Pelindung |
: |
Santo Fransiskus Asisi |
Buku Paroki |
: |
20 Februari 2005. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Kabanjahe |
Alamat |
: |
Jl. Letjen Jamin Ginting, Desa Sempajaya, Berastagi, Tanah Karo – 22156, Sumatera Utara |
Telp. |
: |
0628 – 93564 |
|
: |
parokiberastagi@gmail.com |
Jumlah Umat |
: |
3.215 KK/ 10.566 jiwa |
Jumlah Stasi |
: |
21 |
01. Aji Buhara04. Barus Julu07. Doulu Kuta10. Juma Padang13. Paribun16. Sampun19. Serdang |
02. Aji Julu05. Basam08. Doulu Pasar11. Kubucolia14. Raya17. Semangat Gunung20. Sukajulu/ Tigajumpa |
03. Barus Jahe06. Merdeka09. Gurusinga12. Sada Perarih15. Rumah Rih18. Siberteng/ Kabung21. Tanjung Barus |
RP. Evangelis Pardede OFMCap |
20.10.’77 |
Parochus |
RP. Ucok Dani Irawan Manik OFMCap |
15.03.'92 |
Vikaris Parokial |
Sejarah Paroki St. Fransiskus Asisi | Berastagi
Sebelum pendudukan Jepang dan juga sesudahnya, Pastor Elpidius van Duynhoven, OFMCap (1906-1993), yang tinggal di Simalungun sudah sering mengunjungi kampung di Tanah Karo untuk mengabarkan sukacita Injil, termasuk ke kampung-kampung yang masuk teritorial paroki Berastagi sekarang ini. Sebelum berangkat ke kampung-kampung beliau biasanya menjumpai Pastor Mattheus de Wolf OFMCap (1865-1950) yang bertempat tinggal di biara suster Fransiskanes St. Elisabet (FSE), komunitas St. Lidwina di Berastagi. Dalam rangka kunjungan-kunjungan itu Pastor Elpidius van Duynhoven (sering disebut Opung Dolok) membuka stasi Berastagi dan Sukajulu pada tahun 1939 (lihat Mbuah Page Nisuan dan Kenangan Tujuh Puluh Lima Tahun Gereja Katolik Tanah Karo.).
Sejak tahun 1934 suster FSE sudah membuka komunitas pelayanan untuk korban TBC di wilayah Berastagi. Namun rumah pelayanan itu dibakar oleh tentara Jepang waktu Revolusi Perang Dunia II dan para suster dibawa untuk diisolasi di Pamingke. Pada tanggal 3 Agustus 1948, Pastor Maximus Brans OFMCap bertemu dengan Pastor Elpidius van Duynhoven OFMCap di Berastagi untuk merancang pendirian paroki Tanah Karo seturut penugasan uskup Medan, Mgr Matthias Brans. Ketika itu sudah ada 30 keluarga Katolik di Sukajulu dan 10 keluarga Katolik di Berastagi. Selebihnya, 10 keluarga di Kabanjahe dan 9 keluarga di Sumbeikan (Lawe Deski). Data ini mengungkapkan satu fakta bahwa pada awal mula pembukaan paroki Tanah Karo, umat Katolik yang berdomisili di wilayah paroki Berastagi lebih banyak jumlahnya daripada yang berada di Kabanjahe ditambah dengan yang berada di Sembeikan.
Keberadaan umat Katolik di Sukajulu dan Berastagi dapat dikatakan sebagai cikal bakal penting dalam pendirian Paroki Tanah Karo pada tahun 1948 tersebut. Namun karena kota Kabanjahe merupakan kota terbesar di Tanah Karo, lagi pula sebagai pusat pemerintahan dan perniagaan, serta letaknya yang lebih sentral dibanding Berastagi, maka pusat paroki didirikan di Kabanjahe bertempat di atas tanah di mana suster kongregasi SFD sudah mendirikan komunitas sejak tahun 1937.
Sejak awal pendirian paroki Tanah Karo, selain mengusahakan sarana fisik berupa pendirian rumah darurat sebagai pastoran, pastor Maximus Brans dan pastor Elpidius van Duynhoven seketika itu jugamengutus seorang katekis awam (guru agama) bernama Nimbasi Purba untuk membimbing “perpulungen” di Sukajulu.
Ada sebanyak 30 keluarga Katolik di Sukajulu pada waktu itu. Dari catatan periode 1939- 1952 buku Mbuah Page Nisuan yang ditulis P. Leo Joosten Ginting, OFMCap teranglah bahwa setahun kemudian tepatnya pada tanggal 18 Juli 1949 sudah sebanyak 130 orang berminggu di gereja simpang Sukajulu, yang didirikan pada tahun 1940. Pada tanggal 04 September 1949 diadakan permandian massal untuk 60 orang, diantaranya adalah: Ngambang Sitepu, Ngerat Sitepu, Gering Sitepu, Surung Sitepu, Netap Sembiring, Meja Ginting, Tangsi Karo-karo, Loh Sembiring dan Gugung Ginting.
Di Kubucolia sendiri, atas jerih payah pastor Maximus Brans dan Bpk. Nimbasi Purba pada tanggal 04-09-1949 telah dipermandikan umat sebanyak 57 orang oleh pastor Brans didampingi pastor Elpidius. Umat Katolik dari Kubucolia ini awalnya beribadat di gereja simpang Sukajulu.
Karena terjadi perang dan masyarakat harus mengungsi, sempat terjadi kemerosotan kehadiran umat yang beribadat di gereja itu, kemudian walau perang telah usai dan masyarakat telah pulang kampungnya masing-masing, gereja sempat dialihfungsikan menjadi gudang. Gereja itu kemudian dibongkar serta papan-papannya dipindahkan untuk mendirikan gereja di Kubucolia.
Semangat menggereja umat Katolik Stasi Kubucolia selain mewarnai dinamika awal perkembangan Gereja Katolik di seputaran daerah ini, dari stasi ini pula kemudian berasal pastor pertama dari masyarakat Karo Katolik yang bernama Semangat Sembiring atau lebih dikenal dengan pastor Elias Sembiring, OFMCap.
Pelayanan beliau selama berkali-kali menjadi Vikjen Keuskupan Agung Medan tentu juga ikut mewarnai dinamika perkembangan Keuskupan kita ini. Beberapa tahun sesudahnya tepatnya pada periode 1953-1993, gereja papan Sukajulu kembali dibangun bertempat di lokasi gereja St. Yohanes Don Bosco sekarang berada.
Gereja itu ditujukan untuk tempat beribadat bagi tuan rumah: Sukajulu dan Tigajumpa, juga untuk umat Katolik dari kampung-kampung sekitar, yakni dari: Paribun, Jumapadang, Barusjahe dan Serdang. Barusjahe kemudian menjadi stasi tersendiri mekar pada tahun 1960 (baptis pertama 1969), Paribun pada tahun 1966 (baptis pertama tahun tahun 1967), dan Serdang pada tahun 1978 (baptis pertama tahun 1980), Jumapadang pada tahun 1982 (baptis pertama tahun 1983). Sampai sekarang, setasi-stasi ini tetap dalam satu koordinasi rayon, yakni rayon Alverna.
Pada tahun 2003 direncanakanlah pembangunan gereja Sukajulu-Tigajumpa yang baru bernuansa inkulturatif Karo. Misa peletakan Batu Pertama dipimpin oleh Uskup Mgr. Pius Datubara yang dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2004. Setelah beberapa kali acara pengumpulan dana diadakan, gereja selesai dibangun dan diresmikan pada tahun 2007. Jumlah umat Katolik Stasi Sukajulu Tigajumpa pada tahun 2006 sebanyak 250 KK.
Ketika stasi Berastagi dibuka oleh pastor Elpidius van Duynhoven pada tahun 1939, sebagaimana telah disebut di atas, sudah ada 10 keluarga (38 orang) Katolik Di Berastagi. Kebanyakan dari keluarga Katolik itu merupakan perantau dari Samosir yang sudah dibaptis di kampung halamannya dan beberapa di antaranya diterima resmi dari Gereja Protestan. Air baptisan yang diterimanya menghubungkan persaudaran baru dan kental dengan beberapa keluarga Karo yang kemudian menerima air baptisan yang sama dari pastor Elpidius itu. Sebelum tahun 1949 pastor Maximus Brans juga mempermandikan 14 orang menjadi umat Katolik di Berastagi. Keluarga-keluarga Katolik di Stasi Berastagi awalnya beribadat di sebuah rumah kecil yang kosong yang letaknya di sekitar Pasar Berastagi yang sekarang.
Karena pertambahan umat kemudian rumah itu tidak muat lagi. Mereka mencari tempat yang baru dan mendapatkan tempat peribadatan yang baru yakni sebuah gudang atau garasi bekas peninggalan Belanda di Komplek SMA Negeri 1 Berastagi yang sekarang. Pengurus Gereja Stasi Berastagi pada saat itu yakni, Ketua: Gidion Sigiro; Sekretaris: Marulitua Sianipar dan Bendahara: Lantom Sagala. Tempat ini kemudian diambil-alih oleh orang Tionghoa dan dijadikan sekolah.
Karena sulitnya mendapatkan tempat yang baru, pada tahun 1952 akhirnya mereka pindah ke salah satu bagian dari bangunan rumah suster FSE yang tidak ikut terbakar di kompleks susteran Maranatha. Di tempat ini pernah dilaksanakan permandian untuk 65 orang, paschantes italic 75 orang dan ada katekumen 10 orang. Karena umat merasa tempat di Maranatha terlalu jauh, kemudian Bpk. J. Lantom Sagala memberikan loteng rumahnya untuk dijadikan tempat beribadat. Pada tahun 1958 stasi ini mendapatkan sebidang tanah bekas pembuangan sampah kota Berastagi yaitu pertapakan gereja pertama stasi Berastagi, yang mulai dibangun pada tahun 1962 oleh Bruder Victricius, Humilis dan Bapak Bungaru Ginting.
Pada tanggal 15 Oktober 1967 Uskup Mgr. Ferrius van Hurk memberikan Krisma kepada 257 orang di Berastagi. Ini membuktikan bahwa kehidupan menggereja di Stasi ini sungguh dilandasi nilai militansi dan semangat yang tinggi. Adapun totoh-tokoh awam Gereja Katolik dari Stasi Berastagi yang selain gigih menyemangati mendorong kemajuan kehidupan menggereja baik di stasi Berastagi sendiri maupun yang terjun berevangelisasi ke stasi-stasi untuk menyemangati dan mendorong kemajuan stasi-stasi yang baru dibuka di seputaran rayon Berastagi, di antaranya adalah: Gidion Sigiro, Marulitua Sianipar, J. Lamtom Sagala, J. Liman Sagala, Julius Limbong, Argius Sagala, Ndelmat Tarigan, Saur Simamora, Aleksander Sinaga, Njeno Sinuhaji, Ngerajai Sitepu, Kenek Tarigan, Marsudin Sinaga dan Naman Barus. Dan jejak-jejak mereka kemudian diteruskan oleh Zakaria Sinuhaji dan Manggung Sembiring, Saut Pasaribu.
Pertambahan umat yang pesat menjadikan gereja Berastagi semakin lama semakin tidak memadai lagi dalam menampung jumlah kehadiran warga Katolik yang datang berkumpul merayakan imannya. Beberapa tahun mengadakan kebaktian dengan menambah kursi-kursi di luar gereja sampai ke jalan umum. Di samping itu, dirasakan bahwa pantaslah umat Katolik Berastagi memiliki gereja yang lebih besar karena direncanakan oleh Keuskupan Agung Medan, Berastagi menjadi paroki tersendiri dalam waktu dekat. Paroki Kabanjahe dipandang sudah terlampau luas, memiliki umat yang terbesar di Keuskupan Agung Medan, yakni 39.993 jiwa (statistik tahun 2000).
Tambah lagi bahwa perlu dibangun suatu gereja inkulturatif arsiktektur Karo dan Berastagi dianggap sebagai kota yang paling cocok untuk gereja bernuansa Karo, karena Berastagi adalah kota pariwisata. Pertapakan gereja dan lokasi pastoran seluas 7200m² dibeli dari keluarga Nelang Sembiring (pemilik hotel Bukit Kubu), dan berada di pinggi jalan besar.
Pada tanggal 19 Mei 2001 dilaksanakan peletakan batu pertama gereja inkulturatif oleh Bapak uskup Agung Medan, Mgr Pius Datubara. Arsitek gereja adalah Ir. Henry Lumban Gaol (Unika Medan) dan pemborongnya Bruder Anianus Snik OFMCap, kepala Pusat teknik Katolik Medan (PTK. KAM).
Pada tanggal 20 Februari 2005 gereja inkulturatif Karo di Berastagi diberkati oleh Mgr. Pius Datubara, Uskup Agung Medan, di dampingi Uskup Padang, Mgr Martinus D. Situmorang bersama lebih dari 30 imam, dari dalam dan luar Negeri. Perayaan itu dihadiri oleh ribuan umat dan undangan. Pada akhir Ekaristi Kudus Mgr. Pius Datubara mengumumkan kepada umat bahwa pada hari itu juga tanggal 20 Februari 2005 hadir satu paroki baru di Keuskupan Agung Medan yaitu: Paroki Berastagi dengan pelindung St Fransiskus Assisi.
Berdasarkan catatan sejarah, setelah paroki Tigabinga dimekarkan pada 22 April 1979, setidaknya sejak tahun 1980-an sudah ada pembagian wilayah di Paroki Kabanjahe untuk mempermudah kordinasi pelayanan. Bahkan para pastor juga dibagi tugas menurut wilayah tersebut. Salah satu dari beberapa wilayah itu adalah daerah Berastagi. Stasi-stasi di seputaran Berastagi yang masuk ke wilayah (rayon) Berastagi, paroki Kabanjahe pada masa itu yakni:
1. Ajibuhara;
2. Ajijulu;
3. Barusjahe;
4. Basam;
5. (Induk)Berastagi;
6. Doulu;
7. Gurusinga;
8. Jumapadang;
9. Kubucolia;
10. Merdeka;
11. Paribun;
12. Raya;
13. Rumahrih;
14. Sadaperarih;
15. Sampun;
16. Semangat Gunung;
17. Serdang;
18. Siberteng-Kabung;
19. Sukajulu-Tigajumpa; dan
20. Tanjungbarus.
Pada saat peresmian paroki baru St. Fransiskus Assisi Berastagi, 20 stasi tersebut langsung disahkan menjadi bagian penggembalaan dari paroki Berastagi, yang tersebar di 5 kecamatan, yakni: Kecamatan Berastagi, Merdeka, Dolat Rayat, Tigapanah, dan Barusjahe.
Tahun 2010, dua stasi baru bertambah sebagai pemekaran dari stasi sekitarnya, seperti Stasi Barusjulu dimekarkan dari stasi Tanjung Barus oleh P. Ignatius Simbolon dan stasi Doulu Pasar dimekarkan dari stasi Doulu Kuta dan sebagian umatnya dari wilayah kota Berastagi. Maka sekarang tercatat bahwa paroki Berastagi memiliki 21 gereja stasi dan 1 Gereja Paroki.
Paroki Berastagi mengambil nama St. Fransiskus Assisi menjadi pelindung paroki tentu dengan beberapa alasan. Alasan yang menonjol adalah bahwa dikalangan umat sendiri nama St. Fransiskus Assisi tidak asing bagi mereka. Kemungkinan besar karena, Para Pastor yang melayani di wilayah ini sejak awal hingga saat ini adalah para Pastor dari Ordo Kapusin para pengikut Fransiskus (Ordo Fransiskan Kapusin). Cara hidup dan semangat pelayanan yang mereka tunjukkan tentu sesuai dengan karisma yang ditunjukkan dalam kisah St. Fransiskus sendiri. St. Fransiskus menunjukkan beberapa karisma yang membuat orang sungguh kagum dengan beberapa kisah seperti, kesederhanaan, persaudaraan dan cintanya akan Tuhan melalui doa. Fransiskus juga didedikasikan sebagai orang kudus pelindung segala ciptaan karena dengan cintanya menyebut segala ciptaan sebagai saudaranya termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan. Semangat inilah yang diinginkan umat juga tampak dalam seluruh pelayanan di Paroki St. Fransiskus Assisi Berastagi.
Santo Fransiskus lahir pada tahun 1182 di Kota Asisi ketika ayahnya, Pietro Bernardone sedang berpergian ke Perancis. Ibunya Dona Pica memberi nama permandian baginya Yohanes Pembaptis. Namun setelah ayahnya pulang dari Perancis, maka ia mengubah nama puteranya itu menjadi Francesco (orang Perancis).
Fransiskus pada masa mudanya merupakan seorang pedagang yang berbakat namun ia suka menghamburkan uang ayahnya. Ia sering berkeliaran dan bernyanyi sehingga menimbulkan keributan di Asisi. Pada umur dua puluh tahun, terjadi perang antara Asisi dan Perugia. Fransiskus turut berperang bersama pasukan Asisi untuk menyerang kota Perugia, tetapi Asisi kalah dalam perang itu. Fransiskus tertangkap dan dipenjarakan. Setelah satu tahun meringkuk dalam penjara, maka para tawanan dibebaskan. Fransiskus pulang ke rumah, tetapi tidak lama kemudian ia sakit keras bahkan nyaris meninggal.
Penyakit itu ternyata menjadi sentuhan rahmat Tuhan baginya. Fransiskus tidak berminat lagi untuk berpesta dan berdagang. Ia berusaha untuk mengisi hidupnya dengan lebih baik. Suatu malam Fransiskus bermimpi melihat sebuah benteng besar yang penuh dengan perlengkapan senjata. Dalam mimpi itu dikatakan bahwa benteng tersebut adalah milik Fransiskus dan kawan-kawannya. Fransiskus terbangun dan mengira mendapat ilham yang jelas untuk mengisi hidupnya. Lalu Fransiskus ikut sebagai prajurit dari pihak Paus melawan kaisar Jerman dengan harapan akan dijadikan kesatria nantinya. Ia berangkat ke Apulia, tetapi tidak sampai, sebab di Spoleto Fransiskus yang sedang kena penyakit malaria mendengar suara yang berkata, “ Siapa mengganjar lebih baik, majikan atau hamba; tuan yang kaya untuk orang yang melarat ?” Fransiskus mengerti bahwa apa yang telah ditempuhnya tidak sesuai dengan kehendak Allah. Segera Fransiskus kembali ke Asisi.
Mulai sejak itu, keheningan dan kemiskinan merasuki hati dan jiwanya. Ia mulai bertapa di gunung dan gua. Dalam keheningan, Fransiskus bertemu dengan orang kusta. Sebenarnya ia mau menolong orangorang itu, namun ia membantu mereka dari orang lain karena takut tertular. Akan tetapi, setelah berperang dengan diri sendiri maka ia sendiri membantu mereka dengan memeluk dan mencium mereka. Setelah kejadian itu banyak orang-orang kusta dilayaninya dengan kasih sayang.
Fransiskus tetap merasa tidak puas, karena ia merasa bahwa merawat orang sakit bukanlah panggilannya. Pada suatu kali Fransiskus membawa setumpuk kain wol dari toko ayahnya untuk dijual di Foligno. Ia singgah sebentar di gereja San Damiano untuk berdoa. Ketika sedang berdoa Fransiskus mendengar suara dari salib berkata,”Fransiskus, tidakkah kaulihat bahwa rumah-Ku nyaris roboh? Pergilah dan perbaikilah itu bagi-Ku!” Dalam benak Fransiskus ialah gereja itu sendiri yang harus diperbaiki maka ia segera menjual bawaannya. Seluruh uang yang dibawanya diserahkan kepada pastor paroki untuk keperluan perbaikan gereja dan tinggal di pastoran San Damiano sambil mengemis ke rumah-rumah orang.
Mendengar itu ayahnya tidak senang karena merasa harga dirinya dilecehkan sebagai orang terkemuka, dan hatinya begitu tertusuk. Maka ia mencari, menangkap, memukul dan dengan paksa menyeret Fransiskus ke rumah. Fransiskus dijebloskan ke dalam sebuah kamar yang terkunci rapat dan tidak akan dikeluarkan sebelum bertobat. Namun ibunya membebaskan Fransiskus ketika ayahnya pergi. Tak lama setelah ayahnya kembali, Fransiskus dipanggil ke pengadilan uskup. Uskup memutuskan bahwa Fransiskus harus mengembalikan harta milik ayahnya. Dengan segera Fransiskus meletakkan uang dan menanggalkan pakaiannya di hadapan orang banyak dan meletakkannya di hadapan kaki ayahnya. Sejak itu ia bebas dari ikatan hidupnya masa lalu.
Ketika Fransiskus menghadiri misa, ia menemukan panggilannya tatkala ia mendengar Injil yang berisi tentang wejangan Yesus kepada para rasul yang diutus untuk mewartakan Injil ke mana-mana dengan tidak membawa apa-apa. Seusai misa, ia meminta penjelasan dengan pastor tentang isi Injil dan setelah mendengar penjelasan itu ia berteriak,”Itulah yang kuinginkan dengan segenap hati aku laksanakan!” Lalu Fransiskus mulai memberitakan Injil kepada siapapun dengan tidak membawa apa-apa. Tak lama kemudian datang dua orang yang hendak bergabung dengan Fransiskus. Tetapi Fransiskus tidak tahu harus berbuat apa.
Pada tanggal 16 April 1209 pergilah Fransiskus bersama kedua orang itu yang bernama Bernardus dari Quintavalle dan Petrus Katani ke sebuah gereja dan tiga kali membuka Injil. Kemudian mereka melaksanakan Sabda Allah yang mereka temukan itu dan sejak itu lahirlah Ordo Saudara-saudara Dina Fransiskus, mencatatnya dalam sebuah Anggaran Dasar singkat yang disahkan secara lisan oleh Paus Innocentius III. Fransiskus sebagai pemimpin dan pendiri ordo tersebut menyebut ordonya: “Ordo Saudara-saudara Dina”, sebab saudara hidup sebagai perantau dan pewarta Injil, di bawah satu minister dan hamba seluruh persaudaraan.
Dari waktu ke waktu mereka membicarakan cara hidup mereka dan menimba semangat baru. Cara hidup mereka dilukiskan dalam Anggaran Dasar yang mengikuti perkembangan hidup persaudaraan. Pada tanggal 29 Nopember 1223, Paus Honorius III mengesahkan Anggaran Dasar dengan bulla.
Pada hari minggu Palma datanglah kepada Fransiskus seorang gadis keturunan bangsawan bernama Klara untuk mengikuti jalan yang sama menuju Allah. Fransiskus menerimanya ke dalam persaudaraan dan dalam waktu yang tidak lama banyak wanita termasuk adik dan ibu Klara mengikuti jejak Klara dan persaudaraan ini disebut Ordo Klaris. Beberapa tahun kemudian banyak awam yang sudah berkeluarga mau menggabungkan diri dengan persaudaraan. Fransiskus menerima mereka dalam persaudaraan dan mereka ini disebut Ordo Fransiskan Sekular (OFS).
Menjelang akhir hidupnya, Fransiskus mendapat penglihatan Yesus yang tersalib dengan rupa malaikat serafin ketika berdoa sendirian di hutan. Penglihatan ini menyebabkan kaki, tangan dan lambungnya menampakkan luka-luka Yesus ( stigmata ).
Akhirnya Fransiskus meninggal di Portiunkula pada tanggal 3 Oktober 1226 dan dimakamkan di Asisi. Paus Gregorius IX mengukuhkan Fransiskus sebagai orang kudus. Kekudusannya disebabkan karena kegembiraannya dalam hidup miskin dan dina. Fransiskus juga cinta akan Allah dan sesama serta seluruh ciptaan dan ia menjadi pembaharu dalam Gereja karena setia pada iman Katolik dalam menghayati Injil. Pada saat ini Ordo Saudara-saudara Dina mempunyai tiga cabang, yakni Ordo Konventual, Ordo Fransiskan dan Ordo Kapusin. Ordo-ordo ini berkembang pesat di Eropa, Timur Tengah bahkan sampai ke Asia termasuk Indonesia.