loader image
Kamis, Mei 22, 2025
Lainnya
    Beranda Blog Halaman 18

    Paroki Parlilitan

    0
    Pelindung
    :
    Santa Lusia
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Agustus 1958. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Pakkat.
    Alamat
    :
    Pastoran Katolik, Jl. Sion No. 1, Desa Sihotang Hasugian, Kec. Parlilitan, Humbang Hasundutan – 22456
    Telp.
    :
    0822 9426 7239
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.723 KK/ 7.046 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    27
    01. Alahan
    04. Barati
    07. Hutagalung
    10. Hutari
    13. Mungkur
    16. Pusuk I
    19. Sihabong-habong
    22. Siringoringo
    25. Sitinjo
    02. Ambalo
    05. Baringin
    08. Hutagodung
    11. Janji Huta Nangka
    14. Parluasan
    17. Rumbia
    20. Simbara
    23. Sitapung
    26. Tangkorabi
    03. Amborgang
    06. Bungus
    09. Hutarea
    12. Lae Ardan
    15. Pearaja
    18. Siantar Sitanduk
    21. Sindias
    24. Sitataring Nambadia
    27. Tarabintang
    RP. Sebastian O. Siringoringo OFMCap
    08.12.'81
    Parochus
    RP. Romualdus Dolok Limbong OFMCap
    15.02.’77
    Vikaris Parokial
     
     
     

    Sejarah Paroki Sta. Lusia - Parlilitan

    Sejarah Singkat Paroki (klik untuk membaca)
    Perjalanan sejarah Paroki Santa Lusia Parlilitan tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah Paroki Santo Yohanes Pembaptis Pakkat – Keuskupan Agung Medan. Paroki Santa Lusia Parlilitan merupakan pemekaran dari Paroki Santo Yohanes Pembaptis Pakkat. Per jalanan sejarah paroki ini bermula pada tahun 1951 ketika Pastor Godhard Liebreks OFM Cap tiba di Indonesia. Pastor Liebreks dipersiapkan untuk mendampingi Pastor Oscar Nuyten OFM Cap yang sudah lama bekerja sendiri di Paroki Pakkat. Setelah selesai belajar bahasa Batak Toba di Balige, pada tahun 1952 Pastor Liebreks diutus ke Pakkat. Pada tahun yang sama, dari Pakkat, Pastor Liebreks memulai perjalanannya ke Hutari Pusuk II (sekarang masuk dalam wilayah pelayanan Paroki Parlilitan) yang sebelumnya telah dirintis oleh Pastor Marinus van den Acker OFM Cap pada tahun 1938. Pastor Liebreks juga mengunjungi Stasi Huta Pinang di Parlilitan. Ketika mengunjungi Stasi Huta Pinang ini, Pastor Liebreks melihat bahwa Huta Pinang sangat sentral sebagai pangkalan untuk melayani di wilayah Parlilitan sekitarnya. Dengan pertimbangan itu, maka pastor Liebreks memilih tinggal lebih lama di Huta Pinang Parlilitan.
    Dari Huta Pinang, Pastor Liebreks mengunjungi banyak Gereja pagaran (Gereja stasi) yang sebelumnya sudah dirintis oleh Pastor Oscar Nuyten. Kunjungan Pastor Liebreks ini menghidupkan kembali Gereja stasi yang sudah mati suri sebagai dampak dari masa interniran. Kunjungan Pastor Liebreks ini membangkitkan kembali semangat baru bagi umat yang sudah dibaptis. Sebelumnya mereka memiliki pemikiran bahwa Gereja Katolik tidak ada lagi. Selain mengunjungi Gereja stasi, Pastor Liebreks membuka sejumlah stasi seperti Stasi Karontang, Stasi Batu Simbolon, Stasi Sitataring, Stasi Ambalo, Stasi Baringin, Stasi Pusuk I dan Stasi Tangkorabi.
    Dalam perjalanan waktu, Pastor Liebreks melihat bahwa wilayah pelayanan Pakkat dan Parlilitan harus dipisahkan demi efektifitas pelayanan. Pastor Liebreks ingin Gereja Katolik berkembang dengan baik di wilayah Parlilitan. Pada tahun 1958, berdirilah paroki Parlilitan yang dimekarkan dari paroki Pakkat. Dengan berdirinya Paroki Parlilitan, maka Paroki Parlilitan mulai memakai Liber Baptis (Buku Baptis) dan buku-buku data umat lainnya secara tersendiri. Rumah pastor pun dibangun di Parlilitan (dekat Siboas). Pastor Liebreks memilih nama Santa Lusia sebagai pelindung paroki Parlilitan. Dengan nama Lusia, Pastor Liebreks memberi suatu penegasan yakni Cahaya Kristus telah hidup di Parlilitan melalui Gereja Katolik.
    Pada bulan November 1961, Pastor Liebreks pindah tugas ke Pematangsiantar dan digantikan oleh Pastor Septimus Kampoff OFM Cap. Sepuluh tahun kemudian, pada bulan Agustus 1971, Pastor Leo Joosten OFM Cap tiba di Pakkat untuk membantu di Paroki Pakkat dan Parlilitan. Pada tahun 1973, Pastor Septimus Rompa OFM Cap pindah ke Onan Runggu dan digantikan oleh Pastor Ambrosius Sihombing OFM Cap. Pada Tahun 1981 Pastor Ambrosius Sihombing pindah tugas dan digantikan oleh Pastor Philippus Manalu OFM Cap.
    Demikianlah dalam waktu yang sangat panjang, pelayanan paroki Santa Lusia Parlilitan selalu disatukan dengan paroki Santo Yohanes Pakkat. Pastor Paroki Pakkat sekaligus merangkap pastor paroki Parlilitan. Hal ini tentu saja memiliki efek yang kurang baik bagi perkembangan Paroki Parlilitan, sebab para pastor tinggal di Pakkat dan pada umumnya mereka berangkat hari Senin siang atau sore ke Parlilitan untuk melayani pada hari Selasa karena onan (pasar).
    Ketika para pastor kapusin mulai menekankan hidup bersama, sebagaimana dilanjutkan oleh pastor-pastor pribumi, mereka berkomunitas di Pakkat. Dari sana mereka datang melayani di Paroki Parlilitan sambil bermalam dua sampai tiga hari dalam seminggu. Karena itu perkembangan Paroki Parlilitan sering pula melekat erat dengan Paroki Pakkat. Kendati gembala tidak tinggal tetap di paroki ini, Gereja tetap berkembang berkat kerja sama dengan para pemuka jemaat awam.
    Perlahan-lahan satu dua orang pastor kapusin dicoba lebih menetap di Paroki Parlilitan kendati ia tetap anggota persaudaraan kapusin Pakkat. Selanjutnya Paroki Parlilitan memiliki pastor paroki sendiri. Ini terjadi tgl 02 Agustus 2009, ketika Pastor Andreas Win Turnip OFM Cap dihunjuk menjadi administrator paroki didampingi oleh Pastor Ivan Sialagan OFM Cap. Selanjutnya pada tgl 12 Desember 2012 secara resmi komunitas kapusin di Parlilitan didirikan dengan menghunjuk Pastor Masseo Sitepu OFM Cap sebagai kepala komunitas sekaligus sebagai pastor paroki pertama di Parlilitan didampingi oleh Pastor Ivan Sialagan OFM Cap dan Pastor Giovanno Sinaga OFM Cap. Dengan demikian, para pastor yang melayani paroki Parlilitan sudah menetap di pastoran Parlilitan. Hal ini tentu saja sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan paroki Parlilitan.
    Pada tahun 2016 Pastor Masseo pindah tugas ke Paroki Pangururan. Sejak Oktober 2016 tugas sebagai pastor paroki di Paroki Parlilitan selanjutnya diemban oleh Pastor Fransiskus Manullang OFM Cap. Sebelum menjadi pastor paroki Parlilitan, RP Fransiskus Manullang OFM Cap sudah berkarya di Paroki Parlilitan sebagai vikaris parokial. Pada Juli 2022 RP Fransiskus Manullang pindah tugas ke Paroki St Laurensius Jl Sibolga Pematangsiantar. Sejak tgl 03 Juli 2022 jabatan sebagai pastor paroki diserahkan kepada RP Maximilianus Yesuari Dolla OFM Cap. Pastor Maxi dibantu oleh RP Romualdus Limbong OFM Cap sebagai vikaris parokial. Kehadiran rumah pendidikan postulan I di Siantar Sitanduk (salah satu stasi di Paroki Parlilitan) sangat membantu karya pastoral di paroki ini. Para pastor yang merupakan staf pembina di postulat kapusin Medan itu ikut melayani di Paroki Parlilitan sebagai pastor assistensi. Para calon kapusin (postulan) pada Hari Minggu terjun ke stasi-stasi untuk membina Anak Sekolah Minggu Katolik atau BIA.
    Kehadiran para suster dari Kongregasi FCJM juga memberi warna pelayanan di Paroki Parlilitan. Selain berkarya di bidang kesehatan di Klinik St Theresia Parlilitan dan Klinik Dorkas di Siantar Sitanduk, para suster juga giat mengunjungi dan melayani umat ke stasi-stasi dan lingkungan-lingkungan.
    Pelayanan pastoral paroki Santa Lusia Parlilitan tidak pernah terlepas dari peran aktif Dewan Pastoral Paroki. Keterlibatan seluruh DPP menjadi kunci utama berjalannya pelayanan pastoral yang baik di paroki ini. Proses pelayanan yang meliputi proses pengambilan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dalam pelaksanaan, dan evaluasi kinerja dilakukan secara partisipatif dan transformatif. Partisipatif berarti melibatkan seluruh komponen DPP secara aktif dan dinamis atas dasar kepercayaan bahwa DPP dipanggil untuk mengambil bagian dalam kehidupan Gereja. Transformatif berarti selalu mengusahakan perbaikan terus menerus dalam kebersamaan menuju perubahan nyata yang dicita-citakan oleh Paroki maupun Keuskupan seperti tercantum dalam Nilai-nilai, Visi, Misi dan Fokus Pastoral KAM. DPP terlibat secara aktif dalam pengambilan beberapa keputusan.
    Susteran, Klinik dan Postulan I Kapusin
    1. Komunitas Susteran
    Nama Tarekat : FCJM
    Nama Komunitas : Rivotorto
    Jumlah Suster : 4
    Karya : Klinik, Koperasi, Pastoral
    2. Klinik St Theresia Parlilitan
    Dikelola oleh : Para Suster FCJM Komunitas Rivotorto Parlilitan
    Nama Pelindung : St Theresia
    Jumlah Tenaga Medis : 3
    3. Klinik DORKAS Siantar Sitanduk
    Dikelola oleh : Para Suster FCJM Komunitas Rivotorto Parlilitan
    Nama Pelindung : St Theresia Jumlah
    Tenaga Medis : 2
    4. Postulan I Ordo Kapusin Provinsi Medan
    Nama Pemilik : Ordo Kapusin Provinsi Medan
    Nama Komunitas : Parlilitan
    Jumlah Staf : 3
    Jumlah Postulan Tahun Ajaran 2022 – 2023 : 20
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

     

    Paroki Parapat

    0
    Pelindung
    :
    Santo Fidelis Sigmaringen
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Agustus 1952. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Onan Runggu dan Pematangsiantar
    Alamat
    :
    Jl. Sirikki No. 6, Parapat – 21174
    Telp.
    Ktr. Paroki
    Faks.
    :
    :
    :
    0625 – 41024
    Jl. Merdeka No. 53A
    0625 – 41932
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.818 KK / 7.469 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    20
     
    01. Aek Natolu
    04. Girsang
    07. Lumban Pea
    10. Pondok Bulu
    13. Sibisa
    16. Sipangan Bolon
    19. Tambun Rea
    02. Ajibata
    05. Horsik
    08. Motung
    11. Pulo-pulo
    14. Sigaolgaol
    17. Sipolha
    20. Ujung Mauli
    03. Dolok Parmonangan
    06. Lanting
    09. Onan Sampang
    12. Repa Sileutu
    15. Sigapiton
    18. Sirungkungon
     

     

    RP. Fransiskus Manullang OFMCap
    15.04.'68
    Parochus
         
         

     

    Sejarah Paroki St. Fidelis Sigmaringen - Parapat

    Awal Misi dan Perkembangan (klik untuk membaca)
    A. Pengantar
    Misi Gereja Katolik di wilayah Parapat merupakan sebagian kecil dari misi Gereja di Tano Batak. Tanah Batak, Tapanuli, sudah lama diimpikan oleh para missionaris Gereja Katolik. Pemikiran itu muncul sangat dilatarbelakangi oleh besarnya minat orang Batak sendiri yang sejak tahun 1922 meminta kehadiran Misi Katolik. Beberapa tokoh orang Batak menulis surat permohonan kepada pemimpin Gereja Katolik yang berpusat di Padang.
    Sejak tahun 1911, Padang dijadikan sebagai Prefektur Apostolik, yakni Prefektur Apostolik Sumatra. Atas permintaan tersebut, pemimpin misi Gereja membulatkan hati untuk mengarahkan karya misi ke daerah Tano Batak. Akan tetapi, hal itu tidak segera terwujud karena berbenturan dengan peraturan pemerintah Belanda yang melarang adanya misi ganda antara Katolik dan Protestan di suatu daerah, sebab karya zending Protestan di kalangan orang Batak Toba sudah dimulai sejak tahun 1860.
    Pemimpin Gereja Katolik di Padang, Mgr. Matias Brans, OFMCap berusaha meminta ijin dari pemerintah Belanda untuk masuk ke daerah Tapanuli mengingat bahwa masih banyak di daerah Tapanuli yang belum menjadi Kristen. Sementara menunggu ijin tersebut, Gereja Katolik sudah mulai berkontak dengan orang Batak di daerah Medan, Sibolga dan Pematangsiantar. Misi Gereja Katolik sebenarnya sudah mulai di Medan sejak tahun 1878 oleh anggota Serikat SJ, yaitu P. Wennecker, SJ., yang mengunjungi Medan secara berkala. Selanjutnya misi masuk ke daerah Sibolga pada tahun 1923 oleh P. Marinus Spinjers, OFMCap., dan ke daerah Laras (Pematangsiantar) pada tahun 1931 oleh P. Aurelius Kerkers, OFMCap.
    Pada tahun 1933, Mgr. Brans menerima kabar gembira bahwa pemerintah Belanda mengijinkan Gereja Katolik masuk ke Tanah Batak. Ijin itu diterbitkan sangat dilatarbelakangi juga oleh semakin banyaknya desakan orang Batak kepada Pemerintah Belanda agar Gereja Katolik diijinkan masuk ke daerah mereka. Momen tersebut tidak disiasiakan oleh karya misi. Dengan segera, Mgr. Brans mengutus para missionaris pergi ke segala penjuru Tanah Batak dengan pesan: “Pergilah, carilah kontak dengan masyarakat, entah waktu siang atau pun waktu malam”.
    Dengan ijin yang ada, para missionaris menjalankan tugas dengan semangat dan tanpa kenal lelah. Dan, dalam waktu yang relatif singkat, Gereja Katolik sudah memasuki daerah-daerah yang kemudian menjadi paroki-paroki penting yakni: Balige (1934), Sawah Dua (1934), Simbolon, Palipi, Pulo Samosir (1936), Lintong Nihuta (1937), Pematangsiantar (1938), Saribudolok (1938), Sidikalang (1938), Onanrunggu (1939), Pangururan (1942) dan Pakkat (1942). Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, Misi Gereja Katolik sudah tersebar luas ke berbagai daerah.
    Permulaan misi Katolik tidak serta-merta mudah diterima masyarakat. Sebagaimana pengalaman P. Sybrandus OFMCap, yang telah tinggal di Balige sejak tanggal 5 Desember 1934, awal kehadirannya memperoleh kesulitan dan hambatan dari pemerintah kolonial Belanda. Hambatan lain beliau alami juga dari sebagian rakyat yang mendiami daerah Toba, Humbang dan Rura Silindung. Akan tetapi, beliau memiliki hati yang penuh cinta kasih dan tetap optimis untuk menyebarkan misi Katolik di wilayah Tapanuli. Sebagai langkah awal, P. Sybrandus mempelajari dan menguasai bahasa Batak Toba, sehingga beliau dapat berdialog dengan warga yang dijumpainya di jalan-jalan dan di “lapo-lapo” (kedai-kedai).
    Selain pelayanan rohani, Pastor juga memperhatikan kesehatan masyarakat, mengusahakan pendidikan, dan bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat. Dengan metode tersebut, perlahan-lahan beliau mendapat rasa simpati dari warga setempat. Beliau melayani kerohanian umat dan berkarya untuk menyebarkan ajaran dan misi Katolik dari kota Balige sampai ke Porsea, Lumban Julu, Sibisa, dan ke beberapa tempat sekitarnya. Daerah Parapat dan sekitarnya tidak ketinggalan menjadi sasaran Misi yang di kemudian hari menjadi Paroki Parapat.
    B. Awal Misi dan Perkembangan
    Gereja Katolik Paroki Parapat memulai sejarahnya pertama-tama dari wilayah luar Parapat. Wilayah Parapat sendiri berada di antara segitiga paroki yang telah ada yakni Paroki St. Laurensius Jl. Sibolga Pematang Siantar, Paroki Balige dan Paroki Onan Runggu. Posisi kota Parapat yang berada di wilayah pertigaan membuat proses pembentukan paroki datang dari tiga arah.
    Dari arah Pematang Siantar, karya misi Gereja Katolik masuk ke daerah Parapat terjadi pada awal tahun 1934 dengan kehadiran P. Aurelius Kerkers, OFMCap. Stasi yang pertama dibentuk adalah stasi Girsang dan komunitas Sualan pada tahun 1934. Pada tahun tersebut, gereja darurat sudah didirikan di Girsang dan Sualan. Pendirian gereja stasi Girsang dapat terlaksana setelah pastor berkomunikasi dengan Bpk. Anggarajim Sinaga yang sudah tertarik masuk menjadi Katolik. Satu tahun kemudian, rumah pastor (pastoran) dibangun di samping gereja Stasi Girsang. Para misionaris datang mengunjungi umat secara berkala dan bermalam di stasi ini. Selain para misionaris, Bpk. Kenan Hutabarat, seorang katekis dari Pematang Siantar, datang juga mengunjungi dan mengajari umat stasi.
    Dalam tahun yang hampir bersamaan, para misionaris para misionaris juga sudah mengunjungi Ajibata. Beberpa umat cukup antusias menjadi Katolik. Pada tahun-tahun awal itu umat Ajibata masih beribadat bersama umat stasi Girsang. Lambat laun mereka beribadat di rumah umat di daerah Sijambur sejak tahun 1938. Tahun itulah dijadikan sebagai tahun berdirinya Stasi Ajibata. Seterusnya, umat Stasi Ajibata mendirikan gereja darurat pada tahun 1966 yang direhab secara bertahap dan akhirnya menjadi gereja permanen.
    Selanjutnya, dari Girsang, bersama Bpk. Kenan Hutabarat, para misionaris perlahan-lahan memperkenalkan Gereja Katolik di Kota Parapat. Pada saat itu tekanan berat dialami oleh Gereja Katolik terutama dari pihak Gereja HKBP yang sudah terlebih dahulu berdiri di Kota Parapat. Atas dukungan P. Aurelius, sekitar tahun 1938, Bpk. Kenan berhasil membeli rumah kecil di daerah Dolok Pangulu, Jl Sirikki (di sekitar Wisma Biara Kapusin sekarang). Rumah itu dikenal juga dengan nama “rumah ijuk”. Perlahan-lahan Bpk. Kenan memperkenalkan Gereja Katolik. Akan tetapi, misi lebih intensif dilaksanakan sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia oleh usaha P. Diego van den Biggelaar.
    Misi dari arah Balige terjadi pada tahun 1934 di Sibisa oleh Bpk. Johannes Nadapdap. Bpk. Johannes mengenal Gereja Katolik dari P. Sybrandus van Rossum, OFMCap., misionaris di Balige. Kemudian beliau memperkenalkan ajaran Katolik kepada keluarganya yang menganut aliran kepercayaan parmalim. Atas dukungan P. Sybrandus, pada tahun 1935 gedung gereja Katolik bersifat darurat didirikan di Desa Sosor Pea Sibisa. Pada masa awal ini sudah ada umat 10 KK. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1936 jumlah umat bertambah menjadi 40 KK.
    Pada tahun-tahun berikunya Gereja Katolik memasuki daerah lain yakni Sirukkungon (1939). Kehadiran Gereja di Sirukkungon adalah atas inisiatif masyarakat dan mereka mengundang kehadiran P. Sybrandus. Awalnya mereka hanya 15 KK. Pada tahun yang sama P. Sybrandus mendirikan Stasi Aek Natolu. Mereka awalnya mengadakan peribadatan di rumah Bpk. Emmanuel Sitorus, yang juga kepala kampung di tempat itu.
    Arah misi ketiga yakni dari Samosir, yang dipelopori oleh P. Beatus Jennisken, OFMCap. Stasi Sirukkungon yang sebelumnya dilayani oleh P. Sybrandus selanjutnya mendapat pelayanan dari Paroki Onan Runggu. Pada tahun 1950 Gereja Katolik didirikan di Sigapiton, dengan jumlah umat 7 KK, dan mendapat pelayanan dari Onan Runggu.
    Kegemilangan misionaris Belanda di sekitar Tanah Batak secara khusus, dan secara umum di Nusantara, untuk sementara terhenti pada tahun 1942. Belanda yang telah berkuasa di nusantara selama kurang lebih 350 tahun digantikan oleh Jepang. Guna menegakkan kekuasaannya, pemerintah militer Jepang mengeluarkan undang-undang yang mengatur dan membatasi gerak lembaga agama. Pada April tahun 1942 para misionaris berdarah Belanda, baik imam, Frater dan suster, ditangkap dan dikirim ke kamp pengasingan selama masa penjajahan Jepang hingga tahun 1945.
    Penyerahan Jepang kepada sekutu pada 14 Agustus tahun 1945 ternyata belum mengakhiri kemandekan karya misi Katolik. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer yang pertama atas negara Indonesia. Situasi tersebut mengakibatkan banyak umat meninggalkan Gereja. Sementara itu, para misionaris telah dibebaskan dari pengasingan, walaupun mereka masih ditahan di Medan karena ketidakstabilan dan ketidakamanan situasi karena konflik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan Belanda.
    Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 membuat kondisi politik dan keamanan lebih stabil. Namun penetapan garis demarkasi antara Parapat dan Ajibata mengakibatkan kesulitan tertentu bagi masyarakat. Ketika itu, wilayah Parapat-Tigaraja masuk daerah kekuasaan Belanda sementara Ajibata masuk daerah Republik. Penduduk dari kedua daerah ini tidak diperbolehkan melintas melewati garis demarkasi. Penetapan dan pelarangan itu menghambat misi Gereja.
    Sejarah Gereja yang tersakiti semasa penjajahan Jepang hingga masa perang kemerdekaan Indonesia (1942-1947) menjadi pengisi halaman kosong Periode Gereja Katolik Indonesia. Pada periode ini ditegaskan peranan kaum awam yang bukan biarawan-biarawati dalam jatuh-bangun eksistensi kehidupan Katolik. Para guru agama atau katekis yang telah mendapat pendidikan dari para misionaris menjadi tulang punggung pelayanan Gereja. Peranan mereka tidak dapat diremehkan. Di Tapanuli, terorganisasi dengan tokohnya Bonifasius Panggabean dari Balige. Mereka bekerja tanpa gaji. Hal yang sama juga terjadi di tempat-tempat dimana para misionaris telah mendirikan komunitas umat Katolik. Pada periode “awam” ini juga di beberapa tempat umat menjadi berkurang.
    Pelayanan para misionaris tampil kembali setelah masa internir berakhir. Mereka langsung bergerak cepat untuk mendapatkan kedudukan yang kuat di kota Parapat. Pada tahun 1948 P. Diego yang dibantu oleh Bpk. Kenan Hutabarat berhasil membeli tanah pertapakan untuk gereja yang terletak di daerah Lumban Gambiri, tepatnya Jl. Merdeka (lokasi PPU sekarang), dari Op. Gokman Sinaga, Op. Tunggul Sinaga, dan Padang Sinaga. Namun setelah dilaporkan kepada P. Biggelaar OFMCap, pastor tersebut kurang setuju dengan lokasi yang telah dibeli. Tanah tersebut tidak rata dan labil, maka sempat dibiarkan. Pastor kembali meminta Bpk. Kenan untuk mencari tanah yang lebih strategis. Kemudian tanah baru diperoleh di lokasi “rumah ijuk” (ala di belakang gereja sekarang) di sekitar Dolok Pangulu (Jl. Sirikki Parapat, dekat wisma biara kapusin sekarang). Bangunan yang ada di lokasi tanah tersebut berukuran 6x7 meter. Rumah ini difungsikan sebagai gereja darurat dan digunakan lebih kurang tiga tahun untuk kegiatan rohani yang dilayani oleh P. Diego. Ketika itu jumlah umat sudah ada 10 KK.
    Pendirian Paroki
    C. Definitif menjadi Paroki
    Pendirian Paroki Parapat yang definitif dimulai lebih serius oleh P. Beatus Jennisken, OFMCap. Beliau memulai misi itu sejak tahun 1952. Walaupun ada kesulitan dari pihak zending Protestan, P. Beatus bercita-cita bahwa misi Katolik harus berdiri kokoh di Kota Parapat. Misi dimulai dengan mendirikan rumah di daerah Tomok Siholing, Pulau Samosir. Dari sana beliau dengan semangat melaksanakan karya misi ke Parapat, termasuk menghidupkan kembali komunitas Sualan yang telah lama terlantar. Pada tanggal 5 September 1952 P. Jennisken mulai menggagas Stasi Parapat.
    Pada tahun itu, jumlah umat telah bertambah menjadi 60 KK. Dua tahun berikutnya (1954) secara resmi berdirilah Stasi Parapat, yang juga tempat bergabung umat komunitas Sualan. Perayaan tersebut dipimpin oleh Superior Regularis, P. Ferrerius v.d. Huurk, OFMCap, dan didampingi P. Beatus Jenniken sebagai parokus pertama. Umat dari Girsang, Ajibata, Motung, serta Onan Runggu ikut serta dalam pesta gembira tersebut. Ketua Dewan Stasi pada waktu itu adalah Bapak Pain Petrus Sinaga (A. Flora).
    Pendirian Stasi Parapat ditentang oleh pihak gereja HKBP dengan melayangkan surat keberatan kepada Asisten Wedana (struktur jabatan dalam pemerintahan Hindia Belanda yang kira-kira sama dengan camat sekarang) di Tanah Jawa. Surat itu dibatalkan karena ditengarai penuh dengan sentimen pribadi dan keagamaan.
    Sesudah perayaan pendirian gereja Stasi Parapat, P. Jennisken mulai menggagasi pembangunan gereja permanen. Keluarga P. Jennisken sangat banyak membantu biaya pembangunan. Dalam proses pembangunan itu, umat berperan aktif seperti bergotong-royong dan memberikan sumbangan berupa pasir dan batu padas sebanyak dua truck/KK. Pembangunan itu mulai terlaksana pada tanggal 17 Oktober 1955.
    Seiring dengan berdirinya Gereja Parapat, P. Jennisken memindahkan kedudukan paroki dari Tomok ke Parapat pada tanggal 1 April 1955. Keputusan itu dilihat sangat positif. Pelayanan pastoral dapat berjalan lebih mantap karena didukung fasilitas dan jalur transportasi yang lebih memadai.
    Pada tangggal 2 Januari 1956, ketika P. Marianus v.d. Acker, OFMCap, menjadi Superior Regularis Ordo Kapusin Medan, gereja baru dibangun dan menjadi Gereja Katolik Biara Kapusin dan sekaligus berfungsi sebagai gereja Stasi Parapat. Pada tahun itu juga dibangun gedung seminari untuk Novisiat Biara Kapusin serta gedung untuk pendidikan Filsafat dan Teologi bagi para calon imam. Dalam proses pembangunan itu, Superior Regularis Ordo Kapusin Medan menegaskan bahwa komunitas di Parapat bukan lagi Pastoran Katolik Parapat melainkan Biara Kapusin Parapat.
    D. Pergantian Penggembalaan dan Perkembangan Wilayah Pelayanan 
    Dengan berdirinya Paroki Parapat pada tahun 1952, pelayanan kerohanian terhadap umat semakin baik dan penyebaran misi Katolik semakin berkembang. Pada awalnya, Paroki Parapat melayani stasi-stasi yang menyebar di daerah sebagian Pulau Samosir, sebagian daerah Simalungun dan sebagian daerah Toba. Untuk pelayanan di daratan Pastor memakai sepeda motor dan untuk pelayanan di sekitar Danau Toba, beliau mempergunakan kapal.
    Beberapa catatan tentang perkembangan umat Gereja Katolik Paroki Parapat dapat dilihat dari jumlah stasi yang cukup banyak, ditambah lagi dengan wilayah pelayanan yang begitu luas. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, P. Jennisken mendirikan beberapa stasi a.l.: Sigapiton (1950), Stasi Tomok (1952), Stasi Motung (thn. 1953), Sosor Tolong (1954), Sipangan Bolon (1955), Sipolha (1958), Pulo-pulo (1959), Repasilautu (1961), Lumban Pea (1962), Tambun Rea (1963) dan Pondok Bulu (1964). Selain itu, P. Jennisken tetap mengunjungi beberapa stasi yang sudah didirikan sebelumnya dan masuk bagian wilayah Paroki Onanrunggu dan kemudian masuk bagian Paroaki Parapat, a.l: Stasi Sipinggan (1938), Stasi Pangaloan (1938), Stasi Sosor Tolong (1939) dan Stasi Hutagurgur (1942).
    Dengan semangat tak kenal lelah, P. Jennisken juga menjelajah daerah Simalungun dan melayani beberapa stasi yang sebelumnya masuk wilayah pelayanan misi dari Pematang Siantar serta mendirikan beberapa stasi yang baru. Stasi tersebut adalah Stasi Tigadolok (1934), Tomuan Dolok I (1934), Palianaopat (1936), Marihat Raja (1936), Lumban Ri (1953), Nagori Asi (1953), Marihat Baru (1960) dan Lumban Gorat (1961).
    Sejak tahun 1966, P. Raymond Rompa, OFMCap. bertugas menjadi Pastor Paroki menggantikan P. Jenisken. Pada masa tugasnya, beliau memelihara seluruh iman umat yang semakin berkembang. Dan, pada tahun 1970, beliau mendirikan stasi Lanting. Selanjutnya, tugas Pastor Rompa digantikan oleh P. Sylverius Yew, OFMCap., yang berkarya sejak tahun 1972 sampai tahun 1975.
    Melihat luasnya daerah pelayanan (31 stasi) dan semakin bertambahnya jumlah umat maka pada tahun 1972 beberapa stasi, yang semula dilayani dari Parapat, bergabung dengan Paroki St. Yosef, Jln. Bali, Pematang Siantar, yang berdiri sejak tahun 1966. Stasi-stasi tersebut adalah: Stasi Tigadolok, Tomuan Dolok I, Palianaopat, Marihat Raja, Lumban Ri, Nagori Asi, Marihat Baru dan Lumban Gorat.
    Sejak tahun 1972 Paroki Parapat semakin fokus melayani umat di sekitar Parapat, Lumban Julu, dan Tomok. Stasi-stasi yang tetap dilayani Paroki Parapat sejak itu ada sebanyak 23 stasi. Ke-23 stasi tersebut adalah stasi: Aeknatolu, Ajibata, Girsang, Huta Gurgur, Lanting, Lumban Pea, Parapat, Pondok Bulu, Pulo-pulo, Repa Sileutu, Pangaloan, Sibisa, Sigapiton, Sipinggan, Sosor Tolong, Sipolha, Sirungkungon, Sipangan Bolon, Sibolopian, Tomok, Tambun Rea, dan Tanjungan.
    Sejak tahun 1975 P. Anselmus Mahulae OFMCap bertugas sebagai Pastor Paroki. Beliau berkarya di Parapat hanya satu tahun. Untuk melanjutkan karya pastoral paroki, P. Sylverius kemudian ditugaskan kembali menjadi Pastor Paroki dari tahun 1976-1979. Selanjutnya, sejak tahun 1979 hingga 1983, P. Hyginus Silaen, OFMCap menjadi Pastor Paroki. Pada masa tugasnya, beliau mendirikan Stasi Ujung Mauli (1980) dan Horsik (1980). Karya lain yang diupayakan P. Silaen adalah menggagasi berdirinya CU Tao Toba (01 Sep-tember 1979) dan menyelesaikan permasalahan tanah di Lumban Gambiri lokasi PPU Parapat sekarang, yang permasalahannya diselesaikan sampai ke tingkat Mahkamah Agung pada tgl. 26 Juli 1983.
    Estafet kegembalaan paroki dilanjutkan oleh P. Marianus Simanullang, OFMCap. Beliau bertugas sebagai Pastor Paroki dari tahun 1983 sampai tahun 1985. Tugas sebagai Pastor Paroki selanjutnya diemban oleh P. Venantius Sinaga, OFMCap dari tahun 1985 sampai tahun 1990. Pada masa tugas beliau, Paroki Parapat menyelenggarakan Pesta Tahbisan Imam pada tahun 1989. Imam yang ditahbiskan pada waktu itu adalah P. Richard Sinaga, OFMCap. (putra stasi Girsang) dan P. Ludovikus Siallagan, OFMCap. (putra Stasi Palianaopat Siantar). Pesta tersebut dilaksanakan di Open Stage Pagoda, Parapat. Beliau mendirikan Stasi Sibosur (1986), Stasi Parmonangan (1986), dan Stasi Onansampang, yang memekarkan diri dari Stasi Sibisa pada tahun 1989. Hingga tahun ini jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 28 stasi.
    Selanjutnya, P. Alfonsus Simatupang, OFMCap. bertugas sebagai Pastor Paroki sejak tahun 1990. Seiring dengan adanya kebijakan mendirikan Dewan Paroki di setiap paroki KAM, P. Alfonsus juga mendirikan Dewan Paroki Parapat, menggalakkan Kelompok Tani dan kursus-kursus bagi Pengurus Gereja. Satu stasi yang didirikan pada periode Pastor ini adalah Stasi Ambarita pada tahun 1993. Dengan demikian, Paroki Parapat sejak tahun itu berjumlah 29 stasi.
    Perkembangan Paroki selanjutnya diemban oleh P. Nelson Sitanggang, OFMCap. yang bertugas dari tahun 1996 sampai tahun 2000. Pada masa tugasnya, P. Nelson memindahkan Kantor Paroki dari Biara Kapusin Parapat ke kompleks PPU Parapat pada tahun 1996 setelah beliau membangun sebuah gedung untuk itu. Sebelumnya, sejak tahun 1952 – 1996, kegiatan pelayanan paroki berpusat di Biara Kapusin Parapat. Sejalan dengan ide itu, P. Nelson, sejak tahun 1998, membangun gedung megah untuk Pusat Pembangunan Umat (PPU) yang terletak di Jl. Merdeka No. 53 A Parapat. Tujuan penting membangun gedung itu adalah menjadi pemusatan pendidikan dan pembinaan iman umat.
    Pada waktu acara peresmian Kantor Paroki dan PPU Parapat pada tgl. 20 Mei 2001, Uskup Agung KAM Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap., meresmikan nama paroki dengan nama pelindung Santo Fidelis, sehingga nama Paroki menjadi “Paroki Santo Fidelis Parapat”. Nama itu tidak lepas dari nama pelindung Biara Novisiat Kapusin Parapat, yakni Santo Fidelis Sigmaringen.
    Hal lain yang pantas dicatat pada masa tugas P. Nelson adalah dikeluarkannya buku “Pedoman Pastoral, Siihuthonon ni Ruas Katolik Paroki St. Fidelis Parapat”, sebuah buku yang berfungsi sebagai Anggaran Dasar Paroki Parapat. Pedoman ini dikeluarkan pada bulan November 1999, sebagai penerapan dari buku Pedoman Pelayanan Pastoral Paroki Keuskupan Agung Medan (P4KAM) yang dikeluarkan oleh Keuskupan pada tgl. 21 Agustus 1990.
    Pastor Arie van Diemen, OFMCap. ditugaskan menjadi Pastor Paroki yang baru. Beliau memulai tugasnya sejak tahun 2000 hingga tahun 2007. Suatu peristiwa bersejarah di Paroki terjadi pada masa tugas beliau, yakni pemekaran paroki pada hari Minggu, tanggal. 29 Oktober 2006. Sebanyak 10 (sepuluh) stasi, yakni stasi-stasi yang berada di seberang Danau Toba, bergabung ke Paroki Tomok–Simanindo. Oleh karena itu stasi yang tinggal pada wilayah pelayanan Paroki Parapat sejak itu berjumlah 19 stasi.
    Tugas selanjutnya dilaksanakan oleh P. Samuel Aritonang, OFMCap. sejak thn 2007 sampai 2009. Pada periode ini, usaha untuk merehap gereja Stasi Lumban Pea dan Stasi Pulo-pulo sudah mulai dirancang dan pembangunannya selesai pada pada tahun 2010 dan 2011. Satu stasi yang didirkan oleh P. Samuel adalah Stasi Dolok Parmonangan pada tahun 2008 sebagai pemekaran dari Stasi Pondok Bulu. Dengan demikian jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 20 stasi.
    Kemudian P. Donatus Marbun, OFMCap. berkarya menjadi Pastor Paroki sejak tahun 2009. Beliau ditemani oleh P. Dionisius Purba, OFMCap. sebagai Pastor Rekan (2009-2011) dan P. Christian Lumban Gaol, OFMCap, sebagai Pastor Rekan (2011-2012). Untuk tujuan karya pastoral, P. Donatus meminta kehadiran P. Frans Situmorang, OFMCap., menjadi pastor asistensi satu kali sebulan di Parapat.
    Beberapa gagasan P. Donatus cukup nyata di Paroki Parapat, mis.: melengkapi peralatan liturgi gereja di setiap stasi; merenovasi beberapa bangunan gereja stasi; melengkapi nama pelindung paroki: “Santo Fidelis Sigmaringen”; merancang motto Paroki: Teratur, Mandiri, dan Berkembang; menata ruang sekretariat Kantor Paroki dan PPU Parapat, menggalakkan sermon-sermon rayon, memulai penugasan penulisan sejarah-sejarah setiap stasi, dll. Pada masa P. Donatus telah digagas perihal pemekaran Stasi St. Yosef Repa Sileutu.
    Sejak tgl. 25 November 2011 tugas Pastor Paroki dilaksanakan oleh P. Christian Lumban Gaol, OFMCap. Dalam tugas yang masih baru ini, beliau melanjutkan karya-karya pastoral paroki melalui kursus-kursus, sermon-sermon, rekoleksi pengurus gereja, merenovasi pembangunan gereja stasi Sirungkungon, Dolok Parmonangan, dan Onansampang dan mengunjungi ke-20 stasi di Paroki serta menanggungjawabi pengembangan PPU Parapat. Fokus perhatian dan pelayanan Pastor ini lebih terarah pada bidang liturgi gereja.
    Secara khusus, pada tahun 2013, P. Christian bersama panitia merancang dan melaksanakan Pesta Syukur (Jubileum) 80 tahun misi gereja Katolik di daerah Paroki Parapat. Pesta puncaknya akan dilaksanakan pada tgl. 09 Februari 2014. Beberapa kegiatan diprogramkan untuk ini termasuk penyusunan buku sejarah paroki dan perampungan sejarah gereja setiap stasi se-paroki. Pada masa P. Christian, stasi St. Andreas Sigaol-gaol, pemekaran dari Stasi St Yoseph Repa Sileutu, didirikan dengan misa pertama pemberkatan gereja pada tanggal 31 Mei 2015.
    Kemudian RP. Ferdinan Lister Tamba OFMCap. pindah tugas ke paroki St. Fidelis Parapat sebagai pastor rekan dan juga sebagai formator novisiat kapusin Parapat sejak 30 Nopember 2014. Dia bertugas di paroki St. Fidelis Parapat sejak 30 Nopember 2014 sampai 01 Agustus 2016. Pada tanggal 27 September 2015 serah terima jabatan pastor paroki dari RP. Christian Lumbangaol, OFMCap. kepada RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap. dilaksanakan.
    Di dalam Sidang Paripurna Tahun pastoral 2015 tanggal 29-30 Januari 2016 atas pertimbangan dari RP. Hiasintus Sinaga, diputuskan bahwa Stasi Induk Parapat yang selama ini bergabung dengan Stasi Girsang sebagai Rayon terjadi perobahan bahwa Parapat menjadi Rayon Tersendiri (Rayon Kota Parapat). Sementara itu Stasi Girsang bergabung ke rayon Ajibata. Sejak itu, setiap lingkungan di Kota Parapat (10) berhak mengikuti kegiatan dan perlombaan yang diselenggarakan paroki sama seperti stasi-stasi “Pagaran” lainnya. Dampak positif dari keputusan dan kebijakan ini, jika ada kegiatan / pertandingan secara parokial, jumlah peserta dari Parapat meningkat luar biasa. Dari antara 50 s/d 80 orang peserta menjadi 250 s/d 300 orang peserta.
    Pada tanggal 21 Januari 2016 parokus bertemu dengan Mgr. Anicetus B. Sinaga dan Ekonom KAM perihal rencana pembangunan gereja paroki Parapat. Dan atas restu Uskup Agung Medan maka pada tanggal 12 Maret 2017 dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan gereja paroki di lokasi gereja biara kapusin Parapat dan sekaligus penggalangan dana. Proses pembangunan selanjutnya untuk sementara dihentikan karena adanya musibah tembok penahan longsor dan peninjauan ulang kelayakan lahan.
    Surat Keputusan Uskup Agung Medan No. 473/IM/SMMR/KA/VIII/’19 menugaskan RP. Anthony Nguyen Van Viet, SMMR sebagai Vikaris Parokial dan sebagai Pembimbing Rohani para novis asal Vietnam, terhitung sejak tanggal 01 September 2019. Beliau datang ke Parapat dan disambut secara resmi pada tanggal 13 September 2019. Pastor Antony kemudian dipindahkan ke Paroki St Josep Jl. Kain Batik Pematang Siantar. Beliau dikenal sebagai pastor yang rendah hati.
    Tanggal 20 Agustus 2016 RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap, Ketua PSE KAM, RP. Markus Manurung dan Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap bersama dengan tokoh adat dan tokoh agama lainnya bertemu dengan Bapak Presiden RI, Joko Widodo, Gubernur Sumatera Utara dan para menteri di Inna Hotel Parapat. Pertemuan ini terselenggara dalam rangka Carnaval Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71. Dalam pertemuan itu Mgr. Anicetus Sinaga dengan sangat serius mengetengahkan kepada Bapak Presiden bahwa pihak Gereja Katolik KAM mendukung “soft-torism” dalam bingkai Badan Otorita Danau Toba (BODT). Pesan Mgr Sinaga terang bahwa penduduk di sekitar Danau Toba tidak menjadi penonton atau bahkan korban atas dampak gerakan BODT itu sendiri.
    Kehadiran Biara Kapusin dan Kongregasi KYM
    E. Kehadiran dan Dukungan Biara Kapusin dan Kongregasi KYM
    Perkembangan Paroki Parapat, sebagaimana dipaparkan di atas, sangat didukung oleh kehadiran para Pastor dan Bruder Kapusin yang bertugas di Biara Kapusin Parapat dan para Frater Kapusin yang ikut dalam karya kerasulan di stasi dan mengajar agama di sekolah-sekolah. Para Pastor, entah sebagai staf novis dan dosen para frater, dan Bruder tersebut sudah mulai berkarya di Parapat sejak thn. 1955.
    Selain itu, kehadiran para Suster dari Kongregasi KYM di Parapat sejak tgl. 28 Oktober 1963 juga berperan besar menopang kemajuan Paroki. Para suster yang hadir pada saat itu adalah: Sr. Fransiska de Chantal v.d. Linden, KYM, Sr. Flavia Napitu, KYM, Sr. Sisilia Sirait, KYM, dan Sr. Christina Rajagukguk, KYM. Sesudah mereka, sudah banyak suster silih berganti hadir dan berkarya di Parapat hingga sekarang. Mereka tinggal di rumah bernama Capri dekat Gereja Katolik dan Biara Kapusin Parapat. Tugas utama mereka adalah bekerja di dapur Biara Kapusin sejak tgl. 01 November 1963.
    Kongregasi KYM pernah juga bercita-cita untuk mendirikan poliklinik dan karya pendidikan di Parapat. Hal itu baru terwujud ada tgl. 14 Juli 2006. Kongregasi berhasil memulai karya pendidikan dengan mendirikan TK Bintang Timur Parapat. Tanggal 27 September 2019 peresmian dan pemberkatan Gedung SD Bintang Timur Parapat, kelolaan suster KYM. Bidang poliklinik belum terwujud. Tugas lain yang dilaksanakan oleh anggota Kongregasi KYM adalah terlibat dalam tugas pastoral di Paroki sebagai katekis. Mereka melaksanakan tugas itu di stasi, si lingkungan, mendampingi Asmika, Areka, PIK (Punguan Ina Katolik) Parapat, membantu pelayanan komuni di gereja, memberi persiapan pelaksanaan komuni pertama, persiapan Sakramen Baptis dan Krisma. Tugas penting lain yang dilaksanakan oleh anggota kongregasi adalah bekerja di PPU Parapat sejak tgl. 08 Juli 2000.
    F. Letak Geografis dan Wilayah Pelayanan
    Paroki St. Fidelis Sigmaringen Parapat adalah suatu bagian pelayanan pastoral parokial di wilayah Keuskupan Agung Medan. Paroki ini berpusat di kota Parapat, sebuah kota kecil yang terletak pada wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon daerah Kabupaten Simalungun yang berbatasan dengan daerah Kabupaten Tobasa dan Kabupaten Samosir. Kota Parapat terbentang pada garis pantai Danau Toba sepanjang 2,5 km. Kota ini menjadi pintu gerbang daerah tujuan wisata Danau Toba, yang banyak dikunjungi turis domestik maupun turis mancanegara. Pelayanan pastoral Paroki Parapat berbatasan dengan wilayah pelayanan pastoral dari 4 paroki sekitarnya:
    a. Sebelah Utara : Paroki St. Antonius dari Padua, Tiga Dolok.
    b. Sebelah Barat : Paroki St. Antonio Maria Claret, Tomok
    c. Sebelah Selatan : Paroki St. Paulus, Onan Runggu
    d. Sebelah Timur : Paroki St. Yosef, Balige
    Wilayah pelayanan Gereja Katolik Paroki Parapat terdiri dari 20 stasi yang tersebar di dua kabupaten. Sebagian daerah Kabupaten Simalungun: mencakup wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, sebagian wilayah kecamatan Dolok Panribuan dan sebagian kecamatan Pamatang Sidamanik; dan di Kabupaten Tobasa: mencakup wilayah Kecamatan Ajibata dan sebagian wilayah Kecamatan Lumbanjulu.
    G. Momen Penting
    Paroki St. Fidelis Sigmaringen Parapat mengadakan Pesta Jubileum 80 tahun pada 9 Pebruari 2014, yang dipimpin Uskup Agung Medan AB Sinaga OFM Cap dan Uskup Emeritus AGP Datubara di Panggung Terbuka Parapat. “Gratis Et Amore Dei” adalah thema yang diusung pada perayaan puncak pesta Yubileum. Uskup sekilas menyampaikan sejarah gereja Katolik di Parapat, khususnya di Paroki St Fidelis Sigmaringen.
    Sejak tahun 1934-2014, Paroki telah melalui beberapa momen penting. Hal pertama yang patut dicatat adalah pendirian Stasi Parapat. Pendirian Stasi Parapat menjadi istimewa karena tantangan yang begitu berat dan hasil akhirnya yang menjadi pusat paroki. Tantangan utama pendirian Gereja di Parapat datang dari zending Protestan. Mereka masih terpaku pada peraturan pemerintah Belanda yang tidak mengijinkan terjadinya pewartaan ganda. Walaupun peraturan itu sudah dicabut oleh pemerintah Belanda pada tahun 1933.
    Pemindahan kedudukan paroki dari Tomok ke Parapat merupakan suatu keputusan yang cepat. Hal ini diputuskan hanya tiga tahun setelah pendirian Stasi Parapat. Hal itu dilihat sangat positif. Pelayanan pastoral dapat menjangkau banyak wilayah yang jauh dari Pematang Siantar dan Balige.
    Pembangunan PPU yang dimulai sejak tahun 1998-20 Mei 2001 dapat dilihat sebagai salah satu momen penting perkembangan paroki. Tujuan penting pembangunan gedung itu adalah menjadi pemusatan pendidikan dan pembinaan iman umat. Dalam hal ini, Gereja tidak hanya membaptis sebanyak mungkin orang, tetapi juga menyediakan sarana untuk pengembangan iman.
    Pemekaran paroki Tomok menjadi suatu peristiwa bersejarah bagi Paroki Parapat, ketika Pastor Arie van Diemen OFMCap menjadi parokus. Pemekaran itu bisa menjadi pertanda pertambahan jumlah umat baik di sekitar Parapat maupun di wilayah sekitar pelayanan Paroki Tomok. Dengan pemekaran itu juga, pelayanan iman oleh para imam bisa lebih mudah dijangkau. Sehingga semua umat memperoleh haknya untuk mendapat pelayanan kerohanian.
    H. Penutup : Motto Paroki dan Spiritualitasnya
    Pelayanan pastoral Paroki Parapat berangkat dari motto dan spiritualitas yang dicanangkan. Spiritualitas motto Paroki ini, yakni: “Teratur, Mandiri dan Berkembang”. Motto Paroki ini dikumandangkan pada tanggal 02 Agustus 2009 oleh P. Donatus Marbun. Motto singkat ini, menggambarkan motivasi, semangat dan tujuan serta komitmen, bersama pengurus gereja dan umat seluruhnya untuk memajukan Paroki ini. Motto itu tergambarkan dalam visi dan misi Paroki.
    Visi Paroki ini ialah: Menjadi Paroki teladan di segala bidang. Misinya ialah mengajak umat agar menjadi umat yang patuh pada aturan gereja, mandiri dalam pengungkapan iman dan berkembang dalam mewujudkan imanya sesuai dengan tanda-tanda zamanya. Motto ini tidak dikutip langsung dari Injil, tetapi isi dan tujuannya mengungkapkan pesan Injili: “mendirikan rumah di atas batu, kokoh tak tergoyangkan” (bdk. Mat 7:24-25)
    Tiga untaian kata sifat, “Teratur, Mandiri dan Berkembang”, ini diurutkan menurut urutan pelaksanaannya, kendati tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam keteraturan ada kemandirian dan perkembangan dan sebaliknya. Dalam kemandirian, aturan ditegakkan, perkembangan diimpikan. Dalam perkembangan, kemandirian dipertahankan, aturan disempurnakan. Dengan semboyan di atas, “bahtera” Paroki Parapat dapat mengarungi jaman, meneruskan karya para misionaris dan sintua terdahulu, membina umat yang baru, dan mampu menghadirkan kerajaan Allah sampai akhir zaman.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Pangururan

    0
    Pelindung
    :
    Santo Mikhael
    Buku Paroki
    :
    Sejak tahun 1941. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Palipi.
    Alamat
    :
    Jl. Uskup Agung Soegiopranoto 1, Pangururan – 22392
    Telp.
    :
    0626 – 20191/ 0813 9716 5855
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    5.625 KK / 24.012 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    65
     
    01. Aeklan
    04. Batu Bolon
    07. Bonan Dolok
    10. Dolok Niapul
    13. Huta Ginjang
    16. Janji Martahan
    19. Limbong
    22. Lumban Raja
    25. Pandulangan
    28. Pansur Napitu
    31. Pardugul
    34. Peabang
    37. Pintu Sona
    40. Salaon Dolok
    43. Saitnihuta
    46. Sidabagas
    49. Sigorat
    52. Sihusapi
    55. Siopat Sosor
    58. Sitao-tao
    61. Situngkir
    64. Tulas
    02. Aek Nauli
    05. Boho
    08. Dolok Nauli I
    11. Harapohan
    14. Janji Maria Dolok
    17. Janji Matogu
    20. Lintong Nihuta
    23. Lumban Suhi-suhi
    26. Pandumpasan
    29. Pantil Nauli
    32. Parmonangan
    35. Pinal
    38. Rianiate
    41. Salaon Toba
    44. Siambalo
    47. Sidauruk Sihole
    50. Sigumbang
    53. Sinabulan
    56. Siopat Suhi
    59. Sitaretareon
    62. Sosor Dolok
    65. Upahoda
    03. Binangara
    06. Bona ni Dolok
    09. Dolok Nauli II
    12. Hasinggaan
    15. Janji Maria Toruan
    18. Jungak
    21. Lumban Naganjang
    24. Onan Rihit
    27. Pangilahan
    30. Paraduan
    33. Parsaoran
    36. Pintu Batu
    39. Ronggur Nihuta
    42. Salaon Tonga-tonga
    45. Sianjung-anjung
    48. Sidihoni
    51. Sihotang I
    54. Siogung-ogung
    57. Siriaon
    60. Sitonggi-tonggi
    63. Tanjung Bunga

     
    RP. Elio Sofianus Sihombing OFMCap
    01.02.’81
    Parochus
    RP. Valent Christian Sihotang, OFMCap
    30.01.’89
    Vikaris Parokial



         

     

    Sejarah Paroki St. Mikael - Pangururan

    Awal Mula Berdirinya (klik untuk membaca)

    Kehadiran Gereja Katolik di Samosir dimulai dengan kedatangan Misionaris Belanda pertama bernama P. Diego van den Biggelaar, OFM Cap. pada tahun 1938. Pastor yang akrab disapa Opung Bornok memulai karya misi di daerah Simbolon. Selanjutnya hadir P. Beatus Jenniskens, OFM Cap. yang membuka misi di daerah Onan Runggu dan sekitarnya. (Bdk Samosir Mutiara Cinta dan Kasih Hal 46-47).

    Surat Apostolik Vikariat Padang tanggal 28 Juni 1941, yang dialamatkan kepada P. Benyamin Dijkstra, OFM Cap. mengungkapkan bahwa pada tanggal 1 Agustus 1941 didirikan Paroki Pangururan dan P. Benyamin Dijkstra ditetapkan sebagai Pastor Paroki yang pertama. Pastor ini mulai menetap di Pangururan ketika dia berumur 31 tahun. Dua setengah tahun sebelumnya dia memulai hidup sebagai seorang misionaris di Pematang Siantar. Pengetahuan bahasanya masih agak terbatas, tetapi ia handal sebagai seorang misionaris. Dia bantu oleh seorang katekis yang sangat handal yaitu K.J.C Tampubolon. Misionaris lain umumnya tidak memiliki tenaga katekis yang handal seperti itu. Kedua orang ini bekerja sama sebagai pasangan yang ideal yang sudah barang tentu mengharmoniskan perkembangan misi Katolik di daerah Pangururan. Pastor Dijkstra mempunyai metode kerja yang cepat.

    Sejak awal sudah banyak permohonan untuk mendirikan Huria Stasi di berbagai tempat. Permohonan ini disampaikan oleh kelompok masyarakat setempat secara lisan dan resmi. Tetapi itu sering menjadi kurang mengesankan karena kertas-kertas bermaterai diisi penuh dengan tanda tangan dan sidik jari, seolah-olah seluruh rakyat di daerah itu sangat rindu menjadi Katolik. Jika ada permintaan sedemikian, maka mula-mula akan disuruh seorang katekis yang secara resmi diutus oleh P. Benyamin Dijkstra untuk memeriksa. Jika menurut pandangan dan hasil kunjungan katekis itu cocok, maka P. Benyamin Dijkstra bersama katekisnya akan pergi ke tempat itu. Ketika sudah sampai pada daerah tertentu, yang sering muncul adalah kondisi masyarakat yang menginginkan di daerah mereka didirikan sekolah sebagai tempat anak-anak mereka untuk menempuh Pendidikan. Memang pada saat itu sekolah negeri terutama daerah-derah pelosok belum berdiri. Orang Batak pada umumnya ingin belajar Bahasa Belanda karena mereka mengira bahwa bangsa Belanda adalah bangsa yang kaya.

    P. Benyamin Dijkstra tinggal di tengah-tengah orang Batak yang haus akan kemajuan pada segala bidang, emansipasi dan perbaikan kehidupan. Pada kunjungan pertama P. Benyamin Dijkstra ke desa tertentu, sering setelah perundingan yang lama, disepakati bahwa masyarakat setempat harus membangun gedung sekolah atas biaya mereka sendiri. Biasanya Gedung sekolah itu terdiri dari 4 tiang dengan atap dari rumput dan tidak berdinding. Umumnya dinding akan dipasang jika Stasi sudah semakin berkembang. Sering kali dimuat dalam berita bahwa angin Danau Toba merobohkan gedung-gedung sekolah itu.

    Selain itu umat juga bertanggungjawab atas tempat tinggal seorang guru yang dikirim oleh pastor. Kebanyakan guru misi tidak lebih seperti seorang “bermata satu” yang dirasa sanggup membawa sedikit terang di daerah orang buta. Dengan gaji yang minim mereka mengajar anak-anak di daerah pelosok yang bisanya jauh dari pusat. Guru itu sekaligus diangkat menjadi katekis. Orang-orang yang mendaftarkan diri untuk belajar setiap hari minggu pagi akan berkumpul untuk berdoa dan bernyanyi. Pada malam tertentu, mereka juga akan berkumpul menerima pelajaran agama yang diberikan oleh guru atau katekis tersebut.

    Pada waktu itu setiap hari Rabu yang merupakan hari pekan, setiap katekis atau guru harus berkumpul di pastoran untuk menerima pelajaran dari pastor dan sekaligus memberikan laporan mengenai keadaan Stasi. Sesekali pastor atau kepala katekis akan mengunjungi Stasi tertentu untuk memberikan pengajaran agama dan pendalaman iman, sekaligus mengontrol kerajinan dan kemantapan umat dengan melihat daftar hadir.

    Pada Maret 1942 Jepang masuk ke Sumatera dan menangkap semua orang Belanda, termasuk para misionaris yang berkarya di tanah batak seperti P. Benyamin Dijkstra. Setelah beberapa tahun di penjara Jepang tepatnya pada 1944 P. Benyamin Dijkstra mengalami sakit kanker yang cukup parah yang mengharuskannya dioperasi di Medan. Namun operasi itu tidak berhasil dan mengakibatkan melemahnya tubuhnya hingga akhirnya ia meninggal pada 13 September 1944 di usia 38 Tahun. P. Benyamin Dijkstra meninggal di tengah-tengah saudara saudaranya di Ordo Kapusin. Beliau dikuburkan di Medan.

    Menurut catatan-catatan sebelum perang, di Samosir sudah sudah terdapat 3.600 umat Katolik dan 9.600 Katekumen. Pangururan sendiri sudah memiliki 15 buah Stasi. Pada 01 Agustus 1941 Pangururan secara resmi menjadi Paroki tersendiri, terpisah dari Paroki Palipi. Tetapi pada 12 Juli 1941 P. Benyamin Dijkstra sudah memulai Buku Permandian sendiri. Pada hari itu dia menulis terdapat 215 permandian yang semuanya diterimakan di Sihotang. Stasi Sihotang ini sudah didirikan dari Palipi pada tahun 1936. Lebih dari setengahnya yang dipermandikan itu terdiri dari anak-anak umur 12 tahun, hanya 10 orang di atas 50 tahun. Pada 1 januari 1942, 42 orang dipermandikan di Lumban Lintong (Pangururan sendiri). Hanya di Sihotang dan Lumban Lintong P. Benyamin Dijkstra melaksanakan pesta permandian massal di Parokinya yang muda. Sampai beliau ditangkap tentara Jepang untuk dipenjara, dia telah telah menulis 385 permandian. Pada paskah 1942 Paroki Pangururan telah mempunyai 500 orang yang dipermandikan dan beberapa ribu katekumen.

    Sepeninggal P. Benyamin Dijkstra, sekolah-sekolah dan Stasi yang telah didirikan dibubarkan, sebab guru-guru tidak mendapatkan gaji lagi. Selain itu kebanyakan dari katekis atau guru menukar jabatannya dengan kesibukan lain yang lebih menguntungkan. Stasi-stasi harus mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar. Mereka ke gereja pada hari minggu dan berdoa rosario, tetapi makin lama makin merosotlah kehidupan Stasi ini. Bahkan ada Stasi yang harus tutup sama sekali.

    Pada tahun 1945 dalam suasana gembira karena menyerahnya tentara Jepang, Bapak Tampubolon mengirim telegram ke Palang Merah Internasional untuk memperoleh informasi mengenai tempat tinggal para misionaris. Setelah mendapat jawaban, dia menebang beberapa pohon di halaman gereja Pangururan, menjualnya dan menggunakan hasil penjualan itu untuk uang jalan. Dia pergi ke kamp internering di Siriongo-ringo untuk melaporkan kepada pastor menegenai keadaan gereja di Samosir, khususnya Pangururan.

    Pada saat itu setiap orang mengharapkan bahwa ketertiban dan kehidupan aman kembali. Tetapi Sukarno memproklamasikan Republik yang memunculkan nasionalisme dalam bentuk pengusiran penjajah terutama Belanda. Hal ini mengakibatkan sikap keras anti Belanda dan kecurigaan mengenai hal-hal kolonial. Kondisi itu mengakibatkan Bapak Tampubolon mengalami kesulitan. Dia mengunjungi misionaris Belanda dan mengundangnya kembali ke pos mereka.

    Perkenalan yang begitu dekat dengan misionaris Belanda membuat Bapak Tampubolon menamai putrinya Wilhemina. Foto para misionaris Belanda yang terpajang di rumahnya mengharuskan dia dipenjara selama 10 hari, meski pada akhirnya ia dibebaskan kembali.

    Pada waktu itu, Paroki Pangururan sudah mempunyai 7 Stasi, yaitu Stasi Sitonggi-tonggi, Rianiate, Paraduan, Lumbang Lintong, Limbong, Sihotang I, dan Sosor Dolok. Sementara saat ini (2020) Paroki Pangururan sudah mempunyai 68 Stasi dengan jumlah umat sekitar 32.000 jiwa. Pertumbuhan gereja dan perkembangan umat yang begitu besar patut kita syukuri dan rahmat Tuhan ini pantas dirayakan.

    Gereja Tanpa Imam dan Awal Baru bagi Paroki

    Kegigihan Pastor Benyamin Dijkstra dalam mendirikan paroki yang baru ini cuma bertahan selama 1 tahun lebih ,Karena Pastor Benyamin Dijkstra ditangkap dan diinternir oleh penjajah Jepang. Paroki yang baru didirikan ini kemudian dikelola oleh seorang Katekis local Bapak Ch.Kalvin Tampubolon selama 8 tahun (1942-1950) Dan selama itu pula paroki yang baru didirikan ini terus hidup tanpa imam. Pada masa-masa sulit inilah Bapak Ch.Kalvin Tampubolon berperan sebagai katekis dan imam (dalam arti terbatas) bagi umat. Ia menjadi penghubung antara umat dan para misionaris dalam penjara untuk pengembangan gereja dalam masa sulit ini.

    Awal yang baru bagi Paroki Pangururan /Tahun Perkembangan yang subur.

    a. Pastor Radboud Watereus:
    Setelah penyerahan Jepang pada sekutu, Gereja Paroki Santo Mikhhael mulai bernafas lega. Para misionaris yang diitenir telah kembali bertugas di posnya masing- masing. Dan pada tanggal 27 Juni 1951 Pastor Radboud Watereus mulai berdomisili di pastoran Pangururan sebagai pastor pertama setelah penyerahan Jepang. Hingga akhir hanyatnya pada tahun 1994 yang lalu. Karya besar yang ia lakukan sebagai misionaris di Pulau Samosir pada umumnya dan paroki Pangururan pada khususnya adalah penyebaran iman Katolik, yang dilakukannya lewat praktek hidup nyata yang menyentuh masyarakat Samosir pada saat itu. Pendidikan bagi masyarakat Samosir yang masih buta huruf pada kala itu, juga menjadi perhatian Pastor Radbout dengan mendirikan SMP Budi Mulia bekerja sama dengan Yayasan Budi Mulia yang pada masa itu sudah berkarya di Paroki Onanrunggu.

    Ternyata pendirian SMP Budi Mulia ini mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Samosir, dengan menyekolahkan anak-anak mereka di SMP ini. Perlu dicatat bahwa mulai masa inilah Gereja Katolik Paroki Santo Mikhael mengalami perkembangan yang luar biasa.

    b. Pastor Guido De Vet
    Pada tahun 1962/1963 Pastor Guido De Vet ditempatkan di Paroki Pangururan. Selama 22 tahun pastor ini berkarya tanpa kenal lelah di paroki Pangururan. Bila pastor Radboud Watereus dikenal sebagai pengajar iman lewat cara hidupnya dan pencinta orang-orang kecil, maka pastor Guido de Vet dikenal sebagai pengkader penerus gereja masa depan.Untuk tujuan itu maka pastor Guido de vet membangun Pusat Pembinan Umat (PPU) yang kemudia dikenal dengan nama Sentrum dan wisma yang ada di paroki Pangururan, yang masih berdiri kokoh sampai saat ini. Di dalam Sentrum inilah Pastor Guido de vet setiap saat mengkader umatnya, mulai dari Anak Sekolah Minggu, Remaja, Mudika, orangtua, serta para singtua dan Vorhenger. Berbagai macam cara beliau lakukan untuk mengkader umatnya, salah satunya menganimasi umat lewat pemutaran film dan slide yang sangat terkenal pada masa itu.Pastor Guido de vet berprinsip bahwa Gereja Pangururan masa depa harus dipimpin oleh orang-orang pribumi bersama dengan umatnya menjadi gereja yang mandiri dalam hal ketanagaan. Hal ini nampak dari motto hidupnya :” Kami misionaris luar negeri harus segera menyerahkan tugas-tugas pastoral kepada pastor-pastor putra daerah “ ( Lihat Tali pengukur….hal.269 )

    c. Pastor Leo Joosten, OFMCap
    Pastor Leo Joosten OFM Cap, masuk ke paroki Pangururan pada tahun 1983, setelah wafat Pastor Guido de vet. Pastor ini terkenal sebagai pastor pembangun. Yang ia bangu bukan hanya bangunan fisik (Gedung Gereja dan Sekolah) tetapi juga pembangunan ekonomi masyarakat dan pembangunan dalam pelestarian budaya Batak. Karya-karya yang ditinggalkan oleh misionaris yang terakhir ini di paroki Pangururan adalah :
    • Credit Union (CU) yang kini berkembang pesat di wilayah paroki Pangururan. Tujuan dari pendirian CU ini adalah untuk menolong masyarakat ekonomi lemah yang tidak bisa meminjam uang di Bank- bank besar.
    • Gereja Inkulturatif. Pembangunan Gereja dalam nuansa rumah adat Batak Toba yang sangat besar dan mendapat dukungan penuh dari Istana Apostolik Vatikan. Gereja inkulutratif juga mendapat perhatian dari TV Indosiar dengan menyiarkan secara langsung Perayaan Paskah umat dalam Gereja inkulturatif ini
    • Museum Bona pasogit Nauli: Suatu usaha melestarikan peninggalan sejarah nenek moyang zaman dahulu.
    • Kamus Bahasa Batak ( yang diterjemahkannya dari Bahasa Belanda )
    • Buku-buku tentang situs-situs budaya Batak, kemudian diterjemahkannya dalam Bhs. Inggris, Jerman dan Belanda.
    • Karya Pendidikan : TK, SD dan SMA Santo Mikhael
    Catatan : Ketiga misionaris di atas, masing- masing meletakkan landasan yang kokoh bagi perkembangan paroki Santo Mikhael Pangururan.

    Pastor Benyamin Dijkstra sebagai perintis berdirinya paroki ini. Bapak Ch.Kalvin Tampubolon sebagai penjaga benteng iman yang baru dibangun di paroki ini. Pastor Radboud Watereus sebagai pengajar iman dan social karitatif lewat praktek hidup dan pemberantas buta huruf lewat pendidikan.

    Pastor Guido de Vet, sebagai pengkader umat lewat wisma / sentrumnya. Pastor Leo Joosten sebagai pastor pembangun dan pelestari budaya Batak.

    Buah-buah dari perjuangan para misionaris tidak hanya menghasilakan perkembangan umat, tetapi cara hidup mereka sebagai Misionaris Capusin juga menghasilkan simpati umat untuk memberikan putra-putri mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah. Mereka-mereka itu : Pastor Paulinus Simbolon OFMCap, Pastor Ignasius Simbolon OFMCap, Pastor Raymon Simanjorang OFMCap, Pastor Thomas Sinabariba OFMCap, Pastor Gonzales Nadeak OFMCap. Pastor Octavianus Situngkir OFMCap dan Pastor Uli Simarmata Pr.

    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Salak

    Pelindung
    :
    Santa Lusia
    Buku Paroki
    :
    Sejak 11 Agustus 2011. Sebelumnya bergabung dengan Paroki St. Maria Pertolongan Orang Kristen Sidikalang.
    Alamat
    :
    Jl. Sikadang Njandi, Salak Pakpak Bharat - 22272
    Telp.
    :
     -
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    442 KK / 1.892 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    14
    01. Jambu Rea
    04. Mungkur Sondel
    07. Sibagindar
    10. Simperbung Maneas
    13. Sumbul Traju
    02. Kuta Ujung
    05. Resdes Raden
    08. Sileuh
    11. Sinderung
    14. Tinada
    03. Lae Marempat
    06. Ruben Haji
    09. Simerpara
    12. Singgabur
     
    RP. Samuel Anton Situmorang, O.Carm
    10.09’83
    Parochus
    RP. Sohmon Ranja Capah, O.Carm
    16.08.'89
    Vikaris Parokial
         

    Sejarah Paroki St. Lusia - Pakpak Bharat

    Perjalanan Singkat Paroki (klik untuk membaca)
    LETAK GEOGRAFIS
    Pada awal berdirinya Paroki St Lusia Salak memiliki tiga wilayah pelayanan yakni Kabupaten Pakpak Bharat, Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil. Di Kabupaten Pakpak Bharat ada 12 stasi, Kota Subulussalam satu stasi dan di Kabupaten Aceh Singkil satu stasi. Pada 30 Agustus 2020 Stasi Penanggalan (di wilayah Kota Subulussalam) dan Stasi Mandumpang (di wilayah Kabupaten Aceh Singkil), oleh kebijakan Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung OFM Cap secara resmi diserahkan wilayah kegembalaan kepada Keuskupan Sibolga. Dengan demikian, saat ini, wilayah kegembalaan Paroki St Lusia Salak hanya meliputi Kabupaten Pakpak Bharat.
    SEJARAH BERDIRI DAN KEADAAN UMAT
    Gereja Katolik Paroki St Lusia Salak merupakan hasil pemekaran dari Paroki Maria Pertolongan Orang Kristen Sidikalang. Sejak tahun 2011, tepatnya 11 Agustus 2011, Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFM Cap menetapkan wilayah ini menjadi Kuasi Paroki. Pada tahun 2015 lewat Surat Keputusan Uskup Keuskupan Agung Medan, RP Mandius Siringringo OCarm resmi menjadi Pastor Kuasi Paroki ini. Setelah tujuh tahun menjadi Kuasi Paroki, tepatnya tanggal 22 Juli 2018, bertepatan dengan Pesta Bakti Budaya Pakpak yang dirayakan oleh seluruh umat Katolik se-Kuasi Paroki St Lusia Salak, Mgr Anicetus Bongsu Sinaga, OFM Cap mengumumkan secara resmi berdirinya Paroki St Lusia Salak. Pada tahun 2019 terjadi pergantian Pastor Kepala Paroki dari RP Mandius Siringoringo O’Carm kepada RP Yoakhim Lako O’Carm. Vikaris Parokial yang pernah melayani Paroki ini adalah RP Kardiaman Simbolon O’Carm, RP Marcelinus Monang Sijabat O’Carm, dan yang sedang bertugas saat ini RP Sohmon Ranja Capah O’Carm. Pada tanggal 12 Desember 2021, Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung melantik Dewan Pastoral Paroki Periode 2021 – 2026.
    Dalam rentangan waktu antara 2011 sampai dengan 2018 sebagai Kuasi Paroki, tepatnya akhir Desember 2017, berdiri satu stasi yakni Stasi Simarpara yang berpelindungkan St Fransiskus Asisi. Dan pada tahun 2019 berdiri satu stasi lagi hasil dari pemekaran Stasi Simperbung, yakni Stasi Kuta Ujung.
    Umat Paroki St Lusia Salak pada umumnya bersuku Pakpak Simsim. Selain itu ada juga bersuku Pakpak tapi dari suak yang berbeda. Sekedar sebagai catatan Suku Pakpak terdiri dari lima Suak yakni, Suak Simsim, Suak Boang, Suak Kelasen, Suak Pegagan dan Suak Keppas. Ada juga umat yang berasal dari Batak Toba, Batak Karo dan juga Nias. Dalam kegiatan gereja pada umumnya menggunakan bahasa Pakpak; dua stasi yakni Stasi Lae Marempat dan Stasi Bagindar menggunakan bahasa Toba. Saat ini, Paroki St Lusia Salak memiliki 4 lingkungan di Gereja Paroki dan 14 Stasi.
    Di wilayah Paroki St Lusia Salak juga berdiri Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di bawah yayasan St Don Bosko. Sekolah Dasar yang berpelindungkan St Vinsensius berdiri tahun 2015. Pada tahun 2021, oleh permohonan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dan masyarakat sekitar, Yayasan St Don Boskon mendirikan Sekolah Menengah Pertama yang berpelindungkan St Yosef. Kongregasi yang dipercayakan untuk melayani proses pendidikan di SD St Vinsensius dan SMP St Yosef adalah KSSY.
    TOKOH PELINDUNG: SANTA LUSIA
    Lusia lahir di Sirakusa, di pulau Sisilia, Italia pada abad ke-4. Orangtuanya adalah bangsawan Italia yang beragama Kristen. Ayahnya meninggal dunia ketika dia masih kecil, sehingga perkembangan dirinya sebagian besar ada dalam tanggungjawab ibunya Eutychia. Semenjak usia remaja, Lusia sudah berikrar untuk hidup suci murni. Ia berjanji tidak menikah. Namun ketika sudah besar, ibunya mendesak dia agar mau menikah dengan seorang pemuda kafir. Hal ini ditolaknya dengan tegas. Pada suatu ketika ibunya jatuh sakit. Lusia mengusulkan agar ibunya berziarah ke makam Santa Agatha di Kathania untuk memohon kesembuhan. Usulannya ditanggapi baik oleh ibunya. Segera mereka ke Kathania. Apa yang dikatakan Lusia ternyata benar-benar dialami oleh ibunya. Doa permohonan mereka dikabulkan: sang ibu sembuh. Bahkan Santa Agatha sendiri menampakkan diri kepada mereka berdua. Sebagai tanda syukur, Lusia diizinkan ibunya tetap teguh dan setia pada kaul kemurnian hidup yang sudah diikrarkannya kepada Kristus.
    Kekaisaran Romawi pada waktu itu diperintah oleh Diokletianus, seorang kaisar kafir yang bengis. Ia menganggap diri keturunan dewa; oleh sebab itu seluruh rakyat harus menyembahnya, atau menyembah patung dewa-dewa Romawi. Umat Kristen yang gigih membela dan mempertahankan iman menjadi korban kebengisan Diokletianus. Mereka ditangkap, disiksa dan dibunuh. Situasi ini menjadi kesempatan emas bagi pemuda-pemuda yang menaruh hati pada Lusia namun ditolak lamarannya: mereka benci dan bertekad membalas dendamnya dengan melaporkan identitas keluarga Lusia sebagai keluarga Kristen kepada kaisar. Kaisar termakan laporan ini sehingga Lusia pun ditangkap; mereka merayu dan membujuknya dengan berbagai cara agar bisa memperoleh kemurniannya. Tetapi Lusia tak terkalahkan. Ia bertahan dengan gagah berani. Para musuhnya tidak mampu menggerakkan dia, karena Tuhan memihaknya. Usahanya untuk membakar Lusia tampak tak bisa dilaksanakan. Akhirnya seorang algojo memenggal kepalanya sehingga Lusia tewas sebagai martir Kristus oleh pedang seorang algojo kafir.
    Lusia dihormati di Roma, terutama di Sisilia sebagai perawan dan martir yang sangat terkenal sejak abad ke-6. Untuk menghormatinya, dibangunlah sebuah gereja di Roma. Namanya dimasukkan dalam Doa Syukur Agung Misa. Mungkin karena namanya berarti “cahaya” maka pada Abad Pertengahan orang berdoa dengan perantaraannya memohon kesembuhan dari penyakit mata. Konon, pada waktu ia disiksa, mata Lusia dicungkil oleh algojo-algojo yang menderanya; ada pula cerita yang mengatakan bahwa Lusia sendirilah yang mencungkil matanya dan menunjukkan kepada pemuda-pemuda yang mengejarnya. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 13 Desember 304. Semoga kisah suci hidup Santa Lusia memberi peringatan kepada kita, supaya bertekun dalam doa dan selalu memohon perlindunganNya.
    Profil Gereja Katolik Paroki
    PROFIL GEREJA KATOLIK PAROKI ST LUSIA SALAK
    1. Profil Paroki

    Pelindung : Santa Lusia
    Alamat : Jln Sikadang Njandi, Lae Trondi, Desa Boangmanalu, Kecamatan Salak, 22272. Kabupaten Pakpak Bharat.
    Jumlah Stasi : 14
    Pada awalnya Gereja Paroki ini adalah Stasi St Petrus Lae Trondi yang berdiri pada tahun 1965. Saat ini Gereja Paroki terdiri dari 4 Lingkungan yakni:
    - Lingkungan St Edith Stein. Lingkungan ini memiliki 20 Kepala Keluarga.
    - Lingkungan St Theresia Kecil, yang beranggotakan 19 Kepala keluarga.
    - Lingkungan St Yohanes Salib, dengan jumlah Kepala Keluarga 35
    - Lingkungan St Theresia Avila, jumlah Kepala Keluarga 15.
    2. Susunan Pengurus Dewan Pastoral Paroki Periode 2021 - 2026
    DEWAN PASTORAL PAROKI
    Ketua : RP Yoakhim Kanisius Lako O’Carm
    Wakil Ketua : RP Sohmon Ranja Capah O’Carm
    Pelaksana I : Hekdianto Boangmanalu
    Pelaksana II : Bisler Simatupang
    Sekretaris I : Weldiman Boangmanalu
    Sekretaris II : Monang Tumangger
    Bendahara I : Hetty Novalina Sinaga
    Bendahara II : Antonius Sihombing
    Anggota :
    1. Kardo Sinurat
    2. Simon Simbolon
    3. Ferynando Marbun
    Seksi-seksi:
    1. Seksi Liturgi : Rata Diajo Manullang
    2. Seksi Kateketik : Ronny Chandra Martunas Tanjung
    3. Seksi Kerasulan Kitab Suci : Diky Hendro Rajagukguk
    4. Seksi KKI (Karya Kepausan Indonesia) :
    - Mei Rice Florentina Nahampun
    - Repinna Banjarnahor
    5. Seksi Kepemudaan : Teguh Manahan Boangmanalu
    6. Seksi Keluarga : Liston Silaban
    7. Seksi Komsos : Timbul Harapan Simbolon
    8. Seksi PSE : Wasron Pandiangan
    9. Seksi HAAK : Averow Manik
    10. Seksi Panggilan : Sr Avelina Sitinjak KSSY
    3. Profil Stasi-stasi Paroki St Lusia Salak
    1. Stasi Sinderung
    Berdiri : 1976
    Pelindung : Santo Simon Stock
    Jumlah KK : 17
    Alamat : Desa Arnokan I,
    Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.

    2. Stasi Simperbung Maneas
    Berdiri : 1952
    Pelindung : St Yoahennes
    Jumlah KK : 31
    Alamat : Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitellu Tali Urung Julu.

    3. Stasi Simerpara
    Berdiri : 2017
    Pelindung : Santo Fransiskus Asisi
    Jumlah KK : 16
    Alamat : Desa Simerpara, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.

    4. Stasi Mungkur Sondel
    Berdiri : 1980
    Pelindung : Santo Petrus
    Jumlah KK : 25
    Alamat : Desa Kuta Tinggi, Kecamatan Salak.

    5. Stasi Rube Haji
    Berdiri : 1983
    Pelindung : Santo Andreas Korsini
    Jumlah KK : 15
    Alamat : Desa Rube Haji, Kecamatan Siempat Rube.

    6. Stasi Sumbul Traju
    Berdiri : 1986
    Pelindung : Santo Antonius
    Jumlah KK : 9
    Alamat : Desa Sumbul Traju, Kecamatan Tinada.

    7. Stasi Jambu Rea
    Berdiri : 1985
    Pelindung : Santa Maria Ratu Damai
    Jumlah KK : 70
    Alamat : Desa Jambu, Kecamatan Siempat Rube.

    8. Stasi Sileuh
    Berdiri : 1961
    Pelindung : Santo Oktavianus
    Jumlah KK : 53
    Alamat : Desa Pardomuan, Kecamatan Kerajaan.

    9. Stasi Resdes Raden
    Berdiri : 1984
    Pelindung : Santo Petrus dan Paulus
    Jumlah KK : 34
    Alamat : Desa Resdes Raden, Kecamatan Siempat Rube.

    10. Stasi Tinada
    Berdiri : 1974
    Pelindung : Santa Yohana
    Jumlah KK : 3
    Alamat : Desa Tinada, Kecamatan Tinada.

    11. Stasi Bagindar
    Berdiri : 2001
    Pelindung : Santo Albertus dari Trapani.
    Jumlah KK : 5
    Alamat : Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar.

    12. Stasi Simperbung Kuta Ujung
    Berdiri : 2019
    Pelindung : Santo Bernardinus
    Jumlah KK : 20
    Alamat : Desa Pardomuan, Kecamatan Sitellu Tali Urung Julu.

    13. Stasi Lae Marempat
    Berdiri : 1989
    Pelindung : Santa Fransiska
    Jumlah KK : 8
    Alamat : Desa Lae Marampat, Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe.

    14. Stasi Singgabur
    Berdiri : 1995
    Pelindung : Santo Mathias
    Jumlah KK : 28
    Alamat : Desa Silima Kuta, Kecamatan Sitellu Tali.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Pangkalan Brandan

    0
    Pelindung
    :
    Santo Paulus
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Juli 2003. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Binjai
    Alamat
    :
    Jl. Sutomo No. 7, Kec. Babalan, Kab. Langkat, Pangkalan Brandan – 20857
    Telp.
    :
    0620 – 21479
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    741 KK / 2.873 jiwa 
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    19
    01. Air Hitam
    04. Bukit Mas Pasar
    07. Kampung Sawah
    10. Pardomuan Nauli
    13. Securai
    16. Tanjungpura
    19. Tungkam Jaya
    02. Aras Napal
    05. Bukit Selamat
    08. Pangkalan Susu
    11. Petani Jaya
    14. Sendayan
    17. Titi Lepan

    03. Bengkel
    06. Gebang
    09. Pantai Buaya
    12. Rantau Kuala Simpang
    15. Tangkahan Batak
    18. Translok
     
    RD. Silvester Asan Marlin 
    13.12.'79
    Parochus
    RD. Desman Marisi Marbun 
    25.12.'86
    Vikaris Parokial

    Sejarah Paroki St. Paulus - Pangkalan Brandan

    Sejarah Awal (klik untuk membaca)
    Sejarah gereja katolik masing-masing stasi di Paroki St. Paulus Pangkalan Brandan tidak bisa kami sajikan dengan lengkap, baik dalam hal data umat, maupun dalam hal suka-duka perjuangan umat, karena kurang adanya dokumentasi yang baik di masing-masing stasi. Maka penyusun berusaha mengumpulkan tulisan seadanya dari para penulis dari stasi masing-masing.
    Stasi Cinta Kasih Pangkalan Berandan berjarak sekitar 80 km dari kota Medan dan 60 km kearah utara dari Gereja Paroki Maria Bunda Pertolongan Abadi Binjai, terletak didaerah strategis untuk pengembangan karya gereja, karena berada dijalur utama jurusan Medan – Banda Aceh.
    Sebagai gambaran sejarah gereja katolik Pangkalan Berandan dapat di bagi didalam empat bagian yakni :
    I. Sejarah Umat Katolik Pangkalan Berandan
    II. Sejarah Tanah Pertapakan Gereja Katolik pangkalan berandan
    III. Sejarah berdirinya Gereja Katolik Stasi “Cinta Kasih “
    IV. Sejarah berdirinya Paroki Santo Paulus dan Pastoran
    I. Sejarah Umat Katolik di Pangkalan Brandan
    Pada awalnya umat katolik Pangkalan Berandan mengadakan ibadat setiap hari Minggu tidak menentu, ada yang menumpang ke gereja tetangga dan ada berpindah pindah. Pada tgl 17 Agustus 1963 bapak Y.J.Sitanggang bertemu dengan bapak Togaraja Sinabutar (mensponsori agar bergereja ) mahasiswa IKIP Medan yang PKL di SMA Negeri Babalan, Lalu bertemu kembali tgl 20 Agustus 1963 membicarakan dimana umat Katolik bergereja, kemudian mereka berdua bersama mencari dan mengajak umat katolik untuk mengadakan doa bersama. Atas usaha ini mereka berhasil menemui bp.A.R Situmorang, bp. M.Nainggolan, dan bp. P.Panjaitan.Dari pertemuan itu disepakati mengadakan doa bersama pada Minggu itu dirumah bp.A.R.Situmorang dengan jumlah anggota 8 Orang dewasa dan 6 orang anak – anak, yaitu:
    a. bp. A.R. Situmorang dan ibu beserta 2 orang anaknya
    b. bp. M.Nainggolan dan ibu beserta 4 orang anaknya
    c. bp. Panjaitan dan ibu
    d. bp. T.Sinabutar
    e. bp. J.Y.Sitanggang sebagai pembawa acara doa.
    Acara hanya berdoa dan rosario karena buku tata ibadah saat itu belum ada. Kemudian Jumlah umat bertambah lagi, yaitu kel.M.M.Purba, kel L.Simbolon , kel.J.S.M.Situmorang, dan kel. Tampubolon.
    Pada acara doa bersama, sambil berbincang- bincang, maka atas informasi bp.M.Nainggolan diketahuilah bahwa di kompleks Permina ada umat yang beragama katolik, yang aktif menggereja yaitu bp.Yanistoran, bp.Yosep Belangor,dan yg lain (ada 11 orang) dan pada bulan September 1963 diadakanlah ibadah Minggu dirumah bp.AR.Situmorang yang dipimpin bp,Yohanes Toran Lahera dan Josep Belangor . Karena Rumah bp. A.R. Situmorang berjualan, (kedai kopi dan tuak) dan beribadah agak terganggu, maka pada bulan Oktober 1963 sampai Februari 1964 tempat beribadat pindah kerumah Bapak M. Nainggolan, berjumlah 19 orangtua dan 6 muda mudi.
    Pada bulan maret 1964 tempat beribadat berpindah ke SD 7 Jl. Dempo P. Berandan, tetapi hal ini tidak berlangsung lama hanya sampai Juni 1964. Maka Dari bulan Juli 1964 sampai dengan Oktober 1964 Beribadat diadakan di SD Tionghoa jl.Mesjid Hal ini juga tidak lama, karena akan dipakai oleh GPTP setiap minggunya. Kemudian Nopember 1964 sampai bulan April tahun 1967 tempat beribadat dilaksanakan di Balai Karyawan Pertamina Pangkalan Berandan. Dalam hal ini sejak 1966 pimpinan Jemaat adalah bp.Bernardus Balanato, dan bp.Yohanes Toran Lahera yang kemudian diganti bp.Yosep Belangor.
    Sejak bulan Mei 1967 sampai 1970 Tempat peribadatan kemudian dipindahkan ke gedung SD no 1 YKPP Pertamina. Karena kurangnya tenaga pengajar agama katolik, maka pada tanggal 2 Januari 1969 Pastor A.G.Pius Datubara mengirim ibu R.br. Sinaga ke Pangkalan Berandan untuk mengajari (pengajar) umat beragama Katolik.
    Setelah pembangunan Gedung Gereja Oikoumene Pertamina yang terletak di Tangka lagan selesai maka pada tahun 1971, Umat katolik mengadakan ibadat setiap Minggu di gereja Oikoumene Pertamina Tangka Lagan tersebut sampai tahun 1973. Tetapi karena tempat tersebut dirasa umat sangat jauh, menyebabkan umat banyak yang tidak dapat pergi ke gereja. Dan atas Musyawarah Dewan gereja dan pengurus, maka tahun 1973- 1974 peribadatan dibagi menjadi dua, yakni sebagian umat beribadat di Gedung Gereja Oikoumene,yang dipimpin oleh bapak Josep Belangor, dan sebagian umat yang tinggal dikota Pangkalan Berandan beribadat dirumah bapak J.W.Situmorang, di jalan Dempo yang dipimpin bapak J.Y.Sitanggang.dan Pengkhotbah Bpk.Sihombing (Katekis dari Medan). dengan Jumlah Umat 26 KK, termasuk umat Katolik ber etnis Tionghoa.
    Pada tanggal 17 Februari tahun 1974 Bpk. Yustin Jakamar Sitanggang (J.Y.Sitanggang) diangkat menjadi Vorhanger, (SK Bapak Uskup Agung Medan A.G.Pius Datubara OFM Cap), yang bertugas memimpin peribadatan setiap minggu dengan dibantu bpk J.S.M.Situmorang. dan Ketua Pembangunan bp.JW.Situmorang.
    Pada tahun 1975 -1976 Umat katolik mengadakan ibadat setiap minggu secara bergilir dirumah bp. J.Y.Sitanggang di Jl. Dempo, dirumah bp.J.W. Situmorang di jl. Dempo dan dirumah bp. J.P.E.Situmorang di jl. Dempo Pangkalan Berandan.
    Pada tahun 1977 – 1978 Umat katolik mengadakan ibadat dirumah bp. J.P.E. Situmorang Jl. Dempo Pangkalan Brandan sampai gedung serbaguna selesai di bangun, Sejak Bulan Mei 1978 Umat katolik pangkalan berandan beribadat di gedung Serbaguna atau yang sekarang dikenal dengan nama Gereja katolik Cinta Kasih Pangkalan Berandan sampai saat ini.
    II. Sejarah Tanah Pertapakan Gereja Katolik Pangkalan Brandan
    Karena kerinduan untuk mempunyai pertapakan gereja sendiri, maka atas swadaya umat pada tahun 1971 membeli tanah di desa alur dua Tangkahan Lagan Pangkalan Brandan yang berukuran 125m x 32 m = 4000 m2. atas nama J. Mutimran. Dan Pada tahun 1973 atas swadaya umat dibeli kembali tanah di desa Alur dua Tangkahan lagan Pangkalan Berandan (tempat yang sama) yang berukuran 90m x 65 m = 6000 matas nama J. Mutimran. Kedua tanah ini sekarang sudah ditanami kelapa sawit dan menjadi asset Gereja dan Paroki.
    Pada tahun 1973 atas swadaya umat , membeli tanah di Gang Jamil Pangkalan Brandan yang berukuran 16m x 18m = 288 matas nama J.S.M. Situmorang. Sampai sekarang tanah ini masih kosong dan tidak dikelola.
    Pada tahun 1974 dengan swadaya umat serta bantuan dari Keuskupan Agung Medan membeli tanah dijalan Sutomo Pangkalan Brandan dengan ukuran 69m x 23 m = 1600 m2.dengan atas nama H. Sijabat. Tanah inilah yang kemudian dijadikan tempat mendirikan Gereja Katolik Cinta Kasih Pangkalan Brandan.
    Pada tahun 2000 Atas swadaya umat dan bantuan Keuskupan Agung Medan membeli tanah beserta rumah yang terletak dijalan Sutomo, tepatnya disamping gereja yang sekarang menjadi rumah Pastoran.
    Pada tahun 2004 atas swadaya umat dan Stasi stasi serta bantuan Keuskupan Agung Medan dibeli Tanah di jalan Sutomo disebelah kiri Gereja. demi untuk pengembangan Gereja dikemudian hari. saat ini tanah tersebut masih kosong.
    III. Sejarah Berdirinya Gereja Katolik ”Stasi Cinta Kasih” Pangkalan Brandan
    Melihat bahwa umat Katolik di Pangkalan Berandan belum mempunyai gereja yang permanen, maka para umat Katolik yang bekerja di Perusahaan Pertamina Pangkalan Berandan yaitu bapak Mangapul Simarmata dan Bapak Darmo mengusulkan agar para karyawan Pertamina harus menyumbang setiap bulan dengan cara gaji dipotong, untuk membeli tanah pertapakan gereja, dan atas kesadaran umat, mereka setuju tiap bulan gaji dipotong. Uang inilah yang digunakan untuk membeli pertapakan seperti disebut diatas.
    Dan pada tahun 1975 Diangkatlah Pengurus Dewan Gereja Katolik sbb: Ketua Pembangunan bp.Waroka (manejer angkutan), Wakil Ketua bp. Nurdin Patihajo (Manejer Pengolahan), Sekretaris Pembangunan bp.Suhadi S.H, (bagian Pertanahan) dan Saparya.
    Pada awal tahun 1976 Bapak Pastor Julius Martin PME ( sekarang menjadi USKUP Peru ) mulai merintis persatuan umat di Pangkalan Berandan sebagai satu syarat mutlak berdirinya gereja Katolik, yakni persatuan umat katolik karyawan Pertamina dengan umat katolik non karyawan Pertamina.Dan karena seluruh umat setuju dengan usulan tersebut, maka ijin mulai diurus langsung oleh Uskup. Dansurat ijin pun segera diperoleh dari pemerintah dengan status: Surat Ijin membangun Gedung Serba Guna, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan kerohanian, dan sosial.
    Pada bulan Juli 1977 dimulailah Upacara Peletakan Batu Pertama pembangunan Gedung Serba Guna dengan acara makan bersama (dengan memotong Kambing) yang dihadiri para tetangga yang beragama Muslim, dan mereka juga sekaligus menjadi tenaga kerja (tukang) dalam pembangunan Gedung Serba Guna tersebut. Adapun Arsitek pembangunan Gedung Serba Guna / Gereja Cinta Kasih adalah Bruder Terang Kelinus bersama dengan 4 orang temannya. Pembangunan Gedung Serba Guna selesai pada bulan Mei 1978.
    Pembangunan Gedung Serba Guna yang lebih dikenal dengan nama Gereja Katolik Cinta Kasih Pangkalan Berandan, dapat selesai dengan cepat adalah atas berkat Rahmat Allah, dan juga peran serta dari umat yang bekerja menjadi staf di Pertamina yang telah bersedia memberikan pemikiran, tenaga bahkan materi untuk berdirinya gereja, seperti : Bapak Mutimran ( Ka.Lab Pengolahan), bp.Waroka (Ka.Angkutan), bp.Sriono (Ka.UPS Logistik), bp.Purnomo (Ka.Personalia), bp.R. Sumarji (Ka Anggaran Logistik), bp.D.Kristanto (Ka.Material /Logistik), bp.Pudyasmara (Manajer Pengolahan), bp.Endarto (Ka Anggaran), bp. J.Buari (Ka. Logistik), bp.A.W.Budi Santoso. Bp.Ermaji (dr.Pertamina), bp.Ernawan (dr. Pertamina), bp. Nurdin Patihajo (Manejer Pengolahan), bp.Suhadi S.H, bp.Saparya, serta bp. H. Sijabat. Dan juga masih banyak umat yang turut serta membantu dan namanya tidak kami sebut satu persatu.
    Pada Bulan Juni 1978 Gedung Serba Guna diresmikan oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan, dengan dihadiri oleh : Bupati Langkat, DanDim, Kapolsek, Danramil. Dan sebelum acara peresmian dimulai, acara terlebih dahulu dimeriahkan oleh Drum Band SMA St. Thomas jl. S.Parman Medan dengan berpawai kesekeliling kota Pangkalan Berandan. Setela acara peresmian terlaksana dilanjutkan dengan acara makan bersama, kata kata sambutan, dan dilanjutkan dengan Gondang Batak selama satu hari satu malam.
    Dalam perjalanan waktu selam 14 tahun, Gedung Serba Guna yang disebut sebagai Gereja Katolik Cinta Kasih mengalami kerusakan dan pelapukan di bagian Panti Altar dan atas bagian depan.
    Pada tahun 1991 Bapak Pastor Frietz R. Tambunan yang bertugas di Pangkalan Berandan mulai merintis merenovasi Gedung Serba Guna (Gereja Cinta Kasih).
    Pada tahun 1992 dimulailah merenovasi Gedung Serba Guna dengan dana Rp.16.000.000,- sumber dana berasal dari umat setempat dan bantuan umat yang telah pindah dari Pangkalan Berandan. Setelah selesai Renovasi diadakan acara Syukuran yang di hadiri oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan.
    Namun pada tanggal 2 Nopember 1992 tepat pada pukul 15.15 wib. Gereja Cinta Kasih mengalami kerusakan karena di obrak abrik oleh oknum orang – orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan menyaksikan peristiwa yang sangat tragis itu, maka umat Katolik Pangkalan Berandan langsung datang berkumpul di gereja Cinta Kasih dengan ratap tangis yang memilukan siang malam.
    Pada awal Desember 1992 dimulailah Renovasi tahap kedua dengan biaya swadaya dari umat secara spontanitas, dan selesai pada saat sebelum perayaan Natal 1992. Sehingga umat dapat merayakan natal di gereja. Sejak saat itu umat sudah tenang bergereja di Cinta kasih, dan tidak ada lagi gangguan. Bahkan ketika Banjir Bandang pada Bulan desember tahun 2006 Gereja Cinta Kasih menjadi Posko Bantuan Kemanusiaan, bahkan kita membantu para warga yang kebanjiran terutama umat Muslim yang berada disekitar kita.
    Dalam perjalanan waktu, keadaan Umat di Stasi Cinta Kasih mengalami pasang surut sehubungan dengan banyaknya pekerja Pegawai Pertamina Yang beragama Katolik Pensiun dan kembali ke daerah asalnya, dan juga karena Pertamina tutup sehingga banyak umat kita yang turut dipindah tugaskan ke daerah lain.
    Saat ini umat di Gereja Katolik Cinta Kasih berjumlah : 91 KK, terdiri atas 382 Jiwa, yang terbagi menjadi 4 Lingkungan yakni:
    1. Lingkungan St. Iqnatius berjumlah : 47 KK terdiri atas 190 jiwa
    2. Lingkungan St. Fransiskus berjumlah : 15 KK terdiri atas 65 jiwa
    3. Lingkungan St. Ana berjumlah : 16 KK terdiri atas 69 jiwa
    4. Lingkungan St. Yosep berjumlah : 13 KK terdiri atas 58 jiwa
    Berikut ini kami lampirkan para gembala – gembala setempat yang pernah menjadi Vorhanger ataupun Ketua Dewan Stasi adalah :
    1. Bapak .J.Y Sitanggang
    2. Bapak Josep Belangor
    3. Bapak Bernardus
    4. Bapak M.M.Purba
    5. Bapak J.P.E. Situmorang
    6. Bapak A. P. Sidabutar
    Dan berikut ini nama – nama Kepengurusan Gereja Stasi Cinta Kasih Pangkalan Berandan, masa Bhakti 2011- 2016 sebagai berikut:
    1. KETUA DEWAN STASI L.SIMANJUNTAK,S.Pd
    2. WAKIL KETUA M. DUHA, S.Pd
    3. SEKRETARIS I MONIKA Br.PARDEDE
    4. SEKRETARIS II L. HARIANJA, S.T
    5. BENDAHARA I A.P. SIDABUTAR
    6. BENDAHARA II R. Br. SINAGA, S.Pd
    IV. Sejarah Paroki Dan Pastoran
    Pada tahun 2000 umat gereja Katolik Cinta Kasih dengan dukungan P. Agustinus giyono D.Pr dari Keuskupan Agung Semarang berhasil mendapatkan tanah dan rumah yang terletak disamping halaman gereja. Rumah ini direncanakan untuk rumah Pastoran. Tetapi masih didiami orang yang mengkontrak karena masa kontraknya belum habis. Setelah yang mendiami meninggalkannya, maka rumah segera direhab. Rehap tahap pertama selesai pada bulan september 2002, namun masih kosong dan belum ada perabot apapun didalamnya. Lingkungan sekitar rumah juga belum tertata rapi, sehingga pastor dan pengurus gereja Cinta Kasih harus bekerja keras menatanya.
    Dengan adanya Pastoran ini maka semakin terwujudlah harapan umat, bahwa wilayah Pangkalan Berandan dan 20 stasi disekitarnya memiliki Paroki sendiri agar pelayanan terhadap umat semakin Maksimal, dan juga untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan gereja tidak terlalu jauh harus ke Paroki Maria Bunda Pertolongan Abadi Binjai. Keinginan untuk mendirikan Paroki sendiri semakin gencar pada saat menjelang Peringatan Pesta Perak (25 tahun) Gereja Cinta Kasih Pangkalan Berandan.
    Pada tanggal 29 Juni 2003 diadakan pesta Perak Gereja Katolik Cinta Kasih sekaligus Peresmian Pendirian Paroki Pangkalan Berandan yang bernaung pada perlindungan tokoh besar gereja perdana yaitu Santo Paulus, sekaligus diadakan pengumpulan dana untuk rehab gereja dan pagar.
    Pada tanggal 31 Agustus 2003, Yang Mulia Uskup Agung Medan Mgr.A.G.Pius Datubara OFM Cap. berkenan hadir untuk meresmikan dan memberkati Paroki baru yaitu “ Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan”. Setelah pemberkatan maka pastoran segera dilengkapi dengan Garasi mobil, Kamar penjaga dan dan ruang kamar mandi luar. Hati umat terasa legah telah memiliki Paroki yang baru walaupun pada saat itu Pastor belum langsung ditempatkan tetapi masih dari Binjai. Kemudian Bapak Uskup menempatkan Pastor Aloysius Martoyoto Pr. dari Keuskupan Semarang di Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan.
    Dengan melihat sejarah singkat berdirinya Gereja Katolik Stasi Cinta Kasih Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan, dimana umat menghadapi berbagai macam tantangan, dan kesulitan yang berat, sudah sepatutnyalah kita selalu bekerja sama serta membangun kesatuan dan persatuan, demi untuk berkembangnya iman umat Katolik di daerah Pangkalan Berandan dan sekitarnya.
    Para umat yang pernah menjabat sebagai Ketua Pelaksana Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan adalah sbb :
    1. bp. JPE.Situmorang dan
    2. bp. A.S. Sihotang
    Para Pastor Yang pernah berkarya di Stasi Cinta Kasih Sesuai dengan ingatan para umat, disini kami beritahukan sebagai berikut :
    1. Pastor A.G.Pius Datubara.
    2. Pastor Vennox
    3. Pastor Gregori ( Kanada )
    4. Pastor Josua ( Swiss )
    5. Pastor Magela
    6. Pastor Julius Martin PME
    7. Pastor Betran
    8. Pastor Pidelis Sihotang
    9. Pastor Frietz Tambunan
    10. Para Pastor Diosesan yang datang dari Keuskupan Agung Semarang (Rm. Sukardi, Rm.Winarto, Rm.Suyadi, Rm. Supriyanto, Rm.Suharyono, Rm. Agustinus Giyono, Rm. Aloysius Martoyoto Pr., Rm.Johanes Conrad Heru Purnomo Wiryoatmojo Pr. Dan Rm. Yohanes Sari Jatmiko Pr).
    11. Pastor Gundo Saragih
    12. Pastor Marsellinus Sitanggang
    Dan para Pastor yang pernah berkarya setelah di resmikannya Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan adalah sbb;
    1. Pastor Agustinus Giyono (sebagai perintis berdirinya Paroki)
    2. Pastor Aloysius Martoyoto Pr
    3. Pastor Johanes Conrad Heru Purnomo Wiryoatmojo Pr
    4. Pastor Gundo Saragih
    5. Pastor Marsellinus Sitanggang (Pastor Rekan)
    6. Pastor Yohanes Sari Jatmiko Pr
    Demikianlah sejarah Gereja Katolik Cinta Kasih Pangkalan Berandan ini yang dapat kami uraikan. Terima kasih atas bantuan dari para pengurus terdahulu bp. J.Y.Sitanggag dan juga para orang tua saksi hidup bp.L.Simbolon, ibu R.br.Sinaga,bp.B.Samosir yang mengetahui sejarah umat dan juga penyusun terdahulu bp.JPE. Situmorang,dan juga semua orang-orang yang turut serta dalam penyusunan sejarah Gereja Katolik Pangkalan Berandan ini. Sejarah ini mungkin masih banyak kekurangan disana sini, dan juga tanggal serta bulan dan tahun tidak begitu persis dan ada yang silap , maka kami mohon maaf yang sebesar besarnya kepada bapak /ibu saudara sekalian. (Direvisi kembali : L.Simanjuntak.S.Pd).
    Sejarah Stasi Tanjung Pura
    Stasi Tanjungpura yang terletak sekitar 25 km ke arah selatan dari Paroki St. Paulus, Pangkalan Brandan adalah stasi paling selatan, yang menjadi pembatas dengan Paroki Bunda Pertolongan Abadi. Terjadinya stasi ini diceritakan oleh Bp. Financius Sinaga, selaku vorganger di stasi ini. ”Saya, Financius Sinaga, yang sejak tanggal 1 Maret 1954 telah diangkat menjadi Pegawai Negeri, khususnya sebagai Pegawai Penjara, tinggal menetap di kota Tanjungpura, walau pada waktu itu keluarga saya belum pindah ke Tanjungpura. Perpindahan keluarga saya ke Tanjungpura baru terlaksana pada bulan Mei 1954 dan kami bertempat tinggal di kampung Karantina. Waktu itu belum ada perkumpulan umat Katolik, karena belum ada satu pun orang katolik di situ. Sejak sekitar tahun 1960 sampai tahun 1973 kami bergereja di Air Hitam, yang letak gerejanya di dekat Kilang Bersama. Berhubung gereja Air Hitam dipindah ke Bukit Delapan, kami merasa begitu jauh untuk bergereja kesana. Maka sesuai dengan petunjuk Pastor, kami pindah berminggu ke Martoba Gebang.
    Berhubung ke Gebang pun juga cukup jauh perjalanan kami (bersama-sama anak-anak) terpaksa kami tidak bias mengikuti peribadatan setiap minggu. Pada waktu itu, Pastor Pius Datubara, selaku pastor paroki menunjuk rumah kami sebagai tempat diadakannya ibadat atau doa lingkungan, supaya anak-anak dapat beribadat dan berdoa lingkungan setiap minggunya. Kami yang berjumlah 3 (tiga) keluarga bisa berminggu/beribadat dengan teratur. Pada tanggal 7 April 1975, Pastor A.G Pius Datubara, selaku pastor Paroki gereja Katedral Medan, mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Muspida Kecamatan Tanjungpura, yang memberitahukan bahwa Perkumpulan Jemaat Katolik di Tanjung Pura setiap Minggu dan setiap hari Besar Kristiani mengadakan ibadat/doa lingkungan. Setiap malam minggu umat Katolik Tanjungpura mengadakan doa-doa secara bergiliran dari rumah ke rumah. Maka pada tanggal 8 April 1975, kami melapor kepada Muspida kecamatan Tanjungpura (sebagai bukti-bukti dari keterangan ini, ada photocopy pertinggal yang disimpan dengan baik oleh vorhanger).
    Demikian sejarah awal perkumpulan kami, umat katolik di Kecamatan Tanjungpura dan Tanah untuk mendirikan gereja telah kami beli dengan pinjam uang dari Paroki Binjai Langkat, melalui Rm. Sukardi dan tanah tersebut diatasnamakan Rm. Sukardi. Surat tersebut ditinggal di Paroki Binjai Langkat. Menurut perjanjian kami dengan Pastor Paroki, pengembalian uang pinjaman itu kami tempuh dengan cara mengansur. Tanah tersebut masih kosong sampai sekarang, karena lingkungan kurang mendukung.
    Demikianlah sejarah perkumpulan kami, selaku umat katolik di Tanjungpura, Langkat yang mulai sejak 8 April 1973 dengan jumlah 3 KK sampai sekarang 28 Juli 2012 (39 tahun) mencapai jumlah warga katolik 28 KK dengan jumlah umat 128 orang. Adapun pengurus gereja stasi Tanjungpura sebagai berikut:
    1. Vorganger Pengata Surbakti
    2. Wakil vorganger Tapianna br. Silalahi
    3. Sekretaris Edi Susanto Saragih
    4. Wakil Sekretaris Bohler Silalahi
    5. Bendahara Antonius Nandang Mulyadi
    6. Wakil Bendahara Kasanova Saragih
    Sejarah Stasi Air Hitam
    Stasi Santo Paulus Bukit Mengkirai terletak ± 25 KM sebelah Tenggara Kota Pangkalan Berandan. Gereja ini berada di Dusun IV (empat) Desa Bukit Mengkirai, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat. Jarak antara gereja dengan Kantor Camat Gebang, ± 15 KM ke arah Selatan.
    Pada tahun 1964 berdirilah gereja katolik St. Paulus Stasi Air Hitam dengan jumlah 30 KK dan terdiri dari 140 jiwa, di bawah naungan Paroki Binjai Langkat dan di pimpin oleh Pastor Vennok. Pada waktu itu sudah dipilih pengurus gereja katolik Stasi Air Hitam, yakni: Kalimuda Situmorang dan Alfred Simamora. Kemudian, sejak tahun 1971 umat katolik semakin bertambah jumlahnya, karena umat sering dikunjungi oleh Pastor AG Pius Datubara OFM Cap, sehingga dapat diperkirakan bahwa pada tahun 1974 jumlah umat mencapai 42 KK atau 200 jiwa. Pada waktu itu kepengurusan gereja dipegang oleh bapak Martinus Tamba dan bapak Dominikus Lumban Gaol. Perkembangan jumlah umat katolik pada tahun 1984 mencapai 220 jiwa atau 48 KK dan pada tahun 2006 umat katolik sudah berjumlah 265 jiwa atau 52 KK. Adapun pengurus gereja pada masa bakti ini adalah: B. Manik, T. Sianturi, S. Situmorang, J. Tambunan, B.E Manalu, O. Malango, P. Situmorang (yang sekarang menjadi kepala Desa Bukit Mengkirai) dan pada tahun 2008 menjabat sebagai Ketua Dewan Stasi adalah bapak J. Manik.
    Melihat perkembangan umat yang semakin hari semakin bertambah dari tahun ke tahun, sekalipun dalam presentase kecil, namun perkembangan jumlah umat ini merupakan suatu kemajuan yang sangat berarti dibanding dengan jumlah umat dari gereja lain (gereja tetangga).
    Sebelum dipindahkan ke Bukit Mengkirai, awalnya gereja Katolik St. Paulus berdiri di Desa Air Hitam, persisnya di Kilang Bersama (± 6 KM sebelum Desa Bukit Mengkirai). Selama 5 (lima) tahun (1963-1968), gereja tetap berada di Desa Air Hitam.
    Akhir tahun 1968, gereja dipindahkan ke Bukit Mengkirai. Alasan perpindahan adalah umat Katolik jauh lebih banyak di Desa Bukit Mengkirai dari pada di Desa Air Hitam. Selain itu, seorang umat menghibahkan tanahnya untuk pertapakan gereja di Bukit Delapan, Desa Bukit Mengkirai. Mencermati dua hal itu dan mengingat bahwa di Desa Air Hitam umat begitu sedikit dan gedung gereja juga masih menumpang di sebuah kilang padi, maka atas kesepakatan bersama, gedung gereja darurat dibangun di Bukit Mengkirai. Ide pemindahan dan pembangunan gedung gereja digagas dan dilaksanakan oleh Bapak almarhum Kalimuda Situmorang. Ia bersama kelompok perantau dari Samosir bahu-membahu mendirikan dan menggiatkan hidup menggereja di Bukit Mengkirai.
    Karena jumlah umat bertambah dari tahun ke tahun, gereja tak mampu lagi menampung umat. Selain itu gereja juga sudah bocor dan keropos. Melihat situasi itu pada tahun 2006 oleh para pengurus gereja di Bukit Mengkirai merencanakan pembangunan gereja yang lebih besar dan permanent. Rencana itu disampaikan kepada umat dan umat menyetujuinya. Sejak tahun itu setiap kepala keluarga umat dikenakan biaya pembangunan gereja yang dibayarkan pada masa panen padi. Demikianlah umat selama 3 tahun berusaha mengumpulkan dana awal pembangunan gereja. Pada awal tahun 2009 pembangunan gereja dimulai. Pekerjaan mulai dari penggalian fondasi sampai pengatapan masih tergolong lancar. Pembangunan selanjutnya terpaksa dihentikan karena dana telah habis. Umat masih tetap mengumpulkan dana, namun jumlahnya sudah sangat sedikit. Hal itu dikarenakan harga kelapa sawit yang tidak stabil dan juga karena selama ± 10 bulan (pertengahan 2009-pertengahan 2010) musim kemarau melanda Langkat (terlebih wilayah Teluk Aru).
    Tahun 2011 jumlah umat 52 KK dan 207 jiwa; tahun 2012 bertambah menjadi 54 KK dan 221 jiwa.
    Bangunan Gereja baru:
    - Dimulai tanggal 01 Februari 2009 direncanakan selesai bulan September 2012, inilah atas karya Tuhan pada setiap Donatur. Dan tak luput kami umat katolik Stasi Air Hitam mengucapkan terimakasih atas kerja keras dan partisipasi Romo Aloysius Martoyoto,Pr sebagai perintis, Pastor Gundo F Saragih Pr; Pastor Marselinus Sitanggang Pr yang memulai dalam peletakan batu pertama.
    - Dalam penyelesaian bangunan kami sangat berterimakasih atas kerja kerasnya, baik bantuan moral dan pendanaan pada Romo Yohanes Sari Jatmiko Pr, Sekretaris Paroki Maria Dede dan juga yang sangat kami banggakan pada Sr. Vincentine Nainggolan KSSY dan Sr. Deswita Sinaga KSSY yang sangat perhatian sekali untuk gereja Air Hitam, sehingga bantuan sudah hampir rampung. Terimakasih bagiMu Tuhan Engkau tunjukkan malaikat-malaikat penolong untuk umat Stasi Air Hitam.
    Susunan Pengurus Stasi Masa bakti 2011-2016:
    1.Vorganger : Jonner Tambunan
    2.Wakil Vorganger : Jakaria Manik
    3.Sekretaris : Pacifikus Situmorang
    4.Wakil Sekretaris : Mangihut Sitanggang
    5.Bendahara : Umar Manik
    6.Wakil Bendahara : Edumanto Sinaga
    Sejarah Stasi Tangkahan Batak
    Pada tahun 1961, umat Tangkahan Batak berkumpul untuk musyawarah dan mengadakan sembahyang di rumah Bapak Arifin Situmorang. Pada tahun itu juga Pastor Op. Bornok Simbolon bersama Ny. Hutabarat dan ibu Situmorang (Pangkalan Brandan) dan sekaligus Bapak Jaspes Sinaga selaku pengajar, memberi pembekalan dan pembinaan kepada umat katolik yang berada di daerah Pangkalan Brandan termasuk Tangkahan Batak. Mereka menjumpai keluarga-keluarga Katolik yang ada di Tangkahan Batak, yaitu:
    1. Arifin Simbolon
    2. Jaintan Simbolon (alm)
    3. Osman Simbolon
    4. Ama Espe Simbolon
    5. Jabakti Hutabalian
    6. Huta Malau (alm)
    Keenam keluarga ini mengadakan sembahyang dirumah bapak Arifin Situmorang.
    Kemudian pada bulan April 1962 bapak Arifin Situmorang menerima mandat dari Pastor Bornok menjadi Pengurus atau Ketua Stasi Tangkahan Batak. Sejak tahun 1963 Pastor Bornok merayakan Ekaristi di rumah keluarga Arifin Situmorang dan selama kurang lebih 3 tahun mereka sepakat untuk mencari / membeli pertapakan untuk mendirikan bangunan Gereja. Dengan landasan keinginan yang besar, umat membeli pertapakan tanah dari salah satu umat Katolik yaitu Bapak Huta Malau, dengan harga 6 kaleng padi sawah yang kering.
    Pada tahun 1966 mulai dibangun Gereja yang berukuran 5m x7m, berpondasikan batu bata, dinding papan dan atap nipah. Sesudah pembangunan gereja selesai, umatpun bertambah jumlahnya, yakni:
    1. Kasmin Gultom (Op. Candra) alm.
    2. A. Kele Simamora
    3. Sahat Nainggolan
    4. A. Niben Nainggolan
    5. A. Holong Nainggolan
    6. A. Eli Pandiangan
    7. Mangantar Pandiangan
    8. Op. Patuan Sibaran.
    //Penyusun : Birman Agustinus Simanungkalit.
    Sejarah Stasi Martoba Gebang
    Pada tahun 1962 kampung Martoba masih didiami oleh beberapa suku Batak dan yang beragama Kristen (terutama Katolik). Umat yang pertama dahulu sulit bertatap muka dengan yang lain sebagai saudara seiman, karena lebih sering bertempat tinggal di ladang masing-masing.
    Pada suatu hari mereka bertemu di tempat Bapak K. Manurung (†) dan teman-temannya antara lain:
    1. Bapak K. Sihombing (†)
    2. Bapak Arifin Situmorang (†) (sekarang tinggal di Stasi Tangkahan Batak)
    3. Bapak M. Sianipar (†)
    4. Bapak A. Sinaga
    5. Bapak A. Manurung (†)
    Setelah itu mereka mengadakan kesepakatan mengadakan Partamiangan (Ibadat) agar semua usaha mereka diberkati oleh Tuhan, karena mereka umumnya orang perantau yang bermodalkan Iman Kristiani (Katolik/RK) dari Pulau Samosir.
    Pada tahun 1965 mereka membuat suatu kesepakatan dengan teman-temannya yaitu: mereka mengadakan peribadatan bersama antara saudara yang di Martoba dan Tangkahan Batak yang relatif jauh jaraknya. Maka bapak Arifin Situmorang dari Tangkahan Batak mengajak umat Martoba untuk bergereja di Tangkahan Batak.
    Dalam perjalanan selanjutnya, jumlah umat semakin berkurang, sampai tinggal beberapa KK, namun mereka tetap bertekun untuk beribadat. Lalu mereka tetap mengadakan ibadat dari rumah ke rumah umat terutama di rumah bapak M. Sianipar (†).
    Meskipun pada masa itu Negara kita dalam keadaan gawat karena terjadi gerekan G30S PKI. Tetapi umat Katolik tetap bertahan pada Iman dan kepercayaan mereka. Banyak cobaan telah mereka lalui dengan selamat, karena mereka tetap kompak, walau jumlah mereka tinggal sedikit.
    Pada tahun 1969 datanglah Pastor AG. Pius Datubara, Ofm Cap yang memberikan dukungan kepada umat katolik di Martoba Gebang, dengan membelikan tapak gereja seluas 20m x 60m (3 rante). Maka segera dibangun gereja sebesar 4m x 6m dengan kondisi berdinding tepas / atap.
    Pada tahun 1970 pertambahan jumlah umat makin nampak, karena datang bapak M. Situmorang dari Padang Langkat dan bapak Finantius Sipayung dari Tanjungpura yang bergereja di Stasi Air Hitam. Oleh karena jarak tempuh jauh lagipula jalannya terputus oleh banjir, sehingga mereka pindah bergereja di Martoba.
    Pada tahun 1973 gereja diperbesar menjadi 5m x 7m dengan konsisi berdinding papan / atap seng, oleh karena jumlah umat bertambah menajdi 10 KK.
    Pada tahun 1979 datang juga Bapak Pastor Gregory PME, yang memberi gagasan untuk memperbesar gereja tersebut menjadi 6m x 8m dengan kondisi bangunan gereja Batu-separuh dinding papan bekas, 8 buah seng bekas, lantai tanah. Pada masa itu yang menjadi Vorhanger Bapak Timbul Simbing (†) menjalani pelayanan iman umat sejak 1970 s/d 1992. Dan digantikan oleh bapak Mister Nainggolan yang bertugas sampai tahun 2008 dengan jumlah umat 11 KK.
    Pada awal Desember 2006 Romo Aloysius Martoyoto Pr selaku Pastor Paroki St. Paulus Pangkalan Brandan bersama Dewan Paroki mengajukan permohonan bantuan kepada Keuskupan Agung Medan, karena adanya keprihatinan umat yang merasakan kurang nyaman lagi menggunakan gedung gereja yang sudah rusak dan tempatnya tidak representatif (kumuh).
    Maka datanglah bantuan dana dari Keuskupan Agung Medan, sehingga umat bisa mendapatkan pertapakan gereja yang terletak di jalan lintas Sumatera seluas 26m x 100m (6,5 rante) dengan 50% bantuan dana dari Keuskupan, sedangkan sisanya ditanggung oleh Paroki sebagai hutang yang perlu diangsur. Selain itu, bapak Uskup Agung Pius Datubara juga memberikan sebagian uangnya untuk membantu angsuran ke Keuskupan. Demikian juga, stasi Cinta kasih ikut meringankan beban stasi Gebang dengan memberikan bantuan dana, tenaga bersama-sama umat stasi Gebang.
    Pada tahun 2007 dibangunlah gereja stasi Martoba Gebang dengan luas 8m x12m (sebagian bahan bekas dari gereja lama di pakai) Model bangunan permanen yang mana biayanya diupayakan dengan swadaya umat dan para donatur. Semuanya ini bisa berjalan dengan baik berkat uluran tangan / bantuan umat katolik di Stasi-stasi Paroki St. Paulus Pangkalan Brandan. Dan pada awal April 2008 telah diadakan pemilihan Pengurus Stasi yang baru dengan masa bakti 2008 s/d 2011 Pengurus masa bakti 2011-2016 adalah:
    1.Vorganger Parluhutan Situmorang
    2.Wakil vorganger M. Nainggolan
    3.Sekretaris J. Silalahi
    4.Wakil Sekretaris M. Tarihoran
    5.Bendahara R. br. Nababan
    6.Wakil Bendahara D. br. Sagala
    Saat ini kepengurusan P. Situmorang berjalan dengan baik berkat ijin dari Tuhan.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Palipi

    0
    Pelindung
    :
    Santo Fransiskus Asisi
    Buku Paroki
    :
    Sejak tahun 1936. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Balige
    Alamat
    :
    Pastoran Katolik, Palipi, Pulau Samosir – 22393
    Telp.
    :
    0813-7008-9164
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    2.546 KK / 11.108 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    33
     
    01. Bolean
    04. Dugul
    07. Huta Ginjang
    10. Lumban Sihombing
    13. Pandiangan
    16. Parsaoran
    19. Sabalangit
    22. Sideak
    25. Silimapulu
    28. Sinagauruk
    31. Siupar
    02. Batujagar
    05. Holbung
    08. Lobutua
    11. Pagar atu
    14. Pangaloan
    17. Ransangbosi
    20. Sampetua
    23. Sigaol
    26. Simanukmanuk
    29. Sitatar
    32. Tarabunga
    03. Dolok Martahan
    06. Hutaraja
    09. Lumban Malau
    12. Pamutaran
    15. Parmonangan
    18. Rapusan
    21. Sibatuara
    24. Silaban
    27. Simataniari
    30. Sitabotabo
    33. Torudolok
    RP. Deo Gratias Manalu OFMCap
    10.02.’83
    Parochus
    RP. Chrisanctus Saragih OFMCap
    29.12.’65
    Vikaris Parokial
       
     

    Sejarah Paroki St. Fransiskus Asisi - Palipi

    Pengantar (klik untuk membaca)
    Dalam kata pengantar buku supervisi paroki dikatakan bahwa uskup diosesan wajib mengunjungi umat beriman di paroki, minimal sekali dalam lima tahun. Demi meningkatkan mutu kunjungan itu, maka tim supervisi dibentuk oleh bapak uskup yang terdiri dari para imam ahli atau mahir di bidang hukum gereja, di bidang administrasi dan di bidang harta benda. Tim itu menyiapkan tiga lembar kerja atau borang, yang berkaitan dengan tata penggembalaan, tata administrasi dan tata kelola harta benda. Sementara tujuan supervisi ini disebutkan dua hal. Pertama, pelayanan paroki dilakukan dengan sungguh sungguh sebagai bentuk pertanggungjawaban pastoral kepada umat. Umat berhak mengetahui bahwa mereka dilayani dengan baik. Kedua, dewan pastoral paroki dibantu dan didampingi melalui supervisi dan tidak dibiarkan begitu saja tanpa pendampingan. Paroki dimohon memperhatikan rekomendasi dari tim supervisi. Untuk mencapai tujuan itu, tim supervisi harus menyiapkan tiga lembar kerja atau borang yang berkaitan dengan tata penggembalaan, tata administrasi dan tata kelola harta benda.
    Pada tanggal 16-17 Maret 2022, Paroki Santo Fransiskus Asisi Palipi mendapat giliran untuk kunjungan tim Supervsi Keuskupan ini. Untuk melengkapi maksud dan tujuan supervisi KAM di Paroki Stanto Fransiksus Asisi Palipi ini, kami paparkan sedikit profil paroki ini. Sungguh disadari bahwa profil ini belumlah lengkap dan masih jauh dari kata sempurna. Karena itu profil paroki ini, terbuka untuk dilengkapi dari tahun ke tahun atau dari masa ke masa.
    Namun demikian, untuk tujuan supervisi KAM pada kesempatan ini, kami telah berusaha merefleksikan karya pelayanan di paroki ini. Program demi program yang telah disusun diharapkan makin meningkatkan kualitas iman umat. Patut dicatat dalam lima tahun terakhir ini kegiatan baik pembinaan seturut TPP KAM maupun perayaan-perayaan iman semakin baik dan tertata. Sungguh kami sadari bahwa semua program ini diperbuat untuk meningkatkan kualitas iman Katolik agar berurat berakar sehingga tangguh menghadapi tantangan jaman.
    Sejarah Paroki
    Mgr Brans mengangkat Pastor Sybrandus van Rossum sebagai misionaris pertama di daerah Misi tanah Batak dan disuruh ke Balige. Kiranya pastor Sybrandus tidak perlu mencari kontak, karena orang orang Batak sendiri yang datang kepadanya, berkerumun dari pagi sampai petang. Pastor Sybrandus pandai bergaul juga dengan pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda di Tarutung.
    Setelah pastor Sybrandus tinggal beberapa bulan di Balige, datang seorang yang bernama Jamauli Lumbanraja dari Harian (Nainggolan). Dia minta kepada pastor supaya mau menyeberang ke Samosir karena ada beberapa orang yang mau menjadi Katolik. Si Lumbanraja ini adalah mantan guru Zending Protestan dan sudah pada tahun 1933 minta kepada pastor Aurelius Kerkers di Pematangsiantar untuk diterima di Gereja Katolik. Jamauli Lumbanraja ini menyeberang setiap hari Jumat naik solu ke Balige untuk pergi ke pekan dan sambil menerima pelajaran Katolik di pastoran. Pada pertengahan bulan Mei 1935 pastro Sybrandus menyeberang dari Balige ke Nainggolan, dijemput oleh Jamauli Lumbanraja. Ternyata di Sipinggan Harian banyak orang yang sudah menunggu pastor. 20 Keluarga mendaftarkan dirinya mau menjadi Katolik dibawah pimpinan kepala kampung O. Siringoringo. Pada saat itu, rumah Ferdinand Tamba disewa untuk tempat beribadah pada hari Minggu.
    Pada kunjungan kedua pastor Sybrandus dari Balige ke Samosir dia pergi ke Sipinggan dan setelah itu ke Palipi. Banyak orang yang berkumpul di situ. Ada yang dari Sipuli, maupun dari Batujagar. Mereka semua mau masuk Katolik. Pada permulaan bulan Juni 1935, datang juga banyak orang dari Simbolon ke Palipi. Mereka minta supaya pastor datang ke Simbolon membuka stasi baru. Pada akhir tahun 1935 pastor Sybrandus membuka stasi Sinagauruk (negeri Urat) dan Rianiate (54 keluarga).
    Pada tanggal 08 Nopember 1935, MGr. Brans mengunjungi Samosir. Di mana mana beliau diterima dengan antusias dengan memakai gendang. Kunjungannya yang pertama di Onanrunggu sesudah itu di Sipinggan, Sinagauruk dan di Palipi. Pada tanggal 11 Januari 1936 stasi Onanrunggu diresmikan menjadi stasi ketujuh setelah Sipinggan, Palipi, Sinagauruk (Urat), Simbolon, Rianiate dan Sideak.
    Mgr. Brans merasa sebaiknya ada pastor tetap di Samosir. Maka diangkatlah pastor Diego van de Biggelaar (Ompung Bornok) pada tanggal 20 Januari 1936. Pastor Diego pandai berbahasa Batak dan rajin melayani umat. Setelah berpikir cukup lama, pastor Diego memilih Simbolon sebagai tempat tinggal, karena anak kepala kampung Raja Philemon mengusulkan rumahnya menjadi pusat kegiatan pastor. Rumahnya itu dekat desa Silaban. Sejak 1 April 1936 pastor Diego tinggal di situ. Terus menerus terjadi pendirian stasi yang baru. Pada tangggal 10 Mei 1936 didirikan stasi Batujagar, 18 Mei 1936 didirikan stasi Tanggabatu (Lontung), tanggal 25 Mei 1936 didirikan stasi Lobutua, 05 Juni 1936 didirikan stasi Tamba, dan 26 Juni 1936 didirikan stasi Ransangbosi. Pada Akhir tahun 1936, diketahui bahwa sudah terbentuk 13 stasi: Onan Runggu, Urat, Lumban Lintong (Pangururan), Lobutua, Tamba, Boho, Sipinggan, Palipi, Lontung, Sideak, Sirait, Batu Jagar, dan Ransang Bosi.
    Akhir Bulan Agustus 1936, pastor Diego jatuh sakit dan akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1936 beliau terpaksa meninggalkan Samosir dan pergi ke Pematangsiantar. Pengganti pastor Diego van den Biggelaar ialah pastor Benyamin Dijkstra (05 Oktober 1938). Pastor Benyamin adalah seorang yang cukup teratur, tegas dan tertib. Pada tahun 1936 diadakan banyak permandian missal: di Onanrunggu 167 orang, di Sipinggan 110 orang, di Sinagauruk (Urat) 105 orang, di Ransangbosi 252 orang dan di Sitonggitonggi 100 orang.
    Pada bulan Juli 1940, pastor Radboud Waterreus pindah ke Palipi. Pada waktu itu direncanakan oleh pemerintah, supaya Mogang menjadi pusat pemerintah dan pekan. Karena itu pusat misi juga dipindahkan yaitu dari Simbolon ke Palipi dekat Mogang. Limabelas stasi paroki Palipi yang telah didirikan sebelum Juli 1941.
    • Palipi (1935) • Simbolon (1935) • Sinagauruk (1935) • Sideak (1935) • Batujagar (1936) • Lobutua (1936) • Ransangbosi (1936) • Sitatar (1937) • Silimapulu (1938) • Pandiangan (1939) • Siupar (1939) • Sibatuara (1939) • Hobung (1939) • Rapusan (1939) • Simataniari (1941)
    Sampai pada tahun 2012 sudah ada 32 stasi berdiri di paroki St. Fransiskus Assisi – Palipi. Dan syukur kepada Allah bahwa pada tahun 2015-2022 paroki St. Fransiskus Assisi Palipi telah memiliki 34 stasi dengan wilayah pemerintahan di dua kecamatan yaitu kecamatan Palipi dan kecamatan Sitiotio, Kab. Samosir.
    Beberapa orang awam yang berjasa untuk paroki Palipi sebelum perang dunia II, penjajahan Jepang (1942) adalah Jamauli Lumbanraja (Harian, Nainggolan), O. Siringoringo (Sipinggan), Yulius Sitohang (Palipi), Gayus Sinaga (Sinagauruk), Renatus dan Yonas Sitanggang (Rianiate), Bonifasius Panggabaean (katekis dari Balige), Davis Hutauruk (Sinagauruk), Gideon Sitohang (Sitatar), Guru Tinatea (Sirait), Baginda Sitinjak (Onanrunggu), Renatus Simbolon (Simbolon), Ludu Situmorang (Batujagar), Panurat Situmorang (Lobutua), Johannes Situmorang (Lobutua), Calvin Johannes Tampubolon, Marinus Pandiangan, Arminius Iskandar Situmorang dan Pekianus Tamba.
    Pastor pastor yang bertugas di Palipi sebelum 1942 adalah Pastor Diego van den Biggelaar (1936-1938); pastor Procopius Handgraaf (1936-1937), Pastor Oscar Nuyten (1937-1938), Pastor Beatus Jenniskens (1938-1939), pastor Benyamin Dijkstra (1938-1941), pastor Wendelinus Willems (1939-1940) dan pastor Radboud Waterreus (1940-1942).
    Kunjungan-kunjungan pertama ke stasi-stasi sangat menggembirakan. Dimana-mana diadakan pesta, makan bersama menyambut kedatangan pastor. Pada waktu itu belum ada pastoran di Pangururan dan stasi-stasi di daerah itu dikunjungi dari paroki Palipi. Pastor Radboud kadang kadang berturne sampai sepuluh hari lamanya. Misalnya pergi ke Tamba (3 stasi), Sihotang, Harianboho, Limbong, Sagala, Buhit, Pangururan dan Rianiate. Sering ikut anak sekolah membawa koper misa antara lain Mangapul Nainggolan, Peter Sinaga dan Kornel Sihombing.
    Sejak semula para pastor di Samosir membawa obat ke stasi-stasi. Pada tahun 1950 pastor Radboud membuka poliklinik di kamar makan pastoran, banyak sekali orang datang minta obat. Pada tahun 1951 sekolah Dasar Katolik ditutup karena Mgr. Brans tidak bersedia lagi memberi subsidi kepada sekolah sekolah misi seperti sebelum perang dunia II.
    Kornel Sihombing, kemudian Pieter Sinaga, anak dari sintua Herman dari Simbolon mengurus dapur pastoran. Ketika pastor Isidorus Woestenberg datang ke Palipi, Mangapul Nainggolan sering menjadi teman pastor ke stasi.
    Oleh pastor Pujahandaya ketika dia mengunjungi Samosir tahun 1947 diangkat dua katekis yaitu Julius Sitohang dan Pekianus Tamba. Ijazah agama diberikan kepada Julius Sitohang, Pekianus Tamba, Jahilon Sinaga, Tabi Sitanggang, dan Calvin Sitinjak oleh Antonius Situmorang (yang kemudian hari menjadi Bruder Marianus).
    Pada tanggal 24 Agustus 1950 berangkat 5 seminaris ke Padang. Dua dari mereka berasal dari Palipi ialah Bismar Sinaga, yang kemudian hari meninggal sebagai Frater Apollinaris dan Bonar Sinaga. Yang tiga orang lagi adalah Herkulanus Pakpahan, Humala Simbolon dan Tajom Damianus Sitanggang. 05 Maret 1951 Antonius Situmorang diterima sebagai postulan kongregasi Budi Mulia di Bogor.
    Pada 05 Maret 1951 diusulkan oleh Kalvin Tampubolon supaya Pandita Situmorang menjadi guru agama di Pangururan dan Mangantar Laurentius Sinaga menjadi guru agama di Palipi. Akhirnya mereka ditukar. Pandita Situmorang tinggal tetap di Palipi dan Mangantar Sinaga ke Pangururan.
    Pada tangggal 04 Januari 1951 pastor Isidorus Woestenberg menjadi teman pastor Radboud di Palipi. Supaya ada tempat untuk pastor, Josef Iskandar Arminius Situmorang pindah dari rumah pastor. Pada bulan Juni 1951, pastor Nilus Wiegmans diangkat menjadi pastor di Palipi dan pastor Radboud Watterreus pergi ke Pangururan. Pastor Isodorus tinggal di tetap di Palipi. Pada waktu itu daerah Tamba, kecamatan Harianboho, buat sementara masuk Pangururan.
    Suster KYM sebelum perang dunia II mempunyai rumah di Kotaraja, Bagansiapiapi dan Pematangsiantar. Setelah perang ternyata tidak mungkin lagi kembali ke Kotaraja dan Bagansiapiapi. Karena itu kongregasi mencari tempat baru. Mgr. Brans sudah mengerti bahwa tiba saatnya menambah kongregasi suster di Tanah Batak. Hanya ada susteran di Balige. Pada Oktober 1950 Mgr. Brans mengusulkan kepada pimpinan suster KYM memulai rumah baru di Palipi. Pada libur paskah, pastor Beatus Jenniskens bersama suster suster KYM yang berkomunitas di Pematangsiantar meninjau ke Palipi yaitu Muder Antonine van de Wetering, Sr. Bonifacia Peters, Sr. Embarta Thomassen dan Sr. Benitia Tan. Para suster ini cukup senang dan setelah beberapa waktu mereka pergi ke Palipi, bertempat tinggal di pastoran dan pastor Nilus serta pastor Isodorus pindah ke kelas sekolah yang baru didirikan. Satu kamar yang disebut kamar pavilion disedikalah sebagai poliklinik dan kamar di sampingnya ditempati oleh Justina br. Sitanggang, yang direncanakan menolong para suster di Poliklinik.
    Pada tanggal 15 Nopember 1951 pasien pertama diterima dan dirawat di poliklnik ini. Kemudian pada tanggal 19 Nopember 1951 poliklinik dan sekolah menjahit diresmikan. Di kemudian hari sekolah menjahit menjadi SKP. Sekolah ini mulai dengan Sembilan murid. Polklinik suster berkembang dengan baik. Makin lama makin banyak pasien datang dari seluruh Samosir untuk berobat. Sr. Bonifacia bersama Sr. Marie Andrea dan Yustina menjadi wanita wanita yang paling dikenal di Samosir. Para suster rajin mengunjungi keluarga keluarga dan ikut doa Rosario. Pastor Wiegmens mengajar suster berbahasa Batak. Yustina menjadi orang penting antara pasien dan suster, yang masih kurang memahami bahasa daerah.
    Pada tanggal 04 Januari 1952 pastor Isidorus Woestenberg dipindahkan dari Palipi ke Pangururan. Pastor Stepanus Krol menjadi penggantinya. Pada tanggal 17 Juli 1952 dua uskup mengunjungi prosesi sakramen Mahakudus di Onanrunggu yaitu Mgr. brans dan Mgr Mekkelholt (Palembang). Hadir juga 25 pastor dan 8 suster, semuanya orang Eropah. Belum ada pastor, bruder atau suster pribumi. Dari tiga paroki di yang ada di Samosir, umat datang ke Onanrunggu. Bruder Victricius berusaha terus supaya sungai di belakang pastoran dan susteran tidak mengancam kompleks Katolik karena sering longsor.
    Pada tanggal 01 Agustus 1055 SD Katolik dibuka (lima kelas) dan 15 Sptember 1955 asrama puteri selesai dibangun. Pada tahun 1955 Bakkara dan Muara menjadi bagian paroki Palipi. Setelah beberapa tahun kemudia dipindahkan dua daerah itu ke Paroki Doloksanggul.
    Pada tanggal 04 Juli 1955 rumah suster diberkati oleh Mgr. Ferrereius Van den Hurk dan kemudian pada tanggal 27 Desember 1955 Gereja Palipi diberkati. Pada tangggal 15 Februari 1957 Palipi bersama Pangururan menerbitkan majalah Porbarita. Pada tanggal 29 Februari 1960 pastor Wiegmens dipindahkan ke Onanrunggu. Pastor Rompa menjadi pastor kepala, dibantu oleh pastor Remigius Pennock. Pastor Pennock ini terkenal karena lukisannya di gereja Palipi, Simbolon, Sinagauruk, Sibatuara dan Pangururan.
    Pada tanggal 28 Juli 1961 pastor Remigius Pennock dipindahkan ke Sidikalang dan pastor Thomas Leontius van den Heuvel penggantinya. Pada tanggal 24 Maret 1963 Pastor Ajut Mathias dari Swiss bertugas di Palipi dan Pastor Meinrad Manser juga dari Swiss ditempatkan di Pangururan. Pada tanggal 03 Januari 1967 pastor Ansfridus pindah ke Palipi. Pada bulan Desember 1969 misa pertama dipimpin oleh pastor pertama paroki Palipi yaitu pastor Ambrosius Sihombing. Pada tahu 1969 klinik bersalin dibuka. Pada tahun 1974 aula selesai dibangun dan pada 05 Januari 1974 pentahbisan pastor Simon Sinaga dan pastor Martinus Situmorang (dan pastor Venantius Sinaga, yang berasal dari Palipi tetapi orangtuanya sudah lama di Medan). Pastor Simon menjadi guru di Seminari Menengah Pematangsiantar dan pastor Martinus pergi ke Roma meneruskan studinya. Pada tanggal 10 Oktober 1974 pastor Liefink kembali ke Nederland untuk selama lamanya. Pastor Raoudboud tinggal di Palipi sebagi teman untuk pastor Thomas.
    Karya Pelayanan, Pembangunan & Strategi Pelayanan
    Karya Parokial
    Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi yang resmi berdiri sejak tahun 1936 ini diberikan nama pelindung Santo Fransiskus dari Assisi. Jumlah Stasi terdiri dari 34 stasi yang dibagi ke dalam 8 rayon.
    Pada periode 2017 sampai 2021, Karya parokial ini dilayani oleh pelayan atau sering diebut Tim Pastoral. Tim Pastoral yang dimaksud untuk lima tahun terakhir ini terdiri dari 3 orang pastor, 4 orang katekis, dan 3 orang sekretaris paroki. Ketiga imam itu adalah RP Damianus Gultom OFM Cap (Pastor kepala paroki), RP Ferdinand Lister Tamba, OFM Cap, (Vikaris Paroki), dan RP Samuel Aritonang OFM Cap (Pastor asisten). Sementara keempat katekis itu adalah Bapak Jadiaman Situmorang, (stasi Batujagar), Aston Pandiangan (Stasi Pandiangan), Bapak Sanur Sitohang (Stasi Torudolok) dan bapak Hadirian Naibaho (Stasi Tarabunga). Tim inilah yang menjadi tenaga full timer di Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi.
    Keadaan Fisik Gereja dan Upaya Pembangunan
    Setiap tahun Paroki mengadakan pembangunan dan perehapan fisik gereja. Selain pembangunan dan perehapan bangunan gereja stasi, juga pembangunan aula paroki. Strategi atau cara yang kami buat untuk percepatan pembangunan fisik gereja ada dua yaitu dengan cara sentralistik keuangan paroki dan dengan gotong royong. Sistem gotong royong yang dijalankan meliputi: Pengumpulan dana pembangunan per KK, pengumpulan dana lewat lelang, acara mangulosi, dan menjalankan beberapa proposal kepada donatur paroki. Sementara sistim sentralisasi adalah memusatkan semua keuangan stasi-stasi di paroki yang di dalamnya termasuk, kolekte pertama, kolekte kedua, kolekte khusus dan kolekte bangunan. Bantuan finansial tetap dimohonkan kepada keuskupan dan para donatur lainnya (pribadi, kelompok pun istasi pemerintahan).
    Pencarian dana untuk pembangunan gedung gereja permanen dan perehapan sungguh menguras tenaga, pikiran dan perhatian. Pada umumnya kondisi bangunan gereja gereja stasi masih setengah permanen. Ada beberapa gereja stasi yang sudah permanen tetapi butuh perehapan sesegera mungkin karena efek gempa dan tanah longsor seperti Sibatuara dan Pangaloan, stasi Hutaraja dan stasi Sabalangit. Fisik gedung gereja yang sudah permanen adalah stasi Tarabunga, Hutaraja, Dolok Maratahan, Silaban, Rapusan, Sabalangit, Pandiangan dan stasi Siupar. Bangunan fisik gereja yang sudah permanen tetapi segera butuh perehapan adalah stasi Palipi, stasi Sinagauruk. Kedua stasi itu butuh perehapan karena sudah tua dan lapuk. Sementara bangunan fisik gereja stasi yang lain masih setengah permanen keculi stasi Bolean dan stasi Pamutaran yang kondisi fisik gerejanya masih darurat. Kedua stasi ini disebut darurat karena diniding gereja dari papan tua dan sudah lapuk serta lantai tanah atau semen yang sudah retak.
    Sampai saat ini ada dua gedung gereja stasi yang belum selesai karena sedang proses pembangunan. Kedua stasi itu adalah stasi Sigaol dan stasi Lumban Malau. Stasi Sigaol sudah mulai perehapan total bangunan fisik gereja sejak tahun 2019 tetapi sampai sekarang belum juga selesai. Stasi Lumban Malau memulai perehapan total fisik gereja mulai tahun 2021 namun sampai sekarang juga belum selesai.
    Metode dan Strategi Pelayanan
    Metode pelayanan yang tetap dijungjung adalah memastikan kinerja Dewan Pastoral Se-Paroki Fransiskus Asisi Palipi berjalan dengan baik. Strategi ini diyakini sangat cocok untuk menjamin kualitas pelayanan di Paroki ini. Untuk mendukung cita-cita ini, jalan yang ditempuh pertama-tama, menjalin kerja sama yang baik dengan pengurus DPP beserta seksi. Kerjasama ini tampak dalam bentuk rapat yang teratur dan melibatkan mereka dalam setiap kegiatan.
    Kedua, kerjasama yang baik antara DPP dengan pengurus rayon dalam menganimasi kegiatan rayon hingga ke stasi. Kesuksesan yang diimpikan dapat diraih bila kerjasama dalam team berjalan dengan baik. Ketiga, memberdayakan Dewan Stasi dan Lingkungan dalam menganimasi dan menghidupan peribadatan. Keempat, melibatkan sedapat mungkin komisi-komisi Keuskupan dan segenap unsur lembaga/ unit sekolah demi pengembangan hidup menggereja yang subur. Kelima, memastikan kerja sama yang baik di kalangan para petugas pastoral sendiri. Ada rapat yang teratur di antara tim pastoral untuk menentukan arah perjalanan paroki, pembagian tugas dan tanggung jawab, penyusunan program dan perjalanan bulanan. Demi terlaksananya karya pelayanan paroki ini maka petugas pastoral diberi tanggung jawab dengan kesepakatan bersama.
    Biasanya dalam Rapat Pastoral (RAPAS) para petugas pastoral membicarakan segala program yang akan dilaksanakan di Minggu atau Bulan yang sedang berjalan. Pembagian tugas ini dimaksud untuk mengefektifkan dan sekaligus memudahkan pelayanan agar tepat sasaran. RAPAS ini juga menjadi kesempatan untuk mengevaluasi diri tim pastoral dengan segala karya-karya pelayanan di sepanjang minggu. Dan secara bersama kami mencari solusi yang tepat demi kebaikan bersama. Prinsip ini selalu memotivasi tim dalam berpikir dan bertindak di Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi ini.
    Metode pelayanan yang sudah berjalan selama ini ialah kunjungan stasi dan lingkungan. Dalam karya pelayanan ke stasi, kami melayani dengan tidak memilih-milih stasi yang dekat atau jauh, yang sudah bisa dilalui roda empat pun yang masih dilalui roda dua. Pelayanan sermon juga berjalan secara merata mau di tempat jauh atau tidak tetap kami terima dengan gembira. Selain itu, Paroki juga menyelenggarakan pembinaan dan kursus-kursus seperti kursus Kitab Suci, Katekese, Liturgi, Kepemimpinan, Kotbah, Mandok Hata bagi dewan pastoral Rayon dan Stasi, pembinaan bagi guru-guru Asmika se-Paroki, pembinaan OMK se-Paroki, dll. Kursus perkawinan selama satu hari bagi calon-calon pengantin juga rutin dijadwalkan di paroki ini. Katekese dan pembinaan bagi calon Babtis, Komuni pertama, Krisma dan penerima sakramen lainnya umumnya dilakukan di sati masing masing.
    Sejarah Pelayanan Suster KYM
    Suster KYM sebelum Perang dunia Ke -II mempunyai rumah di Kota Raja, Bagan Siapiapi dan Pematang Siantar. Setelah Perang situasi tidak memungkinkan para Suster ke bali ke Kota Raja Bagan Siapiapi karena itu Kongregasi mencari tempat baru. Mgr. Brans sudah mengerti bahwa tiba saatnya menambah Kongregasi baru di tanah Batak. Pada Oktober 1950 Mgr Brans mengusulkan kepada Pimpinan Suster KYM di Schijndel Belanda untuk memulai rumah baru di Palipi. Pada libur Paskah Pastor Beatus Jenniskens Bersama 4 orang suster KYM dari pematang Siantar Meninjau ke Palipi yaitu 1. Muder Antonine Van de Wetering, 2 Sr Bonifacia Peters, Sr. Emberta Thomassen dan Sr Benecia Tan. Para suster cukup senang dan stelah beberapa waktu mereka pergi ke Palipi, bertempat tinggal di Pastoran dan pastor Nilus dan pastor Isidorus pindah ke kelas sekolah yang baru didirikan. Dan satu kamar yang disebut sekarang pavilium disediakan sebagai poliklinik dan kamar disampingnya di tempati oleh Justina br. Tanggang, yang direncanakan menolong para suster di Poliklinik.
    Pada tanggal 15 November 1951 Pasien pertama dirawat dan 19 November 1951 Poliklinik dan sekolah menjahit di resmikan. Di kemudian hari sekolah menjahit menjadi SKP (SKKP). Sekolah ini mulai dengan sembilan orang murid. Poliklinik suster berkembang dengan baik. Makin lama makin banyak pasien dari seluruh Samosir datang untuk berobat. Sr. Bonifacia Bersama Sr. Marie Andrea dan Ibu Yustina menjadi Wanita-wanita yang paling dikenal di Samosir.
    Karya yang dilakukan oleh para suster selain sekolah dan Kesehatan, para suster juga giat mengunjungi keluarga-keluarga dan ikut doa rosario Bersama. Selain itu juga Pastor Vwiekmans mengajar suster-suster berbahasa batak. Ibu Justina juga membantu para suster untuk melayani pasien karena para suster belum memahami Bahasa daerah yaitu Bahasa batak.
    Seiring perkembangan zaman dan melihat kebutuhan masyakat Palipi akan pentingnya Pendidikan, pengurus Yayasan cinta kaum Wanita yaitu Yayasan St. Laurensius membuat permohonan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah Sekolah Kepandaian Putri menjadi sebuah SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Hal ini mendapat tanggapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kepala Biro Keuangan, SKKP RK Bintang Samosir Palipi diintegrasikan menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama bersubsidi dengan nama SMP RK Bintang Samosir Palipi dan pada 1 Januari mengikuti Kurikulum 1975.
    Dengan berdirinya karya Kesehatan dan karya Pendidikan yang dirintis oleh para Suster ini menjadi cikal bakal dan menjadi pendorong semakin berkembangnya dan bertambahnya jumlah para Suster pribumi yang memberikan diri untuk berkarya menjadi Suster di Konggregasi KYM yang kemudian hari juga menjadi suster yang berkarya di bidang Kesehatan dan Pendidikan di pulau Samosir khususnya daerah Palipi dan sekitarnya. Kemajuan karya dalam bidang Pendidikan juga didukung dengan diadakannya fasilitas asrama putra dan putri untuk menampung pelajar-pelajar yang datang dari daerah di Samosir dan luar Samosir. Pengadaan fasilitas asrama putra-dan putri secara langsung memajukan citra sekolah Katolik, karena para siswa dan siswi yang tinggal diasrama secara disiplin diajari dan dibina oleh para suster yang berkarya di Palipi. Bukan hanya pembinaan di sekolah namun juga pembinaan di luar sekolah atau di asrama.
    Seiring berjalannya waktu karya para Suster KYM di Palipi merambah juga ke karya sosial di bidang kelompok tani dengan dibentuknya sebuah Gapoktan. Gapoktan merupakan akronim dari Gabungan Kelompok Tani. Sejak tahun 2008 Kelompok Tani di Palipi telah di rintis, letaknya di Desa Palipi dan sampai Tahun 2017 sekarang ini umurnya sudah 9 tahun. Dalam perjalanan umur yang sudah hampir 9 tahun ini banyak hal positif yang dicapai walaupun tidak bernilai besar antara lain:
    • Kerjasama dengan Pemerintah Daerah melalui dinas terkait terjalin baik 
    • Ada dana Pemerintah dengan pinjaman lunak untuk petani masih berjalan baik dengan laporan yang teratur tiap bulan ke Pemerintah. 
    • Dinas pertanian tetap melibatkan kelompok tani binaan Vita Dulcedo dalam beberapa kegiatan atau pelatihan 
    • Tumbuh kesadaran menggunakan baik uang pinjaman dan mengembalikannya pada waktunya. 
    • Kelompok kelompok yang masih eksis dapat bekerjasama dengan satu sama lain melalui simpan pimjam diantara mereka. 
    • Saat ini ada bangunan bronjongan memanjang di belakang asrama, komunitas dan bangunan sekolah yang sudah lama dimohon dan arena kerjasama yang baik dengan pemerintah.
    Pendampingan kelompok tani mengacu pada visi dan misi kongregasi untuk menjadikan dunia yang layak huni dengan berpihak pada orang-orang miskin dan menderita. Untuk itu dibutuhkan pembentukan karakter perubahan pola pikir dalam bertani demi menatap masa depan yang lebih baik. Pendampingan ini terjadi karena gerakan belaskasih Pemula melihat kondisi ekonomi para Petani yang kian hari kian memprihatinkan terutama mengenai pengolahan lahan para anggota kelompok tani. Langkah langkah yang terus dilakukan sesuai dengan situasi:
    1. Pendekatan pada anggota masyarakat yang punya lahan agar tanah mereka dikelola, lalu responnya akan diusahai karena pada waktu itu banyak tanah yang kosong karena hasilnya memprihatinkan kalau dikerjakan akibat banyaknya tumpuhan pupuk kimia yang membuat tanah jadi mengeras seperti lantai semen. 
    2. Mengumpulkan mereka untuk sosialisasi mengenai tujuan pembentukan kelompok tani 
    3. Mengundang Kepala Desa, Camat, penyuluh pertanian dan melaporkan kepada Paroki (Pastor Paroki tentang tujuan pembentukan Kelompok Tani)
    4. Terbentuk kelompok-kelompok Tani dan sambil penyuluhan pertanian
    Hingga saat ini dari awal mula berdirinya karya-karya para Suster KYM di Palipi, para suster tetap melanjutkan dan menjalankan karya-karya tersebut dalam semangat pelayanan dan cintakasih sembari menghidupi semangat-semangat para Suster pendahulu dalam mewujudkan visi dan misi Konggregasi KYM di Palipi.
    Sejarah Pelayanan Suster KSFL
    Kehadiran KSFL sebagai pengelola Asrama St. Thomas Rasul Tarabunga, Samosir berawal dari permintaan Pastor Nelson Sitanggang OFM Cap, selaku Vikaris Kevikepan Pangururan pada bulan Oktober 2015. Permintaan ini mendapat perhatian khusus dari KSFL, sehingga sejak bulan Januari-Mei 2016, pembicaraan tentang kehadiran KSFL di Tarabunga semakin intensif namun demikian belum ada jawaban yang pasti dari KSFL untuk menerima tawaran tersebut.
    Undangan yang belum juga mendapat jawaban dari KSFL selama kurang lebih lima bulan menggerakkan hati Pastor Nelson Sitanggang OFM Cap untuk lebih gigih mengutarakan niat baik mengundang KSFL berkarya di Tarabunga Samosir. Pada tanggal 30 Juni 2016, tepat pada pesta kaul kekal para suster KSFL, disaksikan oleh Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap dan DPU KSFL, Pastor Nelson kembali menegaskan bahwa pengelolaan asrama Santo Thomas Rasul Tarabunga dipercayakan kepada KSFL. Penegasan ini melahirkan kesepakatan bahwa KSFL akan hadir di Tarabunga tahun ajaran 2017-2018.
    Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan mendesak muncul dan kesepakatan pun berubah. Awal November 2016, pastor Nelson datang kebiara Pusat KSFL di Pematangsiantar dan memohon agar KSFL bersedia hadir di Tarabunga awal Januari 2017. Permohonan ini disampaikan mengingat bulan Januari-April 2017 sudah dilakukan persiapan penerimaan siswa baru Tahun ajaran 2017-2018, sehingga saat penerimaan siswa baru, kepada calon siswa sudah dapat diinformasikan bahwa pengelolaan asrama dipercayakan kepada tarekat religius.
    Kepercayaan mengelola asrama merupakan penghormatan besar bagi KSFL, sehingga KSFL menerima permohonan pastor Nelson OFM Cap. Penghormatan itu disambut baik oleh KSFL dengan mengutus 3 orang suster terbaiknya ke asrama Santo Thomas Rasul Tarabunga dan memulai misi di sana pada tanggal 6 Januari 2017. Para suster yang diutus adalah sr. Avelina Simamora, KSFL,Sr. Melania Nababan, KSFL dan Sr. Helena Silaban, KSFL (Novis II kegiatan stage).
    Patut dibanggakan ketiga suster utusan perdana mampu bersahabat dengan kondisi yang ada, terutama fasilitas yang sangat sederhana. Namun apa yang terjadi sesudah KSFL menepi di Asrama St. Thomas Rasul? Suara-suara fals bergaung. Ada kebingungan. Tetapi Bersama Santo Thomas Rasul para suster KSFL berseru “Ya Tuhanku dan Allahku” dan bersama seluruh stake holders Yayasan Pendidikan Kevikepan St. Thomas Rasul Pangururan Samosir Keuskupan Agung Medan, kami pun semakin yakin kepada siapa kami percaya “scio cui credidi”.
    Sejarah Pelayanan Suster OSCCap
    Bukalah Tanah Baru, Sebab Sudah Waktunya Untuk Mencari Tuhan (Hosea 10: 12.b).
    Pada tanggal 7 Mei 2018 sekitar pukul 8.10 WIB dalam masa persiapan pesta Kaul kekal Meriah saudari Sr. Rafaela Harefa & Sr. Gertrud Purba yang akan diadakan pada tanggal 14 Mei 2018, Bapak Uskup Mgr. Anicetus tiba-tiba mengontak Ibu Abdis Sr. Margaretha Sianipar OSCCap. Dia menyangka bahwa beliau mau bertanya sesuatu tentang Pesta kaul kekal, eh..ternyata sapaan beliau seperti ini:
    Mgr. Anicetus: Putri...bagaimana dengan rencana membangun biara di Muara Fajar, apakah sudah jelas perkembangannya?
    Sr. Margaretha: Belum Monsyiur, status tanah, sertifikat, IMB dan yang lain masih dalam usaha Panitia Pembangunan Keuskupan jawabnya.
    Mgr. Anicetus: Begini Putri...melihat jumlah kalian yang sudah terlalu banyak, kami melihat ada tempat yang cocok di daerah Paroki Palipi, disana sekarang ada usaha keuskupan untuk membuat wisata rohani dan Vikjen P. Elias Sembiring spontan mengatakan untuk wilayah tersebut sangat cocok ada Klaris di sana. Jadi...putri berdoalah selama seminggu ini, dan bertanya kepada para sustermu apakah ini kehendak Tuhan atau tidak? Saya tidak mau berjalan bila bukan kehendak Tuhan katanya.
    Sr. Margaretha: Baik Monsgiur, saya mencoba menyampaikan hal baik ini kepada persaudaraan. Tetapi ada satu hal Monsgiur...Bukankah sebaiknya kami konsultasi dulu pada Monsgiur Martinus Situmorang, mengingat kami diundang dan mempersiapkan diri pada suatu waktu berangkat ke Muara Fajar?
    Mgr. Anicetus: Ya memang...tetap kalian menunggu kepastian dan kesana....suruh yang lain nanti ke situ. Toh kalian punya cukup anggota komunitas. Jadi mari kita berdoa bersama dan melihat terang Tuhan.
    Sr. Margaretha: Baik Monsgiur kami bicarakan juga nanti dengan komunitas.
    Telephone ditutup dengan ucapan khas Mgr. Anicetus: Baik Putri...selamat.
    Sesudah Telepon ditutup, Sr. Margaretha spontan mendekati Sr. Johanna Timmer OSCCap (karena beliau Misionaris senior yang masih ada) dan menyampaikan semua hal apa yang telah dikatakan Mgr. Anicetus. Dan Sr. Johanna dengan senyumnya yang khas mengatakan:...entah mengapa saya merasa ini usul yang baik, karena jantung saya baik dan saya tidak takut....mungkin kehendak Tuhan toh ada biara Klaris nantinya di Pulau Samosir. Kalau begitu kita berdoa bersama ya. Walaupun pernyataan Sr. Johanna sepertinya sangat menyentuh, tetap undangan bapak Uskup membuka biara di Palipi, menjadi pergolakan baru lagi bagi komunitas. Berhubung situasi komunitas dalam masa persiapan pesta kaul kekal, kami tidak punya kesempatan untuk mengadakan pertemuan dengan para Dewan dan suster-suster yang sudah kaul kekal. Dan bukan hal baru tentang niat-niat membuka biara di daerah Pulau Samosir. Persepsi bahwa sulitnya air di daerah Samosir membuat pikiran dan hati tidak “terarah” akan undangan bapak uskup tersebut.
    Beberapa hari kemudian Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap mengontak Sr. Margaretha sehubungan dengan perihal maunya didirikan biara Santa Klara di Dolok Nagok, karena di Pusuk buhit itu pasti tidak mungkin, sebab air tidak ada dan lokasinya jauh sekali di atas. Sekarang saya di Keuskupan mau bertemu dengan Bapak Uskup. Tentu beliau akan bertanya tentang Lokasi tanah dan air di daerah Palipi. Pikirkanlah suster katanya.
    Tanggal 14 Mei 2018 Pesta Kaul kekal meriah kedua saudaripun tiba! Tentunya Bapak Uskup hadir dan memimpin Perayaan Ekaristi. Sewaktu ramah tamah, Monsgiur memanggil Ibu Abdis Sr. Margaretha dan bertanya, sudah kamu bertanya kepada suster-sustermu? Sr. Margaretha menjawab:..belum sempat Monsgiur karena komunitas sibuk dalam persiapan pesta kaul kekal. Mohon hal ini serius dipikirkan ya Putri dan menganjurkan agar dewan pimpinan Biara Sikeben datang ke Keuskupan menindaklanjuti hal ini.
    Hasil pertemuan komunitas, para suster menganjurkan, sebaiknya sebelum menghadap bapak uskup, kita pergi dulu meninjau lokasi tanahnya. Agar pada pertemuan di Keuskupan tidak berandai-andai, atau kurang memahami atas sesuatu yang perlu disetujui.
    Atas persetujuan komunitas pada tanggal 4 Juni 2018: Ibu Abdis Sr. Margaretha, Sr. Miryam, Sr. Magdalena, Sr. Bernadette berangkat Ke Palipi untuk meninjau lokasi tanahnya di paroki Palipi. Mereka di jemput oleh P. Damian Gultom pada hari itu dan langsung beliau membawa keempat saudari ke Palipi.
    Beliau berusaha agar sampai di Palipi sebelum matahari terbenam, karena para suster berencana kembali pulang ke Sikeben malam itu juga.
    Adapun hasil tinjauan lokasi: Kesan spontan adalah latar belakang panaroma Danau Toba yang Indah, aura setempat masih natural, suasana desa yang asli dan jauh dari keramaian, umat yang mayoritas Katolik sangat senang akan kehadiran para suster.
    Pada tinjau lokasi P. Damian berbicara tentang sumber air dan pipa ke penduduk dari pemerintah dan ada usaha dari Paroki. Tetapi para suster memberikan bahan pertimbangan sebaiknya biara punya pipa sendiri, karena nanti ada masalah ke depan.
    Sesudah meninjau lokasi, dengan pemahaman melihat sebentar dan sudah mendengar cerita Pastor paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap Ibu Abdis Sr. Margaretha, Sr. Fransiska, Sr. Bernadette, Sr. Elisabeth berani menghadap Bapak Uskup pada tanggal 13 Juni 2018.
    Untuk pertemuan ini kami meminta agar Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom diundang sebab beliau lebih tahu situasi tanah dan mengenal keluarga Bapak Andrea Sinaga yang akan menjual tanah. Pertemuan diketuai oleh Bapak Uskup, selain para suster juga hadir: P. Leo Sipahutar OFMCap (Vikep Religiosa Keuskupan Agung Medan), P. Ferdi Saragi Pr (Komisi Harta dan Tanah Keuskupan Agung Medan).
    Bapak Uskup meminta agar Sr. Margaretha memberikan pernyataan untuk apa pertemuan ini diadakan.
    1. Bahwa dengan mendengar tawaran dari bapak Uskup sendiri mau mendirikan biara di wilayah Samosir tepat di daerah paroki Palipi. Kami sudah melihat secara langsung bagaimana dengan kondisi tanah dan sekitarnya, kriteria praktis sesuai dengan Konstitusi yang mutlak perlu pendirian Biara Kontemplatif antara lain:
      a. Lokasi di Dolok Nagok memberi kepada kami kemungkinan untuk hidup dan berkarya sesuai dengan karisma kami sebagai Klaris.
      b. Pelayanan hidup rohani terjamin melalui Perayaan Ekaristi setiap hari, penerimaan Sakramen tobat yang teratur setiap bulan.
      c. Tersedia debit air seperlunya, bagi keperluan hidup dan karya kami.
      d. Jalan sampai ke lokasi, dapat di tempuh dengan mudah dan lancar oleh kendaraan beroda empat.
      e. Kehadiran kami menuntut, bahwa status tanah tempat tinggal kami, memberi segala jaminan hukum. Dimana kami bisa tinggal secara tetap di tempat itu, tanpa batas waktu. 
    2. P. Damian mengatakan bahwa mereka bisa mengusahakan misa setiap hari karna memang jarak Pastoran dengan tujuan kira-kira 10 menit dengan sepeda motor. Di samping itu kami sudah melihat bahwa debit air yang mereka katakan melimpah akan mampu membantu sarana kehidupan biara yang memerlukan air yang banyak.
    Dan adapun hasil pertemuan ini ada dalam surat selebaran dari keuskupan tertanggal 13 Juni 2018, “Kesepakatan Membuka Biara Klaris Di Dolok Nagok Palipi, Samosir”.

    Pada pertemuan tersebut P. Damian masih bercerita tentang bagaimana keluarga bapak Andre Sinaga mau memberikan tanahnya untuk para suster dengan harga pago – pago. Bahwa keluarga ini bercita-cita dengan adanya pusat rohani yang didirikan di sekitar tanah mereka akan memberikan kesempatan untuk berkembang dalam usaha dan ekonomi. Dan Keluarga Sinaga ini mendambakan bahwa para susterlah yang membeli tanah tersebut. Mereka punya 10 Hektar dan 5 Hektar akan dijual ke Biara. Dahulu tanah dipuncak itu adalah tempat kramat bagi leluhur mereka.
    Atas cerita P. Damian dan Sr. Margaretha, Bapak Uskup mengatakan: Bagaimanapun masih perlu mempertimbangkan beberapa hal Negatif yakni:
    • Bahwa Tanah di samosir lebih gersang bukan seperti tanah di Bandar Baru
    • Daerah yg dulu sipele begu, namun mentalnya agak baik tidak dikotori,
    • Orang sekitar, kikir. Bagimana dengan bantuan hidup kalian ke depan?
    • Ada daerah ekstrim kanan dan kiri. Bisa membuat orang jadi takut
    • Walaupun begitu ada keramatnya. Yang tentunya ada unsur kesalehan
    Pada pembicaraan lain disinggung apakah para suster memulai hidupnya tunggu sampai didirikan biara atau boleh tinggal di rumah penginapan sementara, yang seperti pada tinjau lokasi kemarin ada rumah 2 lantai milik umat yang kemungkinan bisa di sewa untuk para suster. Lokasinya tidak jauh dari Tanah milik Bapak Andrea Sinaga. Bapak Uskup meminta agar foto rumah tersebut ditunjukkan. P. Damian mengatakan: itu rumah Pak Umar Sinaga mantan kapusin, nanti bisa kita tanyakan pada beliau. Hanya memang air belum dialirkan ke rumah tersebut.
    Melihat diskusi ini, bapak Uskup bertanya jadi bagaimana para suster akan niat kalian? Ya Monsgiur, hasil kapitel mendukung akan rencana ini dan akan berdoa bersama. Bapak Uskup meminta agar P. Damian mewakili keuskupan untuk pengurusan tanak ke BPN. mengusakan dengan pihak mana terkaitannya jaminan tertulis bahwa seluruh pipa menjadi hak milik biara (team pengairan) agar tidak ada masalah di kemudian hari. Aplikasi ke lapangan; P. Damian Gultom OFMCao, P. Leo Sipahutar OFMCap, P. Ferdi Saragi Pr dan Sr. Margaretha Sianipar OSCCap Dan Bapak Uskup menugaskan Sr. Margaretha agar:
    • Menyusun Komposisi Team suster yg akan berangkat 
    • Rumah penginapan bisa dimulai suster, tanya berapa sewa? 
    • Berapa ditambah untuk pembenahan rumah 
    • Traktor untuk lahan. 
    • Peralatan tanah, dan patokan tanah. Harus pergi ke Palipi
    Tanggal 14 Juli 2018: Pertemuan dengan keluarga besar Sinaga, P. Damian Gultom OFMCap (P. Paroki), P. Oscar Sinaga OFMCap (Pastor rekan) sebagai perpanjangan tangan pihak Keuskupan untuk transaksi pembelian tanah. Sr. Margaretha dan keenam suster yang kelak akan ke Dolok Nagok. Acara berjalan dengan baik, percakapan hangat dan kekeluargaan dengan keluarga besar Sinaga. Mereka sangat bangga dan senang bila para suster kelak membangun Biara Kontemplatif di Dolok Nagok. Doakanlah kami ya suster....
    Sesudahnya seperti biasa acara ramah tamah disertai makan bersama yang telah disediakan oleh keluarga Sinaga. Wah...makanan khas batak memang tiada duanya!
    Sampai saat ini para suster senantiasa melaksanakan pengabdiannya dengan rendah hati yakni melaksanakan tugas utama; berdoa di dalam Gereja dan untuk Gereja, bekerja dengan menjahit perlengkapan liturgi, jubah, dan menata serta memelihara Gua Maria sebagai tempat rohani di Paroki Palipi-Samosir.
    Demikianlah sementara laporan Kronologi Pembukaan Biara Doloknagok di paroki Palipi. Untuk perkembangan selanjutnya kita berdoa bersama agar Tuhan menunjukkan jalan-jalan mana yang harus ditempuh. Dan pada kesempatan ini kami mohon doa dan dukungan dari Bapak Uskup. Semoga kehendak Tuhanlah yang selalu dimuliakan dan dipuji.
    Akhirnya terima kasih banyak atas: Undangan, ide, bapak Uskup untuk mendirikan Biara Baru di Pulau Samosir wilayah paroki Palipi kampung Dolok Nagok. Terima kasih banyak atas upaya Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap, P. Oscar Sinaga OFMCap dan Vikep P. Nelson Sitanggang OFMCap dan perhatian, dukungan, pelayanan rohani yang tiada batasnya untuk kemudian.
    Puji Tuhan atas kerelaan kedelapan suster, untuk di utus membuka Biara baru di Dolok Nagok, Sr. Agnes Ginting OSCCap, Sr. Magdalena Situmorang OSCCap, Sr. Bernadette Nainggolan OSCCap, Sr. Benedikta Waruwu OSCCap, Sr. Yosefa Sinurat OSCCap, Sr. Dominika Siahaan OSCCap, Sr. Koleta Nahampun OSCCap (Novis), dan Sdri. Mariani Siregar (Postulant). Semoga Ibu kita Santa Klara mendoakan para suster, dan kami para saudari yang tinggal di Sikeben mendoakan dan mendukung para suster. Dan mari kita saling mendoakan.
    Terima kasih atas Misa pengutusan hari ini, dan atas kehadiran Bapak uskup, Bapa Spiritualitas P. Guido Situmorang OFMCap, saudara terdekat, tetangga kami para saudara dina Conventual dari Bandar Baru, komunitas Jarang uda, Vikep karo, perwakilan umat Sikeben. Semoga hari ini menjadi berkat untuk kita semua dan semoga rencana-rencana kita diberkati oleh Tuhan.
    Video Profil Paroki : -
    Lokasi Paroki :

     

    Paroki Pakkat

    Pelindung

    :

    Santo Yohanes Pembaptis

    Buku Paroki

    :

    Sejak 1 Juli 1940. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Lintongnihuta

    Alamat

    :

    Jl. R.A. Kartini, Kec. Pakkat, Kab. Humbang Hasundutan – 22455

    Telp.

    :

    0812 6353 7494

    Email

    :

    [email protected]

    Jumlah Umat

    :

    1.743 KK/ 7.111 jiwa (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi

    :

    26

     
    01. Ambobi
    02. Arbaan
    03. Batu Raja
    04. Huta Ambasang
    05. Huta Dalan
    06. Huta Ginjang
    07. Huta Imbaru
    08. Huta Pinang
    09. Lae Hundulan
    10. Pagar Sinondi
    11. Panggugunan
    12. Pulo Godang
    13. Sihombu
    14. Sandean
    15. Siambaton Julu
    16. Siambaton Pahe
    17. Siantar Sibongkare
    18. Sibongkare
    19. Sidulang Dalan
    20. Sidulang Julu
    21. Simatabo
    22. Siniang Laksa
    23. Sipagabu
    24. Sitinjak Temba
    25. Sitiotio
    26. Tukka
     
     

    RP. Nicodemus Ginting OFMCap

    18.08.'74

    Parochus

    RP. Andreas Aritonang OFMCap

    22.07.'93

    Vikaris Parokial

    RP. Ferdinand Lister Tamba OFMCap

    26.07.'77

    Vikaris Parokial

    Jadwal Misa Kuasi Paroki Pakkat

    Tahun Liturgi C/I 2024-2025
    Sumber: Sekretariat Paroki (22-11-2024)

    Misa Harian (Senin, Selasa, Rabu, Jumat & Sabtu) 06:00 WIB
    Misa OMK (Kamis) 19:00 WIB
    Misa Hari Minggu 08:00 WIB (Sesi 1) 10:00 WIB (Sesi 2)
    Misa Malam Tahun Baru 19:00 WIB
    Misa Hari Raya Natal, Misa Tahun Baru 09:00 WIB
    Misa Rabu Abu, Kamis Putih & Sabtu Suci 19:00 WIB
    Jumat Agung 15:00 WIB
    Minggu Paskah 10:00 WIB
    Malam Natal / Vigili Natal 19:00 WIB
    *Jadwal misa bisa berubah sewaktu-waktu, silahkan menghubungi kontak sekretariat paroki yang bersangkutan, terima kasih.

    Sejarah Paroki St. Yohanes Pembaptis - Pakkat

    Sejarah Singkat (klik untuk membaca)
    1. Lokasi Paroki

    Paroki Pakkat beralamat di Jln. R.A Kartini Kabupaten Humbang Hasundutan desa Pakkat Hauagong Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara – kode pos 22455. Paroki Pakkat berdiri sejak tanggal 01 Juli 1940 yang awalnya bergabung dengan paroki Lintong Nihuta. Paroki Pakkat mempunyai pelindung yaitu St. Yohanes Pembaptis.

    2. Sejarah Paroki

    Pada tanggal 31 Oktober 1936 Pastor Nuyten dengan naik kapal laut sampai ke Belawan. Setelah sampai ke Belawan, Pastor Oscar ditempatkan di Balige untuk belajar bahasa Batak Toba. Setelah satu tahun dia dipindahkan ke Lintongnihuta. Dari Lintongnihuta dia mulai mengunjungi daerah Pakkat (Barus Hulu). Sesudah beberapa kali mengunjungi dan mengenal sedikit daerah Pakkat maka pada tahun 1939 dia memutuskan mulai berdomisili di Pakkat. Pakkat dianggap tempat strategis untuk membangun paroki baru. Dalam waktu singkat, selama tahun 1939-1942, Pastor Nuyten sudah mengunjungi banyak kampung dan mendirikan sebanyak 21 stasi, hingga sampai akhirnya dia di-internir oleh Jepang.

    Pada tahun 1939 Pastor A.C. Nuyten ditempatkan di Pakkat. Dia membuka banyak stasi dan membeli sebuah tanah yang menjadi sekarang Pargodungan. Tetapi baru pada tahun 1952 tanah itu resmi diserahkan oleh para kepala kampung dan para pengetuai/raja. Selama masa internering dari tahun 1942- 1945 P. Nuyten tinggal di beberapa kamp tempat tahanan Jepang di Sumatera Utara. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dia cuti ke Negeri Belanda. Kecintaannya yang sudah sempat tertancap begitu dalam akan daerah Pakkat, maka pada tahun 1950 dia kembali lagi ke Pakkat dan berkarya di sana sampai tahun 1968.

    Pastor Oscar tak pernah kenal lelah dan selalu dengan sungguh-sungguh memberi seluruh dirinya untuk perkembangan Paroki Pakkat bersama dengan saudara-saudaranya: Pastor Godhard Liebreks dan Pastor Aloysius Wijnen yang datang menyusul kemudian. Pastor Nuyten sadar sepenuhnya bahwa tanpa sekolah (pendidikan) dan pelayanan kesehatan akan sulit mencapai kemajuan. Maka dengan pertolongan dan bekerjasama dengan Kongregasi Suster Aerdenhout (FCJM sekarang), mereka membangun sekolah dan klinik. Dengan cepat stasi induk Pakkat bertumbuh dan berkembang menjadi pusat pendidikan dan kesehatan untuk seluruh daerah Barus Hulu.

    Selama 30 tahun Pastor Nuyten menjadi “jiwa” daerah itu dan “ompung” Paroki Pakkat. Di samping usaha-usaha membangun paroki secara pastoral dan fisik, dia mulai juga secara kreatif menciptakan liturgi dalam Bahasa Batak Toba. Beliau memberikan dasar Buku Ende yang ada sekarang dan terkenal juga dengan Paduan Suara (koor) “raksasa” yang terdiri dari anak-anak sekolah.

    Tiga puluh tahun Pastor Oscar Nuyten bekerja di Pakkat, yang agak terisolir di pegunungan arah pantai barat Sumatera berjarak 300 kilometer dari Medan. Jalan Pakkat masih sangat jelek terlebih dari Doloksanggul. Kadang-kadang untuk sampai ke Doloksanggul harus jalan kaki beberapa puluh kilometer. Mungkin karena jalan yang masih sangat jelek, sehingga dia jarang dikunjungi oleh Pembesar Ordo, Uskup, maupun saudara-saudaranya. Sampai-sampai dia pernah mengeluh bahwa saudara-saudaranya jarang datang ke Pakkat mengunjunginya. Namun Pastor Nuyten tetap bersemangat dan merasa dirinya sungguh-sungguh “at home” di Pakkat. Hal yang sangat mendukung dan menguntungkan bagi dia adalah karena sifat orang Pakkat cukup halus, terbuka dan pandai menyanyi.

    Pakkat adalah juga pusat dagang bagi daerah sekitarnya. Maka setiap Hari Senin yang adalah juga hari pekan di mana pastor bisa bertemu muka dengan pengurus-pengurus gereja dari seluruh stasi separoki. Banyak tokoh-tokoh awam yang dengan rela mendampingi Pastor Nuyten dalam memimpin dan menjiwai umatnya. Untuk membina dan memberikan pembekalan bagi orang awam itu, banyak tenaga dan waktu yang dicurahkannya dengan sungguh-sungguh baik itu berupa pendampingan dan pengajaran secara pribadi maupun secara bersama-sama misalnya, dengan mengadakan “sermon” setiap bulan. Dengan cara demikian mereka semakin dikuatkan dan disemangati. Dan memang nampak sangat besar faedahnya. Ini dapat dilihat dari begitu pesatnya perkembangan umat di daerah itu, boleh dikatakan hampir setiap hari umat terus bertambah. Dalam jangka waktu yang singkat sudah terbentuk sebanyak 21 stasi. Usaha yang luar biasa.

    Selain dengan pendampingan, pengajaran dan “sermon”, Pastor Nuyten sangat mengusahakan dan menciptakan tetap terjalinnya hubungan dan kerjasama yang baik dengan semua pengurus gereja, selalu menghargai pendapat mereka dan sering mengunjungi stasi-stasi, walau harus jalan kaki dan bermalam di stasi.

    Pendidikan sekolah di Pakkat cukup berhasil dan pada dasarnya pernah menjadi satu sekolah yang cukup “disegani”. Alumninya tersebar hampir di seluruh Indonesia dan banyak sudah yang menjadi orang sukses baik itu di pemerintahan maupun di perusahaan swasta atau menjadi pengusaha.

    Di sini harus juga disebut tiga tokoh pastor lain yang ikut merintis Paroki Pakkat dan Parlilitan. Tiga tokoh pastor lain yang ikut merintis Paroki Pakkat dan Parlilitan (yang saat itu masih bergabung). Yaitu: Pastor Godhardus Liebreks, Pastor Aloysius Wijnen, Pastor Septimius Kamphof. Pertama Pastor Godhardus Liebreks sampai dengan tahun 1961. Pada waktu itu dia kena penyakit malaria dan sempat menerima perminyakan suci karena penyakitnya sudah cukup parah. Di Parlilitan dia bekerja keras dan menjadi perintis Paroki Parlilitan.

    Kedua: Pastor Aloysius Wijnen bekerja juga dengan giat di daerah Pakkat (1957-1968) terutama untuk muda-mudi katolik dan di bidang pertanian. Di samping itu Pastor Wijnen berjasa menstensil banyak naskah liturgi Batak Toba yang dikarang oleh teman sekomunitasnya, Pastor Nuyten. Pastor Wijnen cepat dipanggil oleh Tuhan dan dikebumikan di Pakkat (thn 1968).

    Ketiga: Pastor Septimius Kamphof yang menjadi seorang perintis terutama di daerah-daerah pedalaman. Dia ditempatkan di Sidikalang dari 1952-1961. Di masa itu dia mendirikan paroki yang baru yaitu Parongil (1958). Setelah itu dia ditempatkan di Paroki Parlilitan (1961-1973). Pada tanggal 16 Juni 1952, paroki dibagi menjadi Paroki Pakkat (P. Nuyten) dan Paroki Parlilitan (P. Liebreks). Paroki Pakkat merupakan pemekaran dari Paroki Lintong ni huta.

    3. Pastor yang pernah melayani di Paroki Pakkat

    Sesuai dengan buku Liber Baptizatorum Pastor yang pernah bertugas di Pakkat antara lain:

    1. RP. Oscar Nuijten, OFMCap (1939-1970)
    2. RP. Diego Baggedarr, OFMCap. (1950)
    3. RP. Godhardus Liebreks, OFMCap. berkarya tahun 1952-1958
    4. RP. Jan van Maurik, OFMCap
    5. RP. Aloysius Wijnen, OFMCap.
    6. RP. Raymundus Rompa, OFMCap.
    7. RP. Leo Joosten, OFMCap.
    8. RP. Philippus Manalu, OFMCap.
    9. RP. Ambrosius Sihombing, OFMCap.
    10. RP. Hygirilus Silaen, OFMCap.
    11. RP. Grerory Sudiyono, OFMCap.
    12. RP. Redemptus Simamora, OFMCap.
    13. RP. Raymond Simanjorang, OFMCap.
    14. RP. Sudhad Liele, OFMCap.
    15. RP. Nestor Manalu, OFMCap.
    16. RP. Albert Pandiangan, OFMCap.
    17. RP. Redemptus Simamora, OFMCap.
    18. RP. Marianus Simanullang, OFMCap.
    19. RP. Bonifasius Simanullang, OFMCap.
    20. RP. Herman Nainggolan, OFMCap.
    21. RP. Nelson Sitanggang, OFMCap.
    22. RP. Excuperius Sihaloho, OFMCap.
    23. RP. Mikael Manurung, OFMCap.
    24. RP. Donatus Marbun, OFMCap.

    25. RP. Leopold Purba, OFMCap.
    26. RP. Ambrosius Nainggolan, OFMCap.
    27. RP. Plavius Sibagariang, OFMCap.
    28. RP. Karolus Sembiring, OFMCap.
    29. RP. Albinus Ginting, OFMCap.
    30. RP. Christisn Lumban Gaol, OFMCap.
    31. RP. Gonzales Nadeak, OFMCap,
    32. RP. Andreas Win Turnip, OFMCap.
    33. RP. Simon Sinaga, OFMCap.
    34. RP. Selestinus Manalu, OFMCap.
    35. RP. Cypriano Barasa, OFMCap.
    36. RP. Flavianus Levi, SVD
    37. RP. Damianus Banjarnahor, OFMCap.
    38. RP. Theodorus Sitinjak, OFMCap.
    39. RP. Sampang Tumanggor, Pr.
    40. RP. Konrad Situmorang, OFMCap.
    41. RP. Kristinus Mahulae, OFMCap.
    42. RP. Heribertus Harianja, OFMCap.
    43. RP. Roy Stephanus Nababan, OFMCap. 44. RP. Mario Sihombing, OFMCap.
    45. RP. Trimenro Sinaga, OFMCap.
    46. RP. Hendrik Lumban Raja, OFMCap. (sekarang)
    47. RP. Nicodemus Ginting, OFMCap. (sekarang)

    Kondisi Terkini
    4. Kondisi Terkini Stasi

    Sesuai data Statistik Paroki tahun 2022, Paroki St. Yohanes Pembaptis Pakkat terdiri dari 27 Stasi yang dibagi ke dalam 6 rayon yaitu:

    1. Rayon St. Yohanes Pembaptis yang terdiri dari 3 stasi yaitu stasi:
      - St. Yohanes Pembaptis Pakkat tahun berdiri 1938 288 KK dan 1164 Jiwa
      - St. Karolus Tukka tahun berdiri 1956, 48 KK, 187 Jiwa
      - St. Fransiskus Assisi Ambobi tahun berdiri 2005 25 KK 113 Jiwa 

    2. Rayon St. Maria yang terdiri dari 3 stasi yaitu stasi:
      - St. Maria Bunda Kerahiman Ilahi Siniang Laksa tahun berdiri 1938 82 KK 364 Jiwa
      - St. Maria Huta Dalan tahun berdiri 1950 62 KK 245 Jiwa
      - St. Theodorus Simatabo tahun berdiri 1952 8 KK 33 Jiwa 
    3. Rayon St. Yosef yang terdiri dari 5 stasi yaitu stasi
      - St. Yosef Sitinjak Temba tahun berdiri 1955 97 KK 419 Jiwa
      - St. Yosef Batu Gaja tahun berdiri 1939 111 KK 371 Jiwa
      - St. Antonius Padua Sandean tahun berdiri 1956 71 KK 319 Jiwa
      - Yesus Gembala Baik Arbaan tahun berdiri 1948 334 Jiwa
      - St. Silvester Pagar Sinondi tahun berdiri 1947 30 KK 138 Jiwa
    4. Rayon St. Veronika yang terdiri dari 6 stasi yaitu stasi
      - St. Yakobus Huta Ambasang tahun berdiri 1951 36 KK 163 Jiwa
      - St. Paulus Sibongkare tahun berdiri 1952 64 KK 233 Jiwa
      - St. Maria Bunda Pertolongan Orang Kristen Siantar Sibongkare tahun berdiri 1952 57 KK 216 Jiwa
      - St. Teresa Kalkuta Sahombu tahun berdiri 1950 41 KK 176 Jiwa
      - Lae Hundulan tahun berdiri 1950 13 KK 78 jiwa 
    5. Rayon St. Fidelis yang terdiri dari 5 stasi yaitu stasi
      - St. Padere Pio Siambaton Pahae tahun berdiri 1956 88 KK 397 Jiwa
      - St. Monika Siambaton Julu tahun berdiri 1956 98 KK 424 Jiwa
      - St. Stefanus Martir Sitiotio tahun berdiri 1951 18 KK 75 Jiwa
      - Sidulang Dalan tahun berdiri 1951 16 KK 69 jiwa
      - Sidulang Julu tahun berdiri 1951 3 KK 13 jiwa 
    6. Rayon St. Pius yang terdiri dari 6 stasi yaitu stasi
      - St. Petrus Sipagabu tahun berdiri 1949 62 KK 245 Jiwa
      - St. Fransiskus Asisi Huta Pinang tahun berdiri 1938 146 KK 559 Jiwa
      - St. Paulus Huta Ginjang tahun berdiri 1947 56 KK 238 Jiwa
      - St. Bernadeth Huta Imbaru tahun berdiri 1950 25 KK 92 Jiwa
      - St. Leopold Mandic Pulo Godang tahun berdiri 1950 15 KK 54 Jiwa
      - St. Andreas Panggugunan tahun berdiri 1950 28 KK 124 Jiwa
    5. Lembaga Hidup Bakti Kongregasi FCJM

    Sejak tahun 1945 Mgr. Brans memohon banyak lembaga religius untuk bekerja di Tanah Batak. Tetapi pada waktu itu politik tidak stabil dan masa depan tidak jelas, kongregasi-kongregasi masih belum berani datang ke Indonesia. Baru sejak pada tahun 1951 mereka datang. Pada tanggal 29-04-1953 kongregasi suster FCJM datang ke Pakkat yakni Sr. Fransisca, Cunera, Bonita, Venantia dan Rheinildis yang langsung disambut baik oleh umat di paroki pakkat. Kehadiran suster-suster ini sekaligus membuka poliklinik di pakkat pada tanggal 18 Mei 1953.

    6. Pelayanan Kategorial

    Asrama Putra dan Asrama Putri
    Asrama Putra dan Asrama Putri berdiri tahun 1972 oleh bruder kapusin pematangsiantar. Siswa asrama masuk tahun 1973 dengan jumlah sekitar 105 orang. Pembina asrama putri awalnya yaitu Sr. ignatia Manurung FCJM dan Sr. Alosya br. Tinjak FCJM. Asrama ini berdiri sampai saat ini.

    7. Pelayanan Sekolah
    1. SGB Santa Maria Pakkat dibuka tanggal 01 Juli 1952 dengan kelas I dan kelas II. Jumlah murid kelas I kira-kira 120 orang dan kelas II kira-kira 30 Orang. Jumlah guru-guru sebanyak 7 orang. Tahun ajaran 1953/1954 SGB tersebut mendapat sokongan berupa subsidi bantuan dari MPPK dengan surat Putusan tanggal 08 Oktober 1953. SGB subsidi RK Pakkat berdiri sampai tahun ajaran 1960/1961. 

    2. SKP swasta santa Maria di Pakkat didirikan tanggal 01 agustus 1953 setelah berdirinya SGB Santa Maria Pakkat. SKP berdiri terus dan mempunyai murid tiap tahun kira-kira 150 orang, yaitu kelas I,II,III, dan kelas IV. Tahun ajaran 1965/1966 SKP berbantuan ditetapkan menjadi SKKP bersubsidi terhitung dari tanggal 01 Agustus1965 dengan surat dari MEDK. SKKP ini berdiri berdiri sampai sekarang dengan keadaan yang baik. 

    3. SMP Swasta santa Maria didirikan Pada tanggal 01 Agustus 1954 setelah adanya SGB dan SKKP. SMP Swasta santa Maria Pakkat ini di awal pendirian mempunyai satu kelas yang jumlah muridnya sekitar 40 orang. Tenaga pengajar pada SMP tersebut adalah guru-guru SGB RK Pakkat sebagai Guru tidak tetap. Barulah pada tahun 1956/1957 SMP ini telah lengkap dari kelas I,II, dan Kelas III. Pada tahun ajaran 1958/1959 bahwa SMP ini telah memenuhi syarat untuk diberikan sokongan berupa subsidi sebagai suatu sekolah yang berdiri sendiri. Pada tahun 1958/1959 berdasarkan surat edaran dari pemerintah maka SGB subsidi dipakkat sejak 01 Agustus 1961 telah dihapuskan dan diubah menjadi sebuah SMP, SMP katolik dipakkat terhitung dari tanggal 01 Agustus 1961 telah ditetapkan sebagai suatu sekolah yang diberi sokongan berupa subsidi. 

    4. SGA St. Maria Pakkat dibuka pada tahun ajaran 1955/1956 mulai dari kelas I dengan murid kira-kira 40 orang. Murid-murid SGA adalah lulusan dari SGB dan yang berijazah SMP . tahun ajaran 1957/158 SGA santa Maria Pakkat telah lengkap dengan kelas I,II,III. Tahun ajaran 1961/1962 SGA ini ditutup sesuai dengan rencana pemerintah yang artinya SGA ini berdiri hanya selama enam tahun.

    5. SMA RK Pakkat didirikan pada tahun ajaran 1958/1959 yaitu tanggal 01 September 1958 dengan jumlah murid kelas I 40 orang , guru tetap 4 orang, dan guru tidak tetap 6 orang. Pada tahun ajaran 1960/1961 SMA RK Pakkat telah lengkap dengan kelas I,II,III dan sudah mendapat pengakuan dari pemerintah pada tanggal 01 September 1961. SMA RK Pakkat ini masih berdiri hingga saat ini.

    6. SD. RK Pakkat dibuka mulai bulan Januari 1967 didirikan yang pada waktu itu murid-murid masih diterima kelas I dan kelas II. jumlah murid kelas I 43 orang dan kelas II 27 orang. Pada tahun 1971 SD RK St. Maria telah lengkap sampai dengan kelas VI. Pada tanggal 01 April 1971, Bapak gubernur kepala daerah propinsi sumatera utara membuat surat keputusan untuk menetapkan SD RK St. Maria Pakkat menjadi SD bersubsidi. SD ini masih berdiri hingga saat ini dengan keadaan yang baik.

    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Onanrunggu

    0
    Pelindung
    :
    Santo Paulus
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Oktober 1939. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Palipi
    Alamat
    :
    Jl. Gereja Paulus No. 25, Kec. Onan Runggu, Samosir – 22394
    Telp.
    :
    -
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.461 KK / 5.576 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    20
     
    01. Aek Rihit
    04. Huta Hotang
    07. Junjungan
    10. Pasaran
    13. Sipinggan
    16. Sitinjak
    19. Sungkean
     
    02. Baringin
    05. Huta Julu
    08. Nainggolan
    11. Siarsam
    14. Sipira
    17. Situmpol
    20. Tambun
    03. Harian
    06. Janji Matogu
    09. Pandiangan
    12. Simanggule
    15. Sitamiang
    18. Siturituri
     
     
    RD. Sebastianus Eka B.S.
    19.10.’64
    Parochus
    RD. Junius Setiawan Sihombing
    13.06.’95
    Vikaris Parokial
     
     
     

    Sejarah Paroki St. Paulus - Onanrunggu

    Sejarah Singkat (klik untuk membaca)
    Paroki Santo Paulus Onanrunggu berdiri sebagai paroki pada tanggal 1 Oktober 1939. Sebelum didirikan sebagai paroki, sudah ada 6 komunitas katolik atau stasi di wilayah Nagari Onanrunggu yakni: Sipinggan (1934), Janjimatogu (1935), Harian (1936), Onanrunggu (1936), Sitinjak (1938) dan Tambun (1939). Maka pada tanggal 1 Oktober 1939 Mgr. Matthias Brans, Prefektur Apostolik Padang pada masa itu, mendirikan paroki baru yang terdiri dari 6 stasi tersebut, yang berpusat di Onanrunggu. Pastor Beatus Jenniskens OFMCap diangkat sebagai pastor paroki pertama. Sebelum diresmikan sebagai paroki, rumah pastoran dan gereja sudah selesai dibangun.
    Tidak lama setelah didirikan sebagai paroki, umat beriman di paroki Onanrunggu berkembang sangat pesat. Tahun 1942 bertambah satu stasi di Baringin. Namun pada saat Jepang menguasai Indonesia, semua imam berkebangsaan Belanda diinternir. Sekalipun demikian pelaksanaan ibadah tetap berlangsung di stasi-stasi, kecuali stasi Harian. Stasi Harian menjadi tutup selama masa pendudukan Jepang. Barulah setelah Indonesia merdeka, stasi Harian dibuka lagi.
    Selama kurun waktu yang sangat sulit antara tahun 1942-1947, umat paroki Onanrunggu tidak dilayani oleh imam. Barulah pada tahun 1947 ada dua orang imam dari Jawa, yakni P. Pudjo Handojo Pr dan P. Sutopanitra Pr diperbantukan melayani umat di paroki Onanrunggu. Kedua pastor ini melayani paroki Onanrunggu selama 2 tahun sampai tahun 1949. Pada kurun waktu dua tahun itu, ada dua stasi yang berdiri, yakni di Sitamiang (1947) dan di Siturituri (1948). Ketika kedua pastor ini meninggalkan paroki Onanrunggu, jumlah stasi sudah menjadi 9.
    Pada tahun 1950, Pastor Beatus Jenniskens kembali ditugaskan untuk menggembalakan umat di Paroki Onanrunggu. Tahun itu juga berdiri stasi di Situmpol. Dilanjutkan lagi pada tahun 1952 didirikan stasi di Nainggolan.
    Semakin hari Paroki Onanrunggu berkembang terus. Para pastor silih berganti melayani paroki ini. Dalam perjalanan waktu, banyak stasi didirikan, yakni: Stasi Sukkean (1953), Stasi Sirait Pandiangan (1953), Stasi Simanggule (1953), Stasi Siarsam (1958), Stasi Janji Marapot (1962 [catatan: stasi ini tutup tahun 2017]), Stasi Aekrihit (1964), Stasi Sirait Pasaran (1965), Stasi Hutahotang (1965), Stasi Sipira (1968), Stasi Hutajulu 1986, dan Stasi Junjungan (1993). Stasi Sirungkungon, yang berada di pesisir Danau Toba di seberang Pulau Samosir, sempat dilayani dari Paroki Onanrunggu, tetapi kemudian diserahkan ke Paroki Parapat.
    Pada tahun 2014, Paroki Onanrunggu merayakan jubileum 75 tahun berdiri sebagai paroki. Pada saat itu jumlah umat terdiri dari 1.467 KK dengan 6.965 jiwa, yang tersebar di 1 gereja paroki dan 21 gereja stasi. Sangat disayangkan pada tahun 2017 Stasi Janji Marapot yang jumlah umatnya 7 KK dengan 34 jiwa ditutup karena umat berpindah tempat dan berpindah kepercayaan.
    Pelayan pastoral sejak paroki Onanrunggu berdiri sampai saat ini:
    1939-1942 Ordo Kapusin
    1947-1949 Diosesan
    1950-2003 Ordo Kapusin
    2003-2018 Kongregasi Claretian (CMF)
    2019 – sekarang.
    Diosesan Data Basis Integrasi Data Umat Katolik (BIDUK) per September 2022: umat Paroki Santo Paulus Onanrunggu terdiri dari 1.423 KK dengan 5.380 jiwa; 1 Gereja paroki dan 20 gereja stasi. Saat ini paroki Onanrunggu dilayani oleh dua orang imam, 1 parokus dan 1 vikaris parokial.
    Video Profil Paroki: -
    Lokasi Paroki :

     

    Paroki Medan Timur

    0
    Pelindung
    :
    Santo Petrus
    Buku Paroki
    :
    Sejak 7 Agustus 1988. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Katedral Medan
    Alamat
    :
    Jl. Pelita V No.1, Kel. Sidorame Barat II, Kec. Medan Perjuangan, Medan – 20237
    Telp.
    :
    061-6636168 / 0812-6097-7182
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.427 KK / 5.325 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi
    :
    3
    01. Laut Dendang
    02.  Jl. Durung
    03. Sampali
    RP. Hiasintus Sinaga OFMCap
    11.09.’66
    Parochus
    RP. Saritua Celes Sinaga OFMCap
    29.07.'86
    Vikaris Parokial

    Sejarah Paroki St. Petrus - Medan Timur

    Sejarah Singkat (klik untuk membaca)
    Paroki Santo Petrus Medan Timur berdiri secara resmi sebagai paroki dengan Surat Keputusan No: 016/GP/KA/2005 bertanggal 7 Agustus 1988 oleh Mgr. A.G. Pius Datubara OFMCap. Pada awalnya, paroki ini adalah stasi dari Paroki Santa Maria tak Bernoda Asal, Katedral, Medan. Pastor misionaris Johannes Canutus Mensink OFMCap. melayani wilayah ini dari Paroki Katedral Medan. Pada tahun 1990, lewat Surat Keputusan No.777/H/KA.1990, diprakarsai oleh Pastor Johanes Simamora OFMCap., paroki ini dikukuhkan memiliki 3 stasi yaitu stasi Santo Petrus, stasi Santo Mikael dan stasi Santo Rafael. Stasi Santo Mikael dan stasi Santo Rafael awalnya merupakan bagian dari Paroki Medan Luar Kota, Katedral. Stasi keempat yaitu stasi Santo Gabriel-Laut Dendang bergabung secara resmi pada tahun 1991 dengan Surat Keputusan No.274/A-3/MT/X-1991 bertanggal 24 Oktober 1991. Stasi Santo Gabriel merupakan pengembangan dari stasi Santo Mikael. Pelayanan administratif disertai pencatatan permandian, perkawinan, krisma dan lain-lain pun dimulai bersamaan dengan keputusan berdirinya Paroki St Petrus – Medan Timur. Sebelum berdiri secara resmi, semua pencatatan administrasi tersebut dilakukan di Paroki Katedral-Medan.
    Walaupun paroki ini telah berdiri sejak tahun 1988, namun paroki ini baru memiliki gedung Pastoran pada tahun 2007. Fasilitas pastoran ini membawa angin segar bagi kualitas pelayanan Paroki Medan Timur. Sebelum adanya pastoran di Medan Timur, para pastor tinggal di pastoran Katedral, pastoran Hayam Wuruk atau pastoran Kristus Raja. Situasi ini memunculkan kesulitan bila ada pelayanan tiba-tiba misalnya minyak suci atau misa arwah, tak selalu mudah menemukan pastor. Selain itu, kehadiran pastor yang pada saat itu masih sangat diharapkan dalam pengembangan iman umat, tidak berjalan seperti yang diharapkan. Para pastor dapat mengenal umat sebagian besar hanya pada misa hari Minggu yang pada waktu itu juga tidak misa setiap Minggu seperti pada saat terjadi sekarang. Demikian juga kunjungan ke lingkungan tidak sungguh berjalan secara teratur, kecuali kalau ada keperluan.
    Upaya mendekatkan gembala dengan umat barulah terwujud sejak November 2007 ketika gedung pastoran Paroki Medan Timur diresmikan. Para pastor pun mulai tinggal menetap di gedung pastoran Medan Timur untuk umat. Pelayanan kepada umat yang lebih intensif semakin terwujud. Hal ini sejalan dengan dasar spiritualitas Paroki Santo Petrus – Medan Timur yakni “mengandalkan Firman dan rahmat Tuhan Allah. Rasul Petrus berkata, “In Verbo autem Tuo” (Lukas 5:5), “karena Engkau menyuruhnya, maka aku akan melakukan juga”. Dan Rasul Paulus berkata, “Satu untuk semua, semua untuk satu” (bdk. 2Kor 5:14-15)
    Profil Paroki St. Petrus Medan Timur
    Secara wilayah atau geografis, wilayah Paroki Santo Petrus Medan Timur terletak di Kotamadya Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Umat tersebar di Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung - Kota Medan dan Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Paroki ini memiliki batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Paroki Santo Konrad Martubung dengan batas Jl. Cemara. Sebelah Selatan berbatasan dengan Paroki Katedral dan Paroki Santo Yohanes Penginjil, Mandala dengan batas Jl. Prof.H.M Yamin. Sebelah Timur berbatasan dengan Paroki Santa Agatha, Batang Kuis dan Paroki Santo Yohanes Penginjil, Mandala dengan batas Sungai Denai. Sebelah Barat berbatasan dengan Paroki Santo Pio, Helvetia dan Paroki Katedral, Medan dengan batas Jl. Putri Hijau dan Jl. Yos Sudarso.
    Gereja Paroki/Induk Santo Petrus
    Gereja Paroki Santo Petrus berdiri pada tahun 1970. Pada tanggal 15 Agustus 1970 diberkati oleh uskup Ferrerius Van De Hurk. Gereja Paroki (Induk). Pesta pelindungnya pada Pesta Tahta St Petrus Rasul, tanggal 22 Februari. Gereja Santo Petrus ini beralamat di Jl. Pelita 5 no.1, Kecamatan Medan Perjuangan. Saat ini Gereja St Petrus terdiri dari 15 lingkungan dengan jumlah 505 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah umat 2.405 jiwa.
    Gereja Stasi Santo Mikael
    Gereja Stasi Santo Mikael berdiri pada tahun 1956. Pesta pelindungnya pada Pesta Ketiga Malaikat Agung, tanggal 29 September. Gereja Stasi Santo Mikael ini beralamat di Jl. Durung No. 178, Kecamatan Medan Tembung. Saat ini Gereja St Mikael terdiri dari 8 lingkungan dengan jumlah 341 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah umat 1.491 jiwa.
    Gereja Stasi Santo Rafael
    Gereja Stasi Santo Rafael berdiri pada tahun 1967. Pesta pelindungnya pada Pesta Ketiga Malaikat Agung, tanggal 29 September. Gereja Stasi Santo Rafael beralamat di Jl Bhayangkara, Indra Kasih, Kecamatan Medan Tembung. Saat ini Gereja St Rafael terdiri dari 8 lingkungan dengan jumlah 276 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah umat 1.291 jiwa.
    Gereja Stasi Santo Gabriel
    Gereja Stasi Santo Gabriel berdiri pada tahun 1990. Pesta pelindungnya pada Pesta Ketiga Malaikat Agung, 29 September. Gereja Stasi Santo Gabriel beralamat di Jl. Tegal Sari, Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Saat ini Gereja St Gabriel terdiri dari 7 lingkungan dengan jumlah 198 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah umat 932 jiwa.
    Kantor Paroki St Petrus
    Kantor Paroki Santo Petrus – Medan Timur beralamat
    di Jl. Pelita V No. 1 – Medan Perjuangan
    HP: 081260977182
    e-mail: [email protected]
    DATA STATISTIK
    Gereja Paroki Santo Petrus Medan Timur diresmikan pada tahun 1988. Seiring berjalannya waktu, umat Katolik di Medan Timur mengalami dinamika perkembangan sejak tahun 1988 sampai dengan tahun 2020. Jumlah umat Paroki Santo Petrus Medan Timur di awal tahun terbentuknya adalah sebanyak 4.446 jiwa, mengalami lonjakan kenaikan sampai pada 7.305 jiwa ketika pada tahun.
    Sejak tahun itu jumlah umat yang berada pada Paroki ini semakin bertambah. Perkembangan jumlah umat pada tahun 1989 s/d 1995 mengalami kenaikan 31 % rata-rata per tahun. Sama halnya dengan perkembangan jumlah umat pada periode II (1996 s/d 2000, kenaikan sebesar 27%) dan Periode III (2001 s/d 2005 mengalami kenaikan 32%). Namun pada tahun 2007 s/d 2010 mengalami penurunan sebesar 14%. Pada tahun 2011 s/d 2014 jumlah umat di Paroki ini mengalami sedikit peningkatan sebesar 3,2% rata-rata per tahun. Dan pada tahun 2014 s/d 2015 mengalami penurunan yang signifikan sejumlah 21 % atau sebanyak 2.361.
    Perkembangan umat Santo Petrus Medan Timur berdasarkan Data Statistik BIDUK mengalami peningkatan setiap tahunnya, kenaikan jumlah umat dari tahun 2016 s/d 2020 sebesar 15%.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Medan Tanjung Selamat

    0
    Pelindung
    :
    Santa Maria Ratu Rosari
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Agustus 1997. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Padang Bulan, Paroki Hayam Wuruk dan Paroki Binjai
    Alamat
    :
    Jl. Flamboyan Raya No. 139 Tanjung Selamat, Medan – 20134
    Telp.
    :
    0812-2088-7204
    Email
    :
    [email protected]
    Website
    :
    parokisantamaria.com
    Jumlah Umat
    :
    1.864 KK / 7.022 jiwa 
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    4
    01. Sei Beras Sekata
    04. Suka Maju
    02. Serba Jadi
    03. Srigunting
    RP. Aaron Taogo'aro Waruwu, OSC
    12.06.'72
    Parochus
    RP. Maximus Manek, OSC
    16.10.’66
    Vikaris Parokial
    RP. Konstantinus Frederikus Jawa, OSC
    17.11.'89
    Vikaris Parokial

    Sejarah Paroki St. Maria Ratu Rosari - Medan Tanjung Selamat

    Sejarah Singkat (klik untuk membaca)
    Awal berdirinya Paroki Santa Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat dari Lingkungan Medan permai yang pada waktu itu masih merupakan calon stasi. Kegiatan rohani dilakukan oleh umat di Gedung Sekolah Sabang Merauke Medan Permai. Setiap minggu ke-IV (empat) umat merayakan Ekaristi yang dipimpin oleh Pastor Antonio Razzoli OFM Conv. Nama stasi “Medan Permai” berasal dari Perkumpulan Doa bersama umat yang berasal dari Perkumpulan Doa bersama umat yang berasal dari perumahan Medan Permai, Pemda TK I dan juga dari pinggiran jalan Setia Budi. Setelah itu Pastor mengambil inisiatif untuk memindahkan aktifitas kerohanian ke komplek Sekolah St.Yosep.
    Pada tahun 1987 gedung Gereja Stasi Santa Maria Medan Permai Paroki Santo Paulus Padang Bulan semi permanen selesai dibangun. Pertumbuhan umat ternyata sangat cepat, terlebih dengan munculnya sekolah-sekolah di wilayah pelayanan Stasi Medan Permai antara lain Perguruan Santo Yoseph (SMP-SMA), Assisi (TK-SD-SMP), SMK Grafika dan Unika Santo Thomas. Atas dasar itulah, maka pada tanggal 04 Oktober 1993 gedung Gereja direhab untuk memperbesar daya tampung umat.
    Pada tanggal 06 Agustus 1995 dimulailah pembangunan gedung Gereja yang ditandai dengan “Peletakan Batu Pertama” oleh Uskup Agung Medan diwakili oleh Vikjen KAM, pada waktu itu Pastor Elias Sembiring, OFM Cap. Pada saat Peresmian Gereja tanggal 03 Agustus 1997 oleh Mgr.Alfred Gonti Pius Datubara, OFM.Cap, saat itu juga Stasi Medan Permai diresmikan menjadi Paroki baru dengan nama “Paroki Santa Maria Ratu Rosari” Tanjung Selamat Medan yang terdiri dari 5 Lingkungan (188 KK, 779 jiwa). Dengan ketetapan batas-batas :
    • Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Asoka Pasar 1 Kelurahan Sunggal,
    • Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Bunga Rinte Raya Simpang Selayang,
    • Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Sembahe Baru Tanjung Anom,
    • Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Bunga Terompet Kelurahan Sempa Kata.
    Pada saat itu juga dilaksanakan penyerahan tugas pengembalaan umat Paroki Santa Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat dari OFM Conv. kepada OSC dan sekaligus ditunjuk Pastor Paroki yang pertama yaitu Pastor Heribertus Kartono, OSC pada tanggal 03 Agustus 1997.
    Jumlah umat sekitar 5 ribuan tersebar di 29 lingkungan di wilayah Gereja Paroki dan 16 lingkungan di wilayah 4 Gereja Stasi yaitu Stasi Santo Gabriel Sei Beras Sekata, Santo Benedictus Srigunting, Santo Yosep Sukamaju dan Santa Maria Bunda Pertolongan Abadi Serba Jadi setelah tugas penggembalaan 2 Stasi yaitu Belimbingan dan Gunung Tinggi diserahkan ke Kuasi Paroki St.Yohanes Paulus II Namo Pecawir Medan Tuntungan pada tanggal 10 Juli 2016.
    Pada wilayah Paroki Santa Maria Ratu Rosari juga terdapat wisata rohani yaitu Graha Maria Annai Velangkanni. Lembaga Pendidikan yang terletak di wilayah Paroki yaitu :
    - Yayasan : Yayasan Don Bosco, Yayasan Santo Thomas, Yayasan Putri Hati Kudus, Yayasan Widya Fralista, Yayasan Bina Media.
    - Sekolah : SMP Santo Yoseph, SMA Santo Yoseph, TK Asisi, SD Asisi, SMP Asisi, SMK Grafika Bina Media, Universitas Katolik Santo Thomas, STIKes Elisabeth, SD Deli Murni Sukamaju, SMP Deli Murni Sukamaju, SD Katolik Sei Beras Sekata.
    Paroki melakukan pelayanan pastoral bagi umat yang majemuk latar belakangnya, baik dari segi suku (Batak Toba, Karo, Simalungun, Jawa, Nias) maupun dari segi pendidikan. Disamping itu Paroki melakukan pelayanan pastoral terhadap beberapa komunitas religius non imam, antara lain:
    1. Komunitas Suster SCMM
    2. Komunitas Suster FCJM
    3. Komunitas Suster FSE
    4. Komunitas Suster KSSY
    5. Komunitas Suster SOSFS
    6. Komunitas Suster KYM
    Disamping pelayanan pastoral, paroki juga melakukan pelayanan antara lain :
    1. Pelayanan Rohani di Rumah Sakit Adam Malik sejak bulan Mei 2013; menyusul pelayanan di Rumah Sakit Bina Kasih Jalan T.B.Simatupang Medan Sunggal pada tahun 2017.
    2. Pelayanan Rohani bagi Panti-panti Asuhan yaitu Panti Asuhan Putera Sai Prema yang bertempat di Jalan Asoka Pasar 1 Tanjung Sari dan Panti Asuhan Puteri St.Lucy Filipini Jalan Flamboyan V No.9 Tanjung Selamat yang dikelola Suster KYM sejak tahun 2019, Panti Asuhan SOS Jalan Seroja Raya Kelurahan Tanjung Sari dan Pelayanan Rohani bagi Rehabilitasi Narkoba “Rumah Kita” Jalan Bougenville yang dikelola oleh Suster-suster KSSY.
    3. Pelayanan Kategorial lain yaitu PIK, KKMK, Monika, Legio Maria dan KTM; tahun 2017 dibentuk Pelayanan Kategorial Lansia. Begitu pula Pelayanan Kategorial untuk Asrama Putri Universitas Katolik Santo Thomas.
    4. Sejak April 2014, Uskup menyerahkan pelayanan pastoral STIKes Elisabeth kepada Paroki Santa Maria Ratu Rosari.
    5. Untuk perkembangan selanjutnya pelayanan tentu mengikuti arahan dan pedoman dari reksa pastoral Keuskupan Agung Medan.
    Pada saat ini jumlah lingkungan di Paroki Santa Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat sebanyak 47 lingkungan yang dibagi dalam 5 rayon/regional yaitu :
    1. Rayon I : 7 lingkungan
    2. Rayon II : 7 lingkungan
    3. Rayon III : 4 lingkungan
    4. Rayon IV : 13 lingkungan
    5. Rayon V : 16 lingkungan
    Saat ini Paroki Santa Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat juga dalam proses pembangunan gereja kuasi stasi tanjung anom, yang umat lingkungannya berada di wilayah rayon IV. Sehingga total gereja stasi dibawah naungan Paroki Santa Maria Ratu Rosari berjumlah 5 gereja, yaitu :
    1. Stasi Santo Gabriel Sei Beras Sekata,
    2. Stasi Santo Benedictus Srigunting,
    3. Stasi Santo Yosep Sukamaju
    4. Stasi Santa Maria Bunda Pertolongan Abadi Serba Jadi
    5. Kuasi Stasi Tanjung Anom
    Data jumlah jiwa umat paroki santa maria ratu rosari per tanggal 15 Februari 2022 sebanyak 6.556 jiwa.
    Demikian situasi perkembangan paroki Santa Maria Ratu Rosari hingga saat ini dan sangat nampaklah dinamika perjalanan sejarah paroki ini.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :