Pelindung |
: |
Santo Fransiskus Asisi |
Buku Paroki |
: |
Sejak tahun 1936. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Balige |
Alamat |
: |
Pastoran Katolik, Palipi, Pulau Samosir – 22393 |
Telp. |
: |
0813-7008-9164 |
|
: |
palipiassisi@gmail.com |
Jumlah Umat |
: |
2.546 KK / 11.108 jiwa
|
Jumlah Stasi |
: |
33 |
01. Bolean04. Dugul07. Huta Ginjang10. Lumban Sihombing13. Pandiangan16. Parsaoran19. Sabalangit22. Sideak25. Silimapulu28. Sinagauruk31. Siupar |
02. Batujagar05. Holbung08. Lobutua11. Pagar atu14. Pangaloan17. Ransangbosi20. Sampetua23. Sigaol26. Simanukmanuk29. Sitatar32. Tarabunga |
03. Dolok Martahan06. Hutaraja09. Lumban Malau12. Pamutaran15. Parmonangan18. Rapusan21. Sibatuara24. Silaban27. Simataniari30. Sitabotabo33. Torudolok |
RP. Deo Gratias Manalu OFMCap |
10.02.’83 |
Parochus |
RP. Chrisanctus Saragih OFMCap |
29.12.’65 |
Vikaris Parokial |
|
Sejarah Paroki St. Fransiskus Asisi - Palipi
Pengantar (klik untuk membaca)
Dalam kata pengantar buku supervisi paroki dikatakan bahwa uskup diosesan wajib mengunjungi umat beriman di paroki, minimal sekali dalam lima tahun. Demi meningkatkan mutu kunjungan itu, maka tim supervisi dibentuk oleh bapak uskup yang terdiri dari para imam ahli atau mahir di bidang hukum gereja, di bidang administrasi dan di bidang harta benda. Tim itu menyiapkan tiga lembar kerja atau borang, yang berkaitan dengan tata penggembalaan, tata administrasi dan tata kelola harta benda. Sementara tujuan supervisi ini disebutkan dua hal. Pertama, pelayanan paroki dilakukan dengan sungguh sungguh sebagai bentuk pertanggungjawaban pastoral kepada umat. Umat berhak mengetahui bahwa mereka dilayani dengan baik. Kedua, dewan pastoral paroki dibantu dan didampingi melalui supervisi dan tidak dibiarkan begitu saja tanpa pendampingan. Paroki dimohon memperhatikan rekomendasi dari tim supervisi. Untuk mencapai tujuan itu, tim supervisi harus menyiapkan tiga lembar kerja atau borang yang berkaitan dengan tata penggembalaan, tata administrasi dan tata kelola harta benda.
Pada tanggal 16-17 Maret 2022, Paroki Santo Fransiskus Asisi Palipi mendapat giliran untuk kunjungan tim Supervsi Keuskupan ini. Untuk melengkapi maksud dan tujuan supervisi KAM di Paroki Stanto Fransiksus Asisi Palipi ini, kami paparkan sedikit profil paroki ini. Sungguh disadari bahwa profil ini belumlah lengkap dan masih jauh dari kata sempurna. Karena itu profil paroki ini, terbuka untuk dilengkapi dari tahun ke tahun atau dari masa ke masa.
Namun demikian, untuk tujuan supervisi KAM pada kesempatan ini, kami telah berusaha merefleksikan karya pelayanan di paroki ini. Program demi program yang telah disusun diharapkan makin meningkatkan kualitas iman umat. Patut dicatat dalam lima tahun terakhir ini kegiatan baik pembinaan seturut TPP KAM maupun perayaan-perayaan iman semakin baik dan tertata. Sungguh kami sadari bahwa semua program ini diperbuat untuk meningkatkan kualitas iman Katolik agar berurat berakar sehingga tangguh menghadapi tantangan jaman.
Sejarah Paroki
Pada bulan Juli 1940, pastor Radboud Waterreus pindah ke Palipi. Pada waktu itu direncanakan oleh pemerintah, supaya Mogang menjadi pusat pemerintah dan pekan. Karena itu pusat misi juga dipindahkan yaitu dari Simbolon ke Palipi dekat Mogang. Limabelas stasi paroki Palipi yang telah didirikan sebelum Juli 1941.
Mgr Brans mengangkat Pastor Sybrandus van Rossum sebagai misionaris pertama di daerah Misi tanah Batak dan disuruh ke Balige. Kiranya pastor Sybrandus tidak perlu mencari kontak, karena orang orang Batak sendiri yang datang kepadanya, berkerumun dari pagi sampai petang. Pastor Sybrandus pandai bergaul juga dengan pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda di Tarutung.
Setelah pastor Sybrandus tinggal beberapa bulan di Balige, datang seorang yang bernama Jamauli Lumbanraja dari Harian (Nainggolan). Dia minta kepada pastor supaya mau menyeberang ke Samosir karena ada beberapa orang yang mau menjadi Katolik. Si Lumbanraja ini adalah mantan guru Zending Protestan dan sudah pada tahun 1933 minta kepada pastor Aurelius Kerkers di Pematangsiantar untuk diterima di Gereja Katolik. Jamauli Lumbanraja ini menyeberang setiap hari Jumat naik solu ke Balige untuk pergi ke pekan dan sambil menerima pelajaran Katolik di pastoran. Pada pertengahan bulan Mei 1935 pastro Sybrandus menyeberang dari Balige ke Nainggolan, dijemput oleh Jamauli Lumbanraja. Ternyata di Sipinggan Harian banyak orang yang sudah menunggu pastor. 20 Keluarga mendaftarkan dirinya mau menjadi Katolik dibawah pimpinan kepala kampung O. Siringoringo. Pada saat itu, rumah Ferdinand Tamba disewa untuk tempat beribadah pada hari Minggu.
Pada kunjungan kedua pastor Sybrandus dari Balige ke Samosir dia pergi ke Sipinggan dan setelah itu ke Palipi. Banyak orang yang berkumpul di situ. Ada yang dari Sipuli, maupun dari Batujagar. Mereka semua mau masuk Katolik. Pada permulaan bulan Juni 1935, datang juga banyak orang dari Simbolon ke Palipi. Mereka minta supaya pastor datang ke Simbolon membuka stasi baru. Pada akhir tahun 1935 pastor Sybrandus membuka stasi Sinagauruk (negeri Urat) dan Rianiate (54 keluarga).
Pada tanggal 08 Nopember 1935, MGr. Brans mengunjungi Samosir. Di mana mana beliau diterima dengan antusias dengan memakai gendang. Kunjungannya yang pertama di Onanrunggu sesudah itu di Sipinggan, Sinagauruk dan di Palipi. Pada tanggal 11 Januari 1936 stasi Onanrunggu diresmikan menjadi stasi ketujuh setelah Sipinggan, Palipi, Sinagauruk (Urat), Simbolon, Rianiate dan Sideak.
Mgr. Brans merasa sebaiknya ada pastor tetap di Samosir. Maka diangkatlah pastor Diego van de Biggelaar (Ompung Bornok) pada tanggal 20 Januari 1936. Pastor Diego pandai berbahasa Batak dan rajin melayani umat. Setelah berpikir cukup lama, pastor Diego memilih Simbolon sebagai tempat tinggal, karena anak kepala kampung Raja Philemon mengusulkan rumahnya menjadi pusat kegiatan pastor. Rumahnya itu dekat desa Silaban. Sejak 1 April 1936 pastor Diego tinggal di situ. Terus menerus terjadi pendirian stasi yang baru. Pada tangggal 10 Mei 1936 didirikan stasi Batujagar, 18 Mei 1936 didirikan stasi Tanggabatu (Lontung), tanggal 25 Mei 1936 didirikan stasi Lobutua, 05 Juni 1936 didirikan stasi Tamba, dan 26 Juni 1936 didirikan stasi Ransangbosi. Pada Akhir tahun 1936, diketahui bahwa sudah terbentuk 13 stasi: Onan Runggu, Urat, Lumban Lintong (Pangururan), Lobutua, Tamba, Boho, Sipinggan, Palipi, Lontung, Sideak, Sirait, Batu Jagar, dan Ransang Bosi.
Akhir Bulan Agustus 1936, pastor Diego jatuh sakit dan akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1936 beliau terpaksa meninggalkan Samosir dan pergi ke Pematangsiantar. Pengganti pastor Diego van den Biggelaar ialah pastor Benyamin Dijkstra (05 Oktober 1938). Pastor Benyamin adalah seorang yang cukup teratur, tegas dan tertib. Pada tahun 1936 diadakan banyak permandian missal: di Onanrunggu 167 orang, di Sipinggan 110 orang, di Sinagauruk (Urat) 105 orang, di Ransangbosi 252 orang dan di Sitonggitonggi 100 orang.
Pada bulan Juli 1940, pastor Radboud Waterreus pindah ke Palipi. Pada waktu itu direncanakan oleh pemerintah, supaya Mogang menjadi pusat pemerintah dan pekan. Karena itu pusat misi juga dipindahkan yaitu dari Simbolon ke Palipi dekat Mogang. Limabelas stasi paroki Palipi yang telah didirikan sebelum Juli 1941.
• Palipi (1935) • Simbolon (1935) • Sinagauruk (1935) • Sideak (1935) • Batujagar (1936) • Lobutua (1936) • Ransangbosi (1936) • Sitatar (1937) • Silimapulu (1938) • Pandiangan (1939) • Siupar (1939) • Sibatuara (1939) • Hobung (1939) • Rapusan (1939) • Simataniari (1941)
Sampai pada tahun 2012 sudah ada 32 stasi berdiri di paroki St. Fransiskus Assisi – Palipi. Dan syukur kepada Allah bahwa pada tahun 2015-2022 paroki St. Fransiskus Assisi Palipi telah memiliki 34 stasi dengan wilayah pemerintahan di dua kecamatan yaitu kecamatan Palipi dan kecamatan Sitiotio, Kab. Samosir.
Beberapa orang awam yang berjasa untuk paroki Palipi sebelum perang dunia II, penjajahan Jepang (1942) adalah Jamauli Lumbanraja (Harian, Nainggolan), O. Siringoringo (Sipinggan), Yulius Sitohang (Palipi), Gayus Sinaga (Sinagauruk), Renatus dan Yonas Sitanggang (Rianiate), Bonifasius Panggabaean (katekis dari Balige), Davis Hutauruk (Sinagauruk), Gideon Sitohang (Sitatar), Guru Tinatea (Sirait), Baginda Sitinjak (Onanrunggu), Renatus Simbolon (Simbolon), Ludu Situmorang (Batujagar), Panurat Situmorang (Lobutua), Johannes Situmorang (Lobutua), Calvin Johannes Tampubolon, Marinus Pandiangan, Arminius Iskandar Situmorang dan Pekianus Tamba.
Pastor pastor yang bertugas di Palipi sebelum 1942 adalah Pastor Diego van den Biggelaar (1936-1938); pastor Procopius Handgraaf (1936-1937), Pastor Oscar Nuyten (1937-1938), Pastor Beatus Jenniskens (1938-1939), pastor Benyamin Dijkstra (1938-1941), pastor Wendelinus Willems (1939-1940) dan pastor Radboud Waterreus (1940-1942).
Kunjungan-kunjungan pertama ke stasi-stasi sangat menggembirakan. Dimana-mana diadakan pesta, makan bersama menyambut kedatangan pastor. Pada waktu itu belum ada pastoran di Pangururan dan stasi-stasi di daerah itu dikunjungi dari paroki Palipi. Pastor Radboud kadang kadang berturne sampai sepuluh hari lamanya. Misalnya pergi ke Tamba (3 stasi), Sihotang, Harianboho, Limbong, Sagala, Buhit, Pangururan dan Rianiate. Sering ikut anak sekolah membawa koper misa antara lain Mangapul Nainggolan, Peter Sinaga dan Kornel Sihombing.
Sejak semula para pastor di Samosir membawa obat ke stasi-stasi. Pada tahun 1950 pastor Radboud membuka poliklinik di kamar makan pastoran, banyak sekali orang datang minta obat. Pada tahun 1951 sekolah Dasar Katolik ditutup karena Mgr. Brans tidak bersedia lagi memberi subsidi kepada sekolah sekolah misi seperti sebelum perang dunia II.
Kornel Sihombing, kemudian Pieter Sinaga, anak dari sintua Herman dari Simbolon mengurus dapur pastoran. Ketika pastor Isidorus Woestenberg datang ke Palipi, Mangapul Nainggolan sering menjadi teman pastor ke stasi.
Oleh pastor Pujahandaya ketika dia mengunjungi Samosir tahun 1947 diangkat dua katekis yaitu Julius Sitohang dan Pekianus Tamba. Ijazah agama diberikan kepada Julius Sitohang, Pekianus Tamba, Jahilon Sinaga, Tabi Sitanggang, dan Calvin Sitinjak oleh Antonius Situmorang (yang kemudian hari menjadi Bruder Marianus).
Pada tanggal 24 Agustus 1950 berangkat 5 seminaris ke Padang. Dua dari mereka berasal dari Palipi ialah Bismar Sinaga, yang kemudian hari meninggal sebagai Frater Apollinaris dan Bonar Sinaga. Yang tiga orang lagi adalah Herkulanus Pakpahan, Humala Simbolon dan Tajom Damianus Sitanggang. 05 Maret 1951 Antonius Situmorang diterima sebagai postulan kongregasi Budi Mulia di Bogor.
Pada 05 Maret 1951 diusulkan oleh Kalvin Tampubolon supaya Pandita Situmorang menjadi guru agama di Pangururan dan Mangantar Laurentius Sinaga menjadi guru agama di Palipi. Akhirnya mereka ditukar. Pandita Situmorang tinggal tetap di Palipi dan Mangantar Sinaga ke Pangururan.
Pada tangggal 04 Januari 1951 pastor Isidorus Woestenberg menjadi teman pastor Radboud di Palipi. Supaya ada tempat untuk pastor, Josef Iskandar Arminius Situmorang pindah dari rumah pastor. Pada bulan Juni 1951, pastor Nilus Wiegmans diangkat menjadi pastor di Palipi dan pastor Radboud Watterreus pergi ke Pangururan. Pastor Isodorus tinggal di tetap di Palipi. Pada waktu itu daerah Tamba, kecamatan Harianboho, buat sementara masuk Pangururan.
Suster KYM sebelum perang dunia II mempunyai rumah di Kotaraja, Bagansiapiapi dan Pematangsiantar. Setelah perang ternyata tidak mungkin lagi kembali ke Kotaraja dan Bagansiapiapi. Karena itu kongregasi mencari tempat baru. Mgr. Brans sudah mengerti bahwa tiba saatnya menambah kongregasi suster di Tanah Batak. Hanya ada susteran di Balige. Pada Oktober 1950 Mgr. Brans mengusulkan kepada pimpinan suster KYM memulai rumah baru di Palipi. Pada libur paskah, pastor Beatus Jenniskens bersama suster suster KYM yang berkomunitas di Pematangsiantar meninjau ke Palipi yaitu Muder Antonine van de Wetering, Sr. Bonifacia Peters, Sr. Embarta Thomassen dan Sr. Benitia Tan. Para suster ini cukup senang dan setelah beberapa waktu mereka pergi ke Palipi, bertempat tinggal di pastoran dan pastor Nilus serta pastor Isodorus pindah ke kelas sekolah yang baru didirikan. Satu kamar yang disebut kamar pavilion disedikalah sebagai poliklinik dan kamar di sampingnya ditempati oleh Justina br. Sitanggang, yang direncanakan menolong para suster di Poliklinik.
Pada tanggal 15 Nopember 1951 pasien pertama diterima dan dirawat di poliklnik ini. Kemudian pada tanggal 19 Nopember 1951 poliklinik dan sekolah menjahit diresmikan. Di kemudian hari sekolah menjahit menjadi SKP. Sekolah ini mulai dengan Sembilan murid. Polklinik suster berkembang dengan baik. Makin lama makin banyak pasien datang dari seluruh Samosir untuk berobat. Sr. Bonifacia bersama Sr. Marie Andrea dan Yustina menjadi wanita wanita yang paling dikenal di Samosir. Para suster rajin mengunjungi keluarga keluarga dan ikut doa Rosario. Pastor Wiegmens mengajar suster berbahasa Batak. Yustina menjadi orang penting antara pasien dan suster, yang masih kurang memahami bahasa daerah.
Pada tanggal 04 Januari 1952 pastor Isidorus Woestenberg dipindahkan dari Palipi ke Pangururan. Pastor Stepanus Krol menjadi penggantinya. Pada tanggal 17 Juli 1952 dua uskup mengunjungi prosesi sakramen Mahakudus di Onanrunggu yaitu Mgr. brans dan Mgr Mekkelholt (Palembang). Hadir juga 25 pastor dan 8 suster, semuanya orang Eropah. Belum ada pastor, bruder atau suster pribumi. Dari tiga paroki di yang ada di Samosir, umat datang ke Onanrunggu. Bruder Victricius berusaha terus supaya sungai di belakang pastoran dan susteran tidak mengancam kompleks Katolik karena sering longsor.
Pada tanggal 01 Agustus 1055 SD Katolik dibuka (lima kelas) dan 15 Sptember 1955 asrama puteri selesai dibangun. Pada tahun 1955 Bakkara dan Muara menjadi bagian paroki Palipi. Setelah beberapa tahun kemudia dipindahkan dua daerah itu ke Paroki Doloksanggul.
Pada tanggal 04 Juli 1955 rumah suster diberkati oleh Mgr. Ferrereius Van den Hurk dan kemudian pada tanggal 27 Desember 1955 Gereja Palipi diberkati. Pada tangggal 15 Februari 1957 Palipi bersama Pangururan menerbitkan majalah Porbarita. Pada tanggal 29 Februari 1960 pastor Wiegmens dipindahkan ke Onanrunggu. Pastor Rompa menjadi pastor kepala, dibantu oleh pastor Remigius Pennock. Pastor Pennock ini terkenal karena lukisannya di gereja Palipi, Simbolon, Sinagauruk, Sibatuara dan Pangururan.
Pada tanggal 28 Juli 1961 pastor Remigius Pennock dipindahkan ke Sidikalang dan pastor Thomas Leontius van den Heuvel penggantinya. Pada tanggal 24 Maret 1963 Pastor Ajut Mathias dari Swiss bertugas di Palipi dan Pastor Meinrad Manser juga dari Swiss ditempatkan di Pangururan. Pada tanggal 03 Januari 1967 pastor Ansfridus pindah ke Palipi. Pada bulan Desember 1969 misa pertama dipimpin oleh pastor pertama paroki Palipi yaitu pastor Ambrosius Sihombing. Pada tahu 1969 klinik bersalin dibuka. Pada tahun 1974 aula selesai dibangun dan pada 05 Januari 1974 pentahbisan pastor Simon Sinaga dan pastor Martinus Situmorang (dan pastor Venantius Sinaga, yang berasal dari Palipi tetapi orangtuanya sudah lama di Medan). Pastor Simon menjadi guru di Seminari Menengah Pematangsiantar dan pastor Martinus pergi ke Roma meneruskan studinya. Pada tanggal 10 Oktober 1974 pastor Liefink kembali ke Nederland untuk selama lamanya. Pastor Raoudboud tinggal di Palipi sebagi teman untuk pastor Thomas.
Karya Pelayanan, Pembangunan & Strategi Pelayanan
Karya Parokial
Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi yang resmi berdiri sejak tahun 1936 ini diberikan nama pelindung Santo Fransiskus dari Assisi. Jumlah Stasi terdiri dari 34 stasi yang dibagi ke dalam 8 rayon.
Pada periode 2017 sampai 2021, Karya parokial ini dilayani oleh pelayan atau sering diebut Tim Pastoral. Tim Pastoral yang dimaksud untuk lima tahun terakhir ini terdiri dari 3 orang pastor, 4 orang katekis, dan 3 orang sekretaris paroki. Ketiga imam itu adalah RP Damianus Gultom OFM Cap (Pastor kepala paroki), RP Ferdinand Lister Tamba, OFM Cap, (Vikaris Paroki), dan RP Samuel Aritonang OFM Cap (Pastor asisten). Sementara keempat katekis itu adalah Bapak Jadiaman Situmorang, (stasi Batujagar), Aston Pandiangan (Stasi Pandiangan), Bapak Sanur Sitohang (Stasi Torudolok) dan bapak Hadirian Naibaho (Stasi Tarabunga). Tim inilah yang menjadi tenaga full timer di Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi.
Keadaan Fisik Gereja dan Upaya Pembangunan
Setiap tahun Paroki mengadakan pembangunan dan perehapan fisik gereja. Selain pembangunan dan perehapan bangunan gereja stasi, juga pembangunan aula paroki. Strategi atau cara yang kami buat untuk percepatan pembangunan fisik gereja ada dua yaitu dengan cara sentralistik keuangan paroki dan dengan gotong royong. Sistem gotong royong yang dijalankan meliputi: Pengumpulan dana pembangunan per KK, pengumpulan dana lewat lelang, acara mangulosi, dan menjalankan beberapa proposal kepada donatur paroki. Sementara sistim sentralisasi adalah memusatkan semua keuangan stasi-stasi di paroki yang di dalamnya termasuk, kolekte pertama, kolekte kedua, kolekte khusus dan kolekte bangunan. Bantuan finansial tetap dimohonkan kepada keuskupan dan para donatur lainnya (pribadi, kelompok pun istasi pemerintahan).
Pencarian dana untuk pembangunan gedung gereja permanen dan perehapan sungguh menguras tenaga, pikiran dan perhatian. Pada umumnya kondisi bangunan gereja gereja stasi masih setengah permanen. Ada beberapa gereja stasi yang sudah permanen tetapi butuh perehapan sesegera mungkin karena efek gempa dan tanah longsor seperti Sibatuara dan Pangaloan, stasi Hutaraja dan stasi Sabalangit. Fisik gedung gereja yang sudah permanen adalah stasi Tarabunga, Hutaraja, Dolok Maratahan, Silaban, Rapusan, Sabalangit, Pandiangan dan stasi Siupar. Bangunan fisik gereja yang sudah permanen tetapi segera butuh perehapan adalah stasi Palipi, stasi Sinagauruk. Kedua stasi itu butuh perehapan karena sudah tua dan lapuk. Sementara bangunan fisik gereja stasi yang lain masih setengah permanen keculi stasi Bolean dan stasi Pamutaran yang kondisi fisik gerejanya masih darurat. Kedua stasi ini disebut darurat karena diniding gereja dari papan tua dan sudah lapuk serta lantai tanah atau semen yang sudah retak.
Sampai saat ini ada dua gedung gereja stasi yang belum selesai karena sedang proses pembangunan. Kedua stasi itu adalah stasi Sigaol dan stasi Lumban Malau. Stasi Sigaol sudah mulai perehapan total bangunan fisik gereja sejak tahun 2019 tetapi sampai sekarang belum juga selesai. Stasi Lumban Malau memulai perehapan total fisik gereja mulai tahun 2021 namun sampai sekarang juga belum selesai.
Metode dan Strategi Pelayanan
Metode pelayanan yang tetap dijungjung adalah memastikan kinerja Dewan Pastoral Se-Paroki Fransiskus Asisi Palipi berjalan dengan baik. Strategi ini diyakini sangat cocok untuk menjamin kualitas pelayanan di Paroki ini. Untuk mendukung cita-cita ini, jalan yang ditempuh pertama-tama, menjalin kerja sama yang baik dengan pengurus DPP beserta seksi. Kerjasama ini tampak dalam bentuk rapat yang teratur dan melibatkan mereka dalam setiap kegiatan.
Kedua, kerjasama yang baik antara DPP dengan pengurus rayon dalam menganimasi kegiatan rayon hingga ke stasi. Kesuksesan yang diimpikan dapat diraih bila kerjasama dalam team berjalan dengan baik. Ketiga, memberdayakan Dewan Stasi dan Lingkungan dalam menganimasi dan menghidupan peribadatan. Keempat, melibatkan sedapat mungkin komisi-komisi Keuskupan dan segenap unsur lembaga/ unit sekolah demi pengembangan hidup menggereja yang subur. Kelima, memastikan kerja sama yang baik di kalangan para petugas pastoral sendiri. Ada rapat yang teratur di antara tim pastoral untuk menentukan arah perjalanan paroki, pembagian tugas dan tanggung jawab, penyusunan program dan perjalanan bulanan. Demi terlaksananya karya pelayanan paroki ini maka petugas pastoral diberi tanggung jawab dengan kesepakatan bersama.
Biasanya dalam Rapat Pastoral (RAPAS) para petugas pastoral membicarakan segala program yang akan dilaksanakan di Minggu atau Bulan yang sedang berjalan. Pembagian tugas ini dimaksud untuk mengefektifkan dan sekaligus memudahkan pelayanan agar tepat sasaran. RAPAS ini juga menjadi kesempatan untuk mengevaluasi diri tim pastoral dengan segala karya-karya pelayanan di sepanjang minggu. Dan secara bersama kami mencari solusi yang tepat demi kebaikan bersama. Prinsip ini selalu memotivasi tim dalam berpikir dan bertindak di Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi ini.
Metode pelayanan yang sudah berjalan selama ini ialah kunjungan stasi dan lingkungan. Dalam karya pelayanan ke stasi, kami melayani dengan tidak memilih-milih stasi yang dekat atau jauh, yang sudah bisa dilalui roda empat pun yang masih dilalui roda dua. Pelayanan sermon juga berjalan secara merata mau di tempat jauh atau tidak tetap kami terima dengan gembira. Selain itu, Paroki juga menyelenggarakan pembinaan dan kursus-kursus seperti kursus Kitab Suci, Katekese, Liturgi, Kepemimpinan, Kotbah, Mandok Hata bagi dewan pastoral Rayon dan Stasi, pembinaan bagi guru-guru Asmika se-Paroki, pembinaan OMK se-Paroki, dll. Kursus perkawinan selama satu hari bagi calon-calon pengantin juga rutin dijadwalkan di paroki ini. Katekese dan pembinaan bagi calon Babtis, Komuni pertama, Krisma dan penerima sakramen lainnya umumnya dilakukan di sati masing masing.
Sejarah Pelayanan Suster KYM
Suster KYM sebelum Perang dunia Ke -II mempunyai rumah di Kota Raja, Bagan Siapiapi dan Pematang Siantar. Setelah Perang situasi tidak memungkinkan para Suster ke bali ke Kota Raja Bagan Siapiapi karena itu Kongregasi mencari tempat baru. Mgr. Brans sudah mengerti bahwa tiba saatnya menambah Kongregasi baru di tanah Batak. Pada Oktober 1950 Mgr Brans mengusulkan kepada Pimpinan Suster KYM di Schijndel Belanda untuk memulai rumah baru di Palipi. Pada libur Paskah Pastor Beatus Jenniskens Bersama 4 orang suster KYM dari pematang Siantar Meninjau ke Palipi yaitu 1. Muder Antonine Van de Wetering, 2 Sr Bonifacia Peters, Sr. Emberta Thomassen dan Sr Benecia Tan. Para suster cukup senang dan stelah beberapa waktu mereka pergi ke Palipi, bertempat tinggal di Pastoran dan pastor Nilus dan pastor Isidorus pindah ke kelas sekolah yang baru didirikan. Dan satu kamar yang disebut sekarang pavilium disediakan sebagai poliklinik dan kamar disampingnya di tempati oleh Justina br. Tanggang, yang direncanakan menolong para suster di Poliklinik.
Pada tanggal 15 November 1951 Pasien pertama dirawat dan 19 November 1951 Poliklinik dan sekolah menjahit di resmikan. Di kemudian hari sekolah menjahit menjadi SKP (SKKP). Sekolah ini mulai dengan sembilan orang murid. Poliklinik suster berkembang dengan baik. Makin lama makin banyak pasien dari seluruh Samosir datang untuk berobat. Sr. Bonifacia Bersama Sr. Marie Andrea dan Ibu Yustina menjadi Wanita-wanita yang paling dikenal di Samosir.
Karya yang dilakukan oleh para suster selain sekolah dan Kesehatan, para suster juga giat mengunjungi keluarga-keluarga dan ikut doa rosario Bersama. Selain itu juga Pastor Vwiekmans mengajar suster-suster berbahasa batak. Ibu Justina juga membantu para suster untuk melayani pasien karena para suster belum memahami Bahasa daerah yaitu Bahasa batak.
Seiring perkembangan zaman dan melihat kebutuhan masyakat Palipi akan pentingnya Pendidikan, pengurus Yayasan cinta kaum Wanita yaitu Yayasan St. Laurensius membuat permohonan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah Sekolah Kepandaian Putri menjadi sebuah SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Hal ini mendapat tanggapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kepala Biro Keuangan, SKKP RK Bintang Samosir Palipi diintegrasikan menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama bersubsidi dengan nama SMP RK Bintang Samosir Palipi dan pada 1 Januari mengikuti Kurikulum 1975.
Dengan berdirinya karya Kesehatan dan karya Pendidikan yang dirintis oleh para Suster ini menjadi cikal bakal dan menjadi pendorong semakin berkembangnya dan bertambahnya jumlah para Suster pribumi yang memberikan diri untuk berkarya menjadi Suster di Konggregasi KYM yang kemudian hari juga menjadi suster yang berkarya di bidang Kesehatan dan Pendidikan di pulau Samosir khususnya daerah Palipi dan sekitarnya. Kemajuan karya dalam bidang Pendidikan juga didukung dengan diadakannya fasilitas asrama putra dan putri untuk menampung pelajar-pelajar yang datang dari daerah di Samosir dan luar Samosir. Pengadaan fasilitas asrama putra-dan putri secara langsung memajukan citra sekolah Katolik, karena para siswa dan siswi yang tinggal diasrama secara disiplin diajari dan dibina oleh para suster yang berkarya di Palipi. Bukan hanya pembinaan di sekolah namun juga pembinaan di luar sekolah atau di asrama.
Seiring berjalannya waktu karya para Suster KYM di Palipi merambah juga ke karya sosial di bidang kelompok tani dengan dibentuknya sebuah Gapoktan. Gapoktan merupakan akronim dari Gabungan Kelompok Tani. Sejak tahun 2008 Kelompok Tani di Palipi telah di rintis, letaknya di Desa Palipi dan sampai Tahun 2017 sekarang ini umurnya sudah 9 tahun. Dalam perjalanan umur yang sudah hampir 9 tahun ini banyak hal positif yang dicapai walaupun tidak bernilai besar antara lain:
- Kerjasama dengan Pemerintah Daerah melalui dinas terkait terjalin baik
- Ada dana Pemerintah dengan pinjaman lunak untuk petani masih berjalan baik dengan laporan yang teratur tiap bulan ke Pemerintah.
- Dinas pertanian tetap melibatkan kelompok tani binaan Vita Dulcedo dalam beberapa kegiatan atau pelatihan
- Tumbuh kesadaran menggunakan baik uang pinjaman dan mengembalikannya pada waktunya.
- Kelompok kelompok yang masih eksis dapat bekerjasama dengan satu sama lain melalui simpan pimjam diantara mereka.
- Saat ini ada bangunan bronjongan memanjang di belakang asrama, komunitas dan bangunan sekolah yang sudah lama dimohon dan arena kerjasama yang baik dengan pemerintah.
Pendampingan kelompok tani mengacu pada visi dan misi kongregasi untuk menjadikan dunia yang layak huni dengan berpihak pada orang-orang miskin dan menderita. Untuk itu dibutuhkan pembentukan karakter perubahan pola pikir dalam bertani demi menatap masa depan yang lebih baik. Pendampingan ini terjadi karena gerakan belaskasih Pemula melihat kondisi ekonomi para Petani yang kian hari kian memprihatinkan terutama mengenai pengolahan lahan para anggota kelompok tani. Langkah langkah yang terus dilakukan sesuai dengan situasi:
- Pendekatan pada anggota masyarakat yang punya lahan agar tanah mereka dikelola, lalu responnya akan diusahai karena pada waktu itu banyak tanah yang kosong karena hasilnya memprihatinkan kalau dikerjakan akibat banyaknya tumpuhan pupuk kimia yang membuat tanah jadi mengeras seperti lantai semen.
- Mengumpulkan mereka untuk sosialisasi mengenai tujuan pembentukan kelompok tani
- Mengundang Kepala Desa, Camat, penyuluh pertanian dan melaporkan kepada Paroki (Pastor Paroki tentang tujuan pembentukan Kelompok Tani)
- Terbentuk kelompok-kelompok Tani dan sambil penyuluhan pertanian
Hingga saat ini dari awal mula berdirinya karya-karya para Suster KYM di Palipi, para suster tetap melanjutkan dan menjalankan karya-karya tersebut dalam semangat pelayanan dan cintakasih sembari menghidupi semangat-semangat para Suster pendahulu dalam mewujudkan visi dan misi Konggregasi KYM di Palipi.
Sejarah Pelayanan Suster KSFL
Kehadiran KSFL sebagai pengelola Asrama St. Thomas Rasul Tarabunga, Samosir berawal dari permintaan Pastor Nelson Sitanggang OFM Cap, selaku Vikaris Kevikepan Pangururan pada bulan Oktober 2015. Permintaan ini mendapat perhatian khusus dari KSFL, sehingga sejak bulan Januari-Mei 2016, pembicaraan tentang kehadiran KSFL di Tarabunga semakin intensif namun demikian belum ada jawaban yang pasti dari KSFL untuk menerima tawaran tersebut.
Undangan yang belum juga mendapat jawaban dari KSFL selama kurang lebih lima bulan menggerakkan hati Pastor Nelson Sitanggang OFM Cap untuk lebih gigih mengutarakan niat baik mengundang KSFL berkarya di Tarabunga Samosir. Pada tanggal 30 Juni 2016, tepat pada pesta kaul kekal para suster KSFL, disaksikan oleh Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap dan DPU KSFL, Pastor Nelson kembali menegaskan bahwa pengelolaan asrama Santo Thomas Rasul Tarabunga dipercayakan kepada KSFL. Penegasan ini melahirkan kesepakatan bahwa KSFL akan hadir di Tarabunga tahun ajaran 2017-2018.
Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan mendesak muncul dan kesepakatan pun berubah. Awal November 2016, pastor Nelson datang kebiara Pusat KSFL di Pematangsiantar dan memohon agar KSFL bersedia hadir di Tarabunga awal Januari 2017. Permohonan ini disampaikan mengingat bulan Januari-April 2017 sudah dilakukan persiapan penerimaan siswa baru Tahun ajaran 2017-2018, sehingga saat penerimaan siswa baru, kepada calon siswa sudah dapat diinformasikan bahwa pengelolaan asrama dipercayakan kepada tarekat religius.
Kepercayaan mengelola asrama merupakan penghormatan besar bagi KSFL, sehingga KSFL menerima permohonan pastor Nelson OFM Cap. Penghormatan itu disambut baik oleh KSFL dengan mengutus 3 orang suster terbaiknya ke asrama Santo Thomas Rasul Tarabunga dan memulai misi di sana pada tanggal 6 Januari 2017. Para suster yang diutus adalah sr. Avelina Simamora, KSFL,Sr. Melania Nababan, KSFL dan Sr. Helena Silaban, KSFL (Novis II kegiatan stage).
Patut dibanggakan ketiga suster utusan perdana mampu bersahabat dengan kondisi yang ada, terutama fasilitas yang sangat sederhana. Namun apa yang terjadi sesudah KSFL menepi di Asrama St. Thomas Rasul? Suara-suara fals bergaung. Ada kebingungan. Tetapi Bersama Santo Thomas Rasul para suster KSFL berseru “Ya Tuhanku dan Allahku” dan bersama seluruh stake holders Yayasan Pendidikan Kevikepan St. Thomas Rasul Pangururan Samosir Keuskupan Agung Medan, kami pun semakin yakin kepada siapa kami percaya “scio cui credidi”.
Sejarah Pelayanan Suster OSCCap
Bukalah Tanah Baru, Sebab Sudah Waktunya Untuk Mencari Tuhan (Hosea 10: 12.b).
Pada tanggal 7 Mei 2018 sekitar pukul 8.10 WIB dalam masa persiapan pesta Kaul kekal Meriah saudari Sr. Rafaela Harefa & Sr. Gertrud Purba yang akan diadakan pada tanggal 14 Mei 2018, Bapak Uskup Mgr. Anicetus tiba-tiba mengontak Ibu Abdis Sr. Margaretha Sianipar OSCCap. Dia menyangka bahwa beliau mau bertanya sesuatu tentang Pesta kaul kekal, eh..ternyata sapaan beliau seperti ini:
Mgr. Anicetus: Putri...bagaimana dengan rencana membangun biara di Muara Fajar, apakah sudah jelas perkembangannya?
Sr. Margaretha: Belum Monsyiur, status tanah, sertifikat, IMB dan yang lain masih dalam usaha Panitia Pembangunan Keuskupan jawabnya.
Mgr. Anicetus: Begini Putri...melihat jumlah kalian yang sudah terlalu banyak, kami melihat ada tempat yang cocok di daerah Paroki Palipi, disana sekarang ada usaha keuskupan untuk membuat wisata rohani dan Vikjen P. Elias Sembiring spontan mengatakan untuk wilayah tersebut sangat cocok ada Klaris di sana. Jadi...putri berdoalah selama seminggu ini, dan bertanya kepada para sustermu apakah ini kehendak Tuhan atau tidak? Saya tidak mau berjalan bila bukan kehendak Tuhan katanya.
Sr. Margaretha: Baik Monsgiur, saya mencoba menyampaikan hal baik ini kepada persaudaraan. Tetapi ada satu hal Monsgiur...Bukankah sebaiknya kami konsultasi dulu pada Monsgiur Martinus Situmorang, mengingat kami diundang dan mempersiapkan diri pada suatu waktu berangkat ke Muara Fajar?
Mgr. Anicetus: Ya memang...tetap kalian menunggu kepastian dan kesana....suruh yang lain nanti ke situ. Toh kalian punya cukup anggota komunitas. Jadi mari kita berdoa bersama dan melihat terang Tuhan.
Sr. Margaretha: Baik Monsgiur kami bicarakan juga nanti dengan komunitas.
Telephone ditutup dengan ucapan khas Mgr. Anicetus: Baik Putri...selamat.
Sesudah Telepon ditutup, Sr. Margaretha spontan mendekati Sr. Johanna Timmer OSCCap (karena beliau Misionaris senior yang masih ada) dan menyampaikan semua hal apa yang telah dikatakan Mgr. Anicetus. Dan Sr. Johanna dengan senyumnya yang khas mengatakan:...entah mengapa saya merasa ini usul yang baik, karena jantung saya baik dan saya tidak takut....mungkin kehendak Tuhan toh ada biara Klaris nantinya di Pulau Samosir. Kalau begitu kita berdoa bersama ya. Walaupun pernyataan Sr. Johanna sepertinya sangat menyentuh, tetap undangan bapak Uskup membuka biara di Palipi, menjadi pergolakan baru lagi bagi komunitas. Berhubung situasi komunitas dalam masa persiapan pesta kaul kekal, kami tidak punya kesempatan untuk mengadakan pertemuan dengan para Dewan dan suster-suster yang sudah kaul kekal. Dan bukan hal baru tentang niat-niat membuka biara di daerah Pulau Samosir. Persepsi bahwa sulitnya air di daerah Samosir membuat pikiran dan hati tidak “terarah” akan undangan bapak uskup tersebut.
Beberapa hari kemudian Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap mengontak Sr. Margaretha sehubungan dengan perihal maunya didirikan biara Santa Klara di Dolok Nagok, karena di Pusuk buhit itu pasti tidak mungkin, sebab air tidak ada dan lokasinya jauh sekali di atas. Sekarang saya di Keuskupan mau bertemu dengan Bapak Uskup. Tentu beliau akan bertanya tentang Lokasi tanah dan air di daerah Palipi. Pikirkanlah suster katanya.
Tanggal 14 Mei 2018 Pesta Kaul kekal meriah kedua saudaripun tiba! Tentunya Bapak Uskup hadir dan memimpin Perayaan Ekaristi. Sewaktu ramah tamah, Monsgiur memanggil Ibu Abdis Sr. Margaretha dan bertanya, sudah kamu bertanya kepada suster-sustermu? Sr. Margaretha menjawab:..belum sempat Monsgiur karena komunitas sibuk dalam persiapan pesta kaul kekal. Mohon hal ini serius dipikirkan ya Putri dan menganjurkan agar dewan pimpinan Biara Sikeben datang ke Keuskupan menindaklanjuti hal ini.
Hasil pertemuan komunitas, para suster menganjurkan, sebaiknya sebelum menghadap bapak uskup, kita pergi dulu meninjau lokasi tanahnya. Agar pada pertemuan di Keuskupan tidak berandai-andai, atau kurang memahami atas sesuatu yang perlu disetujui.
Atas persetujuan komunitas pada tanggal 4 Juni 2018: Ibu Abdis Sr. Margaretha, Sr. Miryam, Sr. Magdalena, Sr. Bernadette berangkat Ke Palipi untuk meninjau lokasi tanahnya di paroki Palipi. Mereka di jemput oleh P. Damian Gultom pada hari itu dan langsung beliau membawa keempat saudari ke Palipi.
Beliau berusaha agar sampai di Palipi sebelum matahari terbenam, karena para suster berencana kembali pulang ke Sikeben malam itu juga.
Adapun hasil tinjauan lokasi: Kesan spontan adalah latar belakang panaroma Danau Toba yang Indah, aura setempat masih natural, suasana desa yang asli dan jauh dari keramaian, umat yang mayoritas Katolik sangat senang akan kehadiran para suster.
Pada tinjau lokasi P. Damian berbicara tentang sumber air dan pipa ke penduduk dari pemerintah dan ada usaha dari Paroki. Tetapi para suster memberikan bahan pertimbangan sebaiknya biara punya pipa sendiri, karena nanti ada masalah ke depan.
Sesudah meninjau lokasi, dengan pemahaman melihat sebentar dan sudah mendengar cerita Pastor paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap Ibu Abdis Sr. Margaretha, Sr. Fransiska, Sr. Bernadette, Sr. Elisabeth berani menghadap Bapak Uskup pada tanggal 13 Juni 2018.
Untuk pertemuan ini kami meminta agar Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom diundang sebab beliau lebih tahu situasi tanah dan mengenal keluarga Bapak Andrea Sinaga yang akan menjual tanah. Pertemuan diketuai oleh Bapak Uskup, selain para suster juga hadir: P. Leo Sipahutar OFMCap (Vikep Religiosa Keuskupan Agung Medan), P. Ferdi Saragi Pr (Komisi Harta dan Tanah Keuskupan Agung Medan).
Bapak Uskup meminta agar Sr. Margaretha memberikan pernyataan untuk apa pertemuan ini diadakan.
- Bahwa dengan mendengar tawaran dari bapak Uskup sendiri mau mendirikan biara di wilayah Samosir tepat di daerah paroki Palipi. Kami sudah melihat secara langsung bagaimana dengan kondisi tanah dan sekitarnya, kriteria praktis sesuai dengan Konstitusi yang mutlak perlu pendirian Biara Kontemplatif antara lain:
a. Lokasi di Dolok Nagok memberi kepada kami kemungkinan untuk hidup dan berkarya sesuai dengan karisma kami sebagai Klaris.
b. Pelayanan hidup rohani terjamin melalui Perayaan Ekaristi setiap hari, penerimaan Sakramen tobat yang teratur setiap bulan.
c. Tersedia debit air seperlunya, bagi keperluan hidup dan karya kami.
d. Jalan sampai ke lokasi, dapat di tempuh dengan mudah dan lancar oleh kendaraan beroda empat.
e. Kehadiran kami menuntut, bahwa status tanah tempat tinggal kami, memberi segala jaminan hukum. Dimana kami bisa tinggal secara tetap di tempat itu, tanpa batas waktu. - P. Damian mengatakan bahwa mereka bisa mengusahakan misa setiap hari karna memang jarak Pastoran dengan tujuan kira-kira 10 menit dengan sepeda motor. Di samping itu kami sudah melihat bahwa debit air yang mereka katakan melimpah akan mampu membantu sarana kehidupan biara yang memerlukan air yang banyak.
Dan adapun hasil pertemuan ini ada dalam surat selebaran dari keuskupan tertanggal 13 Juni 2018, “Kesepakatan Membuka Biara Klaris Di Dolok Nagok Palipi, Samosir”.
Pada pertemuan tersebut P. Damian masih bercerita tentang bagaimana keluarga bapak Andre Sinaga mau memberikan tanahnya untuk para suster dengan harga pago – pago. Bahwa keluarga ini bercita-cita dengan adanya pusat rohani yang didirikan di sekitar tanah mereka akan memberikan kesempatan untuk berkembang dalam usaha dan ekonomi. Dan Keluarga Sinaga ini mendambakan bahwa para susterlah yang membeli tanah tersebut. Mereka punya 10 Hektar dan 5 Hektar akan dijual ke Biara. Dahulu tanah dipuncak itu adalah tempat kramat bagi leluhur mereka.
Atas cerita P. Damian dan Sr. Margaretha, Bapak Uskup mengatakan: Bagaimanapun masih perlu mempertimbangkan beberapa hal Negatif yakni:
- Bahwa Tanah di samosir lebih gersang bukan seperti tanah di Bandar Baru
- Daerah yg dulu sipele begu, namun mentalnya agak baik tidak dikotori,
- Orang sekitar, kikir. Bagimana dengan bantuan hidup kalian ke depan?
- Ada daerah ekstrim kanan dan kiri. Bisa membuat orang jadi takut
- Walaupun begitu ada keramatnya. Yang tentunya ada unsur kesalehan
Pada pembicaraan lain disinggung apakah para suster memulai hidupnya tunggu sampai didirikan biara atau boleh tinggal di rumah penginapan sementara, yang seperti pada tinjau lokasi kemarin ada rumah 2 lantai milik umat yang kemungkinan bisa di sewa untuk para suster. Lokasinya tidak jauh dari Tanah milik Bapak Andrea Sinaga. Bapak Uskup meminta agar foto rumah tersebut ditunjukkan. P. Damian mengatakan: itu rumah Pak Umar Sinaga mantan kapusin, nanti bisa kita tanyakan pada beliau. Hanya memang air belum dialirkan ke rumah tersebut.
Melihat diskusi ini, bapak Uskup bertanya jadi bagaimana para suster akan niat kalian? Ya Monsgiur, hasil kapitel mendukung akan rencana ini dan akan berdoa bersama. Bapak Uskup meminta agar P. Damian mewakili keuskupan untuk pengurusan tanak ke BPN. mengusakan dengan pihak mana terkaitannya jaminan tertulis bahwa seluruh pipa menjadi hak milik biara (team pengairan) agar tidak ada masalah di kemudian hari. Aplikasi ke lapangan; P. Damian Gultom OFMCao, P. Leo Sipahutar OFMCap, P. Ferdi Saragi Pr dan Sr. Margaretha Sianipar OSCCap Dan Bapak Uskup menugaskan Sr. Margaretha agar:
- Menyusun Komposisi Team suster yg akan berangkat
- Rumah penginapan bisa dimulai suster, tanya berapa sewa?
- Berapa ditambah untuk pembenahan rumah
- Traktor untuk lahan.
- Peralatan tanah, dan patokan tanah. Harus pergi ke Palipi
Tanggal 14 Juli 2018: Pertemuan dengan keluarga besar Sinaga, P. Damian Gultom OFMCap (P. Paroki), P. Oscar Sinaga OFMCap (Pastor rekan) sebagai perpanjangan tangan pihak Keuskupan untuk transaksi pembelian tanah. Sr. Margaretha dan keenam suster yang kelak akan ke Dolok Nagok. Acara berjalan dengan baik, percakapan hangat dan kekeluargaan dengan keluarga besar Sinaga. Mereka sangat bangga dan senang bila para suster kelak membangun Biara Kontemplatif di Dolok Nagok. Doakanlah kami ya suster....
Sesudahnya seperti biasa acara ramah tamah disertai makan bersama yang telah disediakan oleh keluarga Sinaga. Wah...makanan khas batak memang tiada duanya!
Sampai saat ini para suster senantiasa melaksanakan pengabdiannya dengan rendah hati yakni melaksanakan tugas utama; berdoa di dalam Gereja dan untuk Gereja, bekerja dengan menjahit perlengkapan liturgi, jubah, dan menata serta memelihara Gua Maria sebagai tempat rohani di Paroki Palipi-Samosir.
Demikianlah sementara laporan Kronologi Pembukaan Biara Doloknagok di paroki Palipi. Untuk perkembangan selanjutnya kita berdoa bersama agar Tuhan menunjukkan jalan-jalan mana yang harus ditempuh. Dan pada kesempatan ini kami mohon doa dan dukungan dari Bapak Uskup. Semoga kehendak Tuhanlah yang selalu dimuliakan dan dipuji.
Akhirnya terima kasih banyak atas: Undangan, ide, bapak Uskup untuk mendirikan Biara Baru di Pulau Samosir wilayah paroki Palipi kampung Dolok Nagok. Terima kasih banyak atas upaya Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap, P. Oscar Sinaga OFMCap dan Vikep P. Nelson Sitanggang OFMCap dan perhatian, dukungan, pelayanan rohani yang tiada batasnya untuk kemudian.
Puji Tuhan atas kerelaan kedelapan suster, untuk di utus membuka Biara baru di Dolok Nagok, Sr. Agnes Ginting OSCCap, Sr. Magdalena Situmorang OSCCap, Sr. Bernadette Nainggolan OSCCap, Sr. Benedikta Waruwu OSCCap, Sr. Yosefa Sinurat OSCCap, Sr. Dominika Siahaan OSCCap, Sr. Koleta Nahampun OSCCap (Novis), dan Sdri. Mariani Siregar (Postulant). Semoga Ibu kita Santa Klara mendoakan para suster, dan kami para saudari yang tinggal di Sikeben mendoakan dan mendukung para suster. Dan mari kita saling mendoakan.
Terima kasih atas Misa pengutusan hari ini, dan atas kehadiran Bapak uskup, Bapa Spiritualitas P. Guido Situmorang OFMCap, saudara terdekat, tetangga kami para saudara dina Conventual dari Bandar Baru, komunitas Jarang uda, Vikep karo, perwakilan umat Sikeben. Semoga hari ini menjadi berkat untuk kita semua dan semoga rencana-rencana kita diberkati oleh Tuhan.
Video Profil Paroki : -
Lokasi Paroki :