Pelindung |
: |
Santo Pius X |
Buku Paroki |
: |
Sejak 1 Mei 1975. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Kisaran/ Tanjung Balai |
Alamat |
: |
Jl. Serma Maulana S. No. 48, Aekkanopan Labura – 21457 |
Telp. |
: |
|
|
: |
|
Jumlah Umat |
: |
1.759 KK/ 6.996 jiwa (data Biduk per 05/02/2024) |
Jumlah Stasi |
: |
54 |
01. Adian Baja |
02. Adian Mondang |
3. Adian Torop |
04. Aek Nabara |
05. Aek Nauli |
6. Bulu Cina |
07. Cinta Dame |
8. Cinta Rame |
9. Harian Timur |
10. Hau Napitu |
11. Huta Baru |
12. Jambur Damuli |
13. Kampung Baru |
14. Kilang Saudara |
15. Kuala Tani |
16. Labuhan Haji |
17. Lalang Bundar |
18. Makmur Bersama |
19. Marjanji Aceh |
20. Padang Mahondang 1 |
21. Padang Mahondang 2 |
22. Pamaratan |
23. Pamingke Stasiun |
24. Pancasila |
25. Panigoran |
26. Pardamaran |
27. Pardomuan Nauli |
28. Parsaoran |
29. Pinggol Toba |
30. Pulo Angin |
31. Pulo Gombut |
32. Pulo Harapan |
33. Pulo Maria |
34. Pulo Raja |
35. Rambung Merah |
36. Sei Naetek |
37. Sei Peranginan |
38. Sei Piandang |
39. Simpang Empat |
40. Sinar Toba |
41. Situngir |
42. Suka Maju |
43. Sungai Apung |
44. Sungai Juragan |
45. Sungai Karet |
46. Sungai Piring |
47. Tangkahan Bosi |
48. Tangkahan Habeahan |
49.Tangkahan Manggis |
50. Tapian Nauli |
51. Teluk Ampean |
52. Teluk Binjai |
53. Trans |
54. Tunggul Morbo |
|
|
RP. Giovanno Sinaga OFMCap |
05.10.'79 |
Parochus |
RP. Meinrad Rumapea OFMCap |
24.01.'87 |
Vikaris Parokial |
RP. Andi Bonifasius Gabe Girsang OFMCap |
12.07.'94 |
Vikaris Parokial |
Sejarah Paroki St. Pius X | Aek Kanopan
Sejak awal tahun 1940-an sudah ada arus perantau (panombang) dari daerah Tapanuli ke belahan bagian Timur Sumatera Utara, bahkan sampai ke daerah Riau. Para perantau ini dalam kondisi “demam terjajah oleh Belanda (terutama penjajahan Jepang) tetapi sebagian besar sudah beragama Kristen Muda (Protestan) dan sebagian lagi masih “Parmalim” atau bahkan masih animis. Jika diperhitungkan dari sudut historisnya, tentu sebagian kecil dari mereka dapat dipastikan sudah ada yang sudah beragama Katolik.
Dalam “Sejarah Kabupaten Labuhanbatu Utara” disebut bahwa pada tahun 1942 tentara Dai Nippon (Jepang) menduduki seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 3 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Perupuk (Tanjung Tiram). Dari Perupuk sebahagian tentara Jepang melanjutkan gerakan merebut kota Tebing Tinggi dan seterusnya Medan. Setelah itu sebagian lagi bergerak menuju Tanjung Balai yang pada saat itu sebagai pusat pemerintahan Afdeling Asahan. Dari Asahan (Tanjung Balai) melanjut ke wilayah Labuhanbatu untuk merebut kota Rantauprapat.
Menurut sumber yang tidak tertulis, ternyata bahwa dengan alasan untuk mempertahankan hidup dan masa depannya, para perantau dari Samosir dan Tapanuli yang sudah beragama Kristen Muda dan Parmalim serta aninimis atau mungkin juga yang sudah Katolik, terpaksa menganut agama Islam yang mengikuti masyarakat Melayu (penduduk setempat). Sebagian dari mereka lama kelamaan mereka masuk agama Islam dan bergabung dengan suku Dalle (Orang Batak yang pada umumnya beragama Islam). Mereka beredar di sekitar kabupaten Batubara, Asahan, Labura, Labuhanbatu Induk dan Labuhanbatu Selatan sekarang.
Sebenarnya, para pastor misionaris periode paling awal, mula-mula ditempat-tugaskan di Tanjung Balai untuk lebih berfokus kepada orang Tionghoa dan sedikit banyaknya pada 'tuan kebun'. Secara berkala mereka mengunjungi orang Tionghoa yang tersebar di wilayah itu, termasuk Aekkanopan. Mungkin sekali sudah sejak Pastor Odilo Wap, OFMCap hal itu terjadi. Akan tetapi, mengenai Beliau, tidak ada data persis yang diketahui.
Pastor Restitutus Joosten, OFMCap dan terutama pastor Arthur Jansen, OFMCap tercatat sebagai pelopor yang datang dan berkarya di daerah ini dengan dua periode yakni periode 1948-1949, kemudian periode 1953-1962. Lambat laun mereka juga semakin memperhatikan dan mengunjungi/ mengumpulkan orang Batak Perantau. Pastor Ezecchiel Vergeest, OFMCap. dan pastor Paternus van Litsenburg, OFMCap. serta pastor Meinrad Manzer, OFMCap ikut juga memperkuat kelompok misionaris awal ini, sampai ke daerah Aek Kanopan.
Sejak awal, umat perdana dilayani para pastor misionaris Kapusin dan Saverian dari paroki Tanjung Balai dan Kisaran. Sebagai paroki, Tanjung Balai berdiri secara resmi pada tahun 1947 dengan nama pelindung St. Mikael. Kemudian pada tahun 1968 paroki ini dimekarkan menjadi dua paroki yakni paroki St. Mikael Tanjung Balai dan Paroki Sakramen Maha Kudus Kisaran. Keduanya terletak di Kabupaten Asahan dan Batubara sekarang.
Pada pertengahan tahun 50-an atas semangat kerasulan yang gigih dari para pastor misionaris kapusin (RP. Lucas Reinders OFMCap., RP. Remigius Pennock OFMCap, RP. De Wit OFMCap. dan RP. Schepens OFMCap), datang dari Tanjung Balai dan Kisaran ke arah Labuhanbatu bahkan sampai ke daerah Kota Pinang.
Arus kedatangan “panombang” dari Tapanuli makin lama makin kencang sampai pada tahun 1970-an. Sebelumnya (di Tapanuli: Samosir dan Humbang Hasundutan masih bagian dari Tapanuli pada waktu itu) mereka sudah memeluk agama Kristen atau Katolik, tetapi di perantauan seputar daerah Labuhanbatu sekarang mereka tidak menemukan satu pun gereja di daerah Labuhanbatu. Dari Kisaran juga RP. Clarus Sihotang, OFMCap juga cukup memberi perhatian sejak awal tahun 1972.
Kelompok orang Katolik pertama terbentuk di Stasi Tapian Nauli tahun 1956 sedang Stasi Aekkanopan resmi berdiri sebagai stasi baru pada tahun 1960. Akan tetapi karena Aekkanopan jauh lebih strategis dan menjanjikan perkembangannya, dari pada stasi-stasi yang sudah lebih dahulu terbentuk, maka dalam perjalanan waktu Aek Kanopan ditetapkan menjadi Stasi Induk dan kemudian menjadi pusat paroki. Tahun 1970-an usaha kerasulan para misionaris perdana ini, disuburkan lagi oleh semangat penggembalaan yang tak kenal lelah dari para pastor kapusin dan suster-suster KYM (RP. Antonius Siregar, OFMCap; RP. Beatus Jenniskens, OFMCap; RP. Arie Van Diemen, OFMCap; dan Sr. Imelda Harianja, KYM; Sr. Helena Rumapea, KYM; Sr. Maristella, KYM dan Sr. Anastasia Sitohang, KYM) dan ditopang oleh tokoh umat perdana (B. Rajagukguk, Johanes Tan Kok Eng dan R.S. Siburian, dll.) mereka mempersiapkan Aekkanopan menjadi satu paroki yang baru.
Menurut kesaksian RP. Arie van Diemen, OFMCap, dituliskan sebagai berikut via email: “Pada awal tahun-tahun tujuhpuluhan paroki Kisaran semakin tambah luasnya dengan semakin berpindahnya umat ke Asahan dan Labuhanbatu, sampai daerah perbatasan Riau. Terutama mereka yang menggarap tanah, dari Tapanuli dan Samosir. Dari ujung ke ujung panjangnya paroki itu sudah lebih dari 200 km. Maka, Bapak Uskup v.d. Hurk menugaskan kami, khususnya pastor Schepens dan saya, untuk mencari tahu tempat yang strategis yang cocok untuk pemekaran paroki itu. Kami berdua segera sepakat: Aek Kanopanlah.
Sebagai langkah pertama, sebaiknya, agar dalam jangka waktu agak singkat disusul dengan Aek Nabara. Atas prakarsa beberapa pemuka jemaat, seperti R. Joewono, Johannes Tan Kok Eng, Binsar - A. Bukit - Rajagukguk dan Pak Siburian, ditemukan lokasi yang rasanya cocok. Sesudah ditinjau bersama oleh pastor Schepens, Jenniskens dan saya pada tgl 2/1/1975, maka tanah itu resmi dibeli di kantor camat pada tgl 17/3/1975. Agar bisa secepatnya pindah kesana, maka selama dua bulan berikutnya didirikan sebuah 'gubuk-gubuk' yang sederhana. Tepat pada waktu yang sama 'tersiar' berita bahwa Tahta Suci telah mengangkat Pastor Pius Datubara sebagai Uskup Pembantu, dengan tujuan untuk sebentar lagi mengambil alih tugas Uskup Agung Medan. Sungguh, suatu peristiwa bersejarah bagi sejarah Keuskupan kita. Pengumuman resminya sampai pada tgl 24/05/1975, 2 hari sesudah pastor Jennis dan saya pindah ke Aekkanopan.”
Pada tanggal 16 Mei 1975, Aekkanopan resmi sebagai paroki yang baru dengan nama Paroki St. Pius X Aekkanopan. Akan tetapi pastor paroki pertama, RP. Arie van Diemen, OFMCap bersama pastor rekan RP. Beatus Jenniskens, OFMCap baru kemudian pindah dari Kisaran ke Aekkanopan pada tanggal 26 Mei 1975.
Tentu sebagai paroki yang sudah resmi, maka sarana-sarana yang mendukung keresmiaanya dibutuhkan, seperti stempel paroki. Untuk membuat stempel dibutuhkan nama pelindung resmi paroki ini juga. Santo Pius X secara spontan muncul dalam pikiran pastor Arie van Diemen, OFMCap.
Mengapa Santo Pius X? Pastor Arie menulis: “Mengapa justru Pius X? Karena masih agak kontemporer. Baru 60 tahun sebelumnya meninggal dunia, pada saat beliau terkejut mendengar Perang Dunia I telah pecah. Tetapi, terutama, karena ia sebagai Uskup Agung Venetia sangat dicintai dan akrab dengan umat yang sederhana. Sebagai Paus beliau mengusahakan agar perayaan liturgi lebih hidup-hidup oleh partisipasi umat beriman. Keputusannya yang amat terkenal yaitu bahwa umur anak-anak untuk boleh menyambut komuni kudus, dipercepatnya sampai tujuh tahun. Saat itu belum saya bisa menduga bahwa nama beliau kemudian 'dibacak' oleh kelompok-kelompok ultra konservatif dalam gereja yang ingin menghalangi segala perkembangan. Sangat pantas disesalkan.” Demikianlah tahap paling awal sebagai paroki baru dimulai sambil lebih serius memeta kondisi lapangan pastoral misioner di Aek Kanopan.
Bagi Pastor Arie Van Diemen, OFMCap, sejak awal paroki ini sangat menantang dan mengasyikkan. Selengkapnya Beliau menuliskan sebagai berikut: “Kesan saya tentang karya di paroki: amat menarik, menantang karena semua masih baru, fisik berat tetapi mengasyikkan, semangat para pemuka jemaat bergairah, umat masih gembira menerima kehadiran pastor bersama dengan para suster karena bagi mereka masih sungguh kabar gembira ditongatonga tombak na gok rongit.”
Ungkapan ini sungguh memberi kesan bahwa pastor Arie dan pastor rekan lainnya serta para tokoh awam perdana benar-benar berjuang untuk permulaan awal paroki St Pius X ini. Medan pastoral begitu sangat berat dan masih banyak hutan asli. Lahan luas membentang subur dan sangat alamiah. Perikehidupan ekonomi sangat-sangat memprihatinkan. Akan tetapi umat masih membutuhkan para petugas pastoral dan disambut dengan sangat antusias.
Makin lama berpastoral dan semakin masuk ke kondisi riil umat atau masyarakat sekitar, para petugas pastoral ini semakin melihat kebutuhan-kebutuhan hidup harian dan kebutuhan masa depan. Berbagai upaya dilakukan untuk melayani umat baik dari segi kehadiran pendampingan maupun dari segi materi (dana batuan) bagi umat yang sangat-sangat sederhana. Dan untuk menjawabi kebutuhan-kebutuhan ini semua, di sana sini lahan digarap dan dibeli. Sekolah, asrama dan CU didirikan. Kursus-kursus kaderisasi pengurus awam mulai ditangani.