegiatan rohani yang dilayani oleh P. Diego. Ketika itu jumlah umat sudah ada 10 KK.
Pendirian Paroki
C. Definitif menjadi Paroki
Pendirian Paroki Parapat yang definitif dimulai lebih serius oleh P. Beatus Jennisken, OFMCap. Beliau memulai misi itu sejak tahun 1952. Walaupun ada kesulitan dari pihak zending Protestan, P. Beatus bercita-cita bahwa misi Katolik harus berdiri kokoh di Kota Parapat. Misi dimulai dengan mendirikan rumah di daerah Tomok Siholing, Pulau Samosir. Dari sana beliau dengan semangat melaksanakan karya misi ke Parapat, termasuk menghidupkan kembali komunitas Sualan yang telah lama terlantar. Pada tanggal 5 September 1952 P. Jennisken mulai menggagas Stasi Parapat.
Pada tahun itu, jumlah umat telah bertambah menjadi 60 KK. Dua tahun berikutnya (1954) secara resmi berdirilah Stasi Parapat, yang juga tempat bergabung umat komunitas Sualan. Perayaan tersebut dipimpin oleh Superior Regularis, P. Ferrerius v.d. Huurk, OFMCap, dan didampingi P. Beatus Jenniken sebagai parokus pertama. Umat dari Girsang, Ajibata, Motung, serta Onan Runggu ikut serta dalam pesta gembira tersebut. Ketua Dewan Stasi pada waktu itu adalah Bapak Pain Petrus Sinaga (A. Flora).
Pendirian Stasi Parapat ditentang oleh pihak gereja HKBP dengan melayangkan surat keberatan kepada Asisten Wedana (struktur jabatan dalam pemerintahan Hindia Belanda yang kira-kira sama dengan camat sekarang) di Tanah Jawa. Surat itu dibatalkan karena ditengarai penuh dengan sentimen pribadi dan keagamaan.
Sesudah perayaan pendirian gereja Stasi Parapat, P. Jennisken mulai menggagasi pembangunan gereja permanen. Keluarga P. Jennisken sangat banyak membantu biaya pembangunan. Dalam proses pembangunan itu, umat berperan aktif seperti bergotong-royong dan memberikan sumbangan berupa pasir dan batu padas sebanyak dua truck/KK. Pembangunan itu mulai terlaksana pada tanggal 17 Oktober 1955.
Seiring dengan berdirinya Gereja Parapat, P. Jennisken memindahkan kedudukan paroki dari Tomok ke Parapat pada tanggal 1 April 1955. Keputusan itu dilihat sangat positif. Pelayanan pastoral dapat berjalan lebih mantap karena didukung fasilitas dan jalur transportasi yang lebih memadai.
Pada tangggal 2 Januari 1956, ketika P. Marianus v.d. Acker, OFMCap, menjadi Superior Regularis Ordo Kapusin Medan, gereja baru dibangun dan menjadi Gereja Katolik Biara Kapusin dan sekaligus berfungsi sebagai gereja Stasi Parapat. Pada tahun itu juga dibangun gedung seminari untuk Novisiat Biara Kapusin serta gedung untuk pendidikan Filsafat dan Teologi bagi para calon imam. Dalam proses pembangunan itu, Superior Regularis Ordo Kapusin Medan menegaskan bahwa komunitas di Parapat bukan lagi Pastoran Katolik Parapat melainkan Biara Kapusin Parapat.
D. Pergantian Penggembalaan dan Perkembangan Wilayah Pelayanan 
Dengan berdirinya Paroki Parapat pada tahun 1952, pelayanan kerohanian terhadap umat semakin baik dan penyebaran misi Katolik semakin berkembang. Pada awalnya, Paroki Parapat melayani stasi-stasi yang menyebar di daerah sebagian Pulau Samosir, sebagian daerah Simalungun dan sebagian daerah Toba. Untuk pelayanan di daratan Pastor memakai sepeda motor dan untuk pelayanan di sekitar Danau Toba, beliau mempergunakan kapal.
Beberapa catatan tentang perkembangan umat Gereja Katolik Paroki Parapat dapat dilihat dari jumlah stasi yang cukup banyak, ditambah lagi dengan wilayah pelayanan yang begitu luas. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, P. Jennisken mendirikan beberapa stasi a.l.: Sigapiton (1950), Stasi Tomok (1952), Stasi Motung (thn. 1953), Sosor Tolong (1954), Sipangan Bolon (1955), Sipolha (1958), Pulo-pulo (1959), Repasilautu (1961), Lumban Pea (1962), Tambun Rea (1963) dan Pondok Bulu (1964). Selain itu, P. Jennisken tetap mengunjungi beberapa stasi yang sudah didirikan sebelumnya dan masuk bagian wilayah Paroki Onanrunggu dan kemudian masuk bagian Paroaki Parapat, a.l: Stasi Sipinggan (1938), Stasi Pangaloan (1938), Stasi Sosor Tolong (1939) dan Stasi Hutagurgur (1942).
Dengan semangat tak kenal lelah, P. Jennisken juga menjelajah daerah Simalungun dan melayani beberapa stasi yang sebelumnya masuk wilayah pelayanan misi dari Pematang Siantar serta mendirikan beberapa stasi yang baru. Stasi tersebut adalah Stasi Tigadolok (1934), Tomuan Dolok I (1934), Palianaopat (1936), Marihat Raja (1936), Lumban Ri (1953), Nagori Asi (1953), Marihat Baru (1960) dan Lumban Gorat (1961).
Sejak tahun 1966, P. Raymond Rompa, OFMCap. bertugas menjadi Pastor Paroki menggantikan P. Jenisken. Pada masa tugasnya, beliau memelihara seluruh iman umat yang semakin berkembang. Dan, pada tahun 1970, beliau mendirikan stasi Lanting. Selanjutnya, tugas Pastor Rompa digantikan oleh P. Sylverius Yew, OFMCap., yang berkarya sejak tahun 1972 sampai tahun 1975.
Melihat luasnya daerah pelayanan (31 stasi) dan semakin bertambahnya jumlah umat maka pada tahun 1972 beberapa stasi, yang semula dilayani dari Parapat, bergabung dengan Paroki St. Yosef, Jln. Bali, Pematang Siantar, yang berdiri sejak tahun 1966. Stasi-stasi tersebut adalah: Stasi Tigadolok, Tomuan Dolok I, Palianaopat, Marihat Raja, Lumban Ri, Nagori Asi, Marihat Baru dan Lumban Gorat.
Sejak tahun 1972 Paroki Parapat semakin fokus melayani umat di sekitar Parapat, Lumban Julu, dan Tomok. Stasi-stasi yang tetap dilayani Paroki Parapat sejak itu ada sebanyak 23 stasi. Ke-23 stasi tersebut adalah stasi: Aeknatolu, Ajibata, Girsang, Huta Gurgur, Lanting, Lumban Pea, Parapat, Pondok Bulu, Pulo-pulo, Repa Sileutu, Pangaloan, Sibisa, Sigapiton, Sipinggan, Sosor Tolong, Sipolha, Sirungkungon, Sipangan Bolon, Sibolopian, Tomok, Tambun Rea, dan Tanjungan.
Sejak tahun 1975 P. Anselmus Mahulae OFMCap bertugas sebagai Pastor Paroki. Beliau berkarya di Parapat hanya satu tahun. Untuk melanjutkan karya pastoral paroki, P. Sylverius kemudian ditugaskan kembali menjadi Pastor Paroki dari tahun 1976-1979. Selanjutnya, sejak tahun 1979 hingga 1983, P. Hyginus Silaen, OFMCap menjadi Pastor Paroki. Pada masa tugasnya, beliau mendirikan Stasi Ujung Mauli (1980) dan Horsik (1980). Karya lain yang diupayakan P. Silaen adalah menggagasi berdirinya CU Tao Toba (01 Sep-tember 1979) dan menyelesaikan permasalahan tanah di Lumban Gambiri lokasi PPU Parapat sekarang, yang permasalahannya diselesaikan sampai ke tingkat Mahkamah Agung pada tgl. 26 Juli 1983.
Estafet kegembalaan paroki dilanjutkan oleh P. Marianus Simanullang, OFMCap. Beliau bertugas sebagai Pastor Paroki dari tahun 1983 sampai tahun 1985. Tugas sebagai Pastor Paroki selanjutnya diemban oleh P. Venantius Sinaga, OFMCap dari tahun 1985 sampai tahun 1990. Pada masa tugas beliau, Paroki Parapat menyelenggarakan Pesta Tahbisan Imam pada tahun 1989. Imam yang ditahbiskan pada waktu itu adalah P. Richard Sinaga, OFMCap. (putra stasi Girsang) dan P. Ludovikus Siallagan, OFMCap. (putra Stasi Palianaopat Siantar). Pesta tersebut dilaksanakan di Open Stage Pagoda, Parapat. Beliau mendirikan Stasi Sibosur (1986), Stasi Parmonangan (1986), dan Stasi Onansampang, yang memekarkan diri dari Stasi Sibisa pada tahun 1989. Hingga tahun ini jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 28 stasi.
Selanjutnya, P. Alfonsus Simatupang, OFMCap. bertugas sebagai Pastor Paroki sejak tahun 1990. Seiring dengan adanya kebijakan mendirikan Dewan Paroki di setiap paroki KAM, P. Alfonsus juga mendirikan Dewan Paroki Parapat, menggalakkan Kelompok Tani dan kursus-kursus bagi Pengurus Gereja. Satu stasi yang didirikan pada periode Pastor ini adalah Stasi Ambarita pada tahun 1993. Dengan demikian, Paroki Parapat sejak tahun itu berjumlah 29 stasi.
Perkembangan Paroki selanjutnya diemban oleh P. Nelson Sitanggang, OFMCap. yang bertugas dari tahun 1996 sampai tahun 2000. Pada masa tugasnya, P. Nelson memindahkan Kantor Paroki dari Biara Kapusin Parapat ke kompleks PPU Parapat pada tahun 1996 setelah beliau membangun sebuah gedung untuk itu. Sebelumnya, sejak tahun 1952 – 1996, kegiatan pelayanan paroki berpusat di Biara Kapusin Parapat. Sejalan dengan ide itu, P. Nelson, sejak tahun 1998, membangun gedung megah untuk Pusat Pembangunan Umat (PPU) yang terletak di Jl. Merdeka No. 53 A Parapat. Tujuan penting membangun gedung itu adalah menjadi pemusatan pendidikan dan pembinaan iman umat.
Pada waktu acara peresmian Kantor Paroki dan PPU Parapat pada tgl. 20 Mei 2001, Uskup Agung KAM Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap., meresmikan nama paroki dengan nama pelindung Santo Fidelis, sehingga nama Paroki menjadi “Paroki Santo Fidelis Parapat”. Nama itu tidak lepas dari nama pelindung Biara Novisiat Kapusin Parapat, yakni Santo Fidelis Sigmaringen.
Hal lain yang pantas dicatat pada masa tugas P. Nelson adalah dikeluarkannya buku “Pedoman Pastoral, Siihuthonon ni Ruas Katolik Paroki St. Fidelis Parapat”, sebuah buku yang berfungsi sebagai Anggaran Dasar Paroki Parapat. Pedoman ini dikeluarkan pada bulan November 1999, sebagai penerapan dari buku Pedoman Pelayanan Pastoral Paroki Keuskupan Agung Medan (P4KAM) yang dikeluarkan oleh Keuskupan pada tgl. 21 Agustus 1990.
Pastor Arie van Diemen, OFMCap. ditugaskan menjadi Pastor Paroki yang baru. Beliau memulai tugasnya sejak tahun 2000 hingga tahun 2007. Suatu peristiwa bersejarah di Paroki terjadi pada masa tugas beliau, yakni pemekaran paroki pada hari Minggu, tanggal. 29 Oktober 2006. Sebanyak 10 (sepuluh) stasi, yakni stasi-stasi yang berada di seberang Danau Toba, bergabung ke Paroki Tomok–Simanindo. Oleh karena itu stasi yang tinggal pada wilayah pelayanan Paroki Parapat sejak itu berjumlah 19 stasi.
Tugas selanjutnya dilaksanakan oleh P. Samuel Aritonang, OFMCap. sejak thn 2007 sampai 2009. Pada periode ini, usaha untuk merehap gereja Stasi Lumban Pea dan Stasi Pulo-pulo sudah mulai dirancang dan pembangunannya selesai pada pada tahun 2010 dan 2011. Satu stasi yang didirkan oleh P. Samuel adalah Stasi Dolok Parmonangan pada tahun 2008 sebagai pemekaran dari Stasi Pondok Bulu. Dengan demikian jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 20 stasi.
Kemudian P. Donatus Marbun, OFMCap. berkarya menjadi Pastor Paroki sejak tahun 2009. Beliau ditemani oleh P. Dionisius Purba, OFMCap. sebagai Pastor Rekan (2009-2011) dan P. Christian Lumban Gaol, OFMCap, sebagai Pastor Rekan (2011-2012). Untuk tujuan karya pastoral, P. Donatus meminta kehadiran P. Frans Situmorang, OFMCap., menjadi pastor asistensi satu kali sebulan di Parapat.
Beberapa gagasan P. Donatus cukup nyata di Paroki Parapat, mis.: melengkapi peralatan liturgi gereja di setiap stasi; merenovasi beberapa bangunan gereja stasi; melengkapi nama pelindung paroki: “Santo Fidelis Sigmaringen”; merancang motto Paroki: Teratur, Mandiri, dan Berkembang; menata ruang sekretariat Kantor Paroki dan PPU Parapat, menggalakkan sermon-sermon rayon, memulai penugasan penulisan sejarah-sejarah setiap stasi, dll. Pada masa P. Donatus telah digagas perihal pemekaran Stasi St. Yosef Repa Sileutu.
Sejak tgl. 25 November 2011 tugas Pastor Paroki dilaksanakan oleh P. Christian Lumban Gaol, OFMCap. Dalam tugas yang masih baru ini, beliau melanjutkan karya-karya pastoral paroki melalui kursus-kursus, sermon-sermon, rekoleksi pengurus gereja, merenovasi pembangunan gereja stasi Sirungkungon, Dolok Parmonangan, dan Onansampang dan mengunjungi ke-20 stasi di Paroki serta menanggungjawabi pengembangan PPU Parapat. Fokus perhatian dan pelayanan Pastor ini lebih terarah pada bidang liturgi gereja.
Secara khusus, pada tahun 2013, P. Christian bersama panitia merancang dan melaksanakan Pesta Syukur (Jubileum) 80 tahun misi gereja Katolik di daerah Paroki Parapat. Pesta puncaknya akan dilaksanakan pada tgl. 09 Februari 2014. Beberapa kegiatan diprogramkan untuk ini termasuk penyusunan buku sejarah paroki dan perampungan sejarah gereja setiap stasi se-paroki. Pada masa P. Christian, stasi St. Andreas Sigaol-gaol, pemekaran dari Stasi St Yoseph Repa Sileutu, didirikan dengan misa pertama pemberkatan gereja pada tanggal 31 Mei 2015.
Kemudian RP. Ferdinan Lister Tamba OFMCap. pindah tugas ke paroki St. Fidelis Parapat sebagai pastor rekan dan juga sebagai formator novisiat kapusin Parapat sejak 30 Nopember 2014. Dia bertugas di paroki St. Fidelis Parapat sejak 30 Nopember 2014 sampai 01 Agustus 2016. Pada tanggal 27 September 2015 serah terima jabatan pastor paroki dari RP. Christian Lumbangaol, OFMCap. kepada RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap. dilaksanakan.
Di dalam Sidang Paripurna Tahun pastoral 2015 tanggal 29-30 Januari 2016 atas pertimbangan dari RP. Hiasintus Sinaga, diputuskan bahwa Stasi Induk Parapat yang selama ini bergabung dengan Stasi Girsang sebagai Rayon terjadi perobahan bahwa Parapat menjadi Rayon Tersendiri (Rayon Kota Parapat). Sementara itu Stasi Girsang bergabung ke rayon Ajibata. Sejak itu, setiap lingkungan di Kota Parapat (10) berhak mengikuti kegiatan dan perlombaan yang diselenggarakan paroki sama seperti stasi-stasi “Pagaran” lainnya. Dampak positif dari keputusan dan kebijakan ini, jika ada kegiatan / pertandingan secara parokial, jumlah peserta dari Parapat meningkat luar biasa. Dari antara 50 s/d 80 orang peserta menjadi 250 s/d 300 orang peserta.
Pada tanggal 21 Januari 2016 parokus bertemu dengan Mgr. Anicetus B. Sinaga dan Ekonom KAM perihal rencana pembangunan gereja paroki Parapat. Dan atas restu Uskup Agung Medan maka pada tanggal 12 Maret 2017 dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan gereja paroki di lokasi gereja biara kapusin Parapat dan sekaligus penggalangan dana. Proses pembangunan selanjutnya untuk sementara dihentikan karena adanya musibah tembok penahan longsor dan peninjauan ulang kelayakan lahan.
Surat Keputusan Uskup Agung Medan No. 473/IM/SMMR/KA/VIII/’19 menugaskan RP. Anthony Nguyen Van Viet, SMMR sebagai Vikaris Parokial dan sebagai Pembimbing Rohani para novis asal Vietnam, terhitung sejak tanggal 01 September 2019. Beliau datang ke Parapat dan disambut secara resmi pada tanggal 13 September 2019. Pastor Antony kemudian dipindahkan ke Paroki St Josep Jl. Kain Batik Pematang Siantar. Beliau dikenal sebagai pastor yang rendah hati.
Tanggal 20 Agustus 2016 RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap, Ketua PSE KAM, RP. Markus Manurung dan Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap bersama dengan tokoh adat dan tokoh agama lainnya bertemu dengan Bapak Presiden RI, Joko Widodo, Gubernur Sumatera Utara dan para menteri di Inna Hotel Parapat. Pertemuan ini terselenggara dalam rangka Carnaval Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71. Dalam pertemuan itu Mgr. Anicetus Sinaga dengan sangat serius mengetengahkan kepada Bapak Presiden bahwa pihak Gereja Katolik KAM mendukung “soft-torism” dalam bingkai Badan Otorita Danau Toba (BODT). Pesan Mgr Sinaga terang bahwa penduduk di sekitar Danau Toba tidak menjadi penonton atau bahkan korban atas dampak gerakan BODT itu sendiri.
Kehadiran Biara Kapusin dan Kongregasi KYM
E. Kehadiran dan Dukungan Biara Kapusin dan Kongregasi KYM
Perkembangan Paroki Parapat, sebagaimana dipaparkan di atas, sangat didukung oleh kehadiran para Pastor dan Bruder Kapusin yang bertugas di Biara Kapusin Parapat dan para Frater Kapusin yang ikut dalam karya kerasulan di stasi dan mengajar agama di sekolah-sekolah. Para Pastor, entah sebagai staf novis dan dosen para frater, dan Bruder tersebut sudah mulai berkarya di Parapat sejak thn. 1955.
Selain itu, kehadiran para Suster dari Kongregasi KYM di Parapat sejak tgl. 28 Oktober 1963 juga berperan besar menopang kemajuan Paroki. Para suster yang hadir pada saat itu adalah: Sr. Fransiska de Chantal v.d. Linden, KYM, Sr. Flavia Napitu, KYM, Sr. Sisilia Sirait, KYM, dan Sr. Christina Rajagukguk, KYM. Sesudah mereka, sudah banyak suster silih berganti hadir dan berkarya di Parapat hingga sekarang. Mereka tinggal di rumah bernama Capri dekat Gereja Katolik dan Biara Kapusin Parapat. Tugas utama mereka adalah bekerja di dapur Biara Kapusin sejak tgl. 01 November 1963.
Kongregasi KYM pernah juga bercita-cita untuk mendirikan poliklinik dan karya pendidikan di Parapat. Hal itu baru terwujud ada tgl. 14 Juli 2006. Kongregasi berhasil memulai karya pendidikan dengan mendirikan TK Bintang Timur Parapat. Tanggal 27 September 2019 peresmian dan pemberkatan Gedung SD Bintang Timur Parapat, kelolaan suster KYM. Bidang poliklinik belum terwujud. Tugas lain yang dilaksanakan oleh anggota Kongregasi KYM adalah terlibat dalam tugas pastoral di Paroki sebagai katekis. Mereka melaksanakan tugas itu di stasi, si lingkungan, mendampingi Asmika, Areka, PIK (Punguan Ina Katolik) Parapat, membantu pelayanan komuni di gereja, memberi persiapan pelaksanaan komuni pertama, persiapan Sakramen Baptis dan Krisma. Tugas penting lain yang dilaksanakan oleh anggota kongregasi adalah bekerja di PPU Parapat sejak tgl. 08 Juli 2000.
F. Letak Geografis dan Wilayah Pelayanan
Paroki St. Fidelis Sigmaringen Parapat adalah suatu bagian pelayanan pastoral parokial di wilayah Keuskupan Agung Medan. Paroki ini berpusat di kota Parapat, sebuah kota kecil yang terletak pada wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon daerah Kabupaten Simalungun yang berbatasan dengan daerah Kabupaten Tobasa dan Kabupaten Samosir. Kota Parapat terbentang pada garis pantai Danau Toba sepanjang 2,5 km. Kota ini menjadi pintu gerbang daerah tujuan wisata Danau Toba, yang banyak dikunjungi turis domestik maupun turis mancanegara. Pelayanan pastoral Paroki Parapat berbatasan dengan wilayah pelayanan pastoral dari 4 paroki sekitarnya:
a. Sebelah Utara : Paroki St. Antonius dari Padua, Tiga Dolok.
b. Sebelah Barat : Paroki St. Antonio Maria Claret, Tomok
c. Sebelah Selatan : Paroki St. Paulus, Onan Runggu
d. Sebelah Timur : Paroki St. Yosef, Balige
Wilayah pelayanan Gereja Katolik Paroki Parapat terdiri dari 20 stasi yang tersebar di dua kabupaten. Sebagian daerah Kabupaten Simalungun: mencakup wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, sebagian wilayah kecamatan Dolok Panribuan dan sebagian kecamatan Pamatang Sidamanik; dan di Kabupaten Tobasa: mencakup wilayah Kecamatan Ajibata dan sebagian wilayah Kecamatan Lumbanjulu.
G. Momen Penting
Paroki St. Fidelis Sigmaringen Parapat mengadakan Pesta Jubileum 80 tahun pada 9 Pebruari 2014, yang dipimpin Uskup Agung Medan AB Sinaga OFM Cap dan Uskup Emeritus AGP Datubara di Panggung Terbuka Parapat. “Gratis Et Amore Dei” adalah thema yang diusung pada perayaan puncak pesta Yubileum. Uskup sekilas menyampaikan sejarah gereja Katolik di Parapat, khususnya di Paroki St Fidelis Sigmaringen.
Sejak tahun 1934-2014, Paroki telah melalui beberapa momen penting. Hal pertama yang patut dicatat adalah pendirian Stasi Parapat. Pendirian Stasi Parapat menjadi istimewa karena tantangan yang begitu berat dan hasil akhirnya yang menjadi pusat paroki. Tantangan utama pendirian Gereja di Parapat datang dari zending Protestan. Mereka masih terpaku pada peraturan pemerintah Belanda yang tidak mengijinkan terjadinya pewartaan ganda. Walaupun peraturan itu sudah dicabut oleh pemerintah Belanda pada tahun 1933.
Pemindahan kedudukan paroki dari Tomok ke Parapat merupakan suatu keputusan yang cepat. Hal ini diputuskan hanya tiga tahun setelah pendirian Stasi Parapat. Hal itu dilihat sangat positif. Pelayanan pastoral dapat menjangkau banyak wilayah yang jauh dari Pematang Siantar dan Balige.
Pembangunan PPU yang dimulai sejak tahun 1998-20 Mei 2001 dapat dilihat sebagai salah satu momen penting perkembangan paroki. Tujuan penting pembangunan gedung itu adalah menjadi pemusatan pendidikan dan pembinaan iman umat. Dalam hal ini, Gereja tidak hanya membaptis sebanyak mungkin orang, tetapi juga menyediakan sarana untuk pengembangan iman.
Pemekaran paroki Tomok menjadi suatu peristiwa bersejarah bagi Paroki Parapat, ketika Pastor Arie van Diemen OFMCap menjadi parokus. Pemekaran itu bisa menjadi pertanda pertambahan jumlah umat baik di sekitar Parapat maupun di wilayah sekitar pelayanan Paroki Tomok. Dengan pemekaran itu juga, pelayanan iman oleh para imam bisa lebih mudah dijangkau. Sehingga semua umat memperoleh haknya untuk mendapat pelayanan kerohanian.
H. Penutup : Motto Paroki dan Spiritualitasnya
Pelayanan pastoral Paroki Parapat berangkat dari motto dan spiritualitas yang dicanangkan. Spiritualitas motto Paroki ini, yakni: “Teratur, Mandiri dan Berkembang”. Motto Paroki ini dikumandangkan pada tanggal 02 Agustus 2009 oleh P. Donatus Marbun. Motto singkat ini, menggambarkan motivasi, semangat dan tujuan serta komitmen, bersama pengurus gereja dan umat seluruhnya untuk memajukan Paroki ini. Motto itu tergambarkan dalam visi dan misi Paroki.
Visi Paroki ini ialah: Menjadi Paroki teladan di segala bidang. Misinya ialah mengajak umat agar menjadi umat yang patuh pada aturan gereja, mandiri dalam pengungkapan iman dan berkembang dalam mewujudkan imanya sesuai dengan tanda-tanda zamanya. Motto ini tidak dikutip langsung dari Injil, tetapi isi dan tujuannya mengungkapkan pesan Injili: “mendirikan rumah di atas batu, kokoh tak tergoyangkan” (bdk. Mat 7:24-25)
Tiga untaian kata sifat, “Teratur, Mandiri dan Berkembang”, ini diurutkan menurut urutan pelaksanaannya, kendati tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam keteraturan ada kemandirian dan perkembangan dan sebaliknya. Dalam kemandirian, aturan ditegakkan, perkembangan diimpikan. Dalam perkembangan, kemandirian dipertahankan, aturan disempurnakan. Dengan semboyan di atas, “bahtera” Paroki Parapat dapat mengarungi jaman, meneruskan karya para misionaris dan sintua terdahulu, membina umat yang baru, dan mampu menghadirkan kerajaan Allah sampai akhir zaman.
Video Profil :
Lokasi Paroki :
RELATED ARTICLES

INFORMASI

JADWAL USKUP & VIKJEN

KALENDER LITURGI