Gereja Katolik Stasi Santo Fidelis Sigmaringen-Sirpang Sigodang pada awalnya bermula di Hutailing. Hutailing adalah nama kampung sekaligus nama jembatan yang menghubungkan Pamatang Raya menuju Kota Pamatang Siantar. Di Hutailing berdiri gereja kecil tahun 1936 yang dihadiri oleh keluarga Marenus Siboro dan Sunding Naidara Inta Br. Sinaga, yang memiliki 4 orang anak. Keluarga ini pindah dari Sibaganding, Sawah Dua. Keempat anaknya dibaptis oleh Pastor Elpidius Van Duijnhoven pada tanggal 23 April 1936 yakni Petrus Jatikar Siboro, Dariana Br. Siboro, Inna Br. Siboro, dan Eli Siboro. Melalui penerimaan Sakramen baptis inilah dimulai adanya Gereja Katolik St. Fidelis Sigmaringen di Stasi Sirpang Sigodang, yang sebelumnya disebut Gereja Katolik Hutailing sekaligus stasi tertua di Paroki St. Stefanus Martir Pamatang Raya.
Pada tahun 1942 dua orang guru bernama Molan Saragih dan Mengkan Saragih datang dari Pamatang Siantar menuju kampung Pangundalian untuk mengajak orang untuk sekolah keguruan di Balige. Lalu mereka bertemu dengan seorang Bapak yang bersedia memberikan anaknya sekolah kesana yang bernama Tormeja Purba (Orangtua RP. Benyamin A.C Purba, OFMCap). Semua keperluan sekolah diurus Oppung Dolog. Setelah mereka lulus dari sana mereka pun diterima bekerja sebagai tenaga pengajar di Pematang Siantar.
Perkembangan stasi ini tidak lepas dari peran dan kehadiran Oppung Dolog yang dengan tekun mengajak orang mengenal Yesus Kristus. Oppung Dolog dikenal sebagai orang yang murah hati dan suka membantu siapa saja yang dia lihat mengalami kesulitan tanpa memandang agama atau suku tutur bapak B F. Sumbayak selaku saksi hidup sejarah Gereja ini. Oppung Dolog giat menyebarkan ajaran agama Katolik dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor besar dan kehadirannya selalu membawa damai. Walaupun banyak penolakan yang diterima karena Oppung Dolog adalah seorang berkebangsaan Belanda namun ia tetap rutin datang ke Pangundalian, Hutailing dan Parsinalihan yang merupakan nama kampung ini sebelum disebut Sirpang Sigodang.
Atas usaha dan semangat pelayanan yang dilakukan oleh Oppung Dolog maka untuk pertama kalinya ada 14 orang umat dari Pangundalian, Parsinalihan dan Hutailing memberikan dirinya dibaptis untuk diterima menjadi Katolik. Kegiatan ibadat mingguan di kampung itu dibuat secara bergilir mulai dari rumah Marenus Siboro selanjutnya di rumah Nongat Saragih. Pada masa ini belum ada lampu listrik di jalan dan di rumah, maka mereka berjalan dengan menggunakan obor. Demikian juga di dalam rumah mereka memakai obor selama peribadatan. Lalu dalam perjalanan waktu mereka memakai sebuah rumah kosong tepatnya gudang koperasi di Pangundalian yang disepakati umat menjadi tempat beribadah.
Pada tahun 1945 umat berhasil mendapatkan tanah gereja di Sirpang Sigodang tepatnya di Kampung Tinggi, namun jaraknya cukup jauh dari jalan besar. Namun selama lima tahun umat masih beribadat di rumah. Pada saat itu stasi masih bergabung ke Paroki Santo Laurentius Jln. Sibolga Pamatang Siantar. Kemudian Oppung Dolog meminta bantuan kepada Bapak Riang Saragih (alm) untuk mendapatkan tanah gereja sekarang ini. Umat pun bergotong-royong membangun gereja. Tahun 1950 dibangunlah gereja dengan ukuran 8m x 10m yang tebuat dari tiang kayu, berdinding tepas bambu, serta beratap ilalang.
Pada tahun 1952 dua orang umat menerima Sakramen Baptis dan pada saat itulah stasi ini bergabung dengan Paroki St. Fransiskus Asisi Saribu Dolog. Pada tahun 1954 jumlah umat menjadi 18 kepala keluarga (KK). Perkembangan gereja tergolong lambat dan menurut penuturan, hal ini karena beberapa alasan yaitu Pastor Oppung Dolog orang Belanda, dan tata bahasa ibadat masih menggunakan bahasa Batak toba.
Pada tahun 1957 jumlah umat bertambah menjadi 48 KK. Melihat perkembangan itu Oppung Dolog berniat untuk mendirikan sebuah Sekolah Rakyat (SR) namun lokasi belajar dilalukan di halaman Gereja. SR ini dibimbing oleh Bapak H. Bonifasius Saragih Sumbayak serta memiliki sekitar 30 orang siswa. Kegiatan hanya berjalan selama 6 bulan, karena pada zaman itu pemerintah mengeluarkan aturan bahwa sebuah sekolah harus memiliki minimal 42 siswa agar sekolah dapat berdiri. Dengan berat hati Oppung Dolog membuat surat permohonan agar para siswa tadi dipindahkan dan diterima di SD Merek Raya.
Tahun 1958 terjadi pemberontakan PPRI/PERMESTA. Peristiwa itu ikut mempengaruhi keadaan masyarakat baik di pusat dan daerah. Namun demikian umat tetap bertambah sampai tahun 1960 jumlah umat sudah 62 KK. Pada tahun 1966 nama kuria Pangundalian Hutailing berubah menjadi Gereja Katolik St. Fidelis Sigmaringen Sirpang Sigodang sekaligus pada hari yang sama empat orang umat dibaptis disana.
Tahun 1968 umat sudah semakin banyak dan keadaan gereja tidak memungkinkan lagi untuk menampung 60 KK. Umat berunding dan berencana membangun gereja dengan mengumpulkan dana melalui hasil panen 10-15 kaleng padi/rumah tangga selama 3 tahun. Panitia pembangunan pada saat itu diketuai oleh Mangkat Purba (alm), Sekretaris Elkana Purba (alm), dan bendahara Nasim Saragih (alm). Pada 1971 mereka berhasil mengumpulkan sejumlah uang yang diperlukan. Pada tahun 1972 dibangunlah gereja semi permanen dengan ukuran 8 m x 14 m. Pada tahun yang sama Oppung Dolog membawa 6 lonceng dari Belanda salah satu lonceng bahkan ada beratnya sampai 500 kg. Nama stasi yang mendapatkan lonceng tersebut adalah Sirpang Sigodang, Purba Saribu, Halaotan, Naga Panei, Huta Tinggir dan Gunung Mariah Panei.
Desember 1973 lonceng gerejapun dipasang beberapa umat datang dan menyaksikan lonceng tersebut didoakan oleh Oppung Dolog, wujud doa “sai tinggil ma pinggolni jolma na manangar sora ni giring-giring on” artinya “semoga melalui suara nyaring lonceng ini didengar oleh orang yang mendengarkan” setelah itu lonceng ditarik 3 x (6 kali bersuara).
Pada saat itu dipilih kepengurusan stasi dimana Ketua Dewan Stasi (Voorhanger) diemban oleh Bapak H. Bonifasius Saragih Sumbayak (1954-1987), Wakil KDS Bapak Pijor Sinaga (+) dan diteruskan oleh Lukkas Saragih, Bendahara oleh Bapak Magel Sinaga (+), dilanjutkan oleh Gaduan Damanik. Salah seorang pengurus gereja diangkat menjadi katekis paroki yaitu Saudin Purba dan menjabat selama tiga tahun.
Dan mulai saat itu banyak kegiatan dilakukan oleh umat seperti penerimaan Sakramen Baptis, Pernikahan, Perayaan Natal.
Tahun 1998 tanah pertapakan gereja diturunkan 2,5 meter agar umat mudah beribadah. Dulu banyak umat berumur 60 tahun sudah tidak ke gereja karena tidak sanggup naik tangga mendaki agar sampai ke gereja. Alasan lain agar kendaraan bisa sampai ke halaman gereja. Dua bulan setelah itu umat mendapat sejumlah bantuan dari Paroki, Keuskupan, dan Donatur. Tahun 1999 dibuat pesta pembangunan untuk menggalang dana. Dana yang terkumpul sekitar 16 juta.
Secara geografis Desa Sirpang Sigodang berlokasi di Jalan Besar Saribudolok, Nagori Simpang Sigodang, Kecamatan Panei Tongah. Sirpang Sigodang adalah sebuah desa yang unik. Sebagian besar masyarakatnya memiliki keterampilan membuat kerajinan menganyam bambu yang dijadikan sebagai keranjang tempat buah jeruk, mangga, dann tomat. Keranjang ini biasa disebut dengan sebutan keranjang kating. Kerajinan ini sudah menjadi warisan dari nenek moyang dan diajarkan dari generasi ke generasi. Tidak heran hampir setiap rumah di kampung ini memproduksi barang yang sama.
Di Sirpang Sigodang juga terdapat dua Gereja yang saling berdampingan yaitu Gereja Katolik St. Fidelis Sigmaringen Sirpang Sigodang dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Sirpang Sigodang. Kedua gereja ini hidup damai dan tentram.
Dari tahun 2000-2001 pembangunan gereja dilakukan kembali dan diubah menjadi bangunan permanen seperti sekarang ini termasuk pembangunan kamar mandi. Keadaan gereja pada tahun 2001 masih polos belum ada bangku umat, asbes gereja juga belum terpasang, lantai masih semen. Menurut penuturan Bapak Janahot Sinaga, para pastor yang berasal dari stasi ini juga ikut berkontribusi membantu seperti, RP. Fransiskus Radiaman Purba, OFMConv. menyumbangkan Keyboard dan speaker gereja, RP. Pio Amran Purba, OFMConv dari Roma (Italia) memberi lukisan St. Fidelis Sigmaringen.
Pada tahun 2011 Paroki St. Stefanus Martir Pematang Raya dimekarkan dari Paroki St. Fransiskus Assisi Saribu Dolog, keaktifan stasi ini tetap dapat dibanggakan. Kegiatan Ibadat mingguan rutin dilaksanakan dan dimulai dari ibadat pagi oleh anak sekolah minggu Katolik (ASMIKA) pukul 08.00 wib, dan dilanjutkan ibadat sabda biasa pukul 10.00 wib. Selain itu perkembangan iman muda-mudi Katolik yang sekarang lebih dikenal Orang Muda Katolik (OMK) cukup membanggakan ibadat rutin seperti Doa dan Ngopi dilaksanakan setiap sabtu malam pukul 20.00 wib. Begitu juga Parsadaan Bapa Katolik (PARBAKAT) yang rutin melaksanakan ibadat setiap senin malam, dan Partuppuan Inang Katolik (PIK) sekali sebulan selalu melaksanakan kegiatan perkumpulan.
Berikut ini nama-nama Ketua Dewan Stasi (KDS) yang pernah menjabat dari tahun 1954- sekarang di Stasi Sirpang Sigodang yaitu H. Bonifasius Saragih (masa jabatan 32 tahun), Abdun Saragih (kurang lebih 5 tahun), lalu selama 2 tahun lamanya sempat dibuat pengganti sementara (Kraketer) oleh Kalam Saragih, Jerman Saragih (3 tahun), Martua Simarmata (6 tahun), Janahot Sinaga (8 tahun), Johan Saragih (5 tahun), dan Agustinus Purba (sekarang). Hingga saat ini jumlah umat di stasi Sirpang Sigodang sudah mencapai 89 keluarga, dengan jumlah jiwa sebanyak 340 orang. Akan tetap melihat usia stasi ini yang sudah berumur 85 tahun pada tahun 2021 ini rasanya perkembangan dan pertumbuhan umat Katolik di kampung ini relatif rendah.
Iman Katolik semakin bertumbuh dan berkembang di stasi ini. Bibit iman yang ditanamkan oleh Oppung Dolog di Sirpang Sigodang kini sudah berbuah manis. Tanda kemanisan buah-buah itu adalah lahirnya panggilan hidup membiara dan menjadi imam dari stasi ini. Ada empat orang imam dan 3 orang biarawati yang terpanggil dari stasi Sirpang Sigodang yaitu
RP. Gindo Gervatius Saragih, OFMConv,
RD. Gundo Franci Saragih, Pr.;
RP. Fransiskus Radiaman Purba, OFMConv.;
RP. Pio Amran Purba, OFM Conv.;
Sr. Luis Malau, KYM
Sr, Iren Purba, HK.
Fr. Fridolinus Sinaga, Pr. dan
Sr. Maria Cristina Situmorang, KYM.