loader image
Sabtu, Mei 10, 2025
Lainnya
    Beranda Blog Halaman 20

    Paroki Balige

    Pelindung

    :

    Santo Yosef

    Buku Paroki

    :

    Sejak 1 Januari 1935. Sebelumnya bergabung dengan Sibolga

    Alamat

    :

    Jl. Tandang Buhit No. 1, Kab. Toba 22313

    Telp./HP/WA

    :

    0632 – 21192 / 0813 9674 4755

    Email

    :

    [email protected] 

    Jumlah Umat

    :

    1.912 KK / 7.700 jiwa (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi

    :

    28

    1. Tarabunga
    2. Tambunan
    3. Lumban Binanga
    4. Hutahaean
    5. Ujung Tanduk
    6. Matio
    7. Silaen
    8. Pintu Batu
    9. Sitorus
    10. Sibalingga
    11. Sianipar
    12. Huta Gurgur
    13. Natolutali
    14. Sigordang
    15. Sibide
    16. Amborgang
    17. Hulahuli
    18. Janji Matogu
    19. Lumban Manurung
    20. Lumban Sitorus
    21. Narumonda
    22. Pangasean
    23. Pardomuan
    24. Paritohan
    25. Sibuntuon
    26. Sigaol
    27. Sihubakhubak
    28. Siregar
     
     

    RP. Cypriano Barasa OFMCap

    23.02.'76

    Parochus

    RP. Hotraja Purba OFMCap

    22.04.’88

    Vikaris Parokial

         

    Sejarah Paroki St. Yosef | Balige

    I. Titik Awal Misi hingga Dekade 50-an (klik untuk membaca)
    1.1 Titik Awal Misi di Balige

    Deretan Bukit Barisan berdiri di sekeliling lembah hijau yang luas. Sebuah danau terbentang kebiruan terbentang di depannya. Kedua bentang alam ini membentuk Kawasan Danau Toba. Bentang alam yang telah melestarikan kehidupan orang-orang yang tinggal di dalamnya diturunkan dalam tradisi unik selama berabad-abad. Batak Toba adalah salah satu sub-etnis yang mendiami kawasan Danau Toba. Salah satu pusat kebudayaan masyarakat Batak Toba adalah Balige.

    Sejarah berdirinya paroki St. Yosef Balige pada hakikatnya adalah sejarah masuknya agama Katolik ke Tanah Batak itu sendiri. Sejarah ini dimulai pada 12 Agustus 1933, ketika Prefektur Apostolik di Medan (1921 – 1954), Mgr. Mathias Brans, OFM Cap berhasil mendapatkan izin untuk melakukan misi Katolik ke Tanah Batak (Batak Landen) dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dengan demikian, terbukalah pintu misi Katolik di Tanah Batak yang sebelumnya terhalang oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang melarang praktik zending ganda . Pada tanggal 8 Februari 1934, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengutus seorang pastor untuk menetap di Balige. Pastor ini adalah Pastor Sybrandus van Rossum, seorang imam Kapusin berusia 30 tahun. Ketika Sybrandus van Rossum tiba di Balige pada tanggal 5 Desember 1934, Tanah Batak resmi menjadi daerah misi Katolik. Hari itu menandai titik awal keberadaan Gereja Katolik di Balige.

    Pastor Sybrandus van Rossum memilih Balige sebagai pos misi karena dua alasan. Alasan pertama adalah karena lokasi geografis yang merupakan pusat dan memiliki penduduk yang lebih padat dibandingkan daerah lain di Tanah Batak. Kedua, Nommensen telah memilih Tarutung sebagai pusat zending, sehingga Balige tetap membuka peluang bagi karya misionaris Katolik. Dengan keluwesan dan keterbukaannya dalam berkomunikasi, Sybrandus van Rossum mudah dan cepat untuk berhubungan dengan banyak orang.

    Memang, sejak awal Mgr. Brans telah berpesan kepada van Rossum untuk menjalin kontak dengan sebanyak mungkin orang, baik siang maupun malam.

    Perjumpaan Sybrandus van Rossum dengan masyarakat sekitar di tepi Danau Toba merupakan perjumpaan yang secara jenaka terekam dalam berbagai naskah, di mana dua orang nelayan yang sedang berlayar di danau itu terkejut melihat sosok orang asing menyapa mereka di tengah danau malam hari itu. Ternyata pertemuan itu sungguh bersejarah, karena dua nelayan itu, satu Protestan dan lainnya Parmalim, menjadi simbol pertemuan antara seorang Katolik dan dua kelompok besar masyarakat Batak saat itu.

    Sejak malam itu ratusan hingga ribuan orang telah datang kepada Sybrandus van Rossum di gubuknya di tepi danau untuk bertanya, berdiskusi, atau meminta bantuannya karena mereka percaya para misionaris datang untuk membawa kemajuan bagi peradaban mereka.Setelah itu, banyak orang mulai tertarik padanya sehingga mereka berbondong-bondong dari desa-desa sekitar Balige untuk menemuinya. Tujuan utama kedatangan mereka adalah untuk meminta agar sekolah segera dibuka. Pastor Sybrandus van Rossum melihat lebih dalam permintaan mereka dengan mengirim orang lain ke desa untuk melihat situasi sebenarnya. Jika ada prospek yang menjanjikan, mereka mulai dibimbing untuk mempelajari katekismus Katolik di rumah. Jika pembelajaran berjalan lancar, akan diupayakan untuk mendirikan tempat berkumpul sederhana, yang nantinya dapat digunakan sebagai gedung sekolah sekaligus gereja.

    Melihat perkembangan misi yang menjanjikan di Tanah Batak, maka untuk memperkuat jumlah personel, kepala misi Kapusin mengirimkan Pastor Diego van den Bigelaar, OFM Cap untuk ditempatkan di Balige. Pada tanggal 8 Januari 1935, Diego van den Bigelaar tiba dari Belanda ke Belawan.

    Pada tanggal 12 Januari 1935, Sybrandus van Rossum membaptis satu orang di Sigompulon Pahae , pada tanggal 10 Februari 1935 satu orang di Hutabarat, Tarutung dan satu orang di Lumbanpea Balige. Sementara itu, pada 27 Februari 1935, sekitar 50 orang datang secara rutin ke gereja. Tempat peribadatan di Tambunan Lumbanpea dilaksanakan di rumah salah satu anggota, yakni Ompu Hobul Tambunan. Sedangkan tempat peribadatan di Balige adalah Rumah Pertukangan Toba yang berada di tepi Danau Toba—yaitu rumah yang disewa oleh Pastor Sybrandus van Rossun.

    Baptisan massal pertama di Balige berlangsung pada tanggal 16 Mei 1935 di Lumbanpea Tambunan Balige, total 26 orang yang dibaptis. Setelah setengah tahun, tercatat ada sekitar 600 orangyang dibaptis di Balige dan ada sekitar 3200 katekumen. Yang dipermandikan kebanyakan anak-anak. Hal ini terjadi karena ada kebijakan misi yang mengharuskan orang dewasa untuk belajar lebih lama, sehingga anak-anak mereka dibaptis terlebih dahulu.

    Keinginan menjadi anggota Gereja Katolik tidak hanya datang dari desa-desa sekitar Balige tetapi juga dari masyarakat yang tinggal di Samosir, Humbang Hasundutan dan Silindung. Mereka memohon kepada pastor untuk datang ke sana juga. Atas permintaan tersebut, pada pertengahan Mei 1935, van Rossum untuk pertama kalinya menyeberang ke Pulau Samosir dan membuka stasi, yang dalam bahasa Batak Toba disebut huria pagaran.

    Menurut catatan Vikaris Apostolik Medan, pada Juli 1935, delapan stasi telah berdiri di sekitaran Balige. Kedelapan stasi tersebut adalah: 1. Stasi Tambunan, 2. Stasi Pintu Batu, 3. Stasi Lumban Manurung, 4. Stasi Lumban Sitorus, 5. Stasi Sibuntuon—lima stasi ini masih aktif sampai sekarang, dan tiga lagi sudah tutup, yaitu 1. Stasi Sitoluama, 2. Stasi Hauanatas, 3. Stasi Pardinggaran. Pada akhir tahun 1935, ada 3 imam yang menetap di Balige, antaralain: Pastor Sybrandus van Rossum OFM Cap, Pastor Diego van de Bigelaar OFM Cap dan Pastor Procopius Handgraaf OFM Cap.

    Pada tanggal 29 Oktober 1935, Misi Katolik membeli sebidang tanah milik Marinus Simanjuntak yang berada di pinggir jalan raya menuju Tarutung (sekarang Jalan Lintas Sumatera) yang di atasnya terdapat gedung bioskop, rumah dan gudang beras yang besar. Kemudian, gedung itu direnovasi menjadi gereja, pastoran dan sekolah . Tanah dan bangunan ini diberkati dan diresmikan oleh Mgr. Mathias Brans, OFM Cap pada tahun 1936 dengan nama pelindung St. Yosef.

    Melihat semakin bertambahnya jumlah anggota gereja Katolik di Tanah Batak, khususnya di daerah Samosir, pada tanggal 27 Januari 1936 Mgr. Brans menugaskan Pastor Diego van de Bigelaar sebagai imam yang khusus melayani di daerah Samosir. Sejak itu, ia mengintensifkan kunjungannya ke orang-orang di Samosir dan mulai tinggal di sana. Pada tanggal 15 April 1936, Bruder Archarius Rentinck, OFM Cap tiba di Belawan dan langsung ditempatkan di Balige sebagai tenaga ahli konstruksi untuk menangani semua gedung misi di Tanah Batak. Kemudian, ia segera mendirikan pusat pertukangan di tepi Danau Toba.

    Pada akhir November 1936, lima imam tiba di Belawan sebagai misionaris baru. Tiga di antaranya ditempatkan di Balige, yaitu: Pastor Dagobertus Sinnema OFM Cap, Pastor Lukas Randers OFM Cap dan Pastor Oscar Nuijten OFM Cap. Dalam laporan akhir tahun 1936, tercatat ada 5 imam dan 1 bruder yang tinggal di Pastoran Balige dan 37 lokasi huria pagaran, yang juga terletak di wilayah Lintongnihuta, Doloksanggul dan Tarutung.

    Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 8 Oktober 1937 dibukalah Paroki Sibuntuon Bagasan dan Pastor Sybrandus van Rossum ditugaskan untuk melayani paroki tersebut. Dengan demikian, tugasnya di Balige digantikan oleh Pastor Marinus Spanjers OFM Cap.

    1.2 Pendudukan Jepang Hingga Awal Kemerdekaan

    Misi Katolik tentu dipengaruhi oleh situasi politik. Pada tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Ketika kekuasaan diambil alih oleh Jepang, orang-orang Belanda yang masih berada di Indonesia ditawan oleh tentara Jepang, termasuk juga para pastor yang bermarkas di Tanah Batak.

    Karena semua orang Belanda akan diasingkan, para misionaris mulai berpikir tentang bagaimana melayani orang-orang ketika mereka diasingkan. Pada suatu kesempatan, mereka mengadakan pertemuan untuk menunjuk sejumlah katekis, pemimpin jemaat selama misionaris berada di kamp-kamp tahanan Jepang. Langkah ini diambil karena umat Katolik pada waktu itu masih tergolong baru, bahkan sebagian besar masih katekumen.

    Untuk memudahkan koordinasi para katekis, atas usul Pastor Marinus van den Acker pada bulan Juli 1942 para katekis dikumpulkan di Balige untuk membentuk Badan Pimpinan Dewan Misi Darurat Katolik Wilayah Tapanuli. Badan ini bertujuan untuk membahas berbagai masalah yang terjadi di pelayanan, terutama masalah antar umat.

    Setelah badan ini terbentuk, Bonifacius Panggabaean diangkat sebagai ketua. Dalam pelayanan, katekis terkadang mengalami permasalahan dalam keorganisasian. Meskipun demikian, patut dibanggakan bahwa sebagian besar umat masih tetap semangat dan bertahan dalam kehidupan imannya, meskipun ada juga yang kurang semangat bahkan meninggalkan iman katoliknya. Beberapa katekis yang telah bertahun-tahun mengabdi dalam pelayanan bagi umat antara lain: Johannes Chrisostomus Calvin Tampubolon, JIA Situmorang, Bonifacius Panggabean, C Siagian, JM Samosir, R Pardede, J Sinaga, W Simangunsong dan S Silaban.

    Para katekis ini banyak mengambil alih tugas pelayanan imam seperti mengajar, membabtis, bahkan memberi pemberkatan perkawinan.

    Pada bulan Agustus 1945, tentara Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu dan harus kembali ke tanah airnya. Tiga hari setelah Jepang menyerah, rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Orang Belanda yang menjadi tawanan Jepang dibebaskan termasuk para misionaris, tetapi tidak diizinkan untuk melayani umat. Sehingga katekis harus berusaha lebih keras dalam melayani umat.

    Karena misionaris sudah tidak diperbolehkan lagi melayani umat, Mgr. Brans mendatangkan seorang imam pribumi dari Keuskupan Agung Semarang yaitu Romo Stanislaus Sutapanitra SJ untuk mengabdi di Tanah Batak pada tahun 1948. Imam itu hanya bertugas selama 3,5 bulan di Tanah Batak karena ia kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Kemudian pada bulan Agustus 1948, seorang imam baru didatangkan lagi, yaitu Agustinus Poedjahandaja, seorang imam diosesan dari Keuskupan Agung Semarang dan bertugas di Balige sampai Maret 1949.

    1.3 Babak Baru untuk Misi

    Selama tahun 1950-an situasi secara bertahap mulai membaik. Babak baru dalam sejarah misi sedang terjadi. Para misionaris mulai kembali bekerja secara teratur dan jumlah umat paroki terus bertambah. Peningkatan jumlah umat yang luar biasa itu bukan semata-mata karena pewartaan para imam, tetapi karena pewartaan umat sendiri.

    Melihat pesatnya perkembangan jumlah umat dan jarak antar stasi yang relatif jauh dari paroki, maka diusulkan untuk membuka sejumlah paroki baru. Usulan ini ditanggapi secara positif dan didukung penuh oleh Vikariat Apostolik. Maka pada tahun 1951 didirikan Paroki Doloksanggul yang merupakan anak dari Paroki Lintongnihuta dan Balige. Setahun kemudian, Paroki Parsoburan yang merupakan anak dari Paroki Balige didirikan . Pada tanggal 1 Agustus 1957, didirikanlah Paroki Tarutung yang juga merupakan anak dari Paroki Balige. Pendirian paroki-paroki baru ini berdampak besar pada pertumbuhan jumlah orang Batak yang memeluk agama Katolik karena pelayanannya semakin intensif.

    Dalam perkembangan selanjutnya, Paroki Sibuntuon Bagasan digabung kembali dengan Paroki Balige.

    Pada perkembangan selanjutnya sejumlah stasi yang telah didirikan, namun pada akhirnya harus dihentikan karena jumlah orang yang semakin berkurang. Pasalnya, sebagian besar penduduknya bermigrasi ke tempat lain atau berpindah agama. Sejumlah stasi yang akhirnya harus ditutup adalah Stasi Sitoluama, Stasi Pardinggaran, Stasi Haunatas, Stasi Barimbing, dan Stasi Meat.

    Selain pembukaan paroki baru, kehadiran tarekat hidup bakti—suster dan bruder—di paroki sangat mempengaruhi pelayanan iman umat. Suster-suster Kongregasi FCJM membuka komunitas di Balige pada tanggal 30 Mei 1938. Mulanya mereka mengadakan pelayanan kesehatan keliling dan membuka poliklinik di sekitar Balige. Kemudian pada tahun 1953, mereka mendirikan Sekolah Kejuruan Puteri (SKP).

    Frater CMM membuka komunitas di Balige sejak 31 Agustus 1950. Mereka mendirikan SMP Budi Dharma tahun 1950, Sekolah Keguruan (SGA) tahun 1953 dan SMA Bintang Timur Balige tahun 1956. Selain itu, para suster FCJM juga mengelola asrama putri dan para Frater SMM mengelola asrama putra. Asrama ini untuk menyediakan akomodasi bagi siswa sekolah tersebut yang tinggal jauh dari Balige.

    II. Masuknya Kongregasi FCJM & CMM
    2.1 Kongregasi FCJM

    Dalam rangka meningkatkan dukungan bagi misi di Balige, pada bulan Februari 1934 Mgr. Brans mengunjungi biara Suster FCJM di Tanjung Balai untuk meminta para Suster FCJM membuka karya misi di Balige. Karena permintaan tersebut sesuai dengan visi kongregasi “Menjadi Saksi Cinta Hati Kudus Yesus dan Hati Kudus Maria”, maka pimpinan Suster FCJM menjawab kebutuhan Mgr. Brans.

    Pada tanggal 2 November 1936, Sr. M. Veronica Hartog dan Sr. M. Cypriana de Vogel tiba di Balige untuk memulai komunitas di Balige. Hal pertama yang mereka lakukan adalah belajar bahasa Batak. Selanjutnya mereka mencari rumah yang cocok untuk para suster. Pada tanggal 11 Desember 1937 Suster Magdala dan Sr. M. Cypriana ditugaskan untuk menjelajahi Balige. Pastor Spanyers membantu kedua Suster itu menemukan sebuah rumah. Tidak jauh dari pusat pasar Balige yaitu di Sangkarnihuta terdapat dua buah rumah batu yang indah yang saling berdekatan dengan taman luas yang bisa disewa. Maka pada awal tahun 1938 Muder M. Renata meminta Pastor Spayer untuk membuat kontrak dengan pemilik rumah sebelum 1 Mei 1938. Hal ini sesuai dengan kesepakatan bahwa para suster akan memulai pelayanannya di Balige pada tanggal 30 Mei 1938.

    Tanggal 30 Mei 1938 adalah hari dimulainya pemekaran komunitas dan karya FCJM di daerah misi di Tanah Batak. Di awal pekerjaannya, para suster membuat jadwal pelayanan kesehatan di sekitar Balige untuk menyembuhkan penyakit yang diderita banyak orang seperti disentri, malaria, cacing tambang, luka, dan kudis karena kebersihan yang kurang. Menggunakan fasilitas perawatan keliling, mereka mengunjungi stasi selama tiga hari dalam seminggu. Rata-rata jumlah pasien adalah 80-100 orang per kunjungan.

    Pada tahun 1942 Jepang menduduki Balige. Awalnya Jepang menginginkan rumah suster menjadi tempat tinggal mereka, tetapi berkat pengaruh keempat suster Jerman, rencana ini digagalkan. Oleh Jepang, rumah suster itu lantas ditunjuk sebagai lokasi rumah tawanan. Pastor van den Acker termasuk di antara mereka yang ditahan di rumah biarawati itu.Kesempatan ini menghibur para suster karena setiap hari mereka bisa menghadiri misa kudus.

    Tiga Imam dan seorang Bruder ditambah sembilan Suster ditahan di rumah Suster bersama dengan 50 orang Belanda lainnya. Pada bulan November 1942 semua suster Belanda harus ditahan di Medan dan meninggalkan Balige. Pada tahun 1943 rumah suster SCMM di Sibolga diduduki tentara Jepang, sehingga tiga suster SCMM bergabung dengan suster FCJM di Balige.

    Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, para suster yang ditawan oleh Jepang dibebaskan. Namun karena suasana berubah karena euforia kaum pribumi yang menikmati kemerdekaannya yang diwujudkan dalam sentimen anti asing, pada tanggal 20 Desember 1945, para suster di Balige menerima surat dari Pastor van den Acker yang menyarankan agar mereka segera meninggalkan Balige dan pergi ke Medan demi keselamatan.

    Pada tanggal 16 Mei 1951, dua suster perintis yang berani, Sr. M. Aleyda Bot dan Sr. M. Paauw datang lagi ke Balige untuk mempersiapkan diri dan memulai kembali pembenahan komunitas. Pada awal tahun ajaran 1951 di Komunitas Balige para suster dihadapkan pada kegiatan baru. Pada tahun 1953, SMP putri dibuka namun tidak dilanjutkan dan diganti dengan Sekolah Kepandaian Putri (SKP).

    Pada tanggal 15 Mei 1954, rumah suster dan pusat kesehatan dipindahkan dari Sangkarnihuta ke Pardede Onan (lokasi sekarang). Bangunan poliklinik lama kemudian digunakan untuk pelatihan postulan dan novis, sehingga jumlah suster bertambah. Pada tahun 1955 pembangunan rumah baru di Pardede Onan dimulai. Meski tidak semuanya selesai, namun pada 3 Juni 1956 diadakan pemindahan besar-besaran. 

    Sejak tahun 1989, karya pendidikan yang dikelola oleh para suster yang bertahan hingga saat ini adalah TK Assisi dan SD San Francesco. Para suster juga bekerja dalam pelayananlain: di poliklinik, di sekolah-sekolah yayasan keuskupan, dan di asrama putri St. Katarina untuk siswa sekolah menengah pertama dan atas. Selain itu, para suster juga aktif dalam bidang pastoral di paroki.

    2.2 Kongregasi CMM

    Pasca kemerdekaan, seiring dengan dimulainya babak baru misi di Balige, Mgr. Brans memandang perlu juga upaya memperkuat kerja misi pendidikan. Untuk itu, Mgr. Brans mengundang Kongregasi CMM untuk bekerja. Undangan ini mendapat respon positif dari Kongregasi CMM. Komunitas Frater CMM di Balige didirikan pada tanggal 31 Agustus 1950. Awalnya, hanya ada dua frater yang bekerja, yaitu: Frater Rudolf Ouddekken dan Frater Cyprianus de Beek, yang kemudian meninggal pada tanggal 23 September 1951.

    Kiprah CMM dimulai dengan mendirikan SMP, kemudian dilanjutkan dengan membuka SGA pada tahun 1952. Hingga tahun 1991, sekolah ini menghasilkan ratusan guru yang kemudian mengajar di sekolah dasar Katolik dan sekolah umum. Awalnya Frater tinggal di dekat gereja Katolik, dan pada tahun 1955 Frater pindah ke Soposurung, di mana gedung SMP dan SGA selesai dibangun.

    Di Soposurung, para frater mendapat rumah dari seorang dokter yang pernah bekerja di Balige sebelum Perang Dunia II, dan rumah ini masih dihuni para frater sampai saat ini. Saat mereka pertama kali pindah ke Soposurung waktu itu, jumlah frater ada enam orang. Dari tahun 1956 sampai 1970-an dibuka novisiat di Balige untuk calon frater dari Sumatera.

    Namun panggilan untuk wilayah Sumatera tidak terlalu berkembang, sehingga pada tahun 1970, novisiat Frater CMM Balige ditutup.

    Saat itu ada 4 frater Indonesia yang tinggal di Balige, yaitu Frater Fransiskus Simbolon, Frater Paulus Edja, Frater Albert Fau, dan Frater Martinus Waoma. Belakangan, Frater Fransiskus Simbolon dan Frater Martinus Waoma meninggalkan kongregasi. Frater Paul Edja dan Frater Albert Fau tetap berada di komunitas sampai meninggal.

    Karena jumlah frater di Sumatera sangat minim, sedangkan pekerjaan pendidikan, asrama, pembinaan kepemudaan, dan sebagainya membutuhkan banyak tenaga kerja, maka pada tahun 1982 tiga frater dari wilayah Maluku - Sulawesi diutus untuk membantu frater di Balige. Mereka adalah Frater Harold de Lange, Frater Pieter Janvan Lierop, dan Frater Herman Mandagi.

    Sampai saat ini Frater CMM masih berkarya di Paroki Santo Yosef Balige. Saudara-saudara bekerja di sekoalh (SMP dan SMA), asrama Budhi Dharma, SMA BTB, minishop dan pastoral. Biara Frater maish tetap di Soposurung dan saat ini ada 8 frater yang berada di komunitas Balige.

    III. Perkembangan Terkini
    3.1 Situasi Demografis 

    Pusat Paroki St. Yosef, Balige terletak di jantung Kota Balige yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Toba. Lokasi ini tepatnya di Jalan Tandang Buhit Nomor 1, Desa Pardede Onan, Kecamatan Balige. Bangunan gereja paroki menghadap ke Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) dan di belakang terdapat pastoran dan bersebelahan dengan biara Suster FCJM.

    Paroki St. Yosef, Balige terdiri dari satu gereja paroki dan 28 gereja stasi yang tersebar di wilayah Kabupaten Toba. Paroki ini terbagi menjadi 4 Rayon, yaitu: Rayon Balige yang terdiri dari 15 lingkungan, Rayon Laguboti terdiri dari 6 stasi, Rayon Porsea terdiri dari 13 stasi, dan Rayon Silaen terdiri dari 9 stasi.

    Pembagian rayon pada awalnya ditujukan ke wilayah kecamatan yang berkesempatan bertemu bersama di hari pekan (dalam bahasa Batak Toba disebut onan). Pada akhir pekan, pengurus gereja menjadwalkan sermon untuk setiap stasi di wilayah tertentu, misalnya onan Balige untuk kecamatan Balige dan Laguboti pada hari Jumat, onan Porsea untuk kecamatan Porsea dan Silaen pada hari Rabu.

    Seiring dengan pemekaran Kabupaten Toba, Rayon Laguboti saat ini meliputi Kecamatan Laguboti, Balige dan Tampahan. Rayon Porsea meliputi kecamatan Porsea, Bonatua Lunasi dan Parmaksian. Sedangkan Rayon Silaen masih hanya mencakup Kecamatan Silaen.

    Secara geografis, Paroki St. Yosef Balige berbatasan dengan Paroki St. Fidelis Parapat di sebelah Utara. Sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Paroki St. Christophorus Siborongborong. Sebelah Timur berbatasan dengan Paroki St. Yosef Parsoburan.

    Pada awal berdirinya paroki ini, umat Katolik sebagian besar memiliki mata pencaharian petani tradisional dalam masyarakat agraris. Semakin berkembangnya daerah, semakin banyak pula umat bermata pencaharian lain seperti pedagang, pegawai/guru, dan sebagai buruh pabrik sarung dan ulos (tenun).

    Kawasan Balige telah lama dikenal sebagai kawasan pendidikan yang berpusat di Soposurung. Hingga saat ini, perkembangan Balige sebagai pusat pendidikan masih terus berlangsung. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya berbagai sekolah di daerah tersebut, misalnya SMP, SMA/ SMK dan Perguruan Tinggi. Selain kota pendidikan, Kota Balige juga dikenal sebagai kota industri tenun (ulos/sarung).

    Dengan kondisi ekonomi seperti ini, banyak orang datang ke Balige untuk mengenyam pendidikan atau bekerja sebagai guru, pedagang atau pegawai swasta. Sementara itu, banyak putra dan putri asli Balige pergi ke luar daerah/ luar negeri untuk melanjutkan pendidikan dan mencari penghidupan yang lebih baik. Dengan kondisi tersebut, perkembangan umat Katolik di Balige kini lebih didominasi oleh pendatang, dan hal ini semakin didukung dengan pemekaran pemerintah Kabupaten Toba dengan Balige sebagai ibukotanya, sehingga saat ini masyarakat yang berstatus antara pegawai atau guru mulai berimbang dengan petani dan kemudian karyawan.

    Sesuai dengan konteks demografi, maka salah satu adalah mengakomodasi tradisi dan budaya lokal dalam kegiatan-kegiatan liturgi, contohnya menginkulturasi Pesta Gotilon dalam misa khusus untuk ucapan syukur atas panen. Selain itu bentuk inkulturasi budaya juga diungkapkan lewat pemakaian alat-alat musik dan tarian tradisional Batak dalam perayaan-perayaan ekaristi khusus seperti pada Pesta Kristus Raja dan ulang tahun paroki atau stasi.

    Sebagai bagian dari kegiatan pelayanan pastoral, sejak tahun 1981 Paroki Balige mendirikan Credit Union Harapan Baru (CU-HB) yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan ketahanan ekonomi umat paroki. Umat paroki didorong untuk menjadi anggota CU-HB yang merupakan lembaga keuangan mikro yang melayani peminjaman modal usaha bagi anggotanya.

    Akses terhadap modal usaha ini sangat penting bagi umat paroki, khususnya yang bermata pencaharian sebagai petani. Saat ini CU-HB telah berkembang dan memiliki anggota sebanyak 1.831 orang.

    3.1 Situasi Pastoral

    Saat ini, Paroki St. Yosef Balige masuk ke dalam wilayah Vikarat Episkopal Doloksanggul dengan Pastor Ambrosius Nainggolan, OFMCap sebagai Vikaris Episkopal. Reksa pastoral di Paroki St. Yosef Balige sejak berdiri sampai sekarang dilakukan oleh para imam Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap). Saat ini Pastor Paroki adalah Pastor Monaldus Banjarnahor, OFMCap. Adapun imam-imam yang pernah mengabdi di Paroki St. Yoseph Balige secara Kronologis adalah sebagai berikut (semuanya dari ordo Kapusin kecuali disebutkan lain):

    1934 – 1946

    P. Sybrandus van Rossum
    P. Diego van den Biggelaar
    P. Procopius Handgraaf
    P. Marianus van den Acker
    P. Oscar Nuyten
    P. Lucas Raenders
    P. Anacletus Snyders
    P. Radboud Waterius

    P. Marians Spanipers
    P. Werenfridus Joosen
    P. Panduamus Kromeer
    P. Bernard van den Laar
    P. Jenniskers
    P. Ubaldus Esser
    P. Ausfriden Liefri

    1946 – 1970

    P. Pudjahandoyo (Pr-KAS)
    P. Sutapanitra (SJ)
    P. Beatus Jennikers
    P. Marianus van den Acker
    P. Oktavianus van den Klaar
    P. Nilus Weigmans
    P. Isodorus Woestenberg
    P. Godhard Liebreks

    P. Rocklus Rensens
    P. Isaias Krool
    P. Theodorus van Eyk
    P. Pancratius van Mechelen
    P. Straalen
    P. Remigius Bleijs
    P. Pius Datubara
    P. Wiro van Diemen

    1970 – 1980

    P. Asterius van Reen
    P. Johannes Simamora
    P. Elias Sembiring
    P. Hubertus Tamba

    P. Krool
    P. Leo Sipahutar
    P. Alfonsus Simatupang
    P. Thadeus

    1980 – 1999

    P. Dominikus Situmorang
    P. Justinus Tinambunan
    P. Anselmus Sihaloho
    P. Honorius Sihaloho
    P. Gabriel L. Tobing
    P. Asterius van Reen

    P. Bonifasius Simanullang
    P. Samuel Oton Sidin
    P. Marcelinus Manalu
    P. Carolus Sembiring
    P. Albinus Ginting
    P. Crispinus Silalahi

    2000 – 2002

    P.Thomas Sinabariba
    P. Hyginus Silaen

    P. Hugolinus Malau
    P. Fridolinus Simanjorang

    2000 – 2002

    P.Thomas Sinabariba
    P. Hyginus Silaen

    P. Hugolinus Malau
    P. Fridolinus Simanjorang

    2002 – 2004

    P. Markus Manurung
    P. Yosafat Ivo Sinaga

    P. Damianus Gultom

    2004 – 2006

    P. Louis Uran
    P. Yosafat Ivo Sinaga

    P. Damianus Gultom

    2006 – 2007

    P. Yosafat Ivo Sinaga
    P. Damianus Gultom

    P. Liberius Sihombing

    2007 – 2012

    P. Angelo Purba
    P. Arie van Diemen

    P. Ivan Siallagan
    P. Fransiskus Manullang

    2012 – 2018

    P. Leopold Purba
    P. Romualdus Limbong

    P. Eno Samosir
    P. Petrus Sinaga

    2018

    P. Ambrosius Nainggolan

    P. Petrus Sinaga

    2019 - 2022

    P. Monaldus Banjarnahor
    P. Petrus Sinaga

    P. Hotraja Purba

    3.1 Tata Kelola Administratif

    Sejak berdirinya Gereja Katolik Santo Yosef Balige, pencatatan administrasi secara konsisten dilakukan untuk kelengkapan pendataan. Catatan terdiri dari Pembaptisan, Penguatan, Komuni Pertama, Pernikahan, Pengurapan Orang Sakit, dan Kematian. Hal ini terlihat dari ketersediaan arsip pada saat dibutuhkan oleh pengurus paroki dan stasi jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

    Di bagian Liber Baptis, pendaftaran dimulai dari tahun 1935 hingga sekarang, pada tahun 2022. Hingga tahun 2022, paroki ini memiliki 12 Liber Baptist dengan rincian sebagai berikut: Liber Baptist I (1935-1940), Liber Baptist II (1940-1946), Liber Baptist Baptis III (1947-1966), Liber Baptist IV (1966-1980), Liber Baptist Va (1981-1986), Liber Baptist Vb (1986-1993), Liber Baptist Vc (1993-1995), Liber Baptist VI (1995- 2002), Liber Baptist VII (2002-2007), Liber Baptist VIII (2007-2014), Liber Baptist IX (2014-2020), Liber Baptist X (2020 hingga sekarang).

    Buku-buku baptisan ada dan konsisten dalam penomoran dan penulisan buku. Namun buku-buku lama masih menggunakan ejaan lama. Sedangkan yang baru telah ditulis sesuai dengan standar ejaan Indonesia (EYD) saat ini. Saat ini, pencatatan komputerisasi sedang berlangsung. Selanjutnya, buku baptisan, komuni pertama, krisma, pernikahan dan buku kematian harus berhubungan satu sama lain. Basis data untuk tiap buku sudah tertata dengan baik, namun perlu konsistensi dalam pencatatan. Catatan bahwa di semua stasi masih belum ada buku pencatatan baptis.

    Buku Sakramen Perkawinan tercatat dalam 6 bagian, antara lain: Buku Sakramen Perkawinan I (1935-1972), Buku Sakramen Perkawinan II (1972-1984), Buku Sakramen Perkawinan III (1984-2002), Buku Sakramen Perkawinan IV (2002-2012). 2011), Buku Sakramen Perkawinan V (2011-2018), Buku Sakramen Perkawinan VI (2018 sampai sekarang). Dari data tersebut, penerimaan Sakramen Perkawinan terbanyak dilaksanakan pada tahun 2007 sebanyak 112 pasangan.

    Berkas penyelidikan Kanonik berasal dari tahun 1948 hingga hari ini. Hal-hal yang berkaitan dengan berkas ini belum sepenuhnya tuntas, terutama pada awal berdirinya paroki ini dan baru selesai dalam 20 tahun terakhir. File ini tersimpan dengan baik dan rapi.

    Pada bagian pencatatan Buku Penguatan, paroki telah mencatat secara rinci dari tahun 1935 sampai sekarang. Hal ini tertuang dalam beberapa bagian Buku Krisma, antara lain: Buku Krisma I dan IA (1935-1983), Buku Krisma II (1993-2018), Buku Krisma III (2018 - sekarang). Di dalam buku itu terlihat jelas jumlah orang yang menerima Sakramen Penguatan dari tahun ke tahun. Antara tahun 1984 dan 1992, tidak ada penerimaan Sakramen Penguatan di paroki.

    Proses pencatatan orang yang menerima Komuni Pertama di paroki baru ada sejak tahun 2000. Sebelumnya, tidak ada data orang yang menerima Komuni Pertama. Dengan demikian, diharapkan lebih banyak perhatian diberikan pada pencatatan di masa depan.

    Secara keseluruhan, buku untuk pencatatan Komuni Pertama dalam kondisi baik dan pada umumnya memperlihatkan konsistensi penulisan dan penomoran. Meski demikian, masih terdapat ketidakkonsistenan dalam pencatatan di sebagian kecilnya.

    3.2 Statistik Umat

    Saat ini pengumpulan data statistik lengkap sedang berlangsung. Pengelolaan data dilakukan dalam sebuah database yang disebut Basis Integrasi Data Umat Keuskupan (BIDUK). Untuk sementara, database ini berisi entri dari 7.489 jiwa umat paroki. Rentang usia umat yang tercatat di database tersebut berkisar antara 0 hingga 104 tahun dengan rata-rata usia umat adalah 30,5 tahun. Mayoritas terbesar (~95%) umat paroki mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK). Profesi yang banyak ditekuni masyarakat umumnya adalah petani tradisional, pengusaha/pedagang, guru, dan pegawai negeri. Sejumlah kecil lainnya bekerja sebagai karyawan di bisnis swasta. Masih banyaknya data yang belum terisi lengkap dalam formulir BIDUK membuat sulitnya memperoleh statistik deskriptif holistik pada profil umat. Namun dewan paroki masih terus melakukan pengisian data untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai data umat paroki.

    Video Profil :

    Lokasi Paroki :

    Paroki Aek Nabara

    Pelindung

    :

    Santo Fransiskus Asisi

    Buku Paroki

    :

    Sejak November 1978. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Aek Kanopan/Kisaran

    Alamat

    :

    Pastoran Katolik, Jl. Ampera No. 1, Labuhan Batu, Aek Nabara – 21462

    Telp/WA

    :

    0811-6152-178

    Email

    :

    [email protected]

    Jumlah Umat

    :

    1.139 KK / 4.820 jiwa (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi

    :

    27

         
    1. Alur Naga
    2. Bunut
    3. Kampung Beringin
    4. Kpg. Jawa Pasar
    5. Kpg. Jawa Seberang
    6. Kampung Kristen
    7. Kampung Padang
    8. Kampung Pelita
    9. Negeri Lama
    10. Pangkatan
    11. Parsaoran Sennah
    12. Sei Abal
    13. Sei Bunga
    14. Sei Daun
    15. Sei Keluang
    16. Sei Parapat
    17. Sei Keramat Hulu
    18. Sei Pelancang
    19. Sei Tarolat
    20. Sei Tampang
    21. Selat Cina
    22. Sijambu Kanan
    23. Simpang 45
    24. Sipege
    25. Tanjung Harapan
    26. Tanjung Marulak
    27. Tgk. Pasir Seberang
         

    RP. Yonas Sandra Mallisa, SX

    22.01.‘83

    Parochus

    RP. Guillermo Arias, SX

    22.03.‘66

    Vikaris Parokial


    Jadwal Misa Paroki Aek Nabara

    Tahun Liturgi C/I 2024-2025
    Sumber: Sekretariat Paroki (22-11-2024)

    Misa Harian (Senin-Sabtu) 18:00 WIB
    Jumat Pertama 18:00 WIB
    Hari Minggu 07:00 WIB 11:00 WIB
    Malam Tahun Baru Paroki & Stasi 19:00 WIB
    Tahun Baru Paroki 09:00 WIB
    Stasi 10:00 WIB
    Misa Rabu Abu Paroki 07:00 WIB
    Stasi 10:00 WIB
    Misa Kamis Putih 18:00 WIB
    Jumat Agung 14:00 WIB
    Sabtu Suci & Malam Natal Paroki 18:00 WIB
    Stasi 19:00 WIB
    Hari Minggu Paskah & Hari Raya Natal Paroki 08:00 WIB
    Stasi 10:00 WIB/ 11:00 WIB
    *Jadwal misa bisa berubah sewaktu-waktu, silahkan dihubungi kontak sekretariat paroki yang bersangkutan, terima kasih.

    Sejarah Paroki St. Fransiskus Asisi, Aek Nabara

    Perjalanan Sejarah Paroki Aek Nabara (klik untuk membaca)

    Sekitar tahun 1932, umat Katolik sudah ada di wilayah Wingfoot. Hal itu nyata dengan keberadaan Bapak Petrus Nainggolan bersama beberapa keluarga yang sudah mengadakan Ibadat di rumah-rumah keluarga. Kemudian, Pastor Misionaris dari Tanjung Balai datang untuk mencari umat dan mewartakan Injil kepada mereka. Namun, karena jarak yang sangat jauh dan kondisi jalan yang sangat parah membuat pelayanan dari misionaris menjadi kurang maksimal. Ketika itu pelayanan sakramen-sakramen sangat jarang. Untuk menjamin kebaktian di Wingfoot, maka Pastor menetapkan beberapa umat untuk memimpin Ibadat. Situasi bangsa Indonesia pun masih berada dalam tekanan penjajah. Baru kemudian sekitar tahun 1950-an umat Katolik dapat merayakan ibadat Sabda Hari Minggu dan perayaan Ekaristi di Wisma Perkebunan Good Year PTP III (Perusahaan Terbatas Perseorangan) Wingfoot. Pada waktu itu umat Katolik belum juga memiliki gedung gereja. Jumlah keluarga-keluarga yang berhimpun diperkirakan ±32 keluarga. Di antara umat yang sudah ada pada waktu itu, termasuk Dr. Robinson dan Dr. Seto, keduanya berkebangsaan Amerika yang menjadi anggota Gereja Katolik PTP III.

    Selain dari Tanjung Balai, imam yang melayani sakramen-sakramen pada waktu itu datang dari Parapat; di antaranya ialah Pastor Pius Datubara, OFMCap yang kemudian menjadi Mgr. Pius Datubara, OfmCap. Pastor Pius bersama para Frater Kapusin datang untuk melayani umat di PTP III Wingfoot. Pada saat jadwal kunjungannya, mereka menginap di rumah umat. Dari situ mereka pergi ke stasi-stasi untuk merayakan Ekaristi dan pembinaan umat. Para pastor dari Tanjung Balai yang pernah melakukan pelayanan sakramen dan kunjungan pastoral ialah Pastor Arie Van Diemen, OFMCap, Pastor Meinrad Manser, OFMCap, P. Scheven, OfmCap; dan P. Beatus Jenniskens, OFMCap yang lama berkarya di Aek Kanopan.

    Upaya untuk memandirikan umat sangat tampak melalui pencarian tanah untuk pendirian gedung gereja. Sekitar tahun 1960-an diperoleh sebidang tanah di Jl. Rantau. Di lokasi ini didirikanlah gereja yang sangat sederhana/darurat. Vorhangernya ialah bapak Emanuel Pangaribuan yang akhirnya pindah ke gereja Protestan dengan alasan tertentu. Ketika gereja berada di tempat ini, umat digembalakan oleh pastor dari Paroki St. Mikael Tanjung Balai-Asahan, Kisaran, dan kemudian Aek Kanopan. Di antaranya pastor yang pernah berkarya adalah P. Remigius Pennoch, OFMCap, P. Schepens, OfmCap, P. Luigi Magnasco, SX, P. Francesco Marini, SX dan P. Arie Van Diemen, OFMCap. Setelah gereja berdomisili di Jl. Rantau tidak dapat diketahui dengan pasti berapa jumlah umat atau keluarga Katolik yang bertambah; yang pasti umat bukanlah bertambah tetapi semakin berkurang dan berjumlah hanya ±12 keluarga.

    Ketidakamanan negara pada waktu itu sangat mempengaruhi keberadaan gereja. Penyebab utama berkurangnya jumlah umat adalah Gerakan 30S-PKI dan Zending Protestan yang sudah datang lebih dahulu sebelum Katolik. Para Pendeta dari Parapat sedang gencar ke kampung-kampung termasuk ke Wingfoot untuk mengajak orang masuk ke agama Protestan. Sedangkan pada waktu itu, kunjungan para pastor sangat jarang sekali. Sehingga dalam situasi seperti ini, antara tuntutan masyarakat, hidup beragama dan kunjungan pastor yang jarang, membuat beberapa umat Katolik akhirnya pindah ke gereja Protestan sebab anaknya harus dibaptis atau karena pernikahan.

    Sekitar tahun 1970-an, umat memohon kepada pihak Perkebunan agar membantu Gereja Katolik untuk memiliki sebidang tanah agar dapat mendirikan bangunan gereja yang permanen. Namun permohonan mereka pada waktu itu tidak dikabulkan. Baru dua tahun kemudian, setelah Pak Sudrajat yang adalah Inspektorat di Aek Kanopan pindah ke Aek Nabara menjadi ADM perkebunan, memberikan izin pendirian Gereja Katolik di tanah Jl. Ampera-Aek Nabara. Di sini dibangunlah gereja permanen. Ketika gereja berada di Jl. Ampera sekitar tahun 1973, reksa pastoral gereja ini ditanggungjawabi oleh Pastor dari Paroki St. Pius X Aek Kanopan.

    Pada tanggal 1 Mei 1975, Paroki Aek Kanopan dibuka secara resmi dengan dengan bangunan Pastoran yang sangat sederhana di kota itu, dan pelayanan pastoral meliputi daerah Aek Kanopan dan Aek Nabara dengan semua stasi-stasinya yang sudah dibuka. Penting diperhatikan bahwa, sejak waktu itu sudah ditentukan, batas-batas wilayah pelayanan Paroki Aek Nabara, dan meskipun pelayanan pastoral masih berasal dari Paroki Aek Kanopan, namun sudah mulai diisi 2 Buku Permandian dan 2 Buku Perkawinan, satu untuk Paroki Aek Kanopan dan satu lagi untuk Paroki Aek Nabara. Hal ini dibuat karena sudah ada rencana yang jelas dari Uskup untuk membuka Paroki Aek Nabara sesegera mungkin, dan tinggal menunggu Pastor-Pastor dari Serikat Xaverian (SX) yang sudah berjanji akan datang berkarya di Keuskupan Agung Medan.

    Pastor yang pertama yang ditugaskan di Keuskupan Agung Medan adalah P. Luigi Magnasco, SX yang mulai belajar Bahasa Batak Toba di Palipi pada tahun 1976. Dan pada tahun itu, P. Germano Framarin, SX juga telah dipindahkan dari Keuskupan Padang ke Keuskupan Agung Medan dan akan berkarya disitu sesudah kembali dari cuti di Italia. Maka sebelum berangkat cuti ke Italia, P. Germano bersama dengan seorang Pastor SX lain berkunjung ke Palipi pada bulan Agustus 1976. Mereka berjumpa dengan P. Luigi Magnasco yang sedang belajar bahasa Batak; kemudian mereka pergi bersama melihat Daerah Labuhan Batu yang kemudian akan menjadi tempat karya mereka di tahun berikut. Pada waktu itu yang bertugas di Aek Kanopan hanya P. Beatus Jenniskens, OFMCap dan P. Arie Van Diemen, OFMCap. Karya pastoral pada waktu itu sangat berat karena harus menjalani seluruh Labuhan Batu dengan Stasi yang sangat jauh, sampai 160 km dari Aek Kanopan. Setelah belajar bahasa Batak Toba di Palipi (1977) selama sekitar 6 bulan di Palipi, P. Germano mulai bertugas sejak Maret 1978 bersama Pastor-Pastor Kapusin di Paroki Aek Kanopan. Sementara itu, Pastor Francesco Marini SX yang juga telah ditugaskan dan telah belajar Bahasa Toba di Onan Runggu akan mendampingi P. Luigi Magnasco dalam pelayanan pastoral di Paroki Aek Nabara. Dan pada waktu itu, telah dibangun gedung pastoran disamping gereja untuk menyambut kedatangan kedua misionaris yang akan bertugas di Paroki Aek Nabara.

    Ketika itu, Keuskupan sedang memikirkan bahwa di daerah Labuhan Batu mesti ada satu Paroki administratif untuk melayani beberapa stasi yang ada di sekitarnya. Ada tiga stasi yang dipertimbangkan bisa menjadi Paroki, yakni: stasi Bomban Bidang (sekarang menjadi Kampung Beringin), Ranto Prapat dan Aek Nabara. Dari ketiga stasi itu, akhirnya Aek Nabara ditentukan dan diresmikan menjadi Paroki pada tanggal 4 Oktober 1978 oleh Mgr. AG. Pius Datubara, dengan nama Pelindung St. Fransiskus Assisi karena letak Aek Nabara lebih strategis bila ditinjau dari berbagai bidang. Pada saat itu yang menjadi Vorhanger adalah Bapak Situmorang. Gedung gereja tersebut dibangun bertahap hingga selesai. Sejak awal, pelayanan pastoral bisa dikatakan “unik” juga karena dilayani oleh 2 pastor SX dan 3 suster Kongregasi Suster Kasih Yesus dan Maria Bunda Pertolongan Baik (KYM) yang membentuk satu komunitas demi memaksimalkan pelayanan pastoral yang efektif. Kehadiran para suster KYM di Paroki ini terjadi atas permintaan P. Germano yang pada tanggal 3 Mei 1978 datang ke rumah induk KYM di Jalan Sibolga Siantar untuk meminta kepada Kongregasi KYM agar mengutus suster untuk berkarya di bidang pastoral. Dan pada waktu itu, atas persetujuan Kongregasi akhirnya diutus 3 suster pertama yakni Sr. Regina Nainggolan, KYM, Sr. Flora Situmorang, KYM (alm) , dan Sr. Angela Sinaga, KYM (alm).

    Pada awalnya para Pastor tinggal di pastoran dan para Suster tinggal di sebuah rumah yang disewakan dekat pastoran sambil menunggu didirikan Susteran di tanah Gereja. Seiring perjalanan waktu, Paroki muda ini mulai berkembang dalam pertambahan jumlah umat. Karena itu para Pastor dan Suster mulai merencanakan kegiatan-kegiatan untuk anak-anak, muda-mudi Katolik dan ibu-ibu serta menjalankan bersama pelayanan pastoral dengan kunjungan ke Stasi-Stasi, pembinaan Pengurus melalui kursus-kursus dan Sermon, serta mengusahakan perkembangan sosial ekonomi umat melalui CU Paroki Aek Nabara. Selain itu melihat situasi umat yang merindukan system pendidikan Katolik untuk anak-anaknya, maka pada tahun 1978 bertempat di Mombang Bidang (Kampung Beringin) dibangun juga sekolah menengah tingkat pertama yang dikenal dengan SMP Bintang Kejora. Dan hingga saat ini sekolah tersebut tetap berdiri. Paroki ini juga dilayani oleh para frater Xaverian dan juga Diosesan yang menjalani masa orientasi pastoral, masa persiapan tahbisan Diakon dan Imamat atau masa live-in seperti Frater Martinus Situmorang, OFMCap. yang kelak menjadi Uskup Padang pernah menjalani live-in di stasi Alur Naga.

    Komunitas seperti ini masih berlanjut sampai sekarang dan umat pun tetap senang dilayani oleh komunitas pastoral seperti ini. Dan lewat pelayanan dan kesaksian hidup para pastor dan suster maka munculah benih-benih panggilan baik sebagai Pastor maupun Suster, sehingga pada tahun 2016 Pastor Xaverian pertama putra Paroki Aek Nabara, yaitu P. Hotman Sitanggang, SX menerima tahbisan Imamatnya pada tanggal 30 Agustus 2016 di Aek Nabara. Sebelumnya telah ada lebih dahulu yang ditahbiskan menjadi imam, seperti P. Monang Sijabat, O.Carm, dari stasi Tanjung Harapan dan P. Oscar Sinaga, OFMCap. yang berasal dari stasi Kampung Jawa Pasar.

    Pada saat pendiriannya, Paroki St. Fransiskus Assisi-Aek Nabara mempunyai 35 stasi. Sejak resmi menjadi Paroki sampai sekarang, reksa pastoral Paroki Aek Nabara dipercayakan kepada para Imam Misionaris Xaverian dan dibantu oleh suster-suster dari Kongregasi KYM. Pastor yang pernah menggembalakan umat di Paroki St. Fransiskus Assisi-Aek Nabara adalah: Tahun 1978-1984: P. Luigi Magnasco, SX (Pastor Paroki), P. Giovanni Ferrari, SX, P. Francesco Marini, SX; dan Br. Mario Passuello, SX; tahun 1984-1996: P. Germano Framarin, SX (Pastor Paroki), P. Giuseppe Pierantoni, SX, P. Giuliano Varalta, SX, P. Sandro Peccati, SX; tahun 1996-2004: P. Salvador Perusquia Feregrino, SX (Pastor Paroki); tahun 2004-2007: P. Yulius Tangke Bandaso, SX; tahun 2007-2013: P. Enrique Sanchez Vazquez, SX (Pastor Paroki), P. Andreas Sutiyo, SX, P. Robledo Sanchez, SX; tahun 2013-2018: P. Nasarius Rumairi Marilalan, SX (Pastor Paroki), P. La Nike Joanes, SX, P. Yohanes Leonardus Suharno, SX, P. Valentin Shukuru Bihaira, SX (Pastor Paroki: 2018-Maret 2020); dan P. Hebry Vicidius Walian, SX (2016-...).

    Sejak tanggal 29 Maret 2020 sampai dengan penulisan sejarah ini, Paroki Aek Nabara dilayani oleh P. Hebry Vicidius Walian, SX sebagai Pastor Paroki. Selain itu, sejak tahun 2014, ada juga Imam Diosesan KAM yang turut membantu Paroki ini dalam pelayanan sakramen-sakramen yakni RD. Merdin Sitanggang, sekaligus penanggungjawab Kebun Kelapa Sawit milik Keuskupan Agung Medan di Riau. Kemudian, dalam Surat Keputusan Uskup KAM 01 Juli 2021 telah ditugaskan P. Yonas Sandra Malissa, SX sebagai tenaga pastoral untuk Paroki Aek Nabara.

    Sejak menjadi paroki, jumlah stasi beberapa kali mengalami pertambahan. Dari 35, 42 dan 50 Stasi. Demi peningkatan pelayanan, tanggal 15 Agustus 2015 Keuskupan Agung Medan memekarkan Paroki Aek Nabara dan mendirikan Paroki Santo Petrus Rasul Rantau Prapat yang mengambil 9 Stasi dari Aek Nabara. Sejak saat itu, Paroki Aek Nabara memiliki 41 Stasi dan 8 Lingkungan, yakni 1.524 keluarga atau ± 6.811 jiwa. Hingga sekarang di tahun 2021, jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah 1541 dengan jumlah jiwa 6747 orang. Tanggal 09 Oktober 2022 Paroki St. Fransisikus Assisi Aek nabara kembali memekarkan wilayah kabupaten Labuhan Batu selatan sebagai kuasi paroki St. Yosef Kota Pinang sebanyak 491 KK.

    Di Paroki Aek Nabara ada Kapel biara Betania dan Goa Maria sebagai tempat umat untuk berdevosi.

    Pada tahun 2018, ada permohonan dari orang-orang Katolik pekerja kebun di perkebunan Torganda kepada DPPH agar mereka juga mendapatkan pelayanan secara Gereja Katolik. Maka, Pastor paroki bersama dengan DPPH membahas dan menanggapi permohonan mereka dengan mengadakan kunjungan beberapa kali ke Torganda di mana umat tersebut melakukan ibadat pada salah satu kelas di kompleks sekolah milik perkebunan. Kemudian pada tahun 2019, mereka dijadikan salah satu lingkungan dari Stasi Cikampak yang jarak di antara keduanya cukup jauh lebih kurang 28 km melalui jalan perkebunan. Mereka tetap memperoleh bimbingan hingga pada bulan Juni 2021 mereka mulai dipersiapkan untuk menjadi calon Stasi.

    Di Paroki St. Fransiskus Assisi-Aek Nabara, kegiatan dan pelayanan pastoral cukup beraneka ragam. Kegiatan di bidang rohani antara lain: Paskah Rayon, Festival (Punguan Inang Katolik (PIK) se-Paroki, Festival (Punguan Amang Katolik (PAK) se-Paroki, Natal Anak Sekolah Minggu Katolik (ASMIKA) se-Paroki, Natal Orang Muda Katolik (OMK) se-Rayon, Pesta Pelindung Paroki, Kursus/Seminar dan Rekoleksi/Retret Pembinaan umat dan Pengurus Gereja, Sermon Rayon, Rapat Presidium, Rapat Dewan Pastoral Paroki (DPP); dan Sermon Bolon. Di bidang sosial ekonomi antara lain: Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dan Credit Union (CU) Paroki. Di bidang pendidikan yaitu Sekolah SMP Bintang Kejora. Bidang-bidang kegiatan tersebut diupayakan dan dimaksudkan untuk membina, menghidupkan, mengungkapkan; dan mengekspresikan iman dan kesaksian umat di dalam keluarga, gereja serta dalam masyarakat.

    Kunjungan Uskup ke paroki Aek Nabara pertama kali pada tanggal 4 Oktober 1978 oleh Mgr. A.G. Pius Datubara untuk Peresmian Gereja Paroki. Tangal 21 Agustus 2016 adalah kunjungan terakhir untuk meresmikan gedung gereja stasi Aek Batu sekaligus Penerimaan Sakramen Penguatan oleh Bapa Uskup Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap. Tanggal 29 Agustus Mgr. A.G. Pius Datubara dan Mgr. Anicetus B. Sinaga hadir untuk tahbisan 3 imam Serikat Xaverian.

    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Aek Kanopan

    Pelindung

    :

    Santo Pius X

    Buku Paroki

    :

    Sejak 1 Mei 1975. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Kisaran/ Tanjung Balai

    Alamat

    :

    Jl. Serma Maulana S. No. 48, Aekkanopan Labura – 21457

    Telp.

    :

    0812-6346-1708

    Email

    :

    [email protected]

    Jumlah Umat

    :

    1.759 KK/ 6.996 jiwa (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi

    :

    54

    01. Adian Baja
    02. Adian Mondang
    03. Adian Torop
    04. Aek Nabara
    05. Aek Nauli
    06. Bulu Cina
    07. Cinta Dame
    08. Cinta Rame
    09. Harian Timur
    10. Hau Napitu
    11. Huta Baru
    12. Jambur Damuli
    13. Kampung Baru
    14. Kilang Saudara
    15. Kuala Tani
    16. Labuhan Haji
    17. Lalang Bundar
    18. Makmur Bersama
    19. Marjanji Aceh
    20. Padang Mahondang 1
    21. Padang Mahondang 2
    22. Pamaratan
    23. Pamingke Stasiun
    24. Pancasila
    25. Panigoran
    26. Pardamaran
    27. Pardomuan Nauli
    28. Parsaoran
    29. Pinggol Toba
    30. Pulo Angin
    31. Pulo Gombut
    32. Pulo Harapan
    33. Pulo Maria
    34. Pulo Raja
    35. Rambung Merah
    36. Sei Naetek
    37. Sei Peranginan
    38. Sei Piandang
    39. Simpang Empat
    40. Sinar Toba
    41. Situngir
    42. Suka Maju
    43. Sungai Apung
    44. Sungai Juragan
    45. Sungai Karet
    46. Sungai Piring
    47. Tangkahan Bosi
    48. Tangkahan Habeahan
    49.Tangkahan Manggis
    50. Tapian Nauli
    51. Teluk Ampean
    52. Teluk Binjai
    53. Trans
    54. Tunggul Morbo
     
     
     

    RP. Giovanno Sinaga OFMCap

    05.10.'79

    Parochus

    RP. Meinrad Rumapea OFMCap

    24.01.'87

    Vikaris Parokial



    Jadwal Misa Paroki Aek Kanopan

    Tahun Liturgi C/I, 2024-2025
    Sumber: Sekretariat Paroki (21-11-2024)

    Misa Harian Selasa & Kamis 06:00 WIB
    Jumat 19:00 WIB
    Misa Hari Minggu 08:00 WIB
    Misa Malam Tahun Baru 19:30 WIB
    Misa Tahun Baru 09:00 WIB
    Misa Rabu Abu, Kamis Putih, Sabtu Suci & Malam Natal 19:00 WIB
    Jumat Agung, Minggu Paskah & Hari Raya Natal 09:00 WIB
    *Jadwal misa bisa berubah sewaktu-waktu, silahkan dihubungi kontak sekretariat paroki yang bersangkutan, terima kasih.

    Sejarah Paroki St. Pius X, Aek Kanopan

    A. Pada Awalnya (klik untuk membaca)

    Sejak awal tahun 1940-an sudah ada arus perantau (panombang) dari daerah Tapanuli ke belahan bagian Timur Sumatera Utara, bahkan sampai ke daerah Riau. Para perantau ini dalam kondisi “demam terjajah oleh Belanda (terutama penjajahan Jepang) tetapi sebagian besar sudah beragama Kristen Muda (Protestan) dan sebagian lagi masih “Parmalim” atau bahkan masih animis. Jika diperhitungkan dari sudut historisnya, tentu sebagian kecil dari mereka dapat dipastikan sudah ada yang sudah beragama Katolik.

    Dalam “Sejarah Kabupaten Labuhanbatu Utara” disebut bahwa pada tahun 1942 tentara Dai Nippon (Jepang) menduduki seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 3 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Perupuk (Tanjung Tiram). Dari Perupuk sebahagian tentara Jepang melanjutkan gerakan merebut kota Tebing Tinggi dan seterusnya Medan. Setelah itu sebagian lagi bergerak menuju Tanjung Balai yang pada saat itu sebagai pusat pemerintahan Afdeling Asahan. Dari Asahan (Tanjung Balai) melanjut ke wilayah Labuhanbatu untuk merebut kota Rantauprapat.

    Menurut sumber yang tidak tertulis, ternyata bahwa dengan alasan untuk mempertahankan hidup dan masa depannya, para perantau dari Samosir dan Tapanuli yang sudah beragama Kristen Muda dan Parmalim serta aninimis atau mungkin juga yang sudah Katolik, terpaksa menganut agama Islam yang mengikuti masyarakat Melayu (penduduk setempat). Sebagian dari mereka lama kelamaan mereka masuk agama Islam dan bergabung dengan suku Dalle (Orang Batak yang pada umumnya beragama Islam). Mereka beredar di sekitar kabupaten Batubara, Asahan, Labura, Labuhanbatu Induk dan Labuhanbatu Selatan sekarang.

    B. Masa Misionaris Awal

    Sebenarnya, para pastor misionaris periode paling awal, mula-mula ditempat-tugaskan di Tanjung Balai untuk lebih berfokus kepada orang Tionghoa dan sedikit banyaknya pada 'tuan kebun'. Secara berkala mereka mengunjungi orang Tionghoa yang tersebar di wilayah itu, termasuk Aekkanopan. Mungkin sekali sudah sejak Pastor Odilo Wap, OFMCap hal itu terjadi. Akan tetapi, mengenai Beliau, tidak ada data persis yang diketahui.

    Pastor Restitutus Joosten, OFMCap dan terutama pastor Arthur Jansen, OFMCap tercatat sebagai pelopor yang datang dan berkarya di daerah ini dengan dua periode yakni periode 1948-1949, kemudian periode 1953-1962. Lambat laun mereka juga semakin memperhatikan dan mengunjungi/ mengumpulkan orang Batak Perantau. Pastor Ezecchiel Vergeest, OFMCap. dan pastor Paternus van Litsenburg, OFMCap. serta pastor Meinrad Manzer, OFMCap ikut juga memperkuat kelompok misionaris awal ini, sampai ke daerah Aek Kanopan.

    C. Periode Lebih Lanjut

    Sejak awal, umat perdana dilayani para pastor misionaris Kapusin dan Saverian dari paroki Tanjung Balai dan Kisaran. Sebagai paroki, Tanjung Balai berdiri secara resmi pada tahun 1947 dengan nama pelindung St. Mikael. Kemudian pada tahun 1968 paroki ini dimekarkan menjadi dua paroki yakni paroki St. Mikael Tanjung Balai dan Paroki Sakramen Maha Kudus Kisaran. Keduanya terletak di Kabupaten Asahan dan Batubara sekarang.

    Pada pertengahan tahun 50-an atas semangat kerasulan yang gigih dari para pastor misionaris kapusin (RP. Lucas Reinders OFMCap., RP. Remigius Pennock OFMCap, RP. De Wit OFMCap. dan RP. Schepens OFMCap), datang dari Tanjung Balai dan Kisaran ke arah Labuhanbatu bahkan sampai ke daerah Kota Pinang.

    Arus kedatangan “panombang” dari Tapanuli makin lama makin kencang sampai pada tahun 1970-an. Sebelumnya (di Tapanuli: Samosir dan Humbang Hasundutan masih bagian dari Tapanuli pada waktu itu) mereka sudah memeluk agama Kristen atau Katolik, tetapi di perantauan seputar daerah Labuhanbatu sekarang mereka tidak menemukan satu pun gereja di daerah Labuhanbatu. Dari Kisaran juga RP. Clarus Sihotang, OFMCap juga cukup memberi perhatian sejak awal tahun 1972.

    D. Periode Akhir Sebelum Resmi Menjadi Paroki

    Kelompok orang Katolik pertama terbentuk di Stasi Tapian Nauli tahun 1956 sedang Stasi Aekkanopan resmi berdiri sebagai stasi baru pada tahun 1960. Akan tetapi karena Aekkanopan jauh lebih strategis dan menjanjikan perkembangannya, dari pada stasi-stasi yang sudah lebih dahulu terbentuk, maka dalam perjalanan waktu Aek Kanopan ditetapkan menjadi Stasi Induk dan kemudian menjadi pusat paroki. Tahun 1970-an usaha kerasulan para misionaris perdana ini, disuburkan lagi oleh semangat penggembalaan yang tak kenal lelah dari para pastor kapusin dan suster-suster KYM (RP. Antonius Siregar, OFMCap; RP. Beatus Jenniskens, OFMCap; RP. Arie Van Diemen, OFMCap; dan Sr. Imelda Harianja, KYM; Sr. Helena Rumapea, KYM; Sr. Maristella, KYM dan Sr. Anastasia Sitohang, KYM) dan ditopang oleh tokoh umat perdana (B. Rajagukguk, Johanes Tan Kok Eng dan R.S. Siburian, dll.) mereka mempersiapkan Aekkanopan menjadi satu paroki yang baru.

    Menurut kesaksian RP. Arie van Diemen, OFMCap, dituliskan sebagai berikut via email: “Pada awal tahun-tahun tujuhpuluhan paroki Kisaran semakin tambah luasnya dengan semakin berpindahnya umat ke Asahan dan Labuhanbatu, sampai daerah perbatasan Riau. Terutama mereka yang menggarap tanah, dari Tapanuli dan Samosir. Dari ujung ke ujung panjangnya paroki itu sudah lebih dari 200 km. Maka, Bapak Uskup v.d. Hurk menugaskan kami, khususnya pastor Schepens dan saya, untuk mencari tahu tempat yang strategis yang cocok untuk pemekaran paroki itu. Kami berdua segera sepakat: Aek Kanopanlah.

    Sebagai langkah pertama, sebaiknya, agar dalam jangka waktu agak singkat disusul dengan Aek Nabara. Atas prakarsa beberapa pemuka jemaat, seperti R. Joewono, Johannes Tan Kok Eng, Binsar - A. Bukit - Rajagukguk dan Pak Siburian, ditemukan lokasi yang rasanya cocok. Sesudah ditinjau bersama oleh pastor Schepens, Jenniskens dan saya pada tgl 2/1/1975, maka tanah itu resmi dibeli di kantor camat pada tgl 17/3/1975. Agar bisa secepatnya pindah kesana, maka selama dua bulan berikutnya didirikan sebuah 'gubuk-gubuk' yang sederhana. Tepat pada waktu yang sama 'tersiar' berita bahwa Tahta Suci telah mengangkat Pastor Pius Datubara sebagai Uskup Pembantu, dengan tujuan untuk sebentar lagi mengambil alih tugas Uskup Agung Medan. Sungguh, suatu peristiwa bersejarah bagi sejarah Keuskupan kita. Pengumuman resminya sampai pada tgl 24/05/1975, 2 hari sesudah pastor Jennis dan saya pindah ke Aekkanopan.”

    E. Masa Awal Paroki St. Pius Aek Kanopan

    Pada tanggal 16 Mei 1975, Aekkanopan resmi sebagai paroki yang baru dengan nama Paroki St. Pius X Aekkanopan. Akan tetapi pastor paroki pertama, RP. Arie van Diemen, OFMCap bersama pastor rekan RP. Beatus Jenniskens, OFMCap baru kemudian pindah dari Kisaran ke Aekkanopan pada tanggal 26 Mei 1975.

    Tentu sebagai paroki yang sudah resmi, maka sarana-sarana yang mendukung keresmiaanya dibutuhkan, seperti stempel paroki. Untuk membuat stempel dibutuhkan nama pelindung resmi paroki ini juga. Santo Pius X secara spontan muncul dalam pikiran pastor Arie van Diemen, OFMCap.

    Mengapa Santo Pius X? Pastor Arie menulis: “Mengapa justru Pius X? Karena masih agak kontemporer. Baru 60 tahun sebelumnya meninggal dunia, pada saat beliau terkejut mendengar Perang Dunia I telah pecah. Tetapi, terutama, karena ia sebagai Uskup Agung Venetia sangat dicintai dan akrab dengan umat yang sederhana. Sebagai Paus beliau mengusahakan agar perayaan liturgi lebih hidup-hidup oleh partisipasi umat beriman. Keputusannya yang amat terkenal yaitu bahwa umur anak-anak untuk boleh menyambut komuni kudus, dipercepatnya sampai tujuh tahun. Saat itu belum saya bisa menduga bahwa nama beliau kemudian 'dibacak' oleh kelompok-kelompok ultra konservatif dalam gereja yang ingin menghalangi segala perkembangan. Sangat pantas disesalkan.” Demikianlah tahap paling awal sebagai paroki baru dimulai sambil lebih serius memeta kondisi lapangan pastoral misioner di Aek Kanopan.

    Bagi Pastor Arie Van Diemen, OFMCap, sejak awal paroki ini sangat menantang dan mengasyikkan. Selengkapnya Beliau menuliskan sebagai berikut: “Kesan saya tentang karya di paroki: amat menarik, menantang karena semua masih baru, fisik berat tetapi mengasyikkan, semangat para pemuka jemaat bergairah, umat masih gembira menerima kehadiran pastor bersama dengan para suster karena bagi mereka masih sungguh kabar gembira ditongatonga tombak na gok rongit.”

    Ungkapan ini sungguh memberi kesan bahwa pastor Arie dan pastor rekan lainnya serta para tokoh awam perdana benar-benar berjuang untuk permulaan awal paroki St Pius X ini. Medan pastoral begitu sangat berat dan masih banyak hutan asli. Lahan luas membentang subur dan sangat alamiah. Perikehidupan ekonomi sangat-sangat memprihatinkan. Akan tetapi umat masih membutuhkan para petugas pastoral dan disambut dengan sangat antusias.

    Makin lama berpastoral dan semakin masuk ke kondisi riil umat atau masyarakat sekitar, para petugas pastoral ini semakin melihat kebutuhan-kebutuhan hidup harian dan kebutuhan masa depan. Berbagai upaya dilakukan untuk melayani umat baik dari segi kehadiran pendampingan maupun dari segi materi (dana batuan) bagi umat yang sangat-sangat sederhana. Dan untuk menjawabi kebutuhan-kebutuhan ini semua, di sana sini lahan digarap dan dibeli. Sekolah, asrama dan CU didirikan. Kursus-kursus kaderisasi pengurus awam mulai ditangani.

    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    BIDUK KAM, Gerakan Pastoral Berbasis Data

    KAM - Keuskupan Agung Medan (KAM), Sabtu (5 Oktober 2019), menghelat soft launching Basis Integrasi Data Umat Keuskupan (BIDUK) KAM di Catholic Center – Medan. Puluhan perwakilan sekretariat paroki se-KAM turut hadir dalam seremoni dan dwi-hari training input data umat keuskupan secara online ini. Victor Erico, perwakilan tim BIDUK Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), mengutarakan, program ini adalah gerakan untuk pelayanan pastoral berbasis data. “Ketika kita hendak memulai BIDUK, kita memperkirakan jumlah umat KAJ adalah sebanyak 510.000. Namun, setelah pendataan dengan BIDUK rampung, ternyata jumlah umat KAJ yang benar adalah 430.000,” katanya. Dia melanjutkan, banyak pihak di KAJ yang marah atas hasil perhitungan tersebut. “Banyak yang marah, bahwa kita kehilangan umat sebanyak 80.000 jiwa. Padahal itu adalah jumlah yang sebenarnya. Kenapa? Karena ada umat yang telah meninggal masih dimasukkan dalam data. Selain itu, ada juga umat yang sering berpindah domisili, sehingga terdata di dua atau tiga paroki.” “Jadi, kuncinya adalah gerakan. Dari yang sebelumnya, kita belum mengenal umat. Sekarang paroki bisa mengandalkan data tersebut untuk melayani umat sesuai statistik nyata.Gerakan ini diterapkan di seluruh paroki untuk melayani lebih baik,” ujar Victor. Uskup KAM, Mgr. Kornelius Sipayung, dalam kata sambutan, turut mendukung pelaksanaan gerakan BIDUK KAM. “Kita hendak buat pelayanan pastoral di keuskupan ini agar berbasis digital. Kita ingin pastoral berbasis data. Oleh sebab itu, Jangan kita sia-siakan waktu dan bantuan tim BIDUK KAJ. Banyak yang bisa dirangkul dalam gerakan ini. (Peserta) yang hadir di sini bisa merangkul pastor paroki, ketua lingkungan, dan lainnya agar BIDUK KAM bisa rampung,” ucapnya seraya memotivasi para peserta training, yang berlangsung hingga Minggu (6 Oktober 2019). Dia menyampaikan, “Jangan menganggap bahwa setelah pendataan rampung, program BIDUK KAM akan selesai. Ini tidak akan pernah selesai, karena dinamika data yang akan dikerjakan. Setiap menit data ini akan terus berubah. Semisal ada umat yang meninggal, atau kelahiran, atau juga pindah domisili. Untuk itulah kita membutuhkan data akurat demi pelayanan.” Mgr. Kornelius berharap, BIDUK KAM bisa menjadi rahmat bagi KAM untuk mendorong pelayanan pastoral berdasarkan data. Untuk mewujudkan impian tersebut dibutuhkan komitmen, kesabaran dan ketekunan dalam menjalankan gerakan ini. “Saya mendapat kabar, bahwa BIDUK di Keuskupan Agung Pontianak (KAP), kalau tidak salah bisa selesai 4-5 bulan ya. Besar harapan saya, BIDUK KAM kalau bisa selesai dalam dua bulan ini. Agar menjadi kado natal kita, dan kita akan makan di rumah masing-masing,” ujarnya, disusul gelak tawa hadirin. (Ananta Bangun)  

    Komisi Pendidikan

    0
    Gedung Catholic Center Christosophia, Lantai 3, Jl. Mataram No.21, Kel. Petisah Hulu, Kec. Medan Baru, Kota Medan 20152, Sumatera Utara – Indonesia
    0852-6076-3462
    RP. Michael Manurung OFMCap (PJ)
    Komisi Pendidikan KAM
    Komdik KAM

    Komisi Liturgi

    0
    Gedung Catholic Center Christosophia, Lantai 3, Jl. Mataram No.21, Kel. Petisah Hulu, Kec. Medan Baru, Kota Medan 20152, Sumatera Utara – Indonesia
    RP. Christian Lumbangaol OFMCap
    0813-6134-8824 (Sr Wilfrida)
    Komisi Liturgi KAM

    Komisi Komunikasi Sosial

    0
    Gedung Catholic Center Christosophia, Lantai 3, Jl. Mataram No.21, Kel. Petisah Hulu, Kec. Medan Baru, Kota Medan 20152, Sumatera Utara – Indonesia
    RD. Benno Ola Tage
    0822-6095-6957
    Komsos KAM
    @komsoskam
    KomsosKAM
    www.komsoskam.com

    Komisi Kerasulan Kitab Suci

    0
    Gedung Catholic Center Christosophia, Lantai 3, Jl. Mataram No.21, Kel. Petisah Hulu, Kec. Medan Baru, Kota Medan 20152, Sumatera Utara – Indonesia
    0822-7316-7051
    RP. Paulus Halek Bere SSCC
    Komisi Kerasulan Kitab Suci - KAM
    @komisikkskam
    Komisi Kerasulan Kitab Suci KAM

    Komisi Kerasulan Awam

    0
    Gedung Catholic Center Christosophia, Lantai 3, Jl. Mataram No.21, Kel. Petisah Hulu, Kec. Medan Baru, Kota Medan 20152, Sumatera Utara – Indonesia
    RP. Joseph Lesta S. Pandia OFMConv
    0812-6018-2233
    Komisi Kerawam KAM

    Komisi Kepemudaan

    0
    Gedung Catholic Center Christosophia, Lantai 3, Jl. Mataram No.21, Kel. Petisah Hulu, Kec. Medan Baru, Kota Medan 20152, Sumatera Utara – Indonesia
    0812-6536-0145
    RP. Theodorus Goli Ruing, OCD
    Komisi Kepemudaan KAM
    @komkep.kam

    Sejak 1965 perhatian kepada jemaat khususnya kaum muda sangatlah banyak. Sejak dibentuknya Panitia, Panitialah yang membawahi segala bentuk ormas yang berkaitan dengan kepemudaan, baik itu PMKRI atau Pemuda Katolik, bahkan sampai MUDIKA sekalipun. Sampai pada akhirnya dibuatlah kursus-kursus pengkaderan ke paroki-paroki guna mendidik kaum muda untuk bisa berorganisasi dalam bidang kepemudaan. Hal ini terbukti dengan diberikannya kursus mengenai dokumen "Pacem in Terris" dan "Mater et Magistra" bagi kaum muda di paroki-paroki. Ketua pertama dari panitia untuk kaum muda ini adalah P. Idesblad Domen, OFMCap yang kemudian lebih dikenal dengan nama Komisi Kepemudaan.

    Pada tanggal 10 Desember 1968, P. Domen menghadiri Kongres Pemuda Katolik Se-Indonesia yang berlanjut dengan dibukanya Pusat Kaum Muda di Pematangsiantar tahun 1970 dan 1971 yang kemudian aktif digunakan secara intesif. Bahkan, pada waktu itu telah terbit sebuah majalah berjudul "Pertemuan" yang dipimpin langsung oleh P. Josue Steiner, OFMCap yang kemudian tidak diterbitkan lagi karena suatu hal. Hasil dari dibentuknya komisi ini adalah dengan diadakannya suatu program yaitu "Mgr. Cup" yang rencananya diadakan sekali dalam dua tahun. Tetapi setelah adanya tiga kali penyelenggaraan program ini banyak timbul kekecewaan, dimana program tersebut tidak berhasil membangun kembali hubungan antar kaum muda dibandingkan dengan kerja keras serta upaya agar program ini dapat berlangsung. Sehingga pihak Komisi Kepemudaan sendiri mengusulkan agar Mgr. Cup IV tidak perlu dilaksanakan lagi dikarenakan hal tersebut. Dan Coetus menyerahkan keputusan mengenai hal itu kepada komisi sendiri.

    Disamping itu seiring berjalannya waktu, Komisi Kepemudaan sadar betul akan pembinaan rohani bagi kaum muda. Ditambah lagi dengan banyaknya kelompok kaum muda yang semakin banyak muncul, sehingga pada tahun 1990 terbentuklah yang dinamakan Tim Pastoral Mahasiswa KAM (TPM). Pada awalnya tim ini terbentuk untuk pembinaan mahasiswa-mahasiswa yang sedang baru menyelesaikan studinya. Namun tujuan awal tersebut berubah dengan adanya sekelompok mahasiswa yang tidak mau masuk ke dalam ormas berbau politik seperti PMKRI dan juga tidak mau ikut bergabung ke dalam MUDIKA. Dan pada tanggal 21 Oktober 1990 dilaksanakan pertemuan mahasiswa Katolik se-Kotamadya Medan yang dihadiri sekitar 500 mahasiswa-mahasiswa di Aula St. Thomas guna membahas masalah tersebut. Dan banyak TPM melakukan kegiatan yang berbau ceramah dan juga perayaan ekaristi pada pekan ketiga setiap bulan.