loader image
Minggu, Juni 29, 2025
Lainnya
    Beranda Blog Halaman 18

    Paroki Perdagangan

    0
     
    Pelindung
    :
    Kristus Raja
    Buku Paroki
    :
    Sejak 5 Juli 1970. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Pematangsiantar I Jl. Sibolga dan Kisaran
    Alamat
    :
    Jl. Jend. Sudirman No. 3, Kec. Bandar, Perdagangan - 21184
    Telp.
    :
    0822 7214 0596
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.232 KK / 4.591 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    23
     
    01. Bandar Rakyat
    04. Habatu
    07. Kerasaan Pekan
    10. Mayang Emplasmen
    13. Pematang Bandar
    16. Raja Maligas III
    19. Sungai Langge
    22. Simpang Dosin
     
    02. Bosar Majawa
    05. Kampung Lalang
    08. Mariah Bandar
    11. Panduman
    14. Pematang Kerasaan
    17. Sahkuda
    20. Silakkidir
    23. Sugaran
     
    03. Bukit Lima
    06. Kampung Teladan
    09. Marihat Mayang
    12. Pardomuan Nauli
    15. Raja Maligas I
    18. Sampe Mauli
    21. Simangonai
     

     
    RP. Danrisman R.Sitanggang, O.Carm
    15.11.’72
    Parochus
    RP. Ignatius Imam Sukarno O.Carm
    10.01.'76
    Vikaris Parokial
         

    Sejarah Paroki Kristus Raja - Perdagangan

    Sejarah Paroki (klik untuk membaca)
    1. Sejarah
    Sejarah panjang Paroki Kristus Raja Perdagangan dimulai sebelum era tahun 1970-an. Paroki St. Laurentius Brindisi yang terletak di Jalan Sibolga - Pematang Siantar, menjadi induk bagi stasi-stasi di wilayah kabupaten Asahan dan Simalungun. Pada masa itu, Pastor-pastor Ordo Capusin melayani umat Katolik yang berada di wilayah Timur kabupaten Simalungun. Tidak semua stasi memiliki Gereja sebagai sarana penggembalaan umat Katolik, termasuk stasi Perdagangan sebagai cikal bakal Paroki. MISA masih dilaksanakan di rumah-rumah umat yang berlokasi di Pasar I, Perdagangan.
    Pada tahun 1967 dilakukan pembentukan stasi Bandar Buntu (Bandar Rakyat sekarang ini) melalui musyawarah mufakat antara stasi Pajak Nagori dan stasi Perdagangan yang masing-masing dipimpin oleh Vorhanger Simon Pasaribu dan Vorhanger Albert Palentinus Gultom. Musyawarah mufakat kedua stasi menghasilkan kesepakatan untuk mengalihkan sebanyak 20 dari total 59 kepala keluarga umat stasi Pajak Nagori yang wilayahnya berdekatan dengan Bandar Buntu berpindah keanggotaannya ke stasi Bandar Buntu. Sementara 39 kepala keluarga umat stasi Pajak Nagori yang lain bergabung dengan stasi Perdagangan sehingga umat stasi Perdagangan bertambah menjadi 79 kepala keluarga.
    Setahun kemudian, tahun 1968 pemerintah kecamatan Bandar merencanakan perluasan kota Perdagangan. Setiap gereja diberi kebebasan untuk memilih lokasi pendirian gereja. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pengurus dan tokoh-tokoh Gereja Katolik - Walter Napitupulu, Evraim Gultom, Simarmata (Toko Famili), Salomo Pasaribu, Simon Pasaribu, dan Albert Palentinus Gultom untuk mendirikan gereja Katolik stasi Perdagangan. Area seluas ± 4 rante di jalan Sudirman yang diajukan, mendapatkan persetujuan dari Camat Bandar sebagai lokasi Pastoran dan Gereja Katolik Induk Stasi Perdagangan sekarang ini.
    Pembangunan Gereja dan Pastoran dimulai pada tahun 1969 dipimpin oleh Pastor Lambertus Woestenberg OFM.Cap yang bertugas di Paroki St. Laurentius Brindisi dan melayani umat stasi-stasi di wilayah Perdagangan. Pembangunan ini mendapatkan dukungan dana dari upaya umat dan sebagian besar donatur dari negeri Belanda atas usaha Pastor Lambertus Woestenberg.
    Semangat umat Katolik Perdagangan terus berlanjut. Setelah bangunan Gereja dan Pastoran selesai, para pengurus dan tokoh Gereja Katolik di bawah bimbingan pastor Lambertus Woestenberg menyampaikan usulan ke Keuskupan Agung Medan perihal pembentukan Paroki. Ada 2 pilihan lokasi rencana Paroki pada waktu itu yaitu Cinta Damai atau di Perdagangan. Berdasarkan berbagai pertimbangan pengembangan di masa mendatang, salah satunya adalah pengembangan pendidikan (sekolah) maka disepakati dan diputuskan oleh Uskup Agung Medan – Mgr. A. H. van de Hurk OFM.Cap., Paroki dipusatkan di Perdagangan.
    Pada tahun 1970 dilaksanakan peresmian Paroki Perdagangan dengan Pastor Paroki Lambertus Woestenberg, OFM.Cap, Vorhanger Albert Palentinus Gultom yang dibantu oleh para pengurus dan pengetua-pengetua gereja antara lain: Walter Napitupulu, Evraim Gultom, Simarmata (Toko Family), Salomo Pasaribu, Martogi Situmorang, Oberlin Sinaga, Simon Siboro, Lostan Sitanggang, dan Sahat Situngkir.
    Pastor Esdras Tarigan, Pr. yang bertugas sebagai pastor Paroki Perdagangan tahun 1988-1992 mengetahui perlunya keberadaan Aula serba guna di Perdagangan. Dewan Paroki merespon melalui pembelian area tanah sawah seluas ± 3,5 rantedi depan rumah Susteran untuk rencana pembangunan aula tersebut. Kepanitiaan dibentuk dengan panitia inti adalah Drs. Lindung Samosir, Berman Purba, Kapingan Situngkir masing-masing sebagai ketua, sekretaris dan bendahara.
    Peletakan batu pertama dilaksanakan pada tahun 1989 dan kekurangan dana membuat pembangunan aula ini sempat terhenti. Pada tahun 1992 Pastor Carolus Tribeno Yuwono O.Carm yang menggantikan Pastor Esdras Tarigan Pr, melanjutkan pembangunan aula dengan dukungan sebagian besar dana dari sumbangan Ordo Karmel. Aula serba guna paroki Perdagangan berdiri dengan megah hingga kini. Aula tidak hanya diperuntukkan bagi penggunaan internal (sekolah, gereja) tetapi juga dapat digunakan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai acara penduduk Perdagangan (eksternal) sebagai bagian dari kemandirian Paroki.
    Dalam menjalankan tugas pelayanan Pastor Lambertus Woestenberg, OFM.Cap dibantu oleh pastor pembantu yaitu Pastor Cosmas Peter, O.Carm. Dari sejak terbentuknya, Paroki Perdagangan mendapatkan pelayanan dari berbagai Tarekat yang diawali oleh Ordo Capusin (Pastor Lambertus Woestenberg), Serikat Xaverian (Pastor Gianfranco Cruder), Imam Projo (Pastor Esdras Tarigan) dan kemudian Ordo Carmelit (Pastor Carolus Tribeno Yuwono, OCarm.) yang berlangsung hingga saat ini. Pergantian Tarekat yang bertugas memperkaya pengetahuan umat akan kehidupan spiritual dan karya-karya Gereja Katolik yang beragam. Alih tugas para-Pastor juga menjadikan umat mengenal sosok gembala gereja dengan beragam kepemimpinan dan kepribadian. Setiap Pastor menghadirkan pembaharuan ke arah perkembangan yang lebih baik, menjadikan kehidupan menggereja umat lebih dinamis dan selalu bergerak maju.
    Adapun Pastor yang pernah bertugas di Paroki Perdagangan adalah sebagai berikut:

    No

    Pastor

    Tahun bertugas

    Status

    1

    P. Lambertus Woestenberg OFM.Cap

    1970-1980

    Pastor Paroki

    2

    P. Cosmas Peter O.Carm

    1970-1980

     

    3

    P. Gianfranco Cruder, SX

    1980-1986

    Pastor Paroki

    4

    P. Germano Fremarin SX

    1980-1986

     

    5

    P. Luigi Mefuerco SX

    1983-1984

     

    6

    P. Angelo Geremia SX

    1985-1987

     

    7

    P. Arie Vandiemen OFM.Cap

    1987-1988

    Pastor Paroki

    8

    P. Joseph Rajagukguk OFM.Cap

    1987-1988

     

    9

    P. Ignatius Simbolon OFM.Cap

    1987-1988

     

    10

    P. Esdras Persadaan Tarigan, Pr

    1988-1992

    Pastor Paroki

    11

    P. Carolus Tribeno Yuwono, O.Carm

    1992-1996

    Pastor Paroki

    12

    P. Servus Emanuel Nuwa, O.Carm

    1992-1999

    Pastor Paroki

    13

    P. Krisna Aji Nugroho O.Carm

    1996-1998

     

    14

    P. Frans Borta Rumapea O.Carm

    1998-2000

     

    15

    P. Ignatius Joko Purnomo O.Carm

    1998-2001

     

    16

    P. Petrus Suu O.Carm

    2000-2002

    Pastor Paroki

    17

    P. Danrisman Sitanggang O.Carm

    2000-2005

     

    18

    P. Bernard Teguh Kusdarmanto O.Carm

    2002-2003

    Pastor Paroki

    19

    P. Damian Parngadi O.Carm

    2003-2008

    Pastor Paroki

    20

    P. Lukas Jokoprasetyo O.Carm

    2005-2006

     

    21

    P. Tinto Hasugian O.Carm

    2006-2012

    Pastor Paroki

    22

    P. Paschalis Tumarno O.Carm

    2008-2009

     

    23

    P. Robi Setiawan O.Carm

    2009-2010

     

    24

    P. Samuel Situmorang O.Carm

    2010-2012

     

    25

    P. Vinsensius Mbiru O.Carm

    2012-2017

    Pastor Paroki

    26

    P. Nampak Wijaya, O.Carm

    2016-2017

     

    27

    P. Mathias M. Simarmata, O. Carm

    2017-2020

    Pastor Paroki

    28

    P. Andreas Novem O.Carm

    2017-2020

     

    29

    P. Bernardinus Tamrin Berutu O.Carm

    2020 – sekarang

    Pastor Paroki

    30

    P. Adytia Permana Perangin-Angin O.Carm

    2022 – sekarang

     

    Stasi yang menjadi wilayah paroki Perdagangan pada saat itu berjumlah 40 stasi. Dalam perjalanannya, paroki Perdagangan mengalami dinamika pertumbuhan umat. Pertambahan umat diikuti dengan pembangunan gereja di stasi-stasi dan juga pemekaran stasi. 4 stasi baru terbentuk selama periode 50 tahun yaitu Kampung Kelapa, Indrapura, Panduman dan Cahaya Pardomuan.
    Penggabungan umat ke stasi terdekat juga terjadi sebagai akibat penurunan jumlah umat di stasi tertentu (stasi Dolok Parmonangan, Dolok Sinumbah, dan Kampung Onom). Hal ini berakibat pada penutupan gereja di stasi tersebut. Selain itu, pengalihan status stasi terjadi ketika berpindah wilayah ke Paroki lain seturut ketetapan yang dikeluarkan oleh Keuskupan (Paroki Tebing Tinggi, Tanah Jawa dan Cinta Damai). Saat ini jumlah wilayah Reksa Pastoral Paroki Kristus Raja meliputi 23 Stasi dan 7 Wilayah.

    No

    Stasi

    Pelindung Santo/Santa

    1970

    Berdiri dan status

    2022

    1

    Bandar Buntu/ Bandar Rakyat

    St. Mateus

    V

    1968 ibadat di Simpang Pajak Nagori, 1972 ibadat di Stasi Bandar Rakyat

    V

    2

    Bosar Majawa

    St. Alfonsus

    V

    1954

    V

    3

    Bukit Lima

    St. Bartolomeus

    V

    1954

    V

    4

    Cinta Damai

    St. Petrus

    V

    1955, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    5

    Cinta Maju

    St. Thomas

    V

    1967, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    6

    Dolok Parmonangan

     

    V

    1985 gabung ke Pematang Bandar

     

    7

    Dolok Sinumbah

    St. Pius

    V

    1978, 2010 gabung ke Marihat Bandar

     

    8

    Emplasmen Mayang

    St. Mikael

    V

    1978

    V

    9

    Gunung Rante

    St. Lukas

    V

    1959, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    10

    Habatu

    St. Benedictus

    V

    1971

    V

    11

    Kampung Lalang

    St. Fransiskus

    V

    1983

    V

    12

    Kampung Onom

     

    V

    1972, 2020 tutup

     

    13

    Kampung Teladan

    St. Bernardus

    V

    1980

    V

    14

    Kerasaan Pekan

    St. Carolus

    V

    1951

    V

    15

    Lima Puluh

    St. Magdalena

    V

    1970, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    16

    Mariah Bandar

    St. Hieronimus

    V

    1958

    V

    17

    Marihat Bandar/

    Simpang Dosin

    St. Antonius

    V

    1968

    V

    18

    Marihat Mayang

    St. Agustinus

    V

     

    V

    19

    Pandomayu

    St. Cornelius

    V

    1966, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    20

    Panurunan

    St. Yohanes

    V

    1965, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    21

    Pardomuan Nauli

    St. Petrus Andreas

    V

    1953

    V

    22

    Pematang Bandar

    St. Lusia

    V

    1957

    V

    23

    Pematang Kerasaan

    St. Gregorius

    V

    1952

    V

    24

    Pematang Tengah

    St. Agustinus

    V

    1962, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    25

    Perdagangan Induk

    Kristus Raja

    V

    1970, 2022 ditiadakan

     

    26

    Raja Maligas I

    St. Germanus

    V

    1952

    V

    27

    Raja Maligas III

    St. Dominikus

    V

    1970

    V

    28

    Sahkuda

    St. Maria

    V

    1979

    V

    29

    Sampe Mauli

    St. Laurensius

    V

    1970

    V

    30

    Silakkidir

    St. Paulus

    V

    1962

    V

    31

    Simangonai

    St. Aloysius

    V

    1968

    V

    32

    Simpang Dolok

    St. Anna

    V

    1957, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    33

    Sugaran

    St. Phillipus

    V

    1964

    V

    34

    Suka Mulia

    St. Atanasius

    V

    1967, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    35

    Suka Raja

    St. Katharina

    V

    1952, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    36

    Suka Ramai

    St. Canisius

    V

    1969, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    37

    Sungai Langge

    St. Titus

    V

    1957

    V

    38

    Sungai Tenang

     

    V

    1985 pindah ke Paroki Tebing Tinggi

     

    39

    Tanjung Muda

    St. Canisius

    V

    1950, 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    40

    Tanjungan

     

    V

    1994 pindah ke Paroki Tanah Jawa

     

    41

    Kampung Kelapa

    St. Yosep

     

    1985 (pemekaran stasi Cinta Damai), 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    42

    Indrapura

    St. Albertus

     

    1997 (pemekaran stasi Suka Raja), 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     

    43

    Panduman

    St. Maria Goretti

     

    2004 pemekaran stasi Pematang Kerasaan

    V

    44

    Cahaya Pardomuan

    St. Fidelis

     

    1963 (pemekaran stasi Simpang Dolok), 2020 pindah ke Paroki Cinta Damai

     
     

    Total Stasi

     

    40

     

    23

    Setelah 37 tahun penggembalaan umat Katolik di Perdagangan, tahun 2007 Pastor Tinto Tiopan Hasugian O.Carm, memimpin umat Paroki Kristus Raja Perdagangan melaksanakan pembangunan gereja yang baru. Lindung Samosir, P. Sihombing, Malem Jenda Tarigan masing-masing ditetapkan sebagai Ketua Panitia, Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II. Bahu membahu umat mengosongkan gereja lama, meruntuhkan dan membangun gereja baru. “CINTA UNTUK RUMAHMU MENGHANGUSKAN AKU” (Yohanes 2:17) menjadi semangat bagi umat Paroki Kristus Raja Perdagangan untuk segera menyelesaikan pembangunan gereja yang lebih besar dan megah. Peresmian gereja baru dilakukan pada tanggal 21 Desember 2008 oleh Uskup Agung Medan - Mgr Alfred Gonti Pius Datubara dan Bupati Simalungun – Drs. T. Zulkarnain Damanik, MM.
    Peresmian gereja baru dilakukan pada tanggal 21 Desember 2008 oleh Uskup Agung Medan - Mgr Alfred Gonti Pius Datubara dan Bupati Simalungun – Drs. T. Zulkarnain Damanik, MM. Pada acara Peresmian Gereja ini Bupati Simalungun menyumbangkan dana sebesar Rp. 50.000.000, - (lima puluh juta rupiah) untuk Gereja Paroki Kristus Raja Perdagangan.
    Demi meningkatkan pelayanan intensif bagi umat dan pengembangan Gereja di Keuskupan Agung Medan maka Uskup Agung Medan – Mgr. Dr. Anicetus Bonsu Sinaga mendirikan Kuasi Paroki Santo Petrus Rasul, Cinta Damai sebagai pemekaran dari Paroki Santo Yoseph, Tebing Tinggi dan Paroki Kristus Raja, Perdagangan sejak 21 Agustus 2018 yang tertuang dalam Surat Keputusan Uskup Agung Medan no: 396/PAR/CD/KA/VIII/’18.
    Pastor Paroki Kristus Raja Perdagangan Mathias Mangapul Simarmata, O.Carm. memimpin persiapan Kuasi Paroki Santo Petrus Rasul, Cinta Damai, dibantu oleh Pastor Andreas Novem, O.Carm. Di akhir tahun 2020 dilakukan serah terima oleh Paroki Perdagangan dari Pastor Mathias Mangapul Simarmata, O.Carm (berkarya ke Paroki Santo Petrus Rasul, Cinta Damai) ke Pastor Bernardinus Tamrin Berutu, O.Carm selaku Pastor Paroki Kristus Raja Perdagangan yang baru. Bersamaan dengan serah terima tersebut pelayanan Pastoral Paroki Kristus Raja Perdagangan sudah tidak meliputi Kuasi Cinta Damai.
    Devosi Bunda Maria Paroki Kristus Raja Perdagangan dimulai pada bulan Mei tahun 2018. Pastor Mathias Mangapul Simarmata, O.Carm menggalakkan umat se-Paroki untuk bersama-sama meningkatkan penghormatan dan doa kepada Bunda Maria. Area kosong di belakang Gereja Pastoran dipersiapkan untuk memulai Devosi Maria. Bersama-sama Pengurus Gereja dan Orang Muda Katolik, Pastor Mathias Mangapul Simarmata, O.Carm menyulap area kosong menjadi cikal bakal lokasi Devosi Maria umat paroki Kristus Raja Perdagangan.
    Menilik semangat umat Paroki Kristus Raja dalam melaksanakan Devosi Maria, Pastor Mathias Mangapul Simarmata, O.Carm lebih bersemangat untuk mewujudkan lokasi Devosi Maria di Paroki Kristus Raja. Setelah melalui berbagai persiapan perihal desain dan dana, pada tahun 2018, Albert Marbun ditetapkan sebagai penanggung jawab pembangunan lokasi Devosi Bunda Maria. Tanggal 1 Oktober 2018, Pondok Maria - demikian nama yang diberikan – resmi digunakan melalui pembukaan bulan Rosario.
    Pastor Bernardinus Tamrin Berutu, O.Carm selaku Pastor Paroki Kristus Raja Perdagangan melayani umat Paroki Kristus Raja Perdagangan didampingi Pastor Damian Parngadi O.Carm yang melalui masa pension dengan tetap melakukan pelayanan untuk umat di Perdagangan. Diusianya yang lebih dari 70 tahun, Pastor Damian tetap setia melayani Kristus dengan segala daya upaya yang ada dan keterbatasannya. Contoh nyata bahwa pelayanan kepada Kristus tidak memandang usia.
    Di masa Pandemi ini, umat memberikan perhatian terhadap kondisi kesehatan Pastor Damian. Bersama-sama umat menjaga Pastor agar terhindar dari Covid-19 yang sudah menyebar di seputaran Perdagangan. Usaha keluarga Pastoran dan umat membuahkan hasil yang nyata. Pastor Damian masih dalam kondisi sehat dan terus membina iman umat melalui pelayanan Misa dan pendalaman alkitab dalam berbagai kegiatan doa hingga berpulangnya pada tahun 2022.
    Kehadiran Pastor Bernardinus Tamrin Berutu, O.Carm membawa pembaharuan bagi Paroki Kristus Raja Perdagangan. Paroki sudah jauh lebih ASRI dengan perhatian terhadap pertumbuhan tanaman. Setelah 3 tahun melaksanakan Devosi Maria dan di tengah-tengah kondisi pandemi, pada tahun 2021 Pastor Bernardinus Tamrin Berutu merenovasi Pondok Maria dengan menambahkan perlindungan terhadap bangunan Pondok Maria seperti tampak sekarang ini. Kembali Albert Marbun bertanggung jawab terhadap pelaksanaan renovasi bersama Harry Ericson Iswandar selaku pembuat desain renovasi Pondok Maria.
    Pembangunan Paroki Kristus Raja terus berlanjut. Pembangunan Asrama Putra dipercayakan kepada Albert Marbun sebagai pelaksana pembangunan dan Harry Ericson Iswandar selaku pembuat desain Asrama Putra. Asrama Putra dibangun di belakang area Aula Paroki. Asrama Putra dan Gereja stasi Kampung Teladan dibangun dan selesai pada tahun 2021. Pada tahun tahun 2022, pembangunan gereja stasi Kampung Lalang dan Simangonai telah dimulai sedangkan pembangunan Pastoran dan Gereja stasi Sahkuda masih dalam perencanaan.
    Wilayah Pelayanan
    2. Wilayah Pelayanan
    Paroki Kristus Raja Perdagangan terletak di Kelurahan Perdagangan III, Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun. Lokasi ini dipandang sebagai ‘Lumbung Umat’ yang terbesar dengan peluang untuk pengembangan bidang pendidikan serta pertumbuhan umat sehubungan dengan keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus - Sei Mangkei. Letak paroki di jalan protokol Jenderal Sudirman merupakan posisi yang strategis dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Jarak paroki ke semua stasi dapat ditempuh dalam 1 hari perjalanan pulang pergi.
    Wilayah Reksa Pastoral Paroki Perdagangan meliputi 23 Stasi dan 7 Wilayah yang terbentang di 6 kecamatan di kabupaten Simalungun yaitu kecamatan Bandar Masilam, kecamatan Bandar, kecamatan Pematang Bandar, kecamatan Hutabayu Raja, kecamatan Gunung Malela dan kecamatan Bosar Maligas. Seluruh Stasi dan Wilayah tersebut dikelompokan menjadi 4 Rayon dan 2 Wilayah, sebagai berikut:
    a. Wilayah I (Satu)

    No

    Nama Lingkngan

    Nama Pelindung

    Desa/Kelurahan

    Kecamatan

    1

    Lingkungan Pasar 1

    St.Theresia Lisieux

    Perdagangan 3

    Bandar

    2

    Lingkungan Pajak Negeri

    St.Pransiskus

    Pajak Negeri

    Bandar

    3

    Lingkungan Kota

    St.Maria

    Perdagangan1

    Bandar

    4

    Lingkungan Perluasan

    St.Paulus

    Perdagangan 1

    Bandar

    b. Wilayah II

     

    No

    Nama Lingkungan

    Nama Pelindung

    Desa/Kelurahan

    Kecamatan

    1

    Lingkungan Manahul

    St.Yohannes Pembaptis

    Perdagangan 3

    Bandar

    2

    Lingkungan Pasar 1

    St.Petrus

    Perdagangan 3

    Bandar

    3

    Lingkungan Kuala Tanjung

    St.Lusia

    Perdagangan 3

    Bandar

     

    c. Wilayah Sermon Bandar

     

    No

    Nama Stasi

    Nama Pelindung

    Desa/Kelurahan

    Kecamatan

    1

    Stasi Sungai Langgei

    St.Titus

    Bandar Gunung

    Bandar Masilam

    2

    Stasi Simpang Dosin

    St.Antonius

    Marihat Bandar

    Bandar

    3

    Stasi Bandar Rakyat

    St.Mateus

    Bandar Rakyat

    Bandar

    4

    Stasi Sugaran

    St.Philipus

    Sugaran

    Bandar

     

    d. Wilayah Sermon Kerasaan Pekan

     

     

     

    No

    Nama Stasi

    Nama Pelindung

    Desa/Kelurahan

    Kecamatan

    1

    Stasi Sahkuda

    St.Maria Diangkat ke Surga

    Sahkuda Bayu

    Gunung Malela

    2

    Stasi Kerasaan Pekan

    St.Carolus

    Kerasaan  I

    Pematang Bandar

    3

    Stasi Pematang Kerasaan

    St.Gregorius

    Pematang Kerasaan

    Bandar

    4

    Stasi Panduman

    St.Maria Goretti

    Pematang Kerasaan

    Bandar

    5

    Stasi Mariah Bandar

    St.Hieronimus

    Mariah Bandar

    Pematang Bandar

    6

    Stasi Pardomuan Nauli

    St.Petrus

    Pardomuan Nauli

    Pematang Bandar

    7

    Stasi Pematang Bandar

    St.Lusia

    Pematang Bandar

    Pematang Bandar

    8

    Stasi Habatu

    St.Benedictus

    Habatu

    Bandar

    e. Wilayah Sermon Silakkidir

     

    No

    Nama Stasi

    Nama Pelindung

    Desa/Kelurahan

    Kecamatan

    1

    Stasi Bosar Majawa

    St.Alfonsus

    Bosar Bayu

    Hutabayu Raja

    2

    Stasi Marihat Mayang

    St.Agustinus

    Huta Sada

    Hutabayu Raja

    3

    Stasi Mayang Emplasmen

    St.Mikael

    Nagori Mayang

    Bosar Maligas

    4

    Stasi Silakkidir

    St.Paulus

    Silakkidir

    Hutabayu Raja

    5

    Stasi Raja Malias  1

    St.Germanus

    Raja Maligas I

    Hutabayu Raja

    6

    Stasi Sampemauli

    St.Laurensius

    Talam Bayu

    Hutabayu Raja

    7

    Stasi Raja Maligas 3

    St.Dominikis

    Bahal Batu

    Hutabayu Raja

     

    f. Wilayah Sermon Bukit Lima
    1. Stasi Bukit Lima (St. Bartolomeus) : Desa/Kel. Marihat Tanjung, Kec. Bosar Maligas
    2. Stasi Kampung Lalang (St. Stefanus) : Desa/Kel. Marihat Mayang, Kec. Hutabayu Raja
    3. Stasi Simangonai (St. Aloysius) : Jawa Baru, Kec. Hutabayu Raja
    4. Stasi Kampung Teladan (St. Clara) : Kampung Teladan, Kec. Bosar Maligas
    Infrastruktur transportasi darat di 6 wilayah kecamatan ini sudah termasuk lumayan baik meskipun jalan ke beberapa stasi masih kurang bagus karena mereka terletak di pelosok dan di kelilingi hamparan kebun sawit. Pengerasan jalan tanah masih dilakukan menggunakan batu pasir yang pada kondisi hujan akan menjadi licin dan sering berlubang besar akibat tanah yang tidak padat. Namun demikian secara umum semua stasi sudah bisa dilalui dengan kendaraan sepeda motor dan mobil.
    Visi Misi dan Kekhasan Paroki
    3. Kekhasan Paroki
    Mayoritas umat Paroki Kristus Raja Perdagangan adalah suku Batak selain itu adalah Simalungun, Karo, Jawa, Nias dan Cina. Pelayanan liturgi di Paroki Kristus Raja Perdagangan menggunakan 2 bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Batak. Keberagaman umat dari berbagai segi ini telah menjadi salah satu dasar pemilihan nama Pelindung Gereja yaitu Kristus Raja. Sang Pencipta alam raya dengan segala keberagamannya.
    Umat paroki Kristus Raja Perdagangan umumnya adalah pendatang. Mereka yang pindah pada awal tahun lima puluhan biasanya mendapat tanah yang subur dan strategis yang digunakan untuk lahan pertanian. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani dan profesi lainnya adalah pedagang, pegawai negeri sipil dan karyawan. Untuk pengembangan perekonomian dan kesejahteraan umat, paroki Kristus Raja Perdagangan memiliki suatu wadah yang disebut Pengembangan Kesejahteraan Umat Paroki Perdagangan (PASARDA). Pasarda ini merupakan wadah semacam ‘arisan’ bagi umat Katolik Paroki Kristus Raja Perdagangan yang bernaung di bawah Gereja Katolik dengan tetap memakai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Credit Union (CU).
    Pada tahap awal, CU ini beranggotakan para Vorhanger dan Pengurus Gereja Paroki Perdagangan yang berjumlah 28 orang dan sekarang anggotanya telah berjumlah lebih dari 5800 orang. Kegiatan simpan pinjam yang dikelolanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para anggotanya dengan ikatan pemersatu adalah Paroki Perdagangan. Kiprah PASARDA telah menunjukkan dampak positif bagi kehidupan umat Paroki Perdagangan terkhusus para anggotanya. Selain itu, Pasarda juga terlibat aktif dalam pembangunan infrastruktur, kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang diselenggarakan oleh Paroki. Pada tahun 2022, kepengurusan di bawah pimpinan L. Situmorang, telah berhasil membangun gedung milik PASARDA.
    Lokasi Paroki :

     

    Paroki P.Siantar Jalan Bali

    0
     
    Pelindung
    :
    Santo Joseph
    Buku Paroki
    :
    Sejak tahun 1966. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Jl. Sibolga.
    Alamat
    :
    Jl. Bali - Kain Batik, Kec. Siantar Utara, Pematang Siantar - 21142
    HP.
    :
    0853 6056 7969
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    2.672 KK / 10.258 jiwa
    (data Biduk per 27/03/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    19
     
    01. Bah Kapul
    04. Marjandi
    07. Pargampualan
    10. Sibaganding
    13. Simbou Baru
    16. SKI
    19. Manik Rejo
    02. Bukit Hataran
    05. Martoba
    08. Parjalangan
    11. Sibisa
    14. Simpang Dua 
    17. Tiga Bolon
    20. St. Yohanes Paulus II - Jl. Marasi  
    03. Kampung Baru
    06. Panombean
    09. Sawah Dua
    12. Simbolon
    15. Sipoldas
    18. Jl. Kain Batik

    RD. Marianus Gilo A. Kedang
    17.02.’75
    Parochus
    RD. John Paul Tri Siboro
    11.01.’92
    Vikaris Parokial
         

    Sejarah Paroki St. Joseph - Jl. Bali, Pematang Siantar

    Perjalanan Singkat Paroki (klik untuk membaca)
    Pematangsiantar merupakan pusat Daerah Simalungun yang menjadi bagian dari Gouvernement van de Ookust (Gubernemen Pantai Timur). Karya Zending Protestan di kalangan Orang Batak Simalungun sudah dimulai sejak tahun 1901. Akan tetapi masih banyak di daerah Simalungun ini belum menjadi Kristen. Alasannya adalah mereka sudah menjadi Islam dan pewartaannya tidak sampai ke pedalaman. Misi Katolik memperoleh kesulitan larangan Pemerintah Hindia Belanda dalam Buku Hukum pasal 123 (sesudah tahun 1952 tahun 177) yang mengatakan : “Guru-guru Kristen, imam-imam dan pendeta-pendeta” bila hendak masuk suatu daerah untuk melaksanakan tugas harus lebih dahulu mendapat izin dari Gubernur Jendral. Kalau tugas mereka dianggap dapat menggangu keamanan suatu daerah, maka izin masuk mereka dapat dicabut oleh Gubernur Jendral.Terumata “dobel-zending” dilarang (sekaligus Misi Katolik dan zending protestan)”.
    Misi di Pematangsiantar dan sekitarnya sudah mulai sebenarnya sejak Juli 1929 oleh permintaan yang diajukan oleh 120 orang Katolik di sekitar Pematangsiantar. Kerohanian umat di sini dilayani oleh Pastor Aemilius Van Der Zanden dari Medan. Pada waktu itu timbul usaha untuk mengajukan usul kepada Mgr. Mathias Brams agar di Pematangsiantar dibangun sebuah gereja dan ditempatkan seorang Pastor untuk memimpin umat di daerah ini. Pada bulan Juni 1931 diperoleh izin seorang imam Katolik menetap di Pematangsiantar. Akan tetapi, izin tersebut disertai dengan larangan memperluas ajaran agama di luar tempat kedudukan. Stasi Batak pertama didirikan di dekat Pematangsiantar yaitu Laras di wilayah perkebunan, pada tahun 1931.
    Pada tanggal 3 Juli 1931, P. Aurelius Kerkers memulai karyanya di Pematangsiantar. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata disadari tidak mungkin mentaati larangan pengajaran agama Katolik di daerah lain. Ketidakmungkinan tersebut bukan terutama dari pihak pastornya, tetapi juga oleh karena semakin banyak permintaan dari pihak orang Batak agar Katolik diperkenalkan. Di Pematangsiantar, pada 1 Januari 1932 umat Katolik sudah ada sebanyak 203 orang: 174 orang Eropa, 19 orang Batak (yang dipermandikan di Medan), 5 orang Cina, 5 orang Jawa. Pada 1 Juni 1932, dibukalah sebuah Hollands Inlandse School. Pada akhir 1932 diajukan permohonan izin bagi karya misi di daerah Simalungun dengan bertolak Pematangsiantar. Tanggal 17 Februari 1933, datanglah jawaban positif. Pada tahun yang sama, yakni melalui surat tertanggal 12 Agustus 1933, akhirnya keluarlah izin umum yang memperbolehkan penyebaran pengajaran keagamaan. Maka dibentuklah beberapa Stasi-Stasi bantuan pertama yakni, Laras, Pantoan, Tanah Djawa, dan Panei.
    Penyebaran misi Katolik di Pematangsiantar semakin mantap dengan diangkatnya seorang Katekis yang membantu penyebaran ke- Katolikan-an, yakni Kenan Hutabarat. Bersama Katekis ini, karya misi semakin mantap. Pastor Aurelius Kerkers melihat jumlah umat semakin banyak. Pada saat itu dilihat bahwa sudah saatnya membangun fasilitas yang sungguh berguna. Pembangunan gereja, sekolah, pastoran dan susteran (seperti sekarang ini) mulai dilakukan. Gereja tersebut diberkatinya tahun 1934.
    Beberapa catatan tentang perkembangan misi di Pematangsiantar ini perlu ditambahkan. Pastor Aurelius Kerkers kemudian hari dibantu oleh Pastor Elpidius Van Duinhoven yang tiba di Pematangsiantar pada tanggal 16 Februari 1934. P. Elpidius Van Duinhoven dengan sangat gigih mendirikan beberapa Stasi baru. Dia mendirikan Stasi baru di Sawah Dua-Panei tanggal 1 Januari 1936. Stasi ini menjadi pusat kegiatan untuk daerah Panei dan sekitarnya: Tigadolok, Sidamanik, dan sampai ke Saribudolok yang berdiri sejak 30 Agustus 1938.
    Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan misi lumpuh. Hanya para Suster berkebangsaan Jerman di Balige yang boleh tinggal. Akan tetapi, masih ada keuntungan besar lain yakni karena P. Marianus van den Acker selaku pemelihara rohani para Suster tersebut tidak ikut ditawan. Pada kesempatan itulah dia membentuk Badan Pimpinan Gereja selama masa sulit itu dengan mengangkat beberapa katekis. Yang menjadi Ketua Badan Pimpinan Gereja tersebut adalah Y. B. Panggabean sekaligus katekis kepala di Balige. Di Wilayah Simalungun, K. Hutabarat menjadi katekis kepala di Pematangsiantar, P. Datubara (Saribudolok).
    Pada tahun 1965, karmelit membangun biara di Pematangsiantar yakni Seminari Agung (Fakultas Teologi Karmel). Alasan perpindahan pusat pendidikan Karmel dari Malang ke Pematangsiantar adalah alasan keamanan, yakni terjadinya ketegangan pasca peristiwa “G30S/PKI” di Jawa. Pimpinan Karmel saat itu melihat bahwa Sumatera merupakan tempat yang aman sekaligus tepat, untuk kelanjutan pendidikan para fraternya.
    Wacana kehadiran para Karmelit di Pematangsiantar disambut dengan baik. Umat dan lembaga-lembaga Gereja memberikan dukungan. Yayasan Cinta Rakyat turut memberi dukungannya yang sangat berharga, karena mereka memperboleh Seminari Agung Karmelit tersebut didirikan di atas tanah mereka. Dalam surat keterangan dukungan Yayasan Cinta Rakyat, dituliskan demikian. “Ketua Pengurus Jajasan Tjinta Rakjat Pematangsiantar, menjatakan, tidak berkeberatan bahwa Badan Pengurus Geredja Katolik dan Amal di Pematangsiantar akan mendirikan Geredja dan Seminari Agung di tanah kami yang terletak disebelah Kebun Siantar State didekat Djalan Bali dan Djalan Sisingamangaradja”. Berdasarkan kutipan di atas, bisa dikatakan bahwa sejak awal telah direncanakan juga sekaligus pembangunan Gereja untuk umat. Bangunan Karmel inilah yang digunakan umat.
    Di sekitar bangunan ini sudah ada beberapa umat Katolik. Mereka beribadat di rumah-rumah umat. Berdasarkan Buku Baptis (LB) paroki, kita ketahui lebih terang bahwa sudah ada pembaptisan pertama di tiga titik daerah: Jl. Bali (20 Februari 1958), Martoba (1 November 1964), Bah Kapul (31 Mei 1958). Maka dengan kehadiran Karmel ini umat disekitarnya juga mengikuti kebaktian di gereja biara (sejak Juni 1966). Stasi St. Yusup Jalan Balipun berdiri. Pembaptisan pertama di Gereja ini sesudah kehadiran para Karmelit pada tanggal 16 Oktober 1966. Gereja ini seringkali dituliskan (dikenal) dengan nama Gereja Karmel atau Gereja St. Jusup Karmel.
    Karmel juga sekaligus mendirikan Sekolah Dasar, yang diberi nama Sekolah Dasar Karmel 1. Tidak banyak informasi yang diperoleh tentang hal ini. Misalnya, apakah SD Karmel 1 ini yang kemudian menjadi SD Cinta Rakyat saat ini (cikal bakal?). Keterangan keberadaan SD Karmel ini sangat terang dari Surat Permohonan kepada Walikota Pematangsiantar tentang memohon pembuatan Jalan Karmel, untuk jalan yang menghubungkan Jalan Bali dengan Kompleks biara, gereja dan sekolah. Pada no. 2 dikatakan demikian, “ S.D jang terletak di udjung jalan itu adalah S.D Karmel 1 yang diurus oleh pastor-pastor karmel”.
    Sesudah Stasi baru St. Yusup-Jl. Bali berdiri (1966), Badan Pengurus Gereja dan Amal Katolik mulai memikirkan pemekaran paroki Jl. Sibolga tahun 1967 Paroki St. Laurensius-Jl. Sibolga dimekarkan. Pada tahun 1968, Paroki Jl. Sibolga dimekarkan kemudian dengan mendirikan Paroki St. Fransiskus-Jl. Medan. Demi efektivitas pelayanan, Paroki Jl. Sibolga terus dimekarkan dengan membentuk paroki-paroki baru: Paroki Kristus Raja-Perdagangan (1970), Paroki Kristus Raja Tanah Jawa (1976), Paroki Saribudolok, Paroki Parapat. Selain Stasi Jl. Bali sendiri, Stasi Bah Kapul diserahkan pada pelayanan Karmelit. Dengan diserahkan kepada pelayanan Karmelit, akhirnya muncul gagasan baru, yakni mendirikan gereja permanen. Maka, pada tahun 1968, pembangunan gereja di Bah Kapul- Sibatubatu mulai digagas. Pastor Paroki saat itu, Pastor Koning, O.Carm, segera mengajukan permohonan pembangunan gereja baru kepada Bupati Simalungun.
    Pada tahun 1969, Stasi Martoba kemudian diserahkan kepada pelayanan para Pastor Karmelit. Baptisan di Stasi ini dicatat di Paroki St. Laurensius terakhir pada tanggal 29 juni 1969. Sesudah tanggal ini, segala yang berhubungan dengan Stasi ini dicatatkan di Paroki St. Jusu-Jl. Bali. Maka, disimpulkan bahwa sampai tahun 1969, Paroki St. Jusup memiliki tiga Stasi: Jl: Bali (Stasi Induk), Bah Kapul, dan Martoba. Pada tahun 1970, Para Karmelit segera meninggalkan pematangsiantar pimpinan Karmel melihat bahwa pemberontakan PKI tidak lagi merupakan ancaman serius. Alasan keamanan dirasa tidak tepat lagi menjadi alasan membagi dua tempat pendidikan frater. Disisi lain, perpindahan ini juga dipengaruhi kerumitan internal tentang program pendidikan para frater mereka. Misalnya, bagaimana menyesuaikan program kuliah dengan Seminari Agung di Pematangsiantar.
    Bagaimana dengan keberadaan gedung biara yang besar tersebut? Setelah theologicum Karmelit pindah kembali ke Malang pada akhir tahun 1970, Ordo Karmel ingin menjual gedung mereka. Gabungan kongregasi suster-suter berpendapat bahwa gedung tersebut cocok untuk pusat pendidikan dan rumah retret. Namun, karena gedung itu terlalu besar untuk hal dimaksud, para suster mengusulkan agar pihak keuskupan membeli gedung tersebut dan menyewakannya kepada suster. Akan tetapi, akhirnya sebagian besar gedung tersebut dibeli oleh gabungan suster-suster. Maka pada tanggal 6 juli 1970, mulailah para suster tinggal disana. Gedung besar tersebut akhirnya digunakan sebagai Pusat Pembinaan Para Biarawan/wati, sampai akhirnya mereka membangun pusat yang baru di Sinaksak, Pematangsiantar tahun 1993.
    Maka sejak saat itu, gedung tersebut difungsikan untuk dua hal sekaligus, yakni sebagai kantor paroki (Sekaligus Pastoran), dan tempat pembinaan para suster (Bina Samadi). Maka segala hal yang menyangkut tentang gedung tersebut, perbaikan, batas tanggungjawab masing-masing pihak, senantiasa diperbaharui dalam dan dengan surat perjanjian antara pihak P3B (Pusat Pembinaan Para Biarawan/wati). Hanya beberapa kamar saja yang digunakan untuk paroki, terlebih sebagai kantor paroki.
    Bagaimana pelayanan Paroki? Sejak para Karmelit meninggalkan Paroki St. Joseph, dan kehadiran P3B disana, paroki ini dilayani oleh Pastor Kapusin P. Marianus van den Acker, yang diangkat menjadi rektor pembimbing para suster, beliau sekaligus juga menjadi pastor paroki. Pada tahun 1973, Pastor Clemens Hamers, diangkat menjadi pastor paroki. Akan tetapi, beliau baru pindah pada bulan Maret 1974 ke Pastoran St. Joseph, sesudah gedung tersebut ditata kembali penggunaannya. Gereja tersebut dibuat dinding baru, sehingga sebagian menjadi kapel para suster, dan sebagian lagi menjadi gereja paroki.
    Dari beberapa arsip surat menyurat yang masih tertinggal, diketahui adanya perkembangan jumlah umat yang pada akhirnya gereja yang ada pada saat itu tidak cukup untuk menampung umat. Ketika P. Gonzalvus Snijders sebagai Pastor Paroki (1976-1984), dia beberapa kali mohon kepada pihak Keuskupan untuk segera memperbesar gereja atau memperbesar/membangun gereja baru (tahun 1977, 30 Jan 1980, 27 Maret 1980 ). Dalam surat-surat permohonan tersebut P. H Snijders menyebutkan beberapa alasan pengajuan permohonan tersebut: Perpindahan SPG tahun 1977 sehingga gereja tidak cukup untuk menampung umat, perluasan kota dan pertambahan jumlah penduduk. Pembangunan Gereja tersebut baru bisa dimulai pada tahun 1983. Pada tahun 2005, digagas juga didirikan gereja baru di depan gedung paroki/gereja saat ini. Gedung gereja baru tersebut telah berdiri besar, gagah dan unik dan sudah diresmikan April 2012 dan sejak itu sampai sekarang umat beribadah di dalamnya dan gedung gereja lama dipakai sebagai aula paroki.
    Paroki Jl. Bali kemudian menjadi paroki besar. Pada tahun 1987, stasi-stasi ke arah sisi kanan parapat sampai ke arah Tigaras, menjadi bagian (stasi) Paroki Jl. Bali. Mengapa paroki Jl. Bali menjadi paroki “raksasa” ?. Dugaan P. Ari van Diemen adalah karena semua stasi tersebut dari segi wilayah (secara praktis) lebih cocok dimasukkan menjadi bagian dari Paroki St. Joseph-Jl. Bali. Dugaan lain menurutnya adalah karena paroki sendiri memiliki gedung yang sangat luas, dan sangat cocok untuk tempat pembinaan. Paroki Jl. Sibolga menjadi paroki tanpa Stasi lebih merupakan karena pertimbangan jumlah umat. Pada tanggal 11 juli 2010, Paroki “raksasa” ini dimekarkan dengan mendirikan Paroki Tiga Dolok meliputi Tiga Balata dan Tiga Dolok. Penggembalaan paroki ini diserahkan kepada para Saudara Dina Konventual.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki P. Siantar Jalan Asahan

    0
    Pelindung
    :
    Santo Petrus dan Paulus
    Buku Paroki
    :
    Sejak tahun 1968. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Jl. Sibolga Pematang Siantar
    Alamat
    :
    Jl. Asahan Km. 5 No. 238, Nagori Pantoan Maju, Kec. Siantar, Kab. Simalungun, Pematang Siantar – 21151
    Telp.
    :
    0852 7097 9007
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.467 KK / 5.732 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi
    :
    18
    01. Bah Jambi
    04. Laras
    07. Naga Raja
    10. Perumnas
    13. Serbelawan
    16. Sosor Samosir
    02. Bah Gunung
    05. Laras Dua
    08. Nagur Usang
    11. Rambung Merah
    14. Silau Malela
    17. Sordang Raya
    03. Bintang Mariah
    06. Naga Jaya
    09. Pardamean
    12. Semangat Baris
    15. Sinaksak
    18. Timuran
    RP. Emmanuel Sembiring OFMCap

    Parochus
    RP. Leopold Purba OFMCap

    Vikaris Parokial
     

    Sejarah Paroki St. Petrus & Paulus - Jl. Asahan, Pematang Siantar

    Perjalanan Paroki SPP Siantar (klik untuk membaca)
    1. Letak Geografis
    Paroki St. Petrus dan Paulus memiliki tiga wilayah pelayanan yakni Kota Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai. Di Kabupaten Simalungun ada 18 stasi, Serdang Bedagai satu stasi dan di kota Pematangsiantar satu stasi.
    2. Keadaan Umat
    Umat paroki St. Petrus dan Paulus pada umumnya terdiri dari beragam suku, adat dan bahasa, yaitu Simalungun, Toba, Karo, Pakpak, Nias, Flores, Toraja, Jawa, Tionghoa dan suku lainnya. Keberagaman tersebut merupakan kekayaan paroki ini. Pada saat beribadat ada delapan stasi memakai bahasa Indonesia dan 12 stasi memakai bahasa Batak Toba.
    Seiring dengan perjalanan waktu, umat Paroki St. Petrus dan Paulus mengalami perkembangan dan pertambahan yang amat pesat. Paroki ini berjumlah 20 Stasi, yang dibagi dalam lima rayon, yakni; Rayon I (Stasi St. Petrus dan Paulus, Termin), Rayon II ada lima stasi (St. Markus, Sinaksak; St. Elisabeth, Nagur Usang; St. Maria, Bintang Mariah; St. Fransiskus Asisi, Sordang Raya; St. Maria, Nagaraja), Rayon III ada empat stasi (St. Yosep, Serbelawan; St. Yosep, Naga Jaya; St. Thomas, Bah Gunung; St. Maria, Laras), Rayon IV ada enam stasi (St. Perawan Maria, Perumnas; St. Yosep Laras II; St. Maria, Silau Malela; St. Benediktus, Bah Jambi; St. Paulus, Timuran; St. Maria, Sosor Samosir) dan Rayon V, empat Stasi (St. Yosep, Batu Lima; St. Elisabeth, Pardamean; St. Ambrosius, Semangat Baris; St. Yosep, Rambung Merah).
    3. Perjalanan Paroki St. Petrus dan Paulus
    Paroki yang pertama hadir di kota Pematangsiantar, adalah Paroki St. Laurentius Brindisi Jl. Sibolga. Paroki St.Petrus dan Paulus mekar dari Paroki St. Laurentius Jl. Sibolga.
    Tahun 1967, Seminari Tinggi di Jalan Medan didirikan. Pada tahun 1968, didirikan juga satu gereja baru di Jalan Medan Pematangsiantar. Para pastor dari Seminari ini melayani beberapa stasi di sekitarnya seperti Stasi Bah Gunung, Stasi Nagajaya, Stasi Serbelawan, Stasi Nagaraja, Stasi Bintang Mariah, Stasi Martoba, Stasi Rambung Merah dan Stasi Batulima. Gereja baru ini, walaupun secara administratif tidak menjadi paroki, tetapi de facto dalam pelayanan sudah berbentuk paroki, yang dinamai Paroki Pastor Bonus. Dan ini menjadi titik awal berdirinya Paroki St. Petrus dan Paulus. Paroki ini langsung dipimpin oleh Rektor Seminari Tinggi, RP. Gonzalvus Snijders, OFMCap. Awalnya paroki ini terdiri dari sembilan stasi dengan jumlah umat kurang lebih 535 keluarga yang terdiri dari berbagai jenis profesi seperti pegawai negeri, ABRI, buruh dan petani. Kurang lebih 20 tahun, paroki ini selalu dipimpin oleh rektor Seminari Tinggi Jl. Medan, antara lain RP. Gonzalvus Snijders, OFMCap, RP. Ferdinand Knoops, OFMCap, RP. Martinus Situmorang, OFMCap. RP. Elias Sembiring, OFMCap.
    Jumlah umat dari tahun ke tahun semakin bertambah. Stasi juga semakin bertambah, khususnya di pinggiran kota Pematangsiantar. Maka, pada tahun 1987 diadakanlah restrukturisasi paroki di Pematangsiantar. Hasil dari restrukturisasi itu ialah 12 stasi yang sebelumnya masuk ke paroki St. Laurentius Brindisi Jl. Sibolga menjadi wilayah pelayanan paroki ini. Dan pada waktu itu pula, nama Paroki Pastor Bonus Jl. Medan menjadi Paroki St. Petrus dan Paulus Jl. Medan. Dengan adanya restrukturisasi tersebut, jumlah stasi paroki ini menjadi 21 stasi: Termin (Pusat Paroki), Jl. Medan, Sinaksak-Baringin, Bintang Mariah, Sordang Raya (sebelumnya Mariah Nagur), Nagur Usang, Naga Raja, Serbelawan, Laras, Bah Gunung, Naga Jaya (sebelumnya Bandar Betsy), Rambung Merah, Batulima, Pardamean, Perumnas, Laras II, Silau Malela, Bah Jambi, Sosor Samosir, Timuran dan Semangat Baris.
    Walaupun Termin sebagai pusat paroki, namun keberadaan kantor paroki masih tetap di Jl. Medan, karena di Termin belum ada pastoran dan belum ada pastor yang tinggal secara menetap di sana. Akan tetapi, pada waktu RP. Isidorus Lambertus Woestenberg, OFMCap sebagai pastor paroki, pernah tinggal menetap di Termin dengan menyewa rumah J. Manurung demi mempermudah pelayanan, namun hal ini tidak bertahan lama.
    Pada tahun 1997, RP. Hubertus Tamba, OFMCap menjadi pastor paroki. Ia bersama dewan pastoral paroki mewacanakan pembagian wilayah pelayanan yakni: wilayah Sinaksak (Sinaksak, Bintang Mariah, Sordang Raya, Naga Raja, Nagur Usang, Serbelawan, Laras, Bah Gunung, dan Naga Jaya), wilayah Jl. Medan (tersendiri) dan wilayah Batu Lima (Termin, Batulima, Rambung Merah, Pardamean, Laras II, Perumnas, Silau Malela, Timuran, Semangat Baris, dan Sosor Samosir).
    Pada tahun 2000, RP. Joseph Rajagukguk, OFMCap memindahkan Kantor Paroki dari Jl. Medan ke Termin. Namun pastor paroki masih tetap tinggal di Biara Kapusin Jl. Medan. Tahun 2003, segala arsip dan dokumen paroki resmi dipindahkan ke Termin. Pernah dijajaki untuk membeli tanah di belakang gereja untuk mendirikan pastoran, namun tidak jadi, karena terlalu banyak kesulitan.
    Pada tahun 2005, paroki ini dimekarkan menjadi dua paroki yakni Paroki St. Petrus dan Paulus dan Paroki St. Fransiskus Asisi, Jl. Medan. Maka, jumlah stasi di paroki St. Petrus dan Paulus menjadi 20 stasi. Pastor Paroki pada saat itu adalah RP. Markus Manurung, OFMCap. Dalam masa kepemimpinannya, sebagai pastor paroki, dibuatlah master plan paroki, yakni meneruskan salah satu rencana yang pernah diputuskan tahun 1997 tentang pusat paroki di Jalan Asahan-Batulima.
    Dengan segala kerja dan usaha keras, maka 16 September 2007 dilaksanakan peletakan batu pertama gereja paroki/ gereja induk oleh Uskup Koajutor Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap. Pembangunan gereja paroki ini berlangsung dua tahun. Pada 05 Juli 2009, Gereja Paroki diberkati oleh Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap.
    Rabu, 8 Agustus 2012 Eks gereja lama dialihfungsikan menjadi rumah pastoran Batulima. Komunitas pastoran baru ini ditempati oleh 3 orang pastor, yaitu RP. Raymond Simanjorang, OFMCap (Pastor Paroki), RP. Yovinus Sibagariang, OFMCap (pastor rekan) dan RP. Elio Sihombing, OFMCap (anggota komunitas yang bertugas di Komisi Liturgi KAM).
    Tahun 2009 – 2013 Pastor Paroki dijabat oleh RP.Raymond Simanjorang, OFMCap. Pastor Raymond mengalami sakit secara tiba-tiba sehingga pelayanan pastoral ditanggung-jawabi oleh RP. Emmanuel Sembiring, OFMCap. (Desember 2012-Februari 2013) selaku administrator. Kemudian dilanjutkan oleh RP. Michael Manurung, OFMCap. (Februari 2013-Agustus 2013) yang adalah Vikep.St. Paulus Rasul, menjadi Administrator Paroki.
    Pada tanggal 1 September 2013 diadakan serah terima Pastor Paroki dari RP.Michael Manurung, OFMCap. kepada RP.Fridolinus Simanjorang, OFMCap sebagai Pastor Paroki definitif. Pada masa ini mulai dipikirkan secara matang dan intensif pembangunan pastoran dan kantor paroki. Peletakan batu pertama Pastoran dan Kantor Paroki dilaksanakan pada tanggal 23 Februari 2014 dan diberkati tanggal 5 Desember 2015 oleh Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap.
    Tokoh Pelindung Paroki : St. Petrus dan Paulus
    RASUL PETRUS
    Simon, yang disebut Petrus, dan saudaranya Andreas yang berasal dari kampung Betsaida (Yoh 1: 44) dipanggil Yesus untuk menjadi murid-murid-Nya (Mrk 1: 16-20). Simon dan Andreas, bersama dengan Yohanes dan Yakobus dipanggil di pantai danau Galilea. Mereka dipanggil dari penjala ikan dan dibimbing untuk menjadi penjala manusia.
    Bagaimana bisa terjadi? Yesus memanggil dan meminta mereka untuk “ada bersama dengan Dia” (Mrk 3: 13). Proses pembentukan menjadi murid terlaksana dengan “ada tinggal bersama dengan Sang Guru”. Mereka pelan-pelan mendengarkan pengajaran demi pengajaran Yesus, melihat tanda heran demi tanda heran. Mereka juga meyaksikan bahwa makin banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus. Untuk apa mereka semua datang kepada Yesus? Karena Yesus mengajar dengan baik, Yesus melakukan mukzijat penyembuhan berbagai macam penyakit, pengusiran setan, menenangkan danau/angin, memberi makan dan perbanyakan roti dan ikan. Yesus juga mampu berhadapan dengan para pemimpin Yahudi, ahli taurat, kaum Farisi, Zelot, Saduki, dll. Maka siapakah Yesus ini?
    Pertanyaan siapakah Dia disampaikan-Nya kepada para murid-Nya dengan melemparkan dua pertanyaan, pertama “kata orang siapakah Aku ini?” Yesus tidak puas kalau murid-murid mengenal-Nya sejauh dikatakan orang. Karena itu disampaikan pertanyaan kedua, “apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mrk 8: 27-30). Jawaban yang disampaikan Simon Petrus: bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah (Mat. 16: 13-20). Tapi segera dinyatakan bahwa Simon belum mengenal dengan kata: “...bukan manusia yang mengatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 16: 17). Simon Petrus diingatkan bahwa manusia tidak dapat mengandalkan ilmu manusiawi untuk mengenal Yesus, harus mengandalkan “ilmu ilahi” yaitu kekuatan Roh Allah. Yesus berkata kepada Petrus: “enyahlah iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan oleh Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mrk. 8: 33).
    Dalam perjalannya menjadi murid Yesus, Simon Petrus beberapa kali bersandar pada tanggapan manusiawi dan pikiran manusiawi. Pada peristiwa di taman Getsemani Petrus gagal (tidak sanggup berjaga...(Mrk. 14: 37). Petrus gagal mengikuti Gurunya pada hal dia telah bersumpah bahwa sampai mati tidak akan menyangkal-Nya. Pada kenyataannya Petrus meniadakan panggilan, pengenalan, dan kebersamaannya dengan Yesus dengan menjawab pertanyaan seorang wanita dengan berkata: “aku tidak kenal dengan orang yang kamu sebut-sebut ini” (Mrk. 14: 71).
    Dengan semua kejadian atau kenyataan itu apakah kita bisa mengatakan bahwa Yesus gagal memilih Petrus? Petrus gagal menjadi murid Yesus? Dalam Mrk 16: 8 dituliskan: “dengan singkat mereka sampaikan pesan itu kepada Petrus dan teman-temannya. Sesudah itu Yesus sendiri dengan perantaraan murid-murid-Nya memberitakan dari Timur ke Barat berita yang kudus dan tak terbinasakan tentang keselamatan yang kekal itu”.
    Kisah Rasul menunjukkan bahwa tahap demi tahap, dengan dibantu oleh bimbingan Roh Kudus, Petrus bersama rasul lain mewartakan Injil dari Yerusalem sampai ke ujung dunia.
    RASUL PAULUS
    Saulus, yang kemudian bernama Paulus, lahir dalam keluarga Yahudi di Tarsus (Kis 9: 11; 21:39; 22:3). Pada umumnya, setiap keluarga Yahudi sungguh berharap agar anak-anaknya menempuh pendidikan dan menjalankan pelatihan sesuai dengan minat dan bakatnya. Orang tua Saulus mengirimkannya ke Yerusalem demi mengecap pendidikan. Ia masuk sekolah yang didirikan oleh Gamaliel untuk mengecap pendidikan tentang taurat (Kis. 22: 3-4).
    Dengan latar belakang pendidikan ilmu taurat, Saulus menjadi seorang Farisi (Flp. 3: 5-6) dan menganiaya orang-orang yang mengikuti jalan Tuhan (Gal. 7: 13-14; Flp. 3: 6). Dalam perjalanan menuju Damaskus, Tuhan memanggil Saulus (1 Kor 9: 1). Melalui panggilan dan sentuhan Tuhan, seluruh hidup Saulus berubah dan ia harus membangun kembali kehidupannya di dalam Kristus. Saulus yang akhirnya disebut sebagai Paulus menjadi alat Tuhan untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia.
    Dalam pewartaannya, Paulus mengalami berbagai penderitaan (2Kor 12: 5.9-10). Ia menjadi tawanan karena mewartakan Injil dan akhirnya dibawa ke Roma. Akan tetapi, walaupun sebagai tawanan, Paulus tetap mewartakan Injil Tuhan di Roma (1 Kor 9: 16). Bagi Paulus, penderitaan tidak menjadi penghalang dalam pewartaannya. Pewartaan Paulus tetap berbuah dan buah dari pewartaannya itu adalah jemaat-jemaat yang didirikannya. Kepada mereka Paulus menulis surat-suratnya, yang memuat ajaran iman, nasihat-nasihat pastoral dan moral.
    Menurut tradisi, kedua rasul ini, Petrus dan Paulus dimartirkan di kota Roma.
    PASTOR PAROKI DARI MASA KE MASA
    RP. Sybrandus van Rossum, OFMCap
    P. Gonzalvus Snijders,OFMCap,
    RP. Ferdinand Knoops, OFMCap
    RP Martinus Situmorang, OFMCap
    RP. Martinus Situmorang, OFMCap (1976 – 1984) 
    RP. Elias Sembiring,OFMCap (1984 – 1987)
    RP. Isidorus Lambertus Woestenberg,OFMCap (1987 – 1994)
    RP. Albert Pandiangan,OFMCap (1994 –1995)
    RP. Hubertus Tamba, OFMCap (1995 – 1998) 
    P. Josep Rajagukguk, OFMCap (1998 – 2002)
    RP. Thomas Sinabariba,OFMCap (2002 – 2004) 
    RP. Markus Manurung, OFMCap (2004 - 2009)
    RP. Emmanuel Sembiring, OFMCap
    RP. Mikhael Manurung, OFMCap
    RP. Raymond Simanjorang,OFMCap
    RP. Fridolinus Simanjorang, OFMCap
    RP. Gokmenteo Sitinjak,OFMCap
    D. Masro Situmorang, OFMCap (Pastor Rekan)
    Pastor yang Pernah Berkomunitas di Pastoran Paroki St. Petrus & Paulus
    RP. Elio Sihombing, OFMCap (Komisi Liturgi KAM)
    RP. Kristinus C. Mahulae, OFMCap (Dosen Kitab Suci STFT-St. Yohanes Pematangsiantar)
    RP. Oktavianus Situngkir, OFMCap (Komisi Kateketik KAM)
    PARA PASTOR, BIARAWAN-BIARAWATI, ASAL PAROKI ST. PETRUS DAN PAULUS
    Para Pastor/ Biarawan
    RP. Hugolinus Malau, OFMCap
    RD. Joddy Morison Turnip
    RP. Derikson Alverius Turnip, CICM
    RP. Riston Situmorang, OSC
    RP Bonifasius Saragih, OFMCap
    Para Biarawati
    - Kongregasi FCJM
    Sr. Klementina Sinaga, FCJM
    Sr. Ludovika Sidauruk, FCJM
    Sr. Klemensia Sitanggang, FCJM
    Sr. Alfonsine Purba, FCJM
    Sr. Fabiola Pandiangan, FCJM
    Sr. Meriam Siagian, FCJM
    Sr. Ferdinanda Sitanggang FCJM
    Sr. Damiana Turnip, FCJM

    - Konggregasi KSSY
    Sr. Antonia Simarmata KSSY
    Sr. Theresia Sinaga KSSY

    - Konggregasi KYM
    Sr. M. Eleonora Silalahi, KYM
    Sr. M. Sebastiana Sinambela, KYM

    - Konggregasi Alma
    Sr. Franceline Silalahi, KYM
    Sr. Mastinora Marlina Silalahi, ALMA

    - Konggregasi FCh
    Sr. Dominica, FCh
    Sr. M. Maristella Tarigan, FCh.

    - Konggregasi FMM
    Sr. Meyly Jens Sibarani, FMM

    - Konggregasi OSCCap
    Sr. M. Veronika Ambarita, OSCCap

    - Konggregasi DLMC
    Sr. Maria Julita Sihaloho, DLMC

    - Konggregasi KSFL
    Sr. Rufina Simamora, KSFL
    Sr. Regina Sidabutar, KSFL
    Sr. Francine Hutabarat, KSFL
    Sr. Amandin Manurung, KSFL (RIP)
    Lokasi Paroki :

    Paroki Parsoburan

    0
    Pelindung
    :
    Santo Yoseph
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1952. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Balige.
    Alamat
    :
    Jl. Lumban Rau, Kec. Habinsaran, Kab. Toba, Parsoburan - 22383
    Telp.
    :
    0812 6158 7311
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.022 KK/ 4.165 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)

    Jumlah Stasi
    :
    26
    01. Aek Ulok
    04. Barbor
    07. Lumban Pinasa
    10. Lumban Ruhap
    13. Nassau
    16. Paridian
    19. Sibuntuon
    22. Simanalese
    25. Taon Marisi
    02. Ambata Lobuhole
    05. Janji
    08. Lumban Lintong
    11. Matio
    14. Pandumaan
    17. Paronggangan
    20. Sijomba
    23. Sipange
    26. Tornaganjang
    03. Bt. Manumpak
    06. Laverna
    09. Lumban Rau
    12. Napajoring
    15. Pararungan
    18. Sibaning
    21. Sijungkat
    24. Sitarak
     
             
    RD. Henri Johnson Simbolon
    07.09.'77
    Parochus
    RD. Fransiskus Ginting
    07.07.'88
    Vikaris Parokial

    Sejarah Paroki St. Yoseph - Parsoburan

    Sejarah Paroki (klik untuk membaca)
    Pengantar
    Paroki St. Yoseph Parsoburan merupakan salah satu paroki yang berada di wilayah Keuskupan Agung Medan. Paroki yang saat ini dipimpin oleh RD. Henri Simbolon, beralamat di Kel. Parsoburan Tengah, Rt IV, Kec. Habinsaran, Kab Toba. Wilayahnya tersebar di 3 kecamatan yakni, Kec Habinsaran, Kec. Nassau dan Kec. Bor-bor. Paroki ini terdiri dari 26 stasi yang terbagi dalam 6 rayon dan 10 lingkungan di paroki.
    Menyemaikan Iman Kekatolikan di Parsoburan
    Gereja Katolik berdiri di Parsoburan tidak lepas dari hubungan kekerabatan antara Parsoburan dengan desa Lumban Pinasa. Awalnya, Raja Gompul Siagian berniat menjadi Katolik. Kedatangan para tokoh ini bertujuan agar mereka bisa keluar dari belenggu Kepercayaan Animisme (sipele begu). Raja Gompul Siagian bersama teman-temannya berangkat ke Balige menemui misionaris Belanda. Pada waktu itu, pusat misi di Balige. Mereka sangat berharap bahwa keluarga mereka, paling tidak keluarga dan teman sejalan ke Balige segera disahkan menjadi Katolik.
    Dengan segala perjuangan para umat perdana di Parsoburan, akhirnya misionaris berencana datang dan tinggal di Parsoburan. Dengan usaha keras dan kegigihan umat perdana, pada tahun 1952, Parsoburan disahkan oleh keuskupan menjadi paroki (pemekaran dari Paroki Balige). Satu tahun setelah disahkan menjadi paroki, para misionaris tinggal di Parsoburan. Pada waktu yang sama, umat berencana mendirikan gereja baru. Keinginan ini terjawab setelah kehadiran RP. Rocus Raessens, OFM Cap di Parsoburan pada tahun 1953. Sejak tahun 1959 hingga 1963, RP. Asterius van Reen, OFM Cap tinggal menetap di Parsoburan. Setelah bermisi selama empat tahun, beliau cuti ke Belanda.
    Pada tahun 1965, RP. Nepomucenus Hamers, OFM Cap tiba di Parsoburan dan tinggal sendirian sebagai misionaris di Parsoburan. Setelahnya, suster Kongregasi Suster Santo Yosef (KSSY) resmi membuka rumah. Hal ini tentu membuat misi semakin mudah menyebar. Mayoritas, stasi hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Oleh karena itu, RP. Nepomucenus Hamers, OFM Cap sering menghabiskan perjalanan selama satu hari agar sampai di stasi. Telah ada puluhan pastor kapusin yang membantu pelayanan di paroki ini.
    Estafet Penggembalaan Beralih ke Imam Diosesan
    Pada bulan Februari 2010, Paroki Parsoburan mendapat rahmat baru. Paroki tersebut akan digembalakan oleh dua orang imam diosesan, RD. Anggiat Sihotang dan RD. Wirman Matondang. Mereka tinggal di pastoran yang sudah lama menjadi tempat tinggal para pastor.
    Berselang beberapa bulan, tepatnya pada Rabu, 15 September 2010, pastoran dan kantor paroki terbakar. Dua hari kemudian, Dewan Paroki Parsoburan mengadakan rapat mendadak dan membentuk panitia pembangunan pastoran yang baru.
    Jenis Kerasulan di Paroki Parsoburan
    1. Karya Kerasulan KSSY di Parsoburan: Asrama Putera dan Puteri, Sekolah, dan Klinik.
    2. SD St. Pius X
    3. SMP Kartini dan Asrama Putera dan Puteri
    4. Klinik
    5. Credit Union (CU) Paroki
    - Punguan Ama
    - Punguan Ina
    6. Orang Muda Katolik (OMK)
    7. Mesdinar
    8. Taman Seminari
    Pastor dan suster atau biarawan-biarawati yang berasal dari paroki ini pun sudah banyak. Mereka berasal dari berbagai stasi.
    Sekilas Pandang Sejarah Pendirian Stasi-Stasi Berdasarkan Rayon
    Paroki St. Yoseph-Parsoburan dibagi menjadi beberapa rayon. Berikut penuturan sejarahnya.
    RAYON MATIO
    Stasi St. Anna Taon Marisi
    Stasi St. Clara Matio
    Stasi St. Gabriel Lumbanruhap
    RAYON BATUMANUMPAK
    Stasi St. Pius X Paronggangan
    Stasi St. Theresia Pandumaan
    Stasi St. Petrus Batumanumpak
    Stasi St. Agustinus Nassau
    RAYON LUMBAN LINTONG
    Stasi St. Maria Lumban Lintong
    Stasi St. Bartolomeus Sibuntuon
    Stasi St. Benedictus Pararungan
    Stasi St. Thomas Sijomba
    Stasi St. Yoseph Tornaganjang
    RAYON PARIDIAN
    Stasi St. Philipus Janji
    Stasi St. Fransiskus Laverna
    Stasi St. Yohannes Pembaptis, Napajoring
    Stasi St. Paulus Lumban Pinasa
    Stasi St. Stefanus Paridian
    RAYON SIJUNGKAT
    Stasi St. Carolus Sijungkat
    Stasi St. Martha Sibaning
    Stasi St. Paulus Sipange
    Stasi St. Maria Simanalese
    Stasi St. Maria Sitarak
    RAYON LUMBAN RAU
    Stasi St. Maria Lumban Rau
    Stasi St. Vincencius Ambatan Lobuhole
    Stasi St. Bernardinus Realino Aek Ulok
    Stasi St. Petrus Borbor
    Penutup
    Sesuai dengan data Biduk tahun 2022 , di Paroki St. Yoseph Parsoburan, terdapat 984 KK dengan jumlah umat 3936 jiwa. Demikianlah sejarah singkat berdirinya Paroki St. Yoseph Parsoburan. Terima kasih.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Parlilitan

    0
    Pelindung
    :
    Santa Lusia
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Agustus 1958. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Pakkat.
    Alamat
    :
    Pastoran Katolik, Jl. Sion No. 1, Desa Sihotang Hasugian, Kec. Parlilitan, Humbang Hasundutan – 22456
    Telp.
    :
    0822 9426 7239
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.723 KK/ 7.046 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    27
    01. Alahan
    04. Barati
    07. Hutagalung
    10. Hutari
    13. Mungkur
    16. Pusuk I
    19. Sihabong-habong
    22. Siringoringo
    25. Sitinjo
    02. Ambalo
    05. Baringin
    08. Hutagodung
    11. Janji Huta Nangka
    14. Parluasan
    17. Rumbia
    20. Simbara
    23. Sitapung
    26. Tangkorabi
    03. Amborgang
    06. Bungus
    09. Hutarea
    12. Lae Ardan
    15. Pearaja
    18. Siantar Sitanduk
    21. Sindias
    24. Sitataring Nambadia
    27. Tarabintang
    RP. Sebastian O. Siringoringo OFMCap
    08.12.'81
    Parochus
    RP. Romualdus Dolok Limbong OFMCap
    15.02.’77
    Vikaris Parokial
     
     
     

    Sejarah Paroki Sta. Lusia - Parlilitan

    Sejarah Singkat Paroki (klik untuk membaca)
    Perjalanan sejarah Paroki Santa Lusia Parlilitan tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah Paroki Santo Yohanes Pembaptis Pakkat – Keuskupan Agung Medan. Paroki Santa Lusia Parlilitan merupakan pemekaran dari Paroki Santo Yohanes Pembaptis Pakkat. Per jalanan sejarah paroki ini bermula pada tahun 1951 ketika Pastor Godhard Liebreks OFM Cap tiba di Indonesia. Pastor Liebreks dipersiapkan untuk mendampingi Pastor Oscar Nuyten OFM Cap yang sudah lama bekerja sendiri di Paroki Pakkat. Setelah selesai belajar bahasa Batak Toba di Balige, pada tahun 1952 Pastor Liebreks diutus ke Pakkat. Pada tahun yang sama, dari Pakkat, Pastor Liebreks memulai perjalanannya ke Hutari Pusuk II (sekarang masuk dalam wilayah pelayanan Paroki Parlilitan) yang sebelumnya telah dirintis oleh Pastor Marinus van den Acker OFM Cap pada tahun 1938. Pastor Liebreks juga mengunjungi Stasi Huta Pinang di Parlilitan. Ketika mengunjungi Stasi Huta Pinang ini, Pastor Liebreks melihat bahwa Huta Pinang sangat sentral sebagai pangkalan untuk melayani di wilayah Parlilitan sekitarnya. Dengan pertimbangan itu, maka pastor Liebreks memilih tinggal lebih lama di Huta Pinang Parlilitan.
    Dari Huta Pinang, Pastor Liebreks mengunjungi banyak Gereja pagaran (Gereja stasi) yang sebelumnya sudah dirintis oleh Pastor Oscar Nuyten. Kunjungan Pastor Liebreks ini menghidupkan kembali Gereja stasi yang sudah mati suri sebagai dampak dari masa interniran. Kunjungan Pastor Liebreks ini membangkitkan kembali semangat baru bagi umat yang sudah dibaptis. Sebelumnya mereka memiliki pemikiran bahwa Gereja Katolik tidak ada lagi. Selain mengunjungi Gereja stasi, Pastor Liebreks membuka sejumlah stasi seperti Stasi Karontang, Stasi Batu Simbolon, Stasi Sitataring, Stasi Ambalo, Stasi Baringin, Stasi Pusuk I dan Stasi Tangkorabi.
    Dalam perjalanan waktu, Pastor Liebreks melihat bahwa wilayah pelayanan Pakkat dan Parlilitan harus dipisahkan demi efektifitas pelayanan. Pastor Liebreks ingin Gereja Katolik berkembang dengan baik di wilayah Parlilitan. Pada tahun 1958, berdirilah paroki Parlilitan yang dimekarkan dari paroki Pakkat. Dengan berdirinya Paroki Parlilitan, maka Paroki Parlilitan mulai memakai Liber Baptis (Buku Baptis) dan buku-buku data umat lainnya secara tersendiri. Rumah pastor pun dibangun di Parlilitan (dekat Siboas). Pastor Liebreks memilih nama Santa Lusia sebagai pelindung paroki Parlilitan. Dengan nama Lusia, Pastor Liebreks memberi suatu penegasan yakni Cahaya Kristus telah hidup di Parlilitan melalui Gereja Katolik.
    Pada bulan November 1961, Pastor Liebreks pindah tugas ke Pematangsiantar dan digantikan oleh Pastor Septimus Kampoff OFM Cap. Sepuluh tahun kemudian, pada bulan Agustus 1971, Pastor Leo Joosten OFM Cap tiba di Pakkat untuk membantu di Paroki Pakkat dan Parlilitan. Pada tahun 1973, Pastor Septimus Rompa OFM Cap pindah ke Onan Runggu dan digantikan oleh Pastor Ambrosius Sihombing OFM Cap. Pada Tahun 1981 Pastor Ambrosius Sihombing pindah tugas dan digantikan oleh Pastor Philippus Manalu OFM Cap.
    Demikianlah dalam waktu yang sangat panjang, pelayanan paroki Santa Lusia Parlilitan selalu disatukan dengan paroki Santo Yohanes Pakkat. Pastor Paroki Pakkat sekaligus merangkap pastor paroki Parlilitan. Hal ini tentu saja memiliki efek yang kurang baik bagi perkembangan Paroki Parlilitan, sebab para pastor tinggal di Pakkat dan pada umumnya mereka berangkat hari Senin siang atau sore ke Parlilitan untuk melayani pada hari Selasa karena onan (pasar).
    Ketika para pastor kapusin mulai menekankan hidup bersama, sebagaimana dilanjutkan oleh pastor-pastor pribumi, mereka berkomunitas di Pakkat. Dari sana mereka datang melayani di Paroki Parlilitan sambil bermalam dua sampai tiga hari dalam seminggu. Karena itu perkembangan Paroki Parlilitan sering pula melekat erat dengan Paroki Pakkat. Kendati gembala tidak tinggal tetap di paroki ini, Gereja tetap berkembang berkat kerja sama dengan para pemuka jemaat awam.
    Perlahan-lahan satu dua orang pastor kapusin dicoba lebih menetap di Paroki Parlilitan kendati ia tetap anggota persaudaraan kapusin Pakkat. Selanjutnya Paroki Parlilitan memiliki pastor paroki sendiri. Ini terjadi tgl 02 Agustus 2009, ketika Pastor Andreas Win Turnip OFM Cap dihunjuk menjadi administrator paroki didampingi oleh Pastor Ivan Sialagan OFM Cap. Selanjutnya pada tgl 12 Desember 2012 secara resmi komunitas kapusin di Parlilitan didirikan dengan menghunjuk Pastor Masseo Sitepu OFM Cap sebagai kepala komunitas sekaligus sebagai pastor paroki pertama di Parlilitan didampingi oleh Pastor Ivan Sialagan OFM Cap dan Pastor Giovanno Sinaga OFM Cap. Dengan demikian, para pastor yang melayani paroki Parlilitan sudah menetap di pastoran Parlilitan. Hal ini tentu saja sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan paroki Parlilitan.
    Pada tahun 2016 Pastor Masseo pindah tugas ke Paroki Pangururan. Sejak Oktober 2016 tugas sebagai pastor paroki di Paroki Parlilitan selanjutnya diemban oleh Pastor Fransiskus Manullang OFM Cap. Sebelum menjadi pastor paroki Parlilitan, RP Fransiskus Manullang OFM Cap sudah berkarya di Paroki Parlilitan sebagai vikaris parokial. Pada Juli 2022 RP Fransiskus Manullang pindah tugas ke Paroki St Laurensius Jl Sibolga Pematangsiantar. Sejak tgl 03 Juli 2022 jabatan sebagai pastor paroki diserahkan kepada RP Maximilianus Yesuari Dolla OFM Cap. Pastor Maxi dibantu oleh RP Romualdus Limbong OFM Cap sebagai vikaris parokial. Kehadiran rumah pendidikan postulan I di Siantar Sitanduk (salah satu stasi di Paroki Parlilitan) sangat membantu karya pastoral di paroki ini. Para pastor yang merupakan staf pembina di postulat kapusin Medan itu ikut melayani di Paroki Parlilitan sebagai pastor assistensi. Para calon kapusin (postulan) pada Hari Minggu terjun ke stasi-stasi untuk membina Anak Sekolah Minggu Katolik atau BIA.
    Kehadiran para suster dari Kongregasi FCJM juga memberi warna pelayanan di Paroki Parlilitan. Selain berkarya di bidang kesehatan di Klinik St Theresia Parlilitan dan Klinik Dorkas di Siantar Sitanduk, para suster juga giat mengunjungi dan melayani umat ke stasi-stasi dan lingkungan-lingkungan.
    Pelayanan pastoral paroki Santa Lusia Parlilitan tidak pernah terlepas dari peran aktif Dewan Pastoral Paroki. Keterlibatan seluruh DPP menjadi kunci utama berjalannya pelayanan pastoral yang baik di paroki ini. Proses pelayanan yang meliputi proses pengambilan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dalam pelaksanaan, dan evaluasi kinerja dilakukan secara partisipatif dan transformatif. Partisipatif berarti melibatkan seluruh komponen DPP secara aktif dan dinamis atas dasar kepercayaan bahwa DPP dipanggil untuk mengambil bagian dalam kehidupan Gereja. Transformatif berarti selalu mengusahakan perbaikan terus menerus dalam kebersamaan menuju perubahan nyata yang dicita-citakan oleh Paroki maupun Keuskupan seperti tercantum dalam Nilai-nilai, Visi, Misi dan Fokus Pastoral KAM. DPP terlibat secara aktif dalam pengambilan beberapa keputusan.
    Susteran, Klinik dan Postulan I Kapusin
    1. Komunitas Susteran
    Nama Tarekat : FCJM
    Nama Komunitas : Rivotorto
    Jumlah Suster : 4
    Karya : Klinik, Koperasi, Pastoral
    2. Klinik St Theresia Parlilitan
    Dikelola oleh : Para Suster FCJM Komunitas Rivotorto Parlilitan
    Nama Pelindung : St Theresia
    Jumlah Tenaga Medis : 3
    3. Klinik DORKAS Siantar Sitanduk
    Dikelola oleh : Para Suster FCJM Komunitas Rivotorto Parlilitan
    Nama Pelindung : St Theresia Jumlah
    Tenaga Medis : 2
    4. Postulan I Ordo Kapusin Provinsi Medan
    Nama Pemilik : Ordo Kapusin Provinsi Medan
    Nama Komunitas : Parlilitan
    Jumlah Staf : 3
    Jumlah Postulan Tahun Ajaran 2022 – 2023 : 20
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

     

    Paroki Parapat

    0
    Pelindung
    :
    Santo Fidelis Sigmaringen
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Agustus 1952. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Onan Runggu dan Pematangsiantar
    Alamat
    :
    Jl. Sirikki No. 6, Parapat – 21174
    Telp.
    Ktr. Paroki
    Faks.
    :
    :
    :
    0625 – 41024
    Jl. Merdeka No. 53A
    0625 – 41932
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    1.818 KK / 7.469 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    20
     
    01. Aek Natolu
    04. Girsang
    07. Lumban Pea
    10. Pondok Bulu
    13. Sibisa
    16. Sipangan Bolon
    19. Tambun Rea
    02. Ajibata
    05. Horsik
    08. Motung
    11. Pulo-pulo
    14. Sigaolgaol
    17. Sipolha
    20. Ujung Mauli
    03. Dolok Parmonangan
    06. Lanting
    09. Onan Sampang
    12. Repa Sileutu
    15. Sigapiton
    18. Sirungkungon
     

     

    RP. Fransiskus Manullang OFMCap
    15.04.'68
    Parochus
         
         

     

    Sejarah Paroki St. Fidelis Sigmaringen - Parapat

    Awal Misi dan Perkembangan (klik untuk membaca)
    A. Pengantar
    Misi Gereja Katolik di wilayah Parapat merupakan sebagian kecil dari misi Gereja di Tano Batak. Tanah Batak, Tapanuli, sudah lama diimpikan oleh para missionaris Gereja Katolik. Pemikiran itu muncul sangat dilatarbelakangi oleh besarnya minat orang Batak sendiri yang sejak tahun 1922 meminta kehadiran Misi Katolik. Beberapa tokoh orang Batak menulis surat permohonan kepada pemimpin Gereja Katolik yang berpusat di Padang.
    Sejak tahun 1911, Padang dijadikan sebagai Prefektur Apostolik, yakni Prefektur Apostolik Sumatra. Atas permintaan tersebut, pemimpin misi Gereja membulatkan hati untuk mengarahkan karya misi ke daerah Tano Batak. Akan tetapi, hal itu tidak segera terwujud karena berbenturan dengan peraturan pemerintah Belanda yang melarang adanya misi ganda antara Katolik dan Protestan di suatu daerah, sebab karya zending Protestan di kalangan orang Batak Toba sudah dimulai sejak tahun 1860.
    Pemimpin Gereja Katolik di Padang, Mgr. Matias Brans, OFMCap berusaha meminta ijin dari pemerintah Belanda untuk masuk ke daerah Tapanuli mengingat bahwa masih banyak di daerah Tapanuli yang belum menjadi Kristen. Sementara menunggu ijin tersebut, Gereja Katolik sudah mulai berkontak dengan orang Batak di daerah Medan, Sibolga dan Pematangsiantar. Misi Gereja Katolik sebenarnya sudah mulai di Medan sejak tahun 1878 oleh anggota Serikat SJ, yaitu P. Wennecker, SJ., yang mengunjungi Medan secara berkala. Selanjutnya misi masuk ke daerah Sibolga pada tahun 1923 oleh P. Marinus Spinjers, OFMCap., dan ke daerah Laras (Pematangsiantar) pada tahun 1931 oleh P. Aurelius Kerkers, OFMCap.
    Pada tahun 1933, Mgr. Brans menerima kabar gembira bahwa pemerintah Belanda mengijinkan Gereja Katolik masuk ke Tanah Batak. Ijin itu diterbitkan sangat dilatarbelakangi juga oleh semakin banyaknya desakan orang Batak kepada Pemerintah Belanda agar Gereja Katolik diijinkan masuk ke daerah mereka. Momen tersebut tidak disiasiakan oleh karya misi. Dengan segera, Mgr. Brans mengutus para missionaris pergi ke segala penjuru Tanah Batak dengan pesan: “Pergilah, carilah kontak dengan masyarakat, entah waktu siang atau pun waktu malam”.
    Dengan ijin yang ada, para missionaris menjalankan tugas dengan semangat dan tanpa kenal lelah. Dan, dalam waktu yang relatif singkat, Gereja Katolik sudah memasuki daerah-daerah yang kemudian menjadi paroki-paroki penting yakni: Balige (1934), Sawah Dua (1934), Simbolon, Palipi, Pulo Samosir (1936), Lintong Nihuta (1937), Pematangsiantar (1938), Saribudolok (1938), Sidikalang (1938), Onanrunggu (1939), Pangururan (1942) dan Pakkat (1942). Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, Misi Gereja Katolik sudah tersebar luas ke berbagai daerah.
    Permulaan misi Katolik tidak serta-merta mudah diterima masyarakat. Sebagaimana pengalaman P. Sybrandus OFMCap, yang telah tinggal di Balige sejak tanggal 5 Desember 1934, awal kehadirannya memperoleh kesulitan dan hambatan dari pemerintah kolonial Belanda. Hambatan lain beliau alami juga dari sebagian rakyat yang mendiami daerah Toba, Humbang dan Rura Silindung. Akan tetapi, beliau memiliki hati yang penuh cinta kasih dan tetap optimis untuk menyebarkan misi Katolik di wilayah Tapanuli. Sebagai langkah awal, P. Sybrandus mempelajari dan menguasai bahasa Batak Toba, sehingga beliau dapat berdialog dengan warga yang dijumpainya di jalan-jalan dan di “lapo-lapo” (kedai-kedai).
    Selain pelayanan rohani, Pastor juga memperhatikan kesehatan masyarakat, mengusahakan pendidikan, dan bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat. Dengan metode tersebut, perlahan-lahan beliau mendapat rasa simpati dari warga setempat. Beliau melayani kerohanian umat dan berkarya untuk menyebarkan ajaran dan misi Katolik dari kota Balige sampai ke Porsea, Lumban Julu, Sibisa, dan ke beberapa tempat sekitarnya. Daerah Parapat dan sekitarnya tidak ketinggalan menjadi sasaran Misi yang di kemudian hari menjadi Paroki Parapat.
    B. Awal Misi dan Perkembangan
    Gereja Katolik Paroki Parapat memulai sejarahnya pertama-tama dari wilayah luar Parapat. Wilayah Parapat sendiri berada di antara segitiga paroki yang telah ada yakni Paroki St. Laurensius Jl. Sibolga Pematang Siantar, Paroki Balige dan Paroki Onan Runggu. Posisi kota Parapat yang berada di wilayah pertigaan membuat proses pembentukan paroki datang dari tiga arah.
    Dari arah Pematang Siantar, karya misi Gereja Katolik masuk ke daerah Parapat terjadi pada awal tahun 1934 dengan kehadiran P. Aurelius Kerkers, OFMCap. Stasi yang pertama dibentuk adalah stasi Girsang dan komunitas Sualan pada tahun 1934. Pada tahun tersebut, gereja darurat sudah didirikan di Girsang dan Sualan. Pendirian gereja stasi Girsang dapat terlaksana setelah pastor berkomunikasi dengan Bpk. Anggarajim Sinaga yang sudah tertarik masuk menjadi Katolik. Satu tahun kemudian, rumah pastor (pastoran) dibangun di samping gereja Stasi Girsang. Para misionaris datang mengunjungi umat secara berkala dan bermalam di stasi ini. Selain para misionaris, Bpk. Kenan Hutabarat, seorang katekis dari Pematang Siantar, datang juga mengunjungi dan mengajari umat stasi.
    Dalam tahun yang hampir bersamaan, para misionaris para misionaris juga sudah mengunjungi Ajibata. Beberpa umat cukup antusias menjadi Katolik. Pada tahun-tahun awal itu umat Ajibata masih beribadat bersama umat stasi Girsang. Lambat laun mereka beribadat di rumah umat di daerah Sijambur sejak tahun 1938. Tahun itulah dijadikan sebagai tahun berdirinya Stasi Ajibata. Seterusnya, umat Stasi Ajibata mendirikan gereja darurat pada tahun 1966 yang direhab secara bertahap dan akhirnya menjadi gereja permanen.
    Selanjutnya, dari Girsang, bersama Bpk. Kenan Hutabarat, para misionaris perlahan-lahan memperkenalkan Gereja Katolik di Kota Parapat. Pada saat itu tekanan berat dialami oleh Gereja Katolik terutama dari pihak Gereja HKBP yang sudah terlebih dahulu berdiri di Kota Parapat. Atas dukungan P. Aurelius, sekitar tahun 1938, Bpk. Kenan berhasil membeli rumah kecil di daerah Dolok Pangulu, Jl Sirikki (di sekitar Wisma Biara Kapusin sekarang). Rumah itu dikenal juga dengan nama “rumah ijuk”. Perlahan-lahan Bpk. Kenan memperkenalkan Gereja Katolik. Akan tetapi, misi lebih intensif dilaksanakan sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia oleh usaha P. Diego van den Biggelaar.
    Misi dari arah Balige terjadi pada tahun 1934 di Sibisa oleh Bpk. Johannes Nadapdap. Bpk. Johannes mengenal Gereja Katolik dari P. Sybrandus van Rossum, OFMCap., misionaris di Balige. Kemudian beliau memperkenalkan ajaran Katolik kepada keluarganya yang menganut aliran kepercayaan parmalim. Atas dukungan P. Sybrandus, pada tahun 1935 gedung gereja Katolik bersifat darurat didirikan di Desa Sosor Pea Sibisa. Pada masa awal ini sudah ada umat 10 KK. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1936 jumlah umat bertambah menjadi 40 KK.
    Pada tahun-tahun berikunya Gereja Katolik memasuki daerah lain yakni Sirukkungon (1939). Kehadiran Gereja di Sirukkungon adalah atas inisiatif masyarakat dan mereka mengundang kehadiran P. Sybrandus. Awalnya mereka hanya 15 KK. Pada tahun yang sama P. Sybrandus mendirikan Stasi Aek Natolu. Mereka awalnya mengadakan peribadatan di rumah Bpk. Emmanuel Sitorus, yang juga kepala kampung di tempat itu.
    Arah misi ketiga yakni dari Samosir, yang dipelopori oleh P. Beatus Jennisken, OFMCap. Stasi Sirukkungon yang sebelumnya dilayani oleh P. Sybrandus selanjutnya mendapat pelayanan dari Paroki Onan Runggu. Pada tahun 1950 Gereja Katolik didirikan di Sigapiton, dengan jumlah umat 7 KK, dan mendapat pelayanan dari Onan Runggu.
    Kegemilangan misionaris Belanda di sekitar Tanah Batak secara khusus, dan secara umum di Nusantara, untuk sementara terhenti pada tahun 1942. Belanda yang telah berkuasa di nusantara selama kurang lebih 350 tahun digantikan oleh Jepang. Guna menegakkan kekuasaannya, pemerintah militer Jepang mengeluarkan undang-undang yang mengatur dan membatasi gerak lembaga agama. Pada April tahun 1942 para misionaris berdarah Belanda, baik imam, Frater dan suster, ditangkap dan dikirim ke kamp pengasingan selama masa penjajahan Jepang hingga tahun 1945.
    Penyerahan Jepang kepada sekutu pada 14 Agustus tahun 1945 ternyata belum mengakhiri kemandekan karya misi Katolik. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer yang pertama atas negara Indonesia. Situasi tersebut mengakibatkan banyak umat meninggalkan Gereja. Sementara itu, para misionaris telah dibebaskan dari pengasingan, walaupun mereka masih ditahan di Medan karena ketidakstabilan dan ketidakamanan situasi karena konflik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan Belanda.
    Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 membuat kondisi politik dan keamanan lebih stabil. Namun penetapan garis demarkasi antara Parapat dan Ajibata mengakibatkan kesulitan tertentu bagi masyarakat. Ketika itu, wilayah Parapat-Tigaraja masuk daerah kekuasaan Belanda sementara Ajibata masuk daerah Republik. Penduduk dari kedua daerah ini tidak diperbolehkan melintas melewati garis demarkasi. Penetapan dan pelarangan itu menghambat misi Gereja.
    Sejarah Gereja yang tersakiti semasa penjajahan Jepang hingga masa perang kemerdekaan Indonesia (1942-1947) menjadi pengisi halaman kosong Periode Gereja Katolik Indonesia. Pada periode ini ditegaskan peranan kaum awam yang bukan biarawan-biarawati dalam jatuh-bangun eksistensi kehidupan Katolik. Para guru agama atau katekis yang telah mendapat pendidikan dari para misionaris menjadi tulang punggung pelayanan Gereja. Peranan mereka tidak dapat diremehkan. Di Tapanuli, terorganisasi dengan tokohnya Bonifasius Panggabean dari Balige. Mereka bekerja tanpa gaji. Hal yang sama juga terjadi di tempat-tempat dimana para misionaris telah mendirikan komunitas umat Katolik. Pada periode “awam” ini juga di beberapa tempat umat menjadi berkurang.
    Pelayanan para misionaris tampil kembali setelah masa internir berakhir. Mereka langsung bergerak cepat untuk mendapatkan kedudukan yang kuat di kota Parapat. Pada tahun 1948 P. Diego yang dibantu oleh Bpk. Kenan Hutabarat berhasil membeli tanah pertapakan untuk gereja yang terletak di daerah Lumban Gambiri, tepatnya Jl. Merdeka (lokasi PPU sekarang), dari Op. Gokman Sinaga, Op. Tunggul Sinaga, dan Padang Sinaga. Namun setelah dilaporkan kepada P. Biggelaar OFMCap, pastor tersebut kurang setuju dengan lokasi yang telah dibeli. Tanah tersebut tidak rata dan labil, maka sempat dibiarkan. Pastor kembali meminta Bpk. Kenan untuk mencari tanah yang lebih strategis. Kemudian tanah baru diperoleh di lokasi “rumah ijuk” (ala di belakang gereja sekarang) di sekitar Dolok Pangulu (Jl. Sirikki Parapat, dekat wisma biara kapusin sekarang). Bangunan yang ada di lokasi tanah tersebut berukuran 6x7 meter. Rumah ini difungsikan sebagai gereja darurat dan digunakan lebih kurang tiga tahun untuk kegiatan rohani yang dilayani oleh P. Diego. Ketika itu jumlah umat sudah ada 10 KK.
    Pendirian Paroki
    C. Definitif menjadi Paroki
    Pendirian Paroki Parapat yang definitif dimulai lebih serius oleh P. Beatus Jennisken, OFMCap. Beliau memulai misi itu sejak tahun 1952. Walaupun ada kesulitan dari pihak zending Protestan, P. Beatus bercita-cita bahwa misi Katolik harus berdiri kokoh di Kota Parapat. Misi dimulai dengan mendirikan rumah di daerah Tomok Siholing, Pulau Samosir. Dari sana beliau dengan semangat melaksanakan karya misi ke Parapat, termasuk menghidupkan kembali komunitas Sualan yang telah lama terlantar. Pada tanggal 5 September 1952 P. Jennisken mulai menggagas Stasi Parapat.
    Pada tahun itu, jumlah umat telah bertambah menjadi 60 KK. Dua tahun berikutnya (1954) secara resmi berdirilah Stasi Parapat, yang juga tempat bergabung umat komunitas Sualan. Perayaan tersebut dipimpin oleh Superior Regularis, P. Ferrerius v.d. Huurk, OFMCap, dan didampingi P. Beatus Jenniken sebagai parokus pertama. Umat dari Girsang, Ajibata, Motung, serta Onan Runggu ikut serta dalam pesta gembira tersebut. Ketua Dewan Stasi pada waktu itu adalah Bapak Pain Petrus Sinaga (A. Flora).
    Pendirian Stasi Parapat ditentang oleh pihak gereja HKBP dengan melayangkan surat keberatan kepada Asisten Wedana (struktur jabatan dalam pemerintahan Hindia Belanda yang kira-kira sama dengan camat sekarang) di Tanah Jawa. Surat itu dibatalkan karena ditengarai penuh dengan sentimen pribadi dan keagamaan.
    Sesudah perayaan pendirian gereja Stasi Parapat, P. Jennisken mulai menggagasi pembangunan gereja permanen. Keluarga P. Jennisken sangat banyak membantu biaya pembangunan. Dalam proses pembangunan itu, umat berperan aktif seperti bergotong-royong dan memberikan sumbangan berupa pasir dan batu padas sebanyak dua truck/KK. Pembangunan itu mulai terlaksana pada tanggal 17 Oktober 1955.
    Seiring dengan berdirinya Gereja Parapat, P. Jennisken memindahkan kedudukan paroki dari Tomok ke Parapat pada tanggal 1 April 1955. Keputusan itu dilihat sangat positif. Pelayanan pastoral dapat berjalan lebih mantap karena didukung fasilitas dan jalur transportasi yang lebih memadai.
    Pada tangggal 2 Januari 1956, ketika P. Marianus v.d. Acker, OFMCap, menjadi Superior Regularis Ordo Kapusin Medan, gereja baru dibangun dan menjadi Gereja Katolik Biara Kapusin dan sekaligus berfungsi sebagai gereja Stasi Parapat. Pada tahun itu juga dibangun gedung seminari untuk Novisiat Biara Kapusin serta gedung untuk pendidikan Filsafat dan Teologi bagi para calon imam. Dalam proses pembangunan itu, Superior Regularis Ordo Kapusin Medan menegaskan bahwa komunitas di Parapat bukan lagi Pastoran Katolik Parapat melainkan Biara Kapusin Parapat.
    D. Pergantian Penggembalaan dan Perkembangan Wilayah Pelayanan 
    Dengan berdirinya Paroki Parapat pada tahun 1952, pelayanan kerohanian terhadap umat semakin baik dan penyebaran misi Katolik semakin berkembang. Pada awalnya, Paroki Parapat melayani stasi-stasi yang menyebar di daerah sebagian Pulau Samosir, sebagian daerah Simalungun dan sebagian daerah Toba. Untuk pelayanan di daratan Pastor memakai sepeda motor dan untuk pelayanan di sekitar Danau Toba, beliau mempergunakan kapal.
    Beberapa catatan tentang perkembangan umat Gereja Katolik Paroki Parapat dapat dilihat dari jumlah stasi yang cukup banyak, ditambah lagi dengan wilayah pelayanan yang begitu luas. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, P. Jennisken mendirikan beberapa stasi a.l.: Sigapiton (1950), Stasi Tomok (1952), Stasi Motung (thn. 1953), Sosor Tolong (1954), Sipangan Bolon (1955), Sipolha (1958), Pulo-pulo (1959), Repasilautu (1961), Lumban Pea (1962), Tambun Rea (1963) dan Pondok Bulu (1964). Selain itu, P. Jennisken tetap mengunjungi beberapa stasi yang sudah didirikan sebelumnya dan masuk bagian wilayah Paroki Onanrunggu dan kemudian masuk bagian Paroaki Parapat, a.l: Stasi Sipinggan (1938), Stasi Pangaloan (1938), Stasi Sosor Tolong (1939) dan Stasi Hutagurgur (1942).
    Dengan semangat tak kenal lelah, P. Jennisken juga menjelajah daerah Simalungun dan melayani beberapa stasi yang sebelumnya masuk wilayah pelayanan misi dari Pematang Siantar serta mendirikan beberapa stasi yang baru. Stasi tersebut adalah Stasi Tigadolok (1934), Tomuan Dolok I (1934), Palianaopat (1936), Marihat Raja (1936), Lumban Ri (1953), Nagori Asi (1953), Marihat Baru (1960) dan Lumban Gorat (1961).
    Sejak tahun 1966, P. Raymond Rompa, OFMCap. bertugas menjadi Pastor Paroki menggantikan P. Jenisken. Pada masa tugasnya, beliau memelihara seluruh iman umat yang semakin berkembang. Dan, pada tahun 1970, beliau mendirikan stasi Lanting. Selanjutnya, tugas Pastor Rompa digantikan oleh P. Sylverius Yew, OFMCap., yang berkarya sejak tahun 1972 sampai tahun 1975.
    Melihat luasnya daerah pelayanan (31 stasi) dan semakin bertambahnya jumlah umat maka pada tahun 1972 beberapa stasi, yang semula dilayani dari Parapat, bergabung dengan Paroki St. Yosef, Jln. Bali, Pematang Siantar, yang berdiri sejak tahun 1966. Stasi-stasi tersebut adalah: Stasi Tigadolok, Tomuan Dolok I, Palianaopat, Marihat Raja, Lumban Ri, Nagori Asi, Marihat Baru dan Lumban Gorat.
    Sejak tahun 1972 Paroki Parapat semakin fokus melayani umat di sekitar Parapat, Lumban Julu, dan Tomok. Stasi-stasi yang tetap dilayani Paroki Parapat sejak itu ada sebanyak 23 stasi. Ke-23 stasi tersebut adalah stasi: Aeknatolu, Ajibata, Girsang, Huta Gurgur, Lanting, Lumban Pea, Parapat, Pondok Bulu, Pulo-pulo, Repa Sileutu, Pangaloan, Sibisa, Sigapiton, Sipinggan, Sosor Tolong, Sipolha, Sirungkungon, Sipangan Bolon, Sibolopian, Tomok, Tambun Rea, dan Tanjungan.
    Sejak tahun 1975 P. Anselmus Mahulae OFMCap bertugas sebagai Pastor Paroki. Beliau berkarya di Parapat hanya satu tahun. Untuk melanjutkan karya pastoral paroki, P. Sylverius kemudian ditugaskan kembali menjadi Pastor Paroki dari tahun 1976-1979. Selanjutnya, sejak tahun 1979 hingga 1983, P. Hyginus Silaen, OFMCap menjadi Pastor Paroki. Pada masa tugasnya, beliau mendirikan Stasi Ujung Mauli (1980) dan Horsik (1980). Karya lain yang diupayakan P. Silaen adalah menggagasi berdirinya CU Tao Toba (01 Sep-tember 1979) dan menyelesaikan permasalahan tanah di Lumban Gambiri lokasi PPU Parapat sekarang, yang permasalahannya diselesaikan sampai ke tingkat Mahkamah Agung pada tgl. 26 Juli 1983.
    Estafet kegembalaan paroki dilanjutkan oleh P. Marianus Simanullang, OFMCap. Beliau bertugas sebagai Pastor Paroki dari tahun 1983 sampai tahun 1985. Tugas sebagai Pastor Paroki selanjutnya diemban oleh P. Venantius Sinaga, OFMCap dari tahun 1985 sampai tahun 1990. Pada masa tugas beliau, Paroki Parapat menyelenggarakan Pesta Tahbisan Imam pada tahun 1989. Imam yang ditahbiskan pada waktu itu adalah P. Richard Sinaga, OFMCap. (putra stasi Girsang) dan P. Ludovikus Siallagan, OFMCap. (putra Stasi Palianaopat Siantar). Pesta tersebut dilaksanakan di Open Stage Pagoda, Parapat. Beliau mendirikan Stasi Sibosur (1986), Stasi Parmonangan (1986), dan Stasi Onansampang, yang memekarkan diri dari Stasi Sibisa pada tahun 1989. Hingga tahun ini jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 28 stasi.
    Selanjutnya, P. Alfonsus Simatupang, OFMCap. bertugas sebagai Pastor Paroki sejak tahun 1990. Seiring dengan adanya kebijakan mendirikan Dewan Paroki di setiap paroki KAM, P. Alfonsus juga mendirikan Dewan Paroki Parapat, menggalakkan Kelompok Tani dan kursus-kursus bagi Pengurus Gereja. Satu stasi yang didirikan pada periode Pastor ini adalah Stasi Ambarita pada tahun 1993. Dengan demikian, Paroki Parapat sejak tahun itu berjumlah 29 stasi.
    Perkembangan Paroki selanjutnya diemban oleh P. Nelson Sitanggang, OFMCap. yang bertugas dari tahun 1996 sampai tahun 2000. Pada masa tugasnya, P. Nelson memindahkan Kantor Paroki dari Biara Kapusin Parapat ke kompleks PPU Parapat pada tahun 1996 setelah beliau membangun sebuah gedung untuk itu. Sebelumnya, sejak tahun 1952 – 1996, kegiatan pelayanan paroki berpusat di Biara Kapusin Parapat. Sejalan dengan ide itu, P. Nelson, sejak tahun 1998, membangun gedung megah untuk Pusat Pembangunan Umat (PPU) yang terletak di Jl. Merdeka No. 53 A Parapat. Tujuan penting membangun gedung itu adalah menjadi pemusatan pendidikan dan pembinaan iman umat.
    Pada waktu acara peresmian Kantor Paroki dan PPU Parapat pada tgl. 20 Mei 2001, Uskup Agung KAM Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap., meresmikan nama paroki dengan nama pelindung Santo Fidelis, sehingga nama Paroki menjadi “Paroki Santo Fidelis Parapat”. Nama itu tidak lepas dari nama pelindung Biara Novisiat Kapusin Parapat, yakni Santo Fidelis Sigmaringen.
    Hal lain yang pantas dicatat pada masa tugas P. Nelson adalah dikeluarkannya buku “Pedoman Pastoral, Siihuthonon ni Ruas Katolik Paroki St. Fidelis Parapat”, sebuah buku yang berfungsi sebagai Anggaran Dasar Paroki Parapat. Pedoman ini dikeluarkan pada bulan November 1999, sebagai penerapan dari buku Pedoman Pelayanan Pastoral Paroki Keuskupan Agung Medan (P4KAM) yang dikeluarkan oleh Keuskupan pada tgl. 21 Agustus 1990.
    Pastor Arie van Diemen, OFMCap. ditugaskan menjadi Pastor Paroki yang baru. Beliau memulai tugasnya sejak tahun 2000 hingga tahun 2007. Suatu peristiwa bersejarah di Paroki terjadi pada masa tugas beliau, yakni pemekaran paroki pada hari Minggu, tanggal. 29 Oktober 2006. Sebanyak 10 (sepuluh) stasi, yakni stasi-stasi yang berada di seberang Danau Toba, bergabung ke Paroki Tomok–Simanindo. Oleh karena itu stasi yang tinggal pada wilayah pelayanan Paroki Parapat sejak itu berjumlah 19 stasi.
    Tugas selanjutnya dilaksanakan oleh P. Samuel Aritonang, OFMCap. sejak thn 2007 sampai 2009. Pada periode ini, usaha untuk merehap gereja Stasi Lumban Pea dan Stasi Pulo-pulo sudah mulai dirancang dan pembangunannya selesai pada pada tahun 2010 dan 2011. Satu stasi yang didirkan oleh P. Samuel adalah Stasi Dolok Parmonangan pada tahun 2008 sebagai pemekaran dari Stasi Pondok Bulu. Dengan demikian jumlah stasi di Paroki Parapat menjadi 20 stasi.
    Kemudian P. Donatus Marbun, OFMCap. berkarya menjadi Pastor Paroki sejak tahun 2009. Beliau ditemani oleh P. Dionisius Purba, OFMCap. sebagai Pastor Rekan (2009-2011) dan P. Christian Lumban Gaol, OFMCap, sebagai Pastor Rekan (2011-2012). Untuk tujuan karya pastoral, P. Donatus meminta kehadiran P. Frans Situmorang, OFMCap., menjadi pastor asistensi satu kali sebulan di Parapat.
    Beberapa gagasan P. Donatus cukup nyata di Paroki Parapat, mis.: melengkapi peralatan liturgi gereja di setiap stasi; merenovasi beberapa bangunan gereja stasi; melengkapi nama pelindung paroki: “Santo Fidelis Sigmaringen”; merancang motto Paroki: Teratur, Mandiri, dan Berkembang; menata ruang sekretariat Kantor Paroki dan PPU Parapat, menggalakkan sermon-sermon rayon, memulai penugasan penulisan sejarah-sejarah setiap stasi, dll. Pada masa P. Donatus telah digagas perihal pemekaran Stasi St. Yosef Repa Sileutu.
    Sejak tgl. 25 November 2011 tugas Pastor Paroki dilaksanakan oleh P. Christian Lumban Gaol, OFMCap. Dalam tugas yang masih baru ini, beliau melanjutkan karya-karya pastoral paroki melalui kursus-kursus, sermon-sermon, rekoleksi pengurus gereja, merenovasi pembangunan gereja stasi Sirungkungon, Dolok Parmonangan, dan Onansampang dan mengunjungi ke-20 stasi di Paroki serta menanggungjawabi pengembangan PPU Parapat. Fokus perhatian dan pelayanan Pastor ini lebih terarah pada bidang liturgi gereja.
    Secara khusus, pada tahun 2013, P. Christian bersama panitia merancang dan melaksanakan Pesta Syukur (Jubileum) 80 tahun misi gereja Katolik di daerah Paroki Parapat. Pesta puncaknya akan dilaksanakan pada tgl. 09 Februari 2014. Beberapa kegiatan diprogramkan untuk ini termasuk penyusunan buku sejarah paroki dan perampungan sejarah gereja setiap stasi se-paroki. Pada masa P. Christian, stasi St. Andreas Sigaol-gaol, pemekaran dari Stasi St Yoseph Repa Sileutu, didirikan dengan misa pertama pemberkatan gereja pada tanggal 31 Mei 2015.
    Kemudian RP. Ferdinan Lister Tamba OFMCap. pindah tugas ke paroki St. Fidelis Parapat sebagai pastor rekan dan juga sebagai formator novisiat kapusin Parapat sejak 30 Nopember 2014. Dia bertugas di paroki St. Fidelis Parapat sejak 30 Nopember 2014 sampai 01 Agustus 2016. Pada tanggal 27 September 2015 serah terima jabatan pastor paroki dari RP. Christian Lumbangaol, OFMCap. kepada RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap. dilaksanakan.
    Di dalam Sidang Paripurna Tahun pastoral 2015 tanggal 29-30 Januari 2016 atas pertimbangan dari RP. Hiasintus Sinaga, diputuskan bahwa Stasi Induk Parapat yang selama ini bergabung dengan Stasi Girsang sebagai Rayon terjadi perobahan bahwa Parapat menjadi Rayon Tersendiri (Rayon Kota Parapat). Sementara itu Stasi Girsang bergabung ke rayon Ajibata. Sejak itu, setiap lingkungan di Kota Parapat (10) berhak mengikuti kegiatan dan perlombaan yang diselenggarakan paroki sama seperti stasi-stasi “Pagaran” lainnya. Dampak positif dari keputusan dan kebijakan ini, jika ada kegiatan / pertandingan secara parokial, jumlah peserta dari Parapat meningkat luar biasa. Dari antara 50 s/d 80 orang peserta menjadi 250 s/d 300 orang peserta.
    Pada tanggal 21 Januari 2016 parokus bertemu dengan Mgr. Anicetus B. Sinaga dan Ekonom KAM perihal rencana pembangunan gereja paroki Parapat. Dan atas restu Uskup Agung Medan maka pada tanggal 12 Maret 2017 dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan gereja paroki di lokasi gereja biara kapusin Parapat dan sekaligus penggalangan dana. Proses pembangunan selanjutnya untuk sementara dihentikan karena adanya musibah tembok penahan longsor dan peninjauan ulang kelayakan lahan.
    Surat Keputusan Uskup Agung Medan No. 473/IM/SMMR/KA/VIII/’19 menugaskan RP. Anthony Nguyen Van Viet, SMMR sebagai Vikaris Parokial dan sebagai Pembimbing Rohani para novis asal Vietnam, terhitung sejak tanggal 01 September 2019. Beliau datang ke Parapat dan disambut secara resmi pada tanggal 13 September 2019. Pastor Antony kemudian dipindahkan ke Paroki St Josep Jl. Kain Batik Pematang Siantar. Beliau dikenal sebagai pastor yang rendah hati.
    Tanggal 20 Agustus 2016 RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap, Ketua PSE KAM, RP. Markus Manurung dan Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap bersama dengan tokoh adat dan tokoh agama lainnya bertemu dengan Bapak Presiden RI, Joko Widodo, Gubernur Sumatera Utara dan para menteri di Inna Hotel Parapat. Pertemuan ini terselenggara dalam rangka Carnaval Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71. Dalam pertemuan itu Mgr. Anicetus Sinaga dengan sangat serius mengetengahkan kepada Bapak Presiden bahwa pihak Gereja Katolik KAM mendukung “soft-torism” dalam bingkai Badan Otorita Danau Toba (BODT). Pesan Mgr Sinaga terang bahwa penduduk di sekitar Danau Toba tidak menjadi penonton atau bahkan korban atas dampak gerakan BODT itu sendiri.
    Kehadiran Biara Kapusin dan Kongregasi KYM
    E. Kehadiran dan Dukungan Biara Kapusin dan Kongregasi KYM
    Perkembangan Paroki Parapat, sebagaimana dipaparkan di atas, sangat didukung oleh kehadiran para Pastor dan Bruder Kapusin yang bertugas di Biara Kapusin Parapat dan para Frater Kapusin yang ikut dalam karya kerasulan di stasi dan mengajar agama di sekolah-sekolah. Para Pastor, entah sebagai staf novis dan dosen para frater, dan Bruder tersebut sudah mulai berkarya di Parapat sejak thn. 1955.
    Selain itu, kehadiran para Suster dari Kongregasi KYM di Parapat sejak tgl. 28 Oktober 1963 juga berperan besar menopang kemajuan Paroki. Para suster yang hadir pada saat itu adalah: Sr. Fransiska de Chantal v.d. Linden, KYM, Sr. Flavia Napitu, KYM, Sr. Sisilia Sirait, KYM, dan Sr. Christina Rajagukguk, KYM. Sesudah mereka, sudah banyak suster silih berganti hadir dan berkarya di Parapat hingga sekarang. Mereka tinggal di rumah bernama Capri dekat Gereja Katolik dan Biara Kapusin Parapat. Tugas utama mereka adalah bekerja di dapur Biara Kapusin sejak tgl. 01 November 1963.
    Kongregasi KYM pernah juga bercita-cita untuk mendirikan poliklinik dan karya pendidikan di Parapat. Hal itu baru terwujud ada tgl. 14 Juli 2006. Kongregasi berhasil memulai karya pendidikan dengan mendirikan TK Bintang Timur Parapat. Tanggal 27 September 2019 peresmian dan pemberkatan Gedung SD Bintang Timur Parapat, kelolaan suster KYM. Bidang poliklinik belum terwujud. Tugas lain yang dilaksanakan oleh anggota Kongregasi KYM adalah terlibat dalam tugas pastoral di Paroki sebagai katekis. Mereka melaksanakan tugas itu di stasi, si lingkungan, mendampingi Asmika, Areka, PIK (Punguan Ina Katolik) Parapat, membantu pelayanan komuni di gereja, memberi persiapan pelaksanaan komuni pertama, persiapan Sakramen Baptis dan Krisma. Tugas penting lain yang dilaksanakan oleh anggota kongregasi adalah bekerja di PPU Parapat sejak tgl. 08 Juli 2000.
    F. Letak Geografis dan Wilayah Pelayanan
    Paroki St. Fidelis Sigmaringen Parapat adalah suatu bagian pelayanan pastoral parokial di wilayah Keuskupan Agung Medan. Paroki ini berpusat di kota Parapat, sebuah kota kecil yang terletak pada wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon daerah Kabupaten Simalungun yang berbatasan dengan daerah Kabupaten Tobasa dan Kabupaten Samosir. Kota Parapat terbentang pada garis pantai Danau Toba sepanjang 2,5 km. Kota ini menjadi pintu gerbang daerah tujuan wisata Danau Toba, yang banyak dikunjungi turis domestik maupun turis mancanegara. Pelayanan pastoral Paroki Parapat berbatasan dengan wilayah pelayanan pastoral dari 4 paroki sekitarnya:
    a. Sebelah Utara : Paroki St. Antonius dari Padua, Tiga Dolok.
    b. Sebelah Barat : Paroki St. Antonio Maria Claret, Tomok
    c. Sebelah Selatan : Paroki St. Paulus, Onan Runggu
    d. Sebelah Timur : Paroki St. Yosef, Balige
    Wilayah pelayanan Gereja Katolik Paroki Parapat terdiri dari 20 stasi yang tersebar di dua kabupaten. Sebagian daerah Kabupaten Simalungun: mencakup wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, sebagian wilayah kecamatan Dolok Panribuan dan sebagian kecamatan Pamatang Sidamanik; dan di Kabupaten Tobasa: mencakup wilayah Kecamatan Ajibata dan sebagian wilayah Kecamatan Lumbanjulu.
    G. Momen Penting
    Paroki St. Fidelis Sigmaringen Parapat mengadakan Pesta Jubileum 80 tahun pada 9 Pebruari 2014, yang dipimpin Uskup Agung Medan AB Sinaga OFM Cap dan Uskup Emeritus AGP Datubara di Panggung Terbuka Parapat. “Gratis Et Amore Dei” adalah thema yang diusung pada perayaan puncak pesta Yubileum. Uskup sekilas menyampaikan sejarah gereja Katolik di Parapat, khususnya di Paroki St Fidelis Sigmaringen.
    Sejak tahun 1934-2014, Paroki telah melalui beberapa momen penting. Hal pertama yang patut dicatat adalah pendirian Stasi Parapat. Pendirian Stasi Parapat menjadi istimewa karena tantangan yang begitu berat dan hasil akhirnya yang menjadi pusat paroki. Tantangan utama pendirian Gereja di Parapat datang dari zending Protestan. Mereka masih terpaku pada peraturan pemerintah Belanda yang tidak mengijinkan terjadinya pewartaan ganda. Walaupun peraturan itu sudah dicabut oleh pemerintah Belanda pada tahun 1933.
    Pemindahan kedudukan paroki dari Tomok ke Parapat merupakan suatu keputusan yang cepat. Hal ini diputuskan hanya tiga tahun setelah pendirian Stasi Parapat. Hal itu dilihat sangat positif. Pelayanan pastoral dapat menjangkau banyak wilayah yang jauh dari Pematang Siantar dan Balige.
    Pembangunan PPU yang dimulai sejak tahun 1998-20 Mei 2001 dapat dilihat sebagai salah satu momen penting perkembangan paroki. Tujuan penting pembangunan gedung itu adalah menjadi pemusatan pendidikan dan pembinaan iman umat. Dalam hal ini, Gereja tidak hanya membaptis sebanyak mungkin orang, tetapi juga menyediakan sarana untuk pengembangan iman.
    Pemekaran paroki Tomok menjadi suatu peristiwa bersejarah bagi Paroki Parapat, ketika Pastor Arie van Diemen OFMCap menjadi parokus. Pemekaran itu bisa menjadi pertanda pertambahan jumlah umat baik di sekitar Parapat maupun di wilayah sekitar pelayanan Paroki Tomok. Dengan pemekaran itu juga, pelayanan iman oleh para imam bisa lebih mudah dijangkau. Sehingga semua umat memperoleh haknya untuk mendapat pelayanan kerohanian.
    H. Penutup : Motto Paroki dan Spiritualitasnya
    Pelayanan pastoral Paroki Parapat berangkat dari motto dan spiritualitas yang dicanangkan. Spiritualitas motto Paroki ini, yakni: “Teratur, Mandiri dan Berkembang”. Motto Paroki ini dikumandangkan pada tanggal 02 Agustus 2009 oleh P. Donatus Marbun. Motto singkat ini, menggambarkan motivasi, semangat dan tujuan serta komitmen, bersama pengurus gereja dan umat seluruhnya untuk memajukan Paroki ini. Motto itu tergambarkan dalam visi dan misi Paroki.
    Visi Paroki ini ialah: Menjadi Paroki teladan di segala bidang. Misinya ialah mengajak umat agar menjadi umat yang patuh pada aturan gereja, mandiri dalam pengungkapan iman dan berkembang dalam mewujudkan imanya sesuai dengan tanda-tanda zamanya. Motto ini tidak dikutip langsung dari Injil, tetapi isi dan tujuannya mengungkapkan pesan Injili: “mendirikan rumah di atas batu, kokoh tak tergoyangkan” (bdk. Mat 7:24-25)
    Tiga untaian kata sifat, “Teratur, Mandiri dan Berkembang”, ini diurutkan menurut urutan pelaksanaannya, kendati tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam keteraturan ada kemandirian dan perkembangan dan sebaliknya. Dalam kemandirian, aturan ditegakkan, perkembangan diimpikan. Dalam perkembangan, kemandirian dipertahankan, aturan disempurnakan. Dengan semboyan di atas, “bahtera” Paroki Parapat dapat mengarungi jaman, meneruskan karya para misionaris dan sintua terdahulu, membina umat yang baru, dan mampu menghadirkan kerajaan Allah sampai akhir zaman.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Pangururan

    0
    Pelindung
    :
    Santo Mikhael
    Buku Paroki
    :
    Sejak tahun 1941. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Palipi.
    Alamat
    :
    Jl. Uskup Agung Soegiopranoto 1, Pangururan – 22392
    Telp.
    :
    0626 – 20191/ 0813 9716 5855
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    5.625 KK / 24.012 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    65
     
    01. Aeklan
    04. Batu Bolon
    07. Bonan Dolok
    10. Dolok Niapul
    13. Huta Ginjang
    16. Janji Martahan
    19. Limbong
    22. Lumban Raja
    25. Pandulangan
    28. Pansur Napitu
    31. Pardugul
    34. Peabang
    37. Pintu Sona
    40. Salaon Dolok
    43. Saitnihuta
    46. Sidabagas
    49. Sigorat
    52. Sihusapi
    55. Siopat Sosor
    58. Sitao-tao
    61. Situngkir
    64. Tulas
    02. Aek Nauli
    05. Boho
    08. Dolok Nauli I
    11. Harapohan
    14. Janji Maria Dolok
    17. Janji Matogu
    20. Lintong Nihuta
    23. Lumban Suhi-suhi
    26. Pandumpasan
    29. Pantil Nauli
    32. Parmonangan
    35. Pinal
    38. Rianiate
    41. Salaon Toba
    44. Siambalo
    47. Sidauruk Sihole
    50. Sigumbang
    53. Sinabulan
    56. Siopat Suhi
    59. Sitaretareon
    62. Sosor Dolok
    65. Upahoda
    03. Binangara
    06. Bona ni Dolok
    09. Dolok Nauli II
    12. Hasinggaan
    15. Janji Maria Toruan
    18. Jungak
    21. Lumban Naganjang
    24. Onan Rihit
    27. Pangilahan
    30. Paraduan
    33. Parsaoran
    36. Pintu Batu
    39. Ronggur Nihuta
    42. Salaon Tonga-tonga
    45. Sianjung-anjung
    48. Sidihoni
    51. Sihotang I
    54. Siogung-ogung
    57. Siriaon
    60. Sitonggi-tonggi
    63. Tanjung Bunga

     
    RP. Elio Sofianus Sihombing OFMCap
    1-Feb-1981
    Parochus
    RP. Theodorus Sitinjak OFMCap
    25-Jun-1963
    Vikaris Parokial



         

    Sejarah Paroki St. Mikael - Pangururan

    Awal Mula Berdirinya (klik untuk membaca)

    Kehadiran Gereja Katolik di Samosir dimulai dengan kedatangan Misionaris Belanda pertama bernama P. Diego van den Biggelaar, OFM Cap. pada tahun 1938. Pastor yang akrab disapa Opung Bornok memulai karya misi di daerah Simbolon. Selanjutnya hadir P. Beatus Jenniskens, OFM Cap. yang membuka misi di daerah Onan Runggu dan sekitarnya. (Bdk Samosir Mutiara Cinta dan Kasih Hal 46-47).

    Surat Apostolik Vikariat Padang tanggal 28 Juni 1941, yang dialamatkan kepada P. Benyamin Dijkstra, OFM Cap. mengungkapkan bahwa pada tanggal 1 Agustus 1941 didirikan Paroki Pangururan dan P. Benyamin Dijkstra ditetapkan sebagai Pastor Paroki yang pertama. Pastor ini mulai menetap di Pangururan ketika dia berumur 31 tahun. Dua setengah tahun sebelumnya dia memulai hidup sebagai seorang misionaris di Pematang Siantar. Pengetahuan bahasanya masih agak terbatas, tetapi ia handal sebagai seorang misionaris. Dia bantu oleh seorang katekis yang sangat handal yaitu K.J.C Tampubolon. Misionaris lain umumnya tidak memiliki tenaga katekis yang handal seperti itu. Kedua orang ini bekerja sama sebagai pasangan yang ideal yang sudah barang tentu mengharmoniskan perkembangan misi Katolik di daerah Pangururan. Pastor Dijkstra mempunyai metode kerja yang cepat.

    Sejak awal sudah banyak permohonan untuk mendirikan Huria Stasi di berbagai tempat. Permohonan ini disampaikan oleh kelompok masyarakat setempat secara lisan dan resmi. Tetapi itu sering menjadi kurang mengesankan karena kertas-kertas bermaterai diisi penuh dengan tanda tangan dan sidik jari, seolah-olah seluruh rakyat di daerah itu sangat rindu menjadi Katolik. Jika ada permintaan sedemikian, maka mula-mula akan disuruh seorang katekis yang secara resmi diutus oleh P. Benyamin Dijkstra untuk memeriksa. Jika menurut pandangan dan hasil kunjungan katekis itu cocok, maka P. Benyamin Dijkstra bersama katekisnya akan pergi ke tempat itu. Ketika sudah sampai pada daerah tertentu, yang sering muncul adalah kondisi masyarakat yang menginginkan di daerah mereka didirikan sekolah sebagai tempat anak-anak mereka untuk menempuh Pendidikan. Memang pada saat itu sekolah negeri terutama daerah-derah pelosok belum berdiri. Orang Batak pada umumnya ingin belajar Bahasa Belanda karena mereka mengira bahwa bangsa Belanda adalah bangsa yang kaya.

    P. Benyamin Dijkstra tinggal di tengah-tengah orang Batak yang haus akan kemajuan pada segala bidang, emansipasi dan perbaikan kehidupan. Pada kunjungan pertama P. Benyamin Dijkstra ke desa tertentu, sering setelah perundingan yang lama, disepakati bahwa masyarakat setempat harus membangun gedung sekolah atas biaya mereka sendiri. Biasanya Gedung sekolah itu terdiri dari 4 tiang dengan atap dari rumput dan tidak berdinding. Umumnya dinding akan dipasang jika Stasi sudah semakin berkembang. Sering kali dimuat dalam berita bahwa angin Danau Toba merobohkan gedung-gedung sekolah itu.

    Selain itu umat juga bertanggungjawab atas tempat tinggal seorang guru yang dikirim oleh pastor. Kebanyakan guru misi tidak lebih seperti seorang “bermata satu” yang dirasa sanggup membawa sedikit terang di daerah orang buta. Dengan gaji yang minim mereka mengajar anak-anak di daerah pelosok yang bisanya jauh dari pusat. Guru itu sekaligus diangkat menjadi katekis. Orang-orang yang mendaftarkan diri untuk belajar setiap hari minggu pagi akan berkumpul untuk berdoa dan bernyanyi. Pada malam tertentu, mereka juga akan berkumpul menerima pelajaran agama yang diberikan oleh guru atau katekis tersebut.

    Pada waktu itu setiap hari Rabu yang merupakan hari pekan, setiap katekis atau guru harus berkumpul di pastoran untuk menerima pelajaran dari pastor dan sekaligus memberikan laporan mengenai keadaan Stasi. Sesekali pastor atau kepala katekis akan mengunjungi Stasi tertentu untuk memberikan pengajaran agama dan pendalaman iman, sekaligus mengontrol kerajinan dan kemantapan umat dengan melihat daftar hadir.

    Pada Maret 1942 Jepang masuk ke Sumatera dan menangkap semua orang Belanda, termasuk para misionaris yang berkarya di tanah batak seperti P. Benyamin Dijkstra. Setelah beberapa tahun di penjara Jepang tepatnya pada 1944 P. Benyamin Dijkstra mengalami sakit kanker yang cukup parah yang mengharuskannya dioperasi di Medan. Namun operasi itu tidak berhasil dan mengakibatkan melemahnya tubuhnya hingga akhirnya ia meninggal pada 13 September 1944 di usia 38 Tahun. P. Benyamin Dijkstra meninggal di tengah-tengah saudara saudaranya di Ordo Kapusin. Beliau dikuburkan di Medan.

    Menurut catatan-catatan sebelum perang, di Samosir sudah sudah terdapat 3.600 umat Katolik dan 9.600 Katekumen. Pangururan sendiri sudah memiliki 15 buah Stasi. Pada 01 Agustus 1941 Pangururan secara resmi menjadi Paroki tersendiri, terpisah dari Paroki Palipi. Tetapi pada 12 Juli 1941 P. Benyamin Dijkstra sudah memulai Buku Permandian sendiri. Pada hari itu dia menulis terdapat 215 permandian yang semuanya diterimakan di Sihotang. Stasi Sihotang ini sudah didirikan dari Palipi pada tahun 1936. Lebih dari setengahnya yang dipermandikan itu terdiri dari anak-anak umur 12 tahun, hanya 10 orang di atas 50 tahun. Pada 1 januari 1942, 42 orang dipermandikan di Lumban Lintong (Pangururan sendiri). Hanya di Sihotang dan Lumban Lintong P. Benyamin Dijkstra melaksanakan pesta permandian massal di Parokinya yang muda. Sampai beliau ditangkap tentara Jepang untuk dipenjara, dia telah telah menulis 385 permandian. Pada paskah 1942 Paroki Pangururan telah mempunyai 500 orang yang dipermandikan dan beberapa ribu katekumen.

    Sepeninggal P. Benyamin Dijkstra, sekolah-sekolah dan Stasi yang telah didirikan dibubarkan, sebab guru-guru tidak mendapatkan gaji lagi. Selain itu kebanyakan dari katekis atau guru menukar jabatannya dengan kesibukan lain yang lebih menguntungkan. Stasi-stasi harus mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar. Mereka ke gereja pada hari minggu dan berdoa rosario, tetapi makin lama makin merosotlah kehidupan Stasi ini. Bahkan ada Stasi yang harus tutup sama sekali.

    Pada tahun 1945 dalam suasana gembira karena menyerahnya tentara Jepang, Bapak Tampubolon mengirim telegram ke Palang Merah Internasional untuk memperoleh informasi mengenai tempat tinggal para misionaris. Setelah mendapat jawaban, dia menebang beberapa pohon di halaman gereja Pangururan, menjualnya dan menggunakan hasil penjualan itu untuk uang jalan. Dia pergi ke kamp internering di Siriongo-ringo untuk melaporkan kepada pastor menegenai keadaan gereja di Samosir, khususnya Pangururan.

    Pada saat itu setiap orang mengharapkan bahwa ketertiban dan kehidupan aman kembali. Tetapi Sukarno memproklamasikan Republik yang memunculkan nasionalisme dalam bentuk pengusiran penjajah terutama Belanda. Hal ini mengakibatkan sikap keras anti Belanda dan kecurigaan mengenai hal-hal kolonial. Kondisi itu mengakibatkan Bapak Tampubolon mengalami kesulitan. Dia mengunjungi misionaris Belanda dan mengundangnya kembali ke pos mereka.

    Perkenalan yang begitu dekat dengan misionaris Belanda membuat Bapak Tampubolon menamai putrinya Wilhemina. Foto para misionaris Belanda yang terpajang di rumahnya mengharuskan dia dipenjara selama 10 hari, meski pada akhirnya ia dibebaskan kembali.

    Pada waktu itu, Paroki Pangururan sudah mempunyai 7 Stasi, yaitu Stasi Sitonggi-tonggi, Rianiate, Paraduan, Lumbang Lintong, Limbong, Sihotang I, dan Sosor Dolok. Sementara saat ini (2020) Paroki Pangururan sudah mempunyai 68 Stasi dengan jumlah umat sekitar 32.000 jiwa. Pertumbuhan gereja dan perkembangan umat yang begitu besar patut kita syukuri dan rahmat Tuhan ini pantas dirayakan.

    Gereja Tanpa Imam dan Awal Baru bagi Paroki

    Kegigihan Pastor Benyamin Dijkstra dalam mendirikan paroki yang baru ini cuma bertahan selama 1 tahun lebih ,Karena Pastor Benyamin Dijkstra ditangkap dan diinternir oleh penjajah Jepang. Paroki yang baru didirikan ini kemudian dikelola oleh seorang Katekis local Bapak Ch.Kalvin Tampubolon selama 8 tahun (1942-1950) Dan selama itu pula paroki yang baru didirikan ini terus hidup tanpa imam. Pada masa-masa sulit inilah Bapak Ch.Kalvin Tampubolon berperan sebagai katekis dan imam (dalam arti terbatas) bagi umat. Ia menjadi penghubung antara umat dan para misionaris dalam penjara untuk pengembangan gereja dalam masa sulit ini.

    Awal yang baru bagi Paroki Pangururan /Tahun Perkembangan yang subur.

    a. Pastor Radboud Watereus:
    Setelah penyerahan Jepang pada sekutu, Gereja Paroki Santo Mikhhael mulai bernafas lega. Para misionaris yang diitenir telah kembali bertugas di posnya masing- masing. Dan pada tanggal 27 Juni 1951 Pastor Radboud Watereus mulai berdomisili di pastoran Pangururan sebagai pastor pertama setelah penyerahan Jepang. Hingga akhir hanyatnya pada tahun 1994 yang lalu. Karya besar yang ia lakukan sebagai misionaris di Pulau Samosir pada umumnya dan paroki Pangururan pada khususnya adalah penyebaran iman Katolik, yang dilakukannya lewat praktek hidup nyata yang menyentuh masyarakat Samosir pada saat itu. Pendidikan bagi masyarakat Samosir yang masih buta huruf pada kala itu, juga menjadi perhatian Pastor Radbout dengan mendirikan SMP Budi Mulia bekerja sama dengan Yayasan Budi Mulia yang pada masa itu sudah berkarya di Paroki Onanrunggu.

    Ternyata pendirian SMP Budi Mulia ini mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Samosir, dengan menyekolahkan anak-anak mereka di SMP ini. Perlu dicatat bahwa mulai masa inilah Gereja Katolik Paroki Santo Mikhael mengalami perkembangan yang luar biasa.

    b. Pastor Guido De Vet
    Pada tahun 1962/1963 Pastor Guido De Vet ditempatkan di Paroki Pangururan. Selama 22 tahun pastor ini berkarya tanpa kenal lelah di paroki Pangururan. Bila pastor Radboud Watereus dikenal sebagai pengajar iman lewat cara hidupnya dan pencinta orang-orang kecil, maka pastor Guido de Vet dikenal sebagai pengkader penerus gereja masa depan.Untuk tujuan itu maka pastor Guido de vet membangun Pusat Pembinan Umat (PPU) yang kemudia dikenal dengan nama Sentrum dan wisma yang ada di paroki Pangururan, yang masih berdiri kokoh sampai saat ini. Di dalam Sentrum inilah Pastor Guido de vet setiap saat mengkader umatnya, mulai dari Anak Sekolah Minggu, Remaja, Mudika, orangtua, serta para singtua dan Vorhenger. Berbagai macam cara beliau lakukan untuk mengkader umatnya, salah satunya menganimasi umat lewat pemutaran film dan slide yang sangat terkenal pada masa itu.Pastor Guido de vet berprinsip bahwa Gereja Pangururan masa depa harus dipimpin oleh orang-orang pribumi bersama dengan umatnya menjadi gereja yang mandiri dalam hal ketanagaan. Hal ini nampak dari motto hidupnya :” Kami misionaris luar negeri harus segera menyerahkan tugas-tugas pastoral kepada pastor-pastor putra daerah “ ( Lihat Tali pengukur….hal.269 )

    c. Pastor Leo Joosten, OFMCap
    Pastor Leo Joosten OFM Cap, masuk ke paroki Pangururan pada tahun 1983, setelah wafat Pastor Guido de vet. Pastor ini terkenal sebagai pastor pembangun. Yang ia bangu bukan hanya bangunan fisik (Gedung Gereja dan Sekolah) tetapi juga pembangunan ekonomi masyarakat dan pembangunan dalam pelestarian budaya Batak. Karya-karya yang ditinggalkan oleh misionaris yang terakhir ini di paroki Pangururan adalah :
    • Credit Union (CU) yang kini berkembang pesat di wilayah paroki Pangururan. Tujuan dari pendirian CU ini adalah untuk menolong masyarakat ekonomi lemah yang tidak bisa meminjam uang di Bank- bank besar.
    • Gereja Inkulturatif. Pembangunan Gereja dalam nuansa rumah adat Batak Toba yang sangat besar dan mendapat dukungan penuh dari Istana Apostolik Vatikan. Gereja inkulutratif juga mendapat perhatian dari TV Indosiar dengan menyiarkan secara langsung Perayaan Paskah umat dalam Gereja inkulturatif ini
    • Museum Bona pasogit Nauli: Suatu usaha melestarikan peninggalan sejarah nenek moyang zaman dahulu.
    • Kamus Bahasa Batak ( yang diterjemahkannya dari Bahasa Belanda )
    • Buku-buku tentang situs-situs budaya Batak, kemudian diterjemahkannya dalam Bhs. Inggris, Jerman dan Belanda.
    • Karya Pendidikan : TK, SD dan SMA Santo Mikhael
    Catatan : Ketiga misionaris di atas, masing- masing meletakkan landasan yang kokoh bagi perkembangan paroki Santo Mikhael Pangururan.

    Pastor Benyamin Dijkstra sebagai perintis berdirinya paroki ini. Bapak Ch.Kalvin Tampubolon sebagai penjaga benteng iman yang baru dibangun di paroki ini. Pastor Radboud Watereus sebagai pengajar iman dan social karitatif lewat praktek hidup dan pemberantas buta huruf lewat pendidikan.

    Pastor Guido de Vet, sebagai pengkader umat lewat wisma / sentrumnya. Pastor Leo Joosten sebagai pastor pembangun dan pelestari budaya Batak.

    Buah-buah dari perjuangan para misionaris tidak hanya menghasilakan perkembangan umat, tetapi cara hidup mereka sebagai Misionaris Capusin juga menghasilkan simpati umat untuk memberikan putra-putri mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah. Mereka-mereka itu : Pastor Paulinus Simbolon OFMCap, Pastor Ignasius Simbolon OFMCap, Pastor Raymon Simanjorang OFMCap, Pastor Thomas Sinabariba OFMCap, Pastor Gonzales Nadeak OFMCap. Pastor Octavianus Situngkir OFMCap dan Pastor Uli Simarmata Pr.

    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Salak

    Pelindung
    :
    Santa Lusia
    Buku Paroki
    :
    Sejak 11 Agustus 2011. Sebelumnya bergabung dengan Paroki St. Maria Pertolongan Orang Kristen Sidikalang.
    Alamat
    :
    Jl. Sikadang Njandi, Salak Pakpak Bharat - 22272
    Telp.
    :
     -
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    442 KK / 1.892 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    14
    01. Jambu Rea
    04. Mungkur Sondel
    07. Sibagindar
    10. Simperbung Maneas
    13. Sumbul Traju
    02. Kuta Ujung
    05. Resdes Raden
    08. Sileuh
    11. Sinderung
    14. Tinada
    03. Lae Marempat
    06. Ruben Haji
    09. Simerpara
    12. Singgabur
     
    RP. Samuel Anton Situmorang, O.Carm
    10.09’83
    Parochus
    RP. Sohmon Ranja Capah, O.Carm
    16.08.'89
    Vikaris Parokial
         

    Sejarah Paroki St. Lusia - Pakpak Bharat

    Perjalanan Singkat Paroki (klik untuk membaca)
    LETAK GEOGRAFIS
    Pada awal berdirinya Paroki St Lusia Salak memiliki tiga wilayah pelayanan yakni Kabupaten Pakpak Bharat, Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil. Di Kabupaten Pakpak Bharat ada 12 stasi, Kota Subulussalam satu stasi dan di Kabupaten Aceh Singkil satu stasi. Pada 30 Agustus 2020 Stasi Penanggalan (di wilayah Kota Subulussalam) dan Stasi Mandumpang (di wilayah Kabupaten Aceh Singkil), oleh kebijakan Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung OFM Cap secara resmi diserahkan wilayah kegembalaan kepada Keuskupan Sibolga. Dengan demikian, saat ini, wilayah kegembalaan Paroki St Lusia Salak hanya meliputi Kabupaten Pakpak Bharat.
    SEJARAH BERDIRI DAN KEADAAN UMAT
    Gereja Katolik Paroki St Lusia Salak merupakan hasil pemekaran dari Paroki Maria Pertolongan Orang Kristen Sidikalang. Sejak tahun 2011, tepatnya 11 Agustus 2011, Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFM Cap menetapkan wilayah ini menjadi Kuasi Paroki. Pada tahun 2015 lewat Surat Keputusan Uskup Keuskupan Agung Medan, RP Mandius Siringringo OCarm resmi menjadi Pastor Kuasi Paroki ini. Setelah tujuh tahun menjadi Kuasi Paroki, tepatnya tanggal 22 Juli 2018, bertepatan dengan Pesta Bakti Budaya Pakpak yang dirayakan oleh seluruh umat Katolik se-Kuasi Paroki St Lusia Salak, Mgr Anicetus Bongsu Sinaga, OFM Cap mengumumkan secara resmi berdirinya Paroki St Lusia Salak. Pada tahun 2019 terjadi pergantian Pastor Kepala Paroki dari RP Mandius Siringoringo O’Carm kepada RP Yoakhim Lako O’Carm. Vikaris Parokial yang pernah melayani Paroki ini adalah RP Kardiaman Simbolon O’Carm, RP Marcelinus Monang Sijabat O’Carm, dan yang sedang bertugas saat ini RP Sohmon Ranja Capah O’Carm. Pada tanggal 12 Desember 2021, Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung melantik Dewan Pastoral Paroki Periode 2021 – 2026.
    Dalam rentangan waktu antara 2011 sampai dengan 2018 sebagai Kuasi Paroki, tepatnya akhir Desember 2017, berdiri satu stasi yakni Stasi Simarpara yang berpelindungkan St Fransiskus Asisi. Dan pada tahun 2019 berdiri satu stasi lagi hasil dari pemekaran Stasi Simperbung, yakni Stasi Kuta Ujung.
    Umat Paroki St Lusia Salak pada umumnya bersuku Pakpak Simsim. Selain itu ada juga bersuku Pakpak tapi dari suak yang berbeda. Sekedar sebagai catatan Suku Pakpak terdiri dari lima Suak yakni, Suak Simsim, Suak Boang, Suak Kelasen, Suak Pegagan dan Suak Keppas. Ada juga umat yang berasal dari Batak Toba, Batak Karo dan juga Nias. Dalam kegiatan gereja pada umumnya menggunakan bahasa Pakpak; dua stasi yakni Stasi Lae Marempat dan Stasi Bagindar menggunakan bahasa Toba. Saat ini, Paroki St Lusia Salak memiliki 4 lingkungan di Gereja Paroki dan 14 Stasi.
    Di wilayah Paroki St Lusia Salak juga berdiri Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di bawah yayasan St Don Bosko. Sekolah Dasar yang berpelindungkan St Vinsensius berdiri tahun 2015. Pada tahun 2021, oleh permohonan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat dan masyarakat sekitar, Yayasan St Don Boskon mendirikan Sekolah Menengah Pertama yang berpelindungkan St Yosef. Kongregasi yang dipercayakan untuk melayani proses pendidikan di SD St Vinsensius dan SMP St Yosef adalah KSSY.
    TOKOH PELINDUNG: SANTA LUSIA
    Lusia lahir di Sirakusa, di pulau Sisilia, Italia pada abad ke-4. Orangtuanya adalah bangsawan Italia yang beragama Kristen. Ayahnya meninggal dunia ketika dia masih kecil, sehingga perkembangan dirinya sebagian besar ada dalam tanggungjawab ibunya Eutychia. Semenjak usia remaja, Lusia sudah berikrar untuk hidup suci murni. Ia berjanji tidak menikah. Namun ketika sudah besar, ibunya mendesak dia agar mau menikah dengan seorang pemuda kafir. Hal ini ditolaknya dengan tegas. Pada suatu ketika ibunya jatuh sakit. Lusia mengusulkan agar ibunya berziarah ke makam Santa Agatha di Kathania untuk memohon kesembuhan. Usulannya ditanggapi baik oleh ibunya. Segera mereka ke Kathania. Apa yang dikatakan Lusia ternyata benar-benar dialami oleh ibunya. Doa permohonan mereka dikabulkan: sang ibu sembuh. Bahkan Santa Agatha sendiri menampakkan diri kepada mereka berdua. Sebagai tanda syukur, Lusia diizinkan ibunya tetap teguh dan setia pada kaul kemurnian hidup yang sudah diikrarkannya kepada Kristus.
    Kekaisaran Romawi pada waktu itu diperintah oleh Diokletianus, seorang kaisar kafir yang bengis. Ia menganggap diri keturunan dewa; oleh sebab itu seluruh rakyat harus menyembahnya, atau menyembah patung dewa-dewa Romawi. Umat Kristen yang gigih membela dan mempertahankan iman menjadi korban kebengisan Diokletianus. Mereka ditangkap, disiksa dan dibunuh. Situasi ini menjadi kesempatan emas bagi pemuda-pemuda yang menaruh hati pada Lusia namun ditolak lamarannya: mereka benci dan bertekad membalas dendamnya dengan melaporkan identitas keluarga Lusia sebagai keluarga Kristen kepada kaisar. Kaisar termakan laporan ini sehingga Lusia pun ditangkap; mereka merayu dan membujuknya dengan berbagai cara agar bisa memperoleh kemurniannya. Tetapi Lusia tak terkalahkan. Ia bertahan dengan gagah berani. Para musuhnya tidak mampu menggerakkan dia, karena Tuhan memihaknya. Usahanya untuk membakar Lusia tampak tak bisa dilaksanakan. Akhirnya seorang algojo memenggal kepalanya sehingga Lusia tewas sebagai martir Kristus oleh pedang seorang algojo kafir.
    Lusia dihormati di Roma, terutama di Sisilia sebagai perawan dan martir yang sangat terkenal sejak abad ke-6. Untuk menghormatinya, dibangunlah sebuah gereja di Roma. Namanya dimasukkan dalam Doa Syukur Agung Misa. Mungkin karena namanya berarti “cahaya” maka pada Abad Pertengahan orang berdoa dengan perantaraannya memohon kesembuhan dari penyakit mata. Konon, pada waktu ia disiksa, mata Lusia dicungkil oleh algojo-algojo yang menderanya; ada pula cerita yang mengatakan bahwa Lusia sendirilah yang mencungkil matanya dan menunjukkan kepada pemuda-pemuda yang mengejarnya. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 13 Desember 304. Semoga kisah suci hidup Santa Lusia memberi peringatan kepada kita, supaya bertekun dalam doa dan selalu memohon perlindunganNya.
    Profil Gereja Katolik Paroki
    PROFIL GEREJA KATOLIK PAROKI ST LUSIA SALAK
    1. Profil Paroki

    Pelindung : Santa Lusia
    Alamat : Jln Sikadang Njandi, Lae Trondi, Desa Boangmanalu, Kecamatan Salak, 22272. Kabupaten Pakpak Bharat.
    Jumlah Stasi : 14
    Pada awalnya Gereja Paroki ini adalah Stasi St Petrus Lae Trondi yang berdiri pada tahun 1965. Saat ini Gereja Paroki terdiri dari 4 Lingkungan yakni:
    - Lingkungan St Edith Stein. Lingkungan ini memiliki 20 Kepala Keluarga.
    - Lingkungan St Theresia Kecil, yang beranggotakan 19 Kepala keluarga.
    - Lingkungan St Yohanes Salib, dengan jumlah Kepala Keluarga 35
    - Lingkungan St Theresia Avila, jumlah Kepala Keluarga 15.
    2. Susunan Pengurus Dewan Pastoral Paroki Periode 2021 - 2026
    DEWAN PASTORAL PAROKI
    Ketua : RP Yoakhim Kanisius Lako O’Carm
    Wakil Ketua : RP Sohmon Ranja Capah O’Carm
    Pelaksana I : Hekdianto Boangmanalu
    Pelaksana II : Bisler Simatupang
    Sekretaris I : Weldiman Boangmanalu
    Sekretaris II : Monang Tumangger
    Bendahara I : Hetty Novalina Sinaga
    Bendahara II : Antonius Sihombing
    Anggota :
    1. Kardo Sinurat
    2. Simon Simbolon
    3. Ferynando Marbun
    Seksi-seksi:
    1. Seksi Liturgi : Rata Diajo Manullang
    2. Seksi Kateketik : Ronny Chandra Martunas Tanjung
    3. Seksi Kerasulan Kitab Suci : Diky Hendro Rajagukguk
    4. Seksi KKI (Karya Kepausan Indonesia) :
    - Mei Rice Florentina Nahampun
    - Repinna Banjarnahor
    5. Seksi Kepemudaan : Teguh Manahan Boangmanalu
    6. Seksi Keluarga : Liston Silaban
    7. Seksi Komsos : Timbul Harapan Simbolon
    8. Seksi PSE : Wasron Pandiangan
    9. Seksi HAAK : Averow Manik
    10. Seksi Panggilan : Sr Avelina Sitinjak KSSY
    3. Profil Stasi-stasi Paroki St Lusia Salak
    1. Stasi Sinderung
    Berdiri : 1976
    Pelindung : Santo Simon Stock
    Jumlah KK : 17
    Alamat : Desa Arnokan I,
    Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.

    2. Stasi Simperbung Maneas
    Berdiri : 1952
    Pelindung : St Yoahennes
    Jumlah KK : 31
    Alamat : Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitellu Tali Urung Julu.

    3. Stasi Simerpara
    Berdiri : 2017
    Pelindung : Santo Fransiskus Asisi
    Jumlah KK : 16
    Alamat : Desa Simerpara, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.

    4. Stasi Mungkur Sondel
    Berdiri : 1980
    Pelindung : Santo Petrus
    Jumlah KK : 25
    Alamat : Desa Kuta Tinggi, Kecamatan Salak.

    5. Stasi Rube Haji
    Berdiri : 1983
    Pelindung : Santo Andreas Korsini
    Jumlah KK : 15
    Alamat : Desa Rube Haji, Kecamatan Siempat Rube.

    6. Stasi Sumbul Traju
    Berdiri : 1986
    Pelindung : Santo Antonius
    Jumlah KK : 9
    Alamat : Desa Sumbul Traju, Kecamatan Tinada.

    7. Stasi Jambu Rea
    Berdiri : 1985
    Pelindung : Santa Maria Ratu Damai
    Jumlah KK : 70
    Alamat : Desa Jambu, Kecamatan Siempat Rube.

    8. Stasi Sileuh
    Berdiri : 1961
    Pelindung : Santo Oktavianus
    Jumlah KK : 53
    Alamat : Desa Pardomuan, Kecamatan Kerajaan.

    9. Stasi Resdes Raden
    Berdiri : 1984
    Pelindung : Santo Petrus dan Paulus
    Jumlah KK : 34
    Alamat : Desa Resdes Raden, Kecamatan Siempat Rube.

    10. Stasi Tinada
    Berdiri : 1974
    Pelindung : Santa Yohana
    Jumlah KK : 3
    Alamat : Desa Tinada, Kecamatan Tinada.

    11. Stasi Bagindar
    Berdiri : 2001
    Pelindung : Santo Albertus dari Trapani.
    Jumlah KK : 5
    Alamat : Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar.

    12. Stasi Simperbung Kuta Ujung
    Berdiri : 2019
    Pelindung : Santo Bernardinus
    Jumlah KK : 20
    Alamat : Desa Pardomuan, Kecamatan Sitellu Tali Urung Julu.

    13. Stasi Lae Marempat
    Berdiri : 1989
    Pelindung : Santa Fransiska
    Jumlah KK : 8
    Alamat : Desa Lae Marampat, Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe.

    14. Stasi Singgabur
    Berdiri : 1995
    Pelindung : Santo Mathias
    Jumlah KK : 28
    Alamat : Desa Silima Kuta, Kecamatan Sitellu Tali.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Pangkalan Brandan

    0
    Pelindung
    :
    Santo Paulus
    Buku Paroki
    :
    Sejak 1 Juli 2003. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Binjai
    Alamat
    :
    Jl. Sutomo No. 7, Kec. Babalan, Kab. Langkat, Pangkalan Brandan – 20857
    Telp.
    :
    0620 – 21479
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    741 KK / 2.873 jiwa 
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    19
    01. Air Hitam
    04. Bukit Mas Pasar
    07. Kampung Sawah
    10. Pardomuan Nauli
    13. Securai
    16. Tanjungpura
    19. Tungkam Jaya
    02. Aras Napal
    05. Bukit Selamat
    08. Pangkalan Susu
    11. Petani Jaya
    14. Sendayan
    17. Titi Lepan

    03. Bengkel
    06. Gebang
    09. Pantai Buaya
    12. Rantau Kuala Simpang
    15. Tangkahan Batak
    18. Translok
     
    RD. Silvester Asan Marlin
    Parochus
    RD. John Paul Tri Siboro

    Vikaris Parokial

    Sejarah Paroki St. Paulus - Pangkalan Brandan

    Sejarah Awal (klik untuk membaca)

    Sejarah gereja katolik masing-masing stasi di Paroki St. Paulus Pangkalan Brandan tidak bisa kami sajikan dengan lengkap, baik dalam hal data umat, maupun dalam hal suka-duka perjuangan umat, karena kurang adanya dokumentasi yang baik di masing-masing stasi. Maka penyusun berusaha mengumpulkan tulisan seadanya dari para penulis dari stasi masing-masing.

    Stasi Cinta Kasih Pangkalan Berandan berjarak sekitar 80 km dari kota Medan dan 60 km kearah utara dari Gereja Paroki Maria Bunda Pertolongan Abadi Binjai, terletak didaerah strategis untuk pengembangan karya gereja, karena berada dijalur utama jurusan Medan – Banda Aceh.

    Sebagai gambaran sejarah gereja katolik Pangkalan Berandan dapat di bagi didalam empat bagian yakni :
    I. Sejarah Umat Katolik Pangkalan Berandan
    II. Sejarah Tanah Pertapakan Gereja Katolik pangkalan berandan
    III. Sejarah berdirinya Gereja Katolik Stasi “Cinta Kasih “
    IV. Sejarah berdirinya Paroki Santo Paulus dan Pastoran

    I. Sejarah Umat Katolik di Pangkalan Brandan

    Pada awalnya umat katolik Pangkalan Berandan mengadakan ibadat setiap hari Minggu tidak menentu, ada yang menumpang ke gereja tetangga dan ada berpindah pindah. Pada tgl 17 Agustus 1963 bapak Y.J.Sitanggang bertemu dengan bapak Togaraja Sinabutar (mensponsori agar bergereja ) mahasiswa IKIP Medan yang PKL di SMA Negeri Babalan, Lalu bertemu kembali tgl 20 Agustus 1963 membicarakan dimana umat Katolik bergereja, kemudian mereka berdua bersama mencari dan mengajak umat katolik untuk mengadakan doa bersama. Atas usaha ini mereka berhasil menemui bp.A.R Situmorang, bp. M.Nainggolan, dan bp. P.Panjaitan.Dari pertemuan itu disepakati mengadakan doa bersama pada Minggu itu dirumah bp.A.R.Situmorang dengan jumlah anggota 8 Orang dewasa dan 6 orang anak – anak, yaitu:

    a. bp. A.R. Situmorang dan ibu beserta 2 orang anaknya
    b. bp. M.Nainggolan dan ibu beserta 4 orang anaknya
    c. bp. Panjaitan dan ibu
    d. bp. T.Sinabutar
    e. bp. J.Y.Sitanggang sebagai pembawa acara doa.

    Acara hanya berdoa dan rosario karena buku tata ibadah saat itu belum ada. Kemudian Jumlah umat bertambah lagi, yaitu kel.M.M.Purba, kel L.Simbolon , kel.J.S.M.Situmorang, dan kel. Tampubolon.
    Pada acara doa bersama, sambil berbincang- bincang, maka atas informasi bp.M.Nainggolan diketahuilah bahwa di kompleks Permina ada umat yang beragama katolik, yang aktif menggereja yaitu bp.Yanistoran, bp.Yosep Belangor,dan yg lain (ada 11 orang) dan pada bulan September 1963 diadakanlah ibadah Minggu dirumah bp.AR.Situmorang yang dipimpin bp,Yohanes Toran Lahera dan Josep Belangor . Karena Rumah bp. A.R. Situmorang berjualan, (kedai kopi dan tuak) dan beribadah agak terganggu, maka pada bulan Oktober 1963 sampai Februari 1964 tempat beribadat pindah kerumah Bapak M. Nainggolan, berjumlah 19 orangtua dan 6 muda mudi.
    Pada bulan maret 1964 tempat beribadat berpindah ke SD 7 Jl. Dempo P. Berandan, tetapi hal ini tidak berlangsung lama hanya sampai Juni 1964. Maka Dari bulan Juli 1964 sampai dengan Oktober 1964 Beribadat diadakan di SD Tionghoa jl.Mesjid Hal ini juga tidak lama, karena akan dipakai oleh GPTP setiap minggunya. Kemudian Nopember 1964 sampai bulan April tahun 1967 tempat beribadat dilaksanakan di Balai Karyawan Pertamina Pangkalan Berandan. Dalam hal ini sejak 1966 pimpinan Jemaat adalah bp.Bernardus Balanato, dan bp.Yohanes Toran Lahera yang kemudian diganti bp.Yosep Belangor.
    Sejak bulan Mei 1967 sampai 1970 Tempat peribadatan kemudian dipindahkan ke gedung SD no 1 YKPP Pertamina. Karena kurangnya tenaga pengajar agama katolik, maka pada tanggal 2 Januari 1969 Pastor A.G.Pius Datubara mengirim ibu R.br. Sinaga ke Pangkalan Berandan untuk mengajari (pengajar) umat beragama Katolik.
    Setelah pembangunan Gedung Gereja Oikoumene Pertamina yang terletak di Tangka lagan selesai maka pada tahun 1971, Umat katolik mengadakan ibadat setiap Minggu di gereja Oikoumene Pertamina Tangka Lagan tersebut sampai tahun 1973. Tetapi karena tempat tersebut dirasa umat sangat jauh, menyebabkan umat banyak yang tidak dapat pergi ke gereja. Dan atas Musyawarah Dewan gereja dan pengurus, maka tahun 1973- 1974 peribadatan dibagi menjadi dua, yakni sebagian umat beribadat di Gedung Gereja Oikoumene,yang dipimpin oleh bapak Josep Belangor, dan sebagian umat yang tinggal dikota Pangkalan Berandan beribadat dirumah bapak J.W.Situmorang, di jalan Dempo yang dipimpin bapak J.Y.Sitanggang.dan Pengkhotbah Bpk.Sihombing (Katekis dari Medan). dengan Jumlah Umat 26 KK, termasuk umat Katolik ber etnis Tionghoa.
    Pada tanggal 17 Februari tahun 1974 Bpk. Yustin Jakamar Sitanggang (J.Y.Sitanggang) diangkat menjadi Vorhanger, (SK Bapak Uskup Agung Medan A.G.Pius Datubara OFM Cap), yang bertugas memimpin peribadatan setiap minggu dengan dibantu bpk J.S.M.Situmorang. dan Ketua Pembangunan bp.JW.Situmorang.
    Pada tahun 1975 -1976 Umat katolik mengadakan ibadat setiap minggu secara bergilir dirumah bp. J.Y.Sitanggang di Jl. Dempo, dirumah bp.J.W. Situmorang di jl. Dempo dan dirumah bp. J.P.E.Situmorang di jl. Dempo Pangkalan Berandan.
    Pada tahun 1977 – 1978 Umat katolik mengadakan ibadat dirumah bp. J.P.E. Situmorang Jl. Dempo Pangkalan Brandan sampai gedung serbaguna selesai di bangun, Sejak Bulan Mei 1978 Umat katolik pangkalan berandan beribadat di gedung Serbaguna atau yang sekarang dikenal dengan nama Gereja katolik Cinta Kasih Pangkalan Berandan sampai saat ini.
    II. Sejarah Tanah Pertapakan Gereja Katolik Pangkalan Brandan
    Karena kerinduan untuk mempunyai pertapakan gereja sendiri, maka atas swadaya umat pada tahun 1971 membeli tanah di desa alur dua Tangkahan Lagan Pangkalan Brandan yang berukuran 125m x 32 m = 4000 m2. atas nama J. Mutimran. Dan Pada tahun 1973 atas swadaya umat dibeli kembali tanah di desa Alur dua Tangkahan lagan Pangkalan Berandan (tempat yang sama) yang berukuran 90m x 65 m = 6000 matas nama J. Mutimran. Kedua tanah ini sekarang sudah ditanami kelapa sawit dan menjadi asset Gereja dan Paroki.
    Pada tahun 1973 atas swadaya umat , membeli tanah di Gang Jamil Pangkalan Brandan yang berukuran 16m x 18m = 288 matas nama J.S.M. Situmorang. Sampai sekarang tanah ini masih kosong dan tidak dikelola.
    Pada tahun 1974 dengan swadaya umat serta bantuan dari Keuskupan Agung Medan membeli tanah dijalan Sutomo Pangkalan Brandan dengan ukuran 69m x 23 m = 1600 m2.dengan atas nama H. Sijabat. Tanah inilah yang kemudian dijadikan tempat mendirikan Gereja Katolik Cinta Kasih Pangkalan Brandan.
    Pada tahun 2000 Atas swadaya umat dan bantuan Keuskupan Agung Medan membeli tanah beserta rumah yang terletak dijalan Sutomo, tepatnya disamping gereja yang sekarang menjadi rumah Pastoran.
    Pada tahun 2004 atas swadaya umat dan Stasi stasi serta bantuan Keuskupan Agung Medan dibeli Tanah di jalan Sutomo disebelah kiri Gereja. demi untuk pengembangan Gereja dikemudian hari. saat ini tanah tersebut masih kosong.
    III. Sejarah Berdirinya Gereja Katolik ”Stasi Cinta Kasih” Pangkalan Brandan
    Melihat bahwa umat Katolik di Pangkalan Berandan belum mempunyai gereja yang permanen, maka para umat Katolik yang bekerja di Perusahaan Pertamina Pangkalan Berandan yaitu bapak Mangapul Simarmata dan Bapak Darmo mengusulkan agar para karyawan Pertamina harus menyumbang setiap bulan dengan cara gaji dipotong, untuk membeli tanah pertapakan gereja, dan atas kesadaran umat, mereka setuju tiap bulan gaji dipotong. Uang inilah yang digunakan untuk membeli pertapakan seperti disebut diatas.
    Dan pada tahun 1975 Diangkatlah Pengurus Dewan Gereja Katolik sbb: Ketua Pembangunan bp.Waroka (manejer angkutan), Wakil Ketua bp. Nurdin Patihajo (Manejer Pengolahan), Sekretaris Pembangunan bp.Suhadi S.H, (bagian Pertanahan) dan Saparya.
    Pada awal tahun 1976 Bapak Pastor Julius Martin PME ( sekarang menjadi USKUP Peru ) mulai merintis persatuan umat di Pangkalan Berandan sebagai satu syarat mutlak berdirinya gereja Katolik, yakni persatuan umat katolik karyawan Pertamina dengan umat katolik non karyawan Pertamina.Dan karena seluruh umat setuju dengan usulan tersebut, maka ijin mulai diurus langsung oleh Uskup. Dansurat ijin pun segera diperoleh dari pemerintah dengan status: Surat Ijin membangun Gedung Serba Guna, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan kerohanian, dan sosial.
    Pada bulan Juli 1977 dimulailah Upacara Peletakan Batu Pertama pembangunan Gedung Serba Guna dengan acara makan bersama (dengan memotong Kambing) yang dihadiri para tetangga yang beragama Muslim, dan mereka juga sekaligus menjadi tenaga kerja (tukang) dalam pembangunan Gedung Serba Guna tersebut. Adapun Arsitek pembangunan Gedung Serba Guna / Gereja Cinta Kasih adalah Bruder Terang Kelinus bersama dengan 4 orang temannya. Pembangunan Gedung Serba Guna selesai pada bulan Mei 1978.
    Pembangunan Gedung Serba Guna yang lebih dikenal dengan nama Gereja Katolik Cinta Kasih Pangkalan Berandan, dapat selesai dengan cepat adalah atas berkat Rahmat Allah, dan juga peran serta dari umat yang bekerja menjadi staf di Pertamina yang telah bersedia memberikan pemikiran, tenaga bahkan materi untuk berdirinya gereja, seperti : Bapak Mutimran ( Ka.Lab Pengolahan), bp.Waroka (Ka.Angkutan), bp.Sriono (Ka.UPS Logistik), bp.Purnomo (Ka.Personalia), bp.R. Sumarji (Ka Anggaran Logistik), bp.D.Kristanto (Ka.Material /Logistik), bp.Pudyasmara (Manajer Pengolahan), bp.Endarto (Ka Anggaran), bp. J.Buari (Ka. Logistik), bp.A.W.Budi Santoso. Bp.Ermaji (dr.Pertamina), bp.Ernawan (dr. Pertamina), bp. Nurdin Patihajo (Manejer Pengolahan), bp.Suhadi S.H, bp.Saparya, serta bp. H. Sijabat. Dan juga masih banyak umat yang turut serta membantu dan namanya tidak kami sebut satu persatu.
    Pada Bulan Juni 1978 Gedung Serba Guna diresmikan oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan, dengan dihadiri oleh : Bupati Langkat, DanDim, Kapolsek, Danramil. Dan sebelum acara peresmian dimulai, acara terlebih dahulu dimeriahkan oleh Drum Band SMA St. Thomas jl. S.Parman Medan dengan berpawai kesekeliling kota Pangkalan Berandan. Setela acara peresmian terlaksana dilanjutkan dengan acara makan bersama, kata kata sambutan, dan dilanjutkan dengan Gondang Batak selama satu hari satu malam.
    Dalam perjalanan waktu selam 14 tahun, Gedung Serba Guna yang disebut sebagai Gereja Katolik Cinta Kasih mengalami kerusakan dan pelapukan di bagian Panti Altar dan atas bagian depan.
    Pada tahun 1991 Bapak Pastor Frietz R. Tambunan yang bertugas di Pangkalan Berandan mulai merintis merenovasi Gedung Serba Guna (Gereja Cinta Kasih).
    Pada tahun 1992 dimulailah merenovasi Gedung Serba Guna dengan dana Rp.16.000.000,- sumber dana berasal dari umat setempat dan bantuan umat yang telah pindah dari Pangkalan Berandan. Setelah selesai Renovasi diadakan acara Syukuran yang di hadiri oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan.
    Namun pada tanggal 2 Nopember 1992 tepat pada pukul 15.15 wib. Gereja Cinta Kasih mengalami kerusakan karena di obrak abrik oleh oknum orang – orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan menyaksikan peristiwa yang sangat tragis itu, maka umat Katolik Pangkalan Berandan langsung datang berkumpul di gereja Cinta Kasih dengan ratap tangis yang memilukan siang malam.
    Pada awal Desember 1992 dimulailah Renovasi tahap kedua dengan biaya swadaya dari umat secara spontanitas, dan selesai pada saat sebelum perayaan Natal 1992. Sehingga umat dapat merayakan natal di gereja. Sejak saat itu umat sudah tenang bergereja di Cinta kasih, dan tidak ada lagi gangguan. Bahkan ketika Banjir Bandang pada Bulan desember tahun 2006 Gereja Cinta Kasih menjadi Posko Bantuan Kemanusiaan, bahkan kita membantu para warga yang kebanjiran terutama umat Muslim yang berada disekitar kita.
    Dalam perjalanan waktu, keadaan Umat di Stasi Cinta Kasih mengalami pasang surut sehubungan dengan banyaknya pekerja Pegawai Pertamina Yang beragama Katolik Pensiun dan kembali ke daerah asalnya, dan juga karena Pertamina tutup sehingga banyak umat kita yang turut dipindah tugaskan ke daerah lain.
    Saat ini umat di Gereja Katolik Cinta Kasih berjumlah : 91 KK, terdiri atas 382 Jiwa, yang terbagi menjadi 4 Lingkungan yakni:
    1. Lingkungan St. Iqnatius berjumlah : 47 KK terdiri atas 190 jiwa
    2. Lingkungan St. Fransiskus berjumlah : 15 KK terdiri atas 65 jiwa
    3. Lingkungan St. Ana berjumlah : 16 KK terdiri atas 69 jiwa
    4. Lingkungan St. Yosep berjumlah : 13 KK terdiri atas 58 jiwa
    Berikut ini kami lampirkan para gembala – gembala setempat yang pernah menjadi Vorhanger ataupun Ketua Dewan Stasi adalah :
    1. Bapak .J.Y Sitanggang
    2. Bapak Josep Belangor
    3. Bapak Bernardus
    4. Bapak M.M.Purba
    5. Bapak J.P.E. Situmorang
    6. Bapak A. P. Sidabutar
    Dan berikut ini nama – nama Kepengurusan Gereja Stasi Cinta Kasih Pangkalan Berandan, masa Bhakti 2011- 2016 sebagai berikut:
    1. KETUA DEWAN STASI L.SIMANJUNTAK,S.Pd
    2. WAKIL KETUA M. DUHA, S.Pd
    3. SEKRETARIS I MONIKA Br.PARDEDE
    4. SEKRETARIS II L. HARIANJA, S.T
    5. BENDAHARA I A.P. SIDABUTAR
    6. BENDAHARA II R. Br. SINAGA, S.Pd
    IV. Sejarah Paroki Dan Pastoran
    Pada tahun 2000 umat gereja Katolik Cinta Kasih dengan dukungan P. Agustinus giyono D.Pr dari Keuskupan Agung Semarang berhasil mendapatkan tanah dan rumah yang terletak disamping halaman gereja. Rumah ini direncanakan untuk rumah Pastoran. Tetapi masih didiami orang yang mengkontrak karena masa kontraknya belum habis. Setelah yang mendiami meninggalkannya, maka rumah segera direhab. Rehap tahap pertama selesai pada bulan september 2002, namun masih kosong dan belum ada perabot apapun didalamnya. Lingkungan sekitar rumah juga belum tertata rapi, sehingga pastor dan pengurus gereja Cinta Kasih harus bekerja keras menatanya.
    Dengan adanya Pastoran ini maka semakin terwujudlah harapan umat, bahwa wilayah Pangkalan Berandan dan 20 stasi disekitarnya memiliki Paroki sendiri agar pelayanan terhadap umat semakin Maksimal, dan juga untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan gereja tidak terlalu jauh harus ke Paroki Maria Bunda Pertolongan Abadi Binjai. Keinginan untuk mendirikan Paroki sendiri semakin gencar pada saat menjelang Peringatan Pesta Perak (25 tahun) Gereja Cinta Kasih Pangkalan Berandan.
    Pada tanggal 29 Juni 2003 diadakan pesta Perak Gereja Katolik Cinta Kasih sekaligus Peresmian Pendirian Paroki Pangkalan Berandan yang bernaung pada perlindungan tokoh besar gereja perdana yaitu Santo Paulus, sekaligus diadakan pengumpulan dana untuk rehab gereja dan pagar.
    Pada tanggal 31 Agustus 2003, Yang Mulia Uskup Agung Medan Mgr.A.G.Pius Datubara OFM Cap. berkenan hadir untuk meresmikan dan memberkati Paroki baru yaitu “ Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan”. Setelah pemberkatan maka pastoran segera dilengkapi dengan Garasi mobil, Kamar penjaga dan dan ruang kamar mandi luar. Hati umat terasa legah telah memiliki Paroki yang baru walaupun pada saat itu Pastor belum langsung ditempatkan tetapi masih dari Binjai. Kemudian Bapak Uskup menempatkan Pastor Aloysius Martoyoto Pr. dari Keuskupan Semarang di Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan.
    Dengan melihat sejarah singkat berdirinya Gereja Katolik Stasi Cinta Kasih Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan, dimana umat menghadapi berbagai macam tantangan, dan kesulitan yang berat, sudah sepatutnyalah kita selalu bekerja sama serta membangun kesatuan dan persatuan, demi untuk berkembangnya iman umat Katolik di daerah Pangkalan Berandan dan sekitarnya.
    Para umat yang pernah menjabat sebagai Ketua Pelaksana Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan adalah sbb :
    1. bp. JPE.Situmorang dan
    2. bp. A.S. Sihotang
    Para Pastor Yang pernah berkarya di Stasi Cinta Kasih Sesuai dengan ingatan para umat, disini kami beritahukan sebagai berikut :
    1. Pastor A.G.Pius Datubara.
    2. Pastor Vennox
    3. Pastor Gregori ( Kanada )
    4. Pastor Josua ( Swiss )
    5. Pastor Magela
    6. Pastor Julius Martin PME
    7. Pastor Betran
    8. Pastor Pidelis Sihotang
    9. Pastor Frietz Tambunan
    10. Para Pastor Diosesan yang datang dari Keuskupan Agung Semarang (Rm. Sukardi, Rm.Winarto, Rm.Suyadi, Rm. Supriyanto, Rm.Suharyono, Rm. Agustinus Giyono, Rm. Aloysius Martoyoto Pr., Rm.Johanes Conrad Heru Purnomo Wiryoatmojo Pr. Dan Rm. Yohanes Sari Jatmiko Pr).
    11. Pastor Gundo Saragih
    12. Pastor Marsellinus Sitanggang
    Dan para Pastor yang pernah berkarya setelah di resmikannya Paroki Santo Paulus Pangkalan Berandan adalah sbb;
    1. Pastor Agustinus Giyono (sebagai perintis berdirinya Paroki)
    2. Pastor Aloysius Martoyoto Pr
    3. Pastor Johanes Conrad Heru Purnomo Wiryoatmojo Pr
    4. Pastor Gundo Saragih
    5. Pastor Marsellinus Sitanggang (Pastor Rekan)
    6. Pastor Yohanes Sari Jatmiko Pr
    Demikianlah sejarah Gereja Katolik Cinta Kasih Pangkalan Berandan ini yang dapat kami uraikan. Terima kasih atas bantuan dari para pengurus terdahulu bp. J.Y.Sitanggag dan juga para orang tua saksi hidup bp.L.Simbolon, ibu R.br.Sinaga,bp.B.Samosir yang mengetahui sejarah umat dan juga penyusun terdahulu bp.JPE. Situmorang,dan juga semua orang-orang yang turut serta dalam penyusunan sejarah Gereja Katolik Pangkalan Berandan ini. Sejarah ini mungkin masih banyak kekurangan disana sini, dan juga tanggal serta bulan dan tahun tidak begitu persis dan ada yang silap , maka kami mohon maaf yang sebesar besarnya kepada bapak /ibu saudara sekalian. (Direvisi kembali : L.Simanjuntak.S.Pd).
    Sejarah Stasi Tanjung Pura
    Stasi Tanjungpura yang terletak sekitar 25 km ke arah selatan dari Paroki St. Paulus, Pangkalan Brandan adalah stasi paling selatan, yang menjadi pembatas dengan Paroki Bunda Pertolongan Abadi. Terjadinya stasi ini diceritakan oleh Bp. Financius Sinaga, selaku vorganger di stasi ini. ”Saya, Financius Sinaga, yang sejak tanggal 1 Maret 1954 telah diangkat menjadi Pegawai Negeri, khususnya sebagai Pegawai Penjara, tinggal menetap di kota Tanjungpura, walau pada waktu itu keluarga saya belum pindah ke Tanjungpura. Perpindahan keluarga saya ke Tanjungpura baru terlaksana pada bulan Mei 1954 dan kami bertempat tinggal di kampung Karantina. Waktu itu belum ada perkumpulan umat Katolik, karena belum ada satu pun orang katolik di situ. Sejak sekitar tahun 1960 sampai tahun 1973 kami bergereja di Air Hitam, yang letak gerejanya di dekat Kilang Bersama. Berhubung gereja Air Hitam dipindah ke Bukit Delapan, kami merasa begitu jauh untuk bergereja kesana. Maka sesuai dengan petunjuk Pastor, kami pindah berminggu ke Martoba Gebang.
    Berhubung ke Gebang pun juga cukup jauh perjalanan kami (bersama-sama anak-anak) terpaksa kami tidak bias mengikuti peribadatan setiap minggu. Pada waktu itu, Pastor Pius Datubara, selaku pastor paroki menunjuk rumah kami sebagai tempat diadakannya ibadat atau doa lingkungan, supaya anak-anak dapat beribadat dan berdoa lingkungan setiap minggunya. Kami yang berjumlah 3 (tiga) keluarga bisa berminggu/beribadat dengan teratur. Pada tanggal 7 April 1975, Pastor A.G Pius Datubara, selaku pastor Paroki gereja Katedral Medan, mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Muspida Kecamatan Tanjungpura, yang memberitahukan bahwa Perkumpulan Jemaat Katolik di Tanjung Pura setiap Minggu dan setiap hari Besar Kristiani mengadakan ibadat/doa lingkungan. Setiap malam minggu umat Katolik Tanjungpura mengadakan doa-doa secara bergiliran dari rumah ke rumah. Maka pada tanggal 8 April 1975, kami melapor kepada Muspida kecamatan Tanjungpura (sebagai bukti-bukti dari keterangan ini, ada photocopy pertinggal yang disimpan dengan baik oleh vorhanger).
    Demikian sejarah awal perkumpulan kami, umat katolik di Kecamatan Tanjungpura dan Tanah untuk mendirikan gereja telah kami beli dengan pinjam uang dari Paroki Binjai Langkat, melalui Rm. Sukardi dan tanah tersebut diatasnamakan Rm. Sukardi. Surat tersebut ditinggal di Paroki Binjai Langkat. Menurut perjanjian kami dengan Pastor Paroki, pengembalian uang pinjaman itu kami tempuh dengan cara mengansur. Tanah tersebut masih kosong sampai sekarang, karena lingkungan kurang mendukung.
    Demikianlah sejarah perkumpulan kami, selaku umat katolik di Tanjungpura, Langkat yang mulai sejak 8 April 1973 dengan jumlah 3 KK sampai sekarang 28 Juli 2012 (39 tahun) mencapai jumlah warga katolik 28 KK dengan jumlah umat 128 orang. Adapun pengurus gereja stasi Tanjungpura sebagai berikut:
    1. Vorganger Pengata Surbakti
    2. Wakil vorganger Tapianna br. Silalahi
    3. Sekretaris Edi Susanto Saragih
    4. Wakil Sekretaris Bohler Silalahi
    5. Bendahara Antonius Nandang Mulyadi
    6. Wakil Bendahara Kasanova Saragih
    Sejarah Stasi Air Hitam
    Stasi Santo Paulus Bukit Mengkirai terletak ± 25 KM sebelah Tenggara Kota Pangkalan Berandan. Gereja ini berada di Dusun IV (empat) Desa Bukit Mengkirai, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat. Jarak antara gereja dengan Kantor Camat Gebang, ± 15 KM ke arah Selatan.
    Pada tahun 1964 berdirilah gereja katolik St. Paulus Stasi Air Hitam dengan jumlah 30 KK dan terdiri dari 140 jiwa, di bawah naungan Paroki Binjai Langkat dan di pimpin oleh Pastor Vennok. Pada waktu itu sudah dipilih pengurus gereja katolik Stasi Air Hitam, yakni: Kalimuda Situmorang dan Alfred Simamora. Kemudian, sejak tahun 1971 umat katolik semakin bertambah jumlahnya, karena umat sering dikunjungi oleh Pastor AG Pius Datubara OFM Cap, sehingga dapat diperkirakan bahwa pada tahun 1974 jumlah umat mencapai 42 KK atau 200 jiwa. Pada waktu itu kepengurusan gereja dipegang oleh bapak Martinus Tamba dan bapak Dominikus Lumban Gaol. Perkembangan jumlah umat katolik pada tahun 1984 mencapai 220 jiwa atau 48 KK dan pada tahun 2006 umat katolik sudah berjumlah 265 jiwa atau 52 KK. Adapun pengurus gereja pada masa bakti ini adalah: B. Manik, T. Sianturi, S. Situmorang, J. Tambunan, B.E Manalu, O. Malango, P. Situmorang (yang sekarang menjadi kepala Desa Bukit Mengkirai) dan pada tahun 2008 menjabat sebagai Ketua Dewan Stasi adalah bapak J. Manik.
    Melihat perkembangan umat yang semakin hari semakin bertambah dari tahun ke tahun, sekalipun dalam presentase kecil, namun perkembangan jumlah umat ini merupakan suatu kemajuan yang sangat berarti dibanding dengan jumlah umat dari gereja lain (gereja tetangga).
    Sebelum dipindahkan ke Bukit Mengkirai, awalnya gereja Katolik St. Paulus berdiri di Desa Air Hitam, persisnya di Kilang Bersama (± 6 KM sebelum Desa Bukit Mengkirai). Selama 5 (lima) tahun (1963-1968), gereja tetap berada di Desa Air Hitam.
    Akhir tahun 1968, gereja dipindahkan ke Bukit Mengkirai. Alasan perpindahan adalah umat Katolik jauh lebih banyak di Desa Bukit Mengkirai dari pada di Desa Air Hitam. Selain itu, seorang umat menghibahkan tanahnya untuk pertapakan gereja di Bukit Delapan, Desa Bukit Mengkirai. Mencermati dua hal itu dan mengingat bahwa di Desa Air Hitam umat begitu sedikit dan gedung gereja juga masih menumpang di sebuah kilang padi, maka atas kesepakatan bersama, gedung gereja darurat dibangun di Bukit Mengkirai. Ide pemindahan dan pembangunan gedung gereja digagas dan dilaksanakan oleh Bapak almarhum Kalimuda Situmorang. Ia bersama kelompok perantau dari Samosir bahu-membahu mendirikan dan menggiatkan hidup menggereja di Bukit Mengkirai.
    Karena jumlah umat bertambah dari tahun ke tahun, gereja tak mampu lagi menampung umat. Selain itu gereja juga sudah bocor dan keropos. Melihat situasi itu pada tahun 2006 oleh para pengurus gereja di Bukit Mengkirai merencanakan pembangunan gereja yang lebih besar dan permanent. Rencana itu disampaikan kepada umat dan umat menyetujuinya. Sejak tahun itu setiap kepala keluarga umat dikenakan biaya pembangunan gereja yang dibayarkan pada masa panen padi. Demikianlah umat selama 3 tahun berusaha mengumpulkan dana awal pembangunan gereja. Pada awal tahun 2009 pembangunan gereja dimulai. Pekerjaan mulai dari penggalian fondasi sampai pengatapan masih tergolong lancar. Pembangunan selanjutnya terpaksa dihentikan karena dana telah habis. Umat masih tetap mengumpulkan dana, namun jumlahnya sudah sangat sedikit. Hal itu dikarenakan harga kelapa sawit yang tidak stabil dan juga karena selama ± 10 bulan (pertengahan 2009-pertengahan 2010) musim kemarau melanda Langkat (terlebih wilayah Teluk Aru).
    Tahun 2011 jumlah umat 52 KK dan 207 jiwa; tahun 2012 bertambah menjadi 54 KK dan 221 jiwa.
    Bangunan Gereja baru:
    - Dimulai tanggal 01 Februari 2009 direncanakan selesai bulan September 2012, inilah atas karya Tuhan pada setiap Donatur. Dan tak luput kami umat katolik Stasi Air Hitam mengucapkan terimakasih atas kerja keras dan partisipasi Romo Aloysius Martoyoto,Pr sebagai perintis, Pastor Gundo F Saragih Pr; Pastor Marselinus Sitanggang Pr yang memulai dalam peletakan batu pertama.
    - Dalam penyelesaian bangunan kami sangat berterimakasih atas kerja kerasnya, baik bantuan moral dan pendanaan pada Romo Yohanes Sari Jatmiko Pr, Sekretaris Paroki Maria Dede dan juga yang sangat kami banggakan pada Sr. Vincentine Nainggolan KSSY dan Sr. Deswita Sinaga KSSY yang sangat perhatian sekali untuk gereja Air Hitam, sehingga bantuan sudah hampir rampung. Terimakasih bagiMu Tuhan Engkau tunjukkan malaikat-malaikat penolong untuk umat Stasi Air Hitam.
    Susunan Pengurus Stasi Masa bakti 2011-2016:
    1.Vorganger : Jonner Tambunan
    2.Wakil Vorganger : Jakaria Manik
    3.Sekretaris : Pacifikus Situmorang
    4.Wakil Sekretaris : Mangihut Sitanggang
    5.Bendahara : Umar Manik
    6.Wakil Bendahara : Edumanto Sinaga
    Sejarah Stasi Tangkahan Batak
    Pada tahun 1961, umat Tangkahan Batak berkumpul untuk musyawarah dan mengadakan sembahyang di rumah Bapak Arifin Situmorang. Pada tahun itu juga Pastor Op. Bornok Simbolon bersama Ny. Hutabarat dan ibu Situmorang (Pangkalan Brandan) dan sekaligus Bapak Jaspes Sinaga selaku pengajar, memberi pembekalan dan pembinaan kepada umat katolik yang berada di daerah Pangkalan Brandan termasuk Tangkahan Batak. Mereka menjumpai keluarga-keluarga Katolik yang ada di Tangkahan Batak, yaitu:
    1. Arifin Simbolon
    2. Jaintan Simbolon (alm)
    3. Osman Simbolon
    4. Ama Espe Simbolon
    5. Jabakti Hutabalian
    6. Huta Malau (alm)
    Keenam keluarga ini mengadakan sembahyang dirumah bapak Arifin Situmorang.
    Kemudian pada bulan April 1962 bapak Arifin Situmorang menerima mandat dari Pastor Bornok menjadi Pengurus atau Ketua Stasi Tangkahan Batak. Sejak tahun 1963 Pastor Bornok merayakan Ekaristi di rumah keluarga Arifin Situmorang dan selama kurang lebih 3 tahun mereka sepakat untuk mencari / membeli pertapakan untuk mendirikan bangunan Gereja. Dengan landasan keinginan yang besar, umat membeli pertapakan tanah dari salah satu umat Katolik yaitu Bapak Huta Malau, dengan harga 6 kaleng padi sawah yang kering.
    Pada tahun 1966 mulai dibangun Gereja yang berukuran 5m x7m, berpondasikan batu bata, dinding papan dan atap nipah. Sesudah pembangunan gereja selesai, umatpun bertambah jumlahnya, yakni:
    1. Kasmin Gultom (Op. Candra) alm.
    2. A. Kele Simamora
    3. Sahat Nainggolan
    4. A. Niben Nainggolan
    5. A. Holong Nainggolan
    6. A. Eli Pandiangan
    7. Mangantar Pandiangan
    8. Op. Patuan Sibaran.
    //Penyusun : Birman Agustinus Simanungkalit.
    Sejarah Stasi Martoba Gebang
    Pada tahun 1962 kampung Martoba masih didiami oleh beberapa suku Batak dan yang beragama Kristen (terutama Katolik). Umat yang pertama dahulu sulit bertatap muka dengan yang lain sebagai saudara seiman, karena lebih sering bertempat tinggal di ladang masing-masing.
    Pada suatu hari mereka bertemu di tempat Bapak K. Manurung (†) dan teman-temannya antara lain:
    1. Bapak K. Sihombing (†)
    2. Bapak Arifin Situmorang (†) (sekarang tinggal di Stasi Tangkahan Batak)
    3. Bapak M. Sianipar (†)
    4. Bapak A. Sinaga
    5. Bapak A. Manurung (†)
    Setelah itu mereka mengadakan kesepakatan mengadakan Partamiangan (Ibadat) agar semua usaha mereka diberkati oleh Tuhan, karena mereka umumnya orang perantau yang bermodalkan Iman Kristiani (Katolik/RK) dari Pulau Samosir.
    Pada tahun 1965 mereka membuat suatu kesepakatan dengan teman-temannya yaitu: mereka mengadakan peribadatan bersama antara saudara yang di Martoba dan Tangkahan Batak yang relatif jauh jaraknya. Maka bapak Arifin Situmorang dari Tangkahan Batak mengajak umat Martoba untuk bergereja di Tangkahan Batak.
    Dalam perjalanan selanjutnya, jumlah umat semakin berkurang, sampai tinggal beberapa KK, namun mereka tetap bertekun untuk beribadat. Lalu mereka tetap mengadakan ibadat dari rumah ke rumah umat terutama di rumah bapak M. Sianipar (†).
    Meskipun pada masa itu Negara kita dalam keadaan gawat karena terjadi gerekan G30S PKI. Tetapi umat Katolik tetap bertahan pada Iman dan kepercayaan mereka. Banyak cobaan telah mereka lalui dengan selamat, karena mereka tetap kompak, walau jumlah mereka tinggal sedikit.
    Pada tahun 1969 datanglah Pastor AG. Pius Datubara, Ofm Cap yang memberikan dukungan kepada umat katolik di Martoba Gebang, dengan membelikan tapak gereja seluas 20m x 60m (3 rante). Maka segera dibangun gereja sebesar 4m x 6m dengan kondisi berdinding tepas / atap.
    Pada tahun 1970 pertambahan jumlah umat makin nampak, karena datang bapak M. Situmorang dari Padang Langkat dan bapak Finantius Sipayung dari Tanjungpura yang bergereja di Stasi Air Hitam. Oleh karena jarak tempuh jauh lagipula jalannya terputus oleh banjir, sehingga mereka pindah bergereja di Martoba.
    Pada tahun 1973 gereja diperbesar menjadi 5m x 7m dengan konsisi berdinding papan / atap seng, oleh karena jumlah umat bertambah menajdi 10 KK.
    Pada tahun 1979 datang juga Bapak Pastor Gregory PME, yang memberi gagasan untuk memperbesar gereja tersebut menjadi 6m x 8m dengan kondisi bangunan gereja Batu-separuh dinding papan bekas, 8 buah seng bekas, lantai tanah. Pada masa itu yang menjadi Vorhanger Bapak Timbul Simbing (†) menjalani pelayanan iman umat sejak 1970 s/d 1992. Dan digantikan oleh bapak Mister Nainggolan yang bertugas sampai tahun 2008 dengan jumlah umat 11 KK.
    Pada awal Desember 2006 Romo Aloysius Martoyoto Pr selaku Pastor Paroki St. Paulus Pangkalan Brandan bersama Dewan Paroki mengajukan permohonan bantuan kepada Keuskupan Agung Medan, karena adanya keprihatinan umat yang merasakan kurang nyaman lagi menggunakan gedung gereja yang sudah rusak dan tempatnya tidak representatif (kumuh).
    Maka datanglah bantuan dana dari Keuskupan Agung Medan, sehingga umat bisa mendapatkan pertapakan gereja yang terletak di jalan lintas Sumatera seluas 26m x 100m (6,5 rante) dengan 50% bantuan dana dari Keuskupan, sedangkan sisanya ditanggung oleh Paroki sebagai hutang yang perlu diangsur. Selain itu, bapak Uskup Agung Pius Datubara juga memberikan sebagian uangnya untuk membantu angsuran ke Keuskupan. Demikian juga, stasi Cinta kasih ikut meringankan beban stasi Gebang dengan memberikan bantuan dana, tenaga bersama-sama umat stasi Gebang.
    Pada tahun 2007 dibangunlah gereja stasi Martoba Gebang dengan luas 8m x12m (sebagian bahan bekas dari gereja lama di pakai) Model bangunan permanen yang mana biayanya diupayakan dengan swadaya umat dan para donatur. Semuanya ini bisa berjalan dengan baik berkat uluran tangan / bantuan umat katolik di Stasi-stasi Paroki St. Paulus Pangkalan Brandan. Dan pada awal April 2008 telah diadakan pemilihan Pengurus Stasi yang baru dengan masa bakti 2008 s/d 2011 Pengurus masa bakti 2011-2016 adalah:
    1.Vorganger Parluhutan Situmorang
    2.Wakil vorganger M. Nainggolan
    3.Sekretaris J. Silalahi
    4.Wakil Sekretaris M. Tarihoran
    5.Bendahara R. br. Nababan
    6.Wakil Bendahara D. br. Sagala
    Saat ini kepengurusan P. Situmorang berjalan dengan baik berkat ijin dari Tuhan.
    Video Profil :
    Lokasi Paroki :

    Paroki Palipi

    0
    Pelindung
    :
    Santo Fransiskus Asisi
    Buku Paroki
    :
    Sejak tahun 1936. Sebelumnya bergabung dengan Paroki Balige
    Alamat
    :
    Pastoran Katolik, Palipi, Pulau Samosir – 22393
    Telp.
    :
    0813-7008-9164
    Email
    :
    [email protected]
    Jumlah Umat
    :
    2.546 KK / 11.108 jiwa
    (data Biduk per 05/02/2024)
    Jumlah Stasi
    :
    33
     
    01. Bolean
    04. Dugul
    07. Huta Ginjang
    10. Lumban Sihombing
    13. Pandiangan
    16. Parsaoran
    19. Sabalangit
    22. Sideak
    25. Silimapulu
    28. Sinagauruk
    31. Siupar
    02. Batujagar
    05. Holbung
    08. Lobutua
    11. Pagar atu
    14. Pangaloan
    17. Ransangbosi
    20. Sampetua
    23. Sigaol
    26. Simanukmanuk
    29. Sitatar
    32. Tarabunga
    03. Dolok Martahan
    06. Hutaraja
    09. Lumban Malau
    12. Pamutaran
    15. Parmonangan
    18. Rapusan
    21. Sibatuara
    24. Silaban
    27. Simataniari
    30. Sitabotabo
    33. Torudolok
    RP. Deo Gratias Manalu OFMCap
    10.02.’83
    Parochus
    RP. Chrisanctus Saragih OFMCap
    29.12.’65
    Vikaris Parokial
       
     

    Sejarah Paroki St. Fransiskus Asisi - Palipi

    Pengantar (klik untuk membaca)
    Dalam kata pengantar buku supervisi paroki dikatakan bahwa uskup diosesan wajib mengunjungi umat beriman di paroki, minimal sekali dalam lima tahun. Demi meningkatkan mutu kunjungan itu, maka tim supervisi dibentuk oleh bapak uskup yang terdiri dari para imam ahli atau mahir di bidang hukum gereja, di bidang administrasi dan di bidang harta benda. Tim itu menyiapkan tiga lembar kerja atau borang, yang berkaitan dengan tata penggembalaan, tata administrasi dan tata kelola harta benda. Sementara tujuan supervisi ini disebutkan dua hal. Pertama, pelayanan paroki dilakukan dengan sungguh sungguh sebagai bentuk pertanggungjawaban pastoral kepada umat. Umat berhak mengetahui bahwa mereka dilayani dengan baik. Kedua, dewan pastoral paroki dibantu dan didampingi melalui supervisi dan tidak dibiarkan begitu saja tanpa pendampingan. Paroki dimohon memperhatikan rekomendasi dari tim supervisi. Untuk mencapai tujuan itu, tim supervisi harus menyiapkan tiga lembar kerja atau borang yang berkaitan dengan tata penggembalaan, tata administrasi dan tata kelola harta benda.
    Pada tanggal 16-17 Maret 2022, Paroki Santo Fransiskus Asisi Palipi mendapat giliran untuk kunjungan tim Supervsi Keuskupan ini. Untuk melengkapi maksud dan tujuan supervisi KAM di Paroki Stanto Fransiksus Asisi Palipi ini, kami paparkan sedikit profil paroki ini. Sungguh disadari bahwa profil ini belumlah lengkap dan masih jauh dari kata sempurna. Karena itu profil paroki ini, terbuka untuk dilengkapi dari tahun ke tahun atau dari masa ke masa.
    Namun demikian, untuk tujuan supervisi KAM pada kesempatan ini, kami telah berusaha merefleksikan karya pelayanan di paroki ini. Program demi program yang telah disusun diharapkan makin meningkatkan kualitas iman umat. Patut dicatat dalam lima tahun terakhir ini kegiatan baik pembinaan seturut TPP KAM maupun perayaan-perayaan iman semakin baik dan tertata. Sungguh kami sadari bahwa semua program ini diperbuat untuk meningkatkan kualitas iman Katolik agar berurat berakar sehingga tangguh menghadapi tantangan jaman.
    Sejarah Paroki
    Mgr Brans mengangkat Pastor Sybrandus van Rossum sebagai misionaris pertama di daerah Misi tanah Batak dan disuruh ke Balige. Kiranya pastor Sybrandus tidak perlu mencari kontak, karena orang orang Batak sendiri yang datang kepadanya, berkerumun dari pagi sampai petang. Pastor Sybrandus pandai bergaul juga dengan pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda di Tarutung.
    Setelah pastor Sybrandus tinggal beberapa bulan di Balige, datang seorang yang bernama Jamauli Lumbanraja dari Harian (Nainggolan). Dia minta kepada pastor supaya mau menyeberang ke Samosir karena ada beberapa orang yang mau menjadi Katolik. Si Lumbanraja ini adalah mantan guru Zending Protestan dan sudah pada tahun 1933 minta kepada pastor Aurelius Kerkers di Pematangsiantar untuk diterima di Gereja Katolik. Jamauli Lumbanraja ini menyeberang setiap hari Jumat naik solu ke Balige untuk pergi ke pekan dan sambil menerima pelajaran Katolik di pastoran. Pada pertengahan bulan Mei 1935 pastro Sybrandus menyeberang dari Balige ke Nainggolan, dijemput oleh Jamauli Lumbanraja. Ternyata di Sipinggan Harian banyak orang yang sudah menunggu pastor. 20 Keluarga mendaftarkan dirinya mau menjadi Katolik dibawah pimpinan kepala kampung O. Siringoringo. Pada saat itu, rumah Ferdinand Tamba disewa untuk tempat beribadah pada hari Minggu.
    Pada kunjungan kedua pastor Sybrandus dari Balige ke Samosir dia pergi ke Sipinggan dan setelah itu ke Palipi. Banyak orang yang berkumpul di situ. Ada yang dari Sipuli, maupun dari Batujagar. Mereka semua mau masuk Katolik. Pada permulaan bulan Juni 1935, datang juga banyak orang dari Simbolon ke Palipi. Mereka minta supaya pastor datang ke Simbolon membuka stasi baru. Pada akhir tahun 1935 pastor Sybrandus membuka stasi Sinagauruk (negeri Urat) dan Rianiate (54 keluarga).
    Pada tanggal 08 Nopember 1935, MGr. Brans mengunjungi Samosir. Di mana mana beliau diterima dengan antusias dengan memakai gendang. Kunjungannya yang pertama di Onanrunggu sesudah itu di Sipinggan, Sinagauruk dan di Palipi. Pada tanggal 11 Januari 1936 stasi Onanrunggu diresmikan menjadi stasi ketujuh setelah Sipinggan, Palipi, Sinagauruk (Urat), Simbolon, Rianiate dan Sideak.
    Mgr. Brans merasa sebaiknya ada pastor tetap di Samosir. Maka diangkatlah pastor Diego van de Biggelaar (Ompung Bornok) pada tanggal 20 Januari 1936. Pastor Diego pandai berbahasa Batak dan rajin melayani umat. Setelah berpikir cukup lama, pastor Diego memilih Simbolon sebagai tempat tinggal, karena anak kepala kampung Raja Philemon mengusulkan rumahnya menjadi pusat kegiatan pastor. Rumahnya itu dekat desa Silaban. Sejak 1 April 1936 pastor Diego tinggal di situ. Terus menerus terjadi pendirian stasi yang baru. Pada tangggal 10 Mei 1936 didirikan stasi Batujagar, 18 Mei 1936 didirikan stasi Tanggabatu (Lontung), tanggal 25 Mei 1936 didirikan stasi Lobutua, 05 Juni 1936 didirikan stasi Tamba, dan 26 Juni 1936 didirikan stasi Ransangbosi. Pada Akhir tahun 1936, diketahui bahwa sudah terbentuk 13 stasi: Onan Runggu, Urat, Lumban Lintong (Pangururan), Lobutua, Tamba, Boho, Sipinggan, Palipi, Lontung, Sideak, Sirait, Batu Jagar, dan Ransang Bosi.
    Akhir Bulan Agustus 1936, pastor Diego jatuh sakit dan akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1936 beliau terpaksa meninggalkan Samosir dan pergi ke Pematangsiantar. Pengganti pastor Diego van den Biggelaar ialah pastor Benyamin Dijkstra (05 Oktober 1938). Pastor Benyamin adalah seorang yang cukup teratur, tegas dan tertib. Pada tahun 1936 diadakan banyak permandian missal: di Onanrunggu 167 orang, di Sipinggan 110 orang, di Sinagauruk (Urat) 105 orang, di Ransangbosi 252 orang dan di Sitonggitonggi 100 orang.
    Pada bulan Juli 1940, pastor Radboud Waterreus pindah ke Palipi. Pada waktu itu direncanakan oleh pemerintah, supaya Mogang menjadi pusat pemerintah dan pekan. Karena itu pusat misi juga dipindahkan yaitu dari Simbolon ke Palipi dekat Mogang. Limabelas stasi paroki Palipi yang telah didirikan sebelum Juli 1941.
    • Palipi (1935) • Simbolon (1935) • Sinagauruk (1935) • Sideak (1935) • Batujagar (1936) • Lobutua (1936) • Ransangbosi (1936) • Sitatar (1937) • Silimapulu (1938) • Pandiangan (1939) • Siupar (1939) • Sibatuara (1939) • Hobung (1939) • Rapusan (1939) • Simataniari (1941)
    Sampai pada tahun 2012 sudah ada 32 stasi berdiri di paroki St. Fransiskus Assisi – Palipi. Dan syukur kepada Allah bahwa pada tahun 2015-2022 paroki St. Fransiskus Assisi Palipi telah memiliki 34 stasi dengan wilayah pemerintahan di dua kecamatan yaitu kecamatan Palipi dan kecamatan Sitiotio, Kab. Samosir.
    Beberapa orang awam yang berjasa untuk paroki Palipi sebelum perang dunia II, penjajahan Jepang (1942) adalah Jamauli Lumbanraja (Harian, Nainggolan), O. Siringoringo (Sipinggan), Yulius Sitohang (Palipi), Gayus Sinaga (Sinagauruk), Renatus dan Yonas Sitanggang (Rianiate), Bonifasius Panggabaean (katekis dari Balige), Davis Hutauruk (Sinagauruk), Gideon Sitohang (Sitatar), Guru Tinatea (Sirait), Baginda Sitinjak (Onanrunggu), Renatus Simbolon (Simbolon), Ludu Situmorang (Batujagar), Panurat Situmorang (Lobutua), Johannes Situmorang (Lobutua), Calvin Johannes Tampubolon, Marinus Pandiangan, Arminius Iskandar Situmorang dan Pekianus Tamba.
    Pastor pastor yang bertugas di Palipi sebelum 1942 adalah Pastor Diego van den Biggelaar (1936-1938); pastor Procopius Handgraaf (1936-1937), Pastor Oscar Nuyten (1937-1938), Pastor Beatus Jenniskens (1938-1939), pastor Benyamin Dijkstra (1938-1941), pastor Wendelinus Willems (1939-1940) dan pastor Radboud Waterreus (1940-1942).
    Kunjungan-kunjungan pertama ke stasi-stasi sangat menggembirakan. Dimana-mana diadakan pesta, makan bersama menyambut kedatangan pastor. Pada waktu itu belum ada pastoran di Pangururan dan stasi-stasi di daerah itu dikunjungi dari paroki Palipi. Pastor Radboud kadang kadang berturne sampai sepuluh hari lamanya. Misalnya pergi ke Tamba (3 stasi), Sihotang, Harianboho, Limbong, Sagala, Buhit, Pangururan dan Rianiate. Sering ikut anak sekolah membawa koper misa antara lain Mangapul Nainggolan, Peter Sinaga dan Kornel Sihombing.
    Sejak semula para pastor di Samosir membawa obat ke stasi-stasi. Pada tahun 1950 pastor Radboud membuka poliklinik di kamar makan pastoran, banyak sekali orang datang minta obat. Pada tahun 1951 sekolah Dasar Katolik ditutup karena Mgr. Brans tidak bersedia lagi memberi subsidi kepada sekolah sekolah misi seperti sebelum perang dunia II.
    Kornel Sihombing, kemudian Pieter Sinaga, anak dari sintua Herman dari Simbolon mengurus dapur pastoran. Ketika pastor Isidorus Woestenberg datang ke Palipi, Mangapul Nainggolan sering menjadi teman pastor ke stasi.
    Oleh pastor Pujahandaya ketika dia mengunjungi Samosir tahun 1947 diangkat dua katekis yaitu Julius Sitohang dan Pekianus Tamba. Ijazah agama diberikan kepada Julius Sitohang, Pekianus Tamba, Jahilon Sinaga, Tabi Sitanggang, dan Calvin Sitinjak oleh Antonius Situmorang (yang kemudian hari menjadi Bruder Marianus).
    Pada tanggal 24 Agustus 1950 berangkat 5 seminaris ke Padang. Dua dari mereka berasal dari Palipi ialah Bismar Sinaga, yang kemudian hari meninggal sebagai Frater Apollinaris dan Bonar Sinaga. Yang tiga orang lagi adalah Herkulanus Pakpahan, Humala Simbolon dan Tajom Damianus Sitanggang. 05 Maret 1951 Antonius Situmorang diterima sebagai postulan kongregasi Budi Mulia di Bogor.
    Pada 05 Maret 1951 diusulkan oleh Kalvin Tampubolon supaya Pandita Situmorang menjadi guru agama di Pangururan dan Mangantar Laurentius Sinaga menjadi guru agama di Palipi. Akhirnya mereka ditukar. Pandita Situmorang tinggal tetap di Palipi dan Mangantar Sinaga ke Pangururan.
    Pada tangggal 04 Januari 1951 pastor Isidorus Woestenberg menjadi teman pastor Radboud di Palipi. Supaya ada tempat untuk pastor, Josef Iskandar Arminius Situmorang pindah dari rumah pastor. Pada bulan Juni 1951, pastor Nilus Wiegmans diangkat menjadi pastor di Palipi dan pastor Radboud Watterreus pergi ke Pangururan. Pastor Isodorus tinggal di tetap di Palipi. Pada waktu itu daerah Tamba, kecamatan Harianboho, buat sementara masuk Pangururan.
    Suster KYM sebelum perang dunia II mempunyai rumah di Kotaraja, Bagansiapiapi dan Pematangsiantar. Setelah perang ternyata tidak mungkin lagi kembali ke Kotaraja dan Bagansiapiapi. Karena itu kongregasi mencari tempat baru. Mgr. Brans sudah mengerti bahwa tiba saatnya menambah kongregasi suster di Tanah Batak. Hanya ada susteran di Balige. Pada Oktober 1950 Mgr. Brans mengusulkan kepada pimpinan suster KYM memulai rumah baru di Palipi. Pada libur paskah, pastor Beatus Jenniskens bersama suster suster KYM yang berkomunitas di Pematangsiantar meninjau ke Palipi yaitu Muder Antonine van de Wetering, Sr. Bonifacia Peters, Sr. Embarta Thomassen dan Sr. Benitia Tan. Para suster ini cukup senang dan setelah beberapa waktu mereka pergi ke Palipi, bertempat tinggal di pastoran dan pastor Nilus serta pastor Isodorus pindah ke kelas sekolah yang baru didirikan. Satu kamar yang disebut kamar pavilion disedikalah sebagai poliklinik dan kamar di sampingnya ditempati oleh Justina br. Sitanggang, yang direncanakan menolong para suster di Poliklinik.
    Pada tanggal 15 Nopember 1951 pasien pertama diterima dan dirawat di poliklnik ini. Kemudian pada tanggal 19 Nopember 1951 poliklinik dan sekolah menjahit diresmikan. Di kemudian hari sekolah menjahit menjadi SKP. Sekolah ini mulai dengan Sembilan murid. Polklinik suster berkembang dengan baik. Makin lama makin banyak pasien datang dari seluruh Samosir untuk berobat. Sr. Bonifacia bersama Sr. Marie Andrea dan Yustina menjadi wanita wanita yang paling dikenal di Samosir. Para suster rajin mengunjungi keluarga keluarga dan ikut doa Rosario. Pastor Wiegmens mengajar suster berbahasa Batak. Yustina menjadi orang penting antara pasien dan suster, yang masih kurang memahami bahasa daerah.
    Pada tanggal 04 Januari 1952 pastor Isidorus Woestenberg dipindahkan dari Palipi ke Pangururan. Pastor Stepanus Krol menjadi penggantinya. Pada tanggal 17 Juli 1952 dua uskup mengunjungi prosesi sakramen Mahakudus di Onanrunggu yaitu Mgr. brans dan Mgr Mekkelholt (Palembang). Hadir juga 25 pastor dan 8 suster, semuanya orang Eropah. Belum ada pastor, bruder atau suster pribumi. Dari tiga paroki di yang ada di Samosir, umat datang ke Onanrunggu. Bruder Victricius berusaha terus supaya sungai di belakang pastoran dan susteran tidak mengancam kompleks Katolik karena sering longsor.
    Pada tanggal 01 Agustus 1055 SD Katolik dibuka (lima kelas) dan 15 Sptember 1955 asrama puteri selesai dibangun. Pada tahun 1955 Bakkara dan Muara menjadi bagian paroki Palipi. Setelah beberapa tahun kemudia dipindahkan dua daerah itu ke Paroki Doloksanggul.
    Pada tanggal 04 Juli 1955 rumah suster diberkati oleh Mgr. Ferrereius Van den Hurk dan kemudian pada tanggal 27 Desember 1955 Gereja Palipi diberkati. Pada tangggal 15 Februari 1957 Palipi bersama Pangururan menerbitkan majalah Porbarita. Pada tanggal 29 Februari 1960 pastor Wiegmens dipindahkan ke Onanrunggu. Pastor Rompa menjadi pastor kepala, dibantu oleh pastor Remigius Pennock. Pastor Pennock ini terkenal karena lukisannya di gereja Palipi, Simbolon, Sinagauruk, Sibatuara dan Pangururan.
    Pada tanggal 28 Juli 1961 pastor Remigius Pennock dipindahkan ke Sidikalang dan pastor Thomas Leontius van den Heuvel penggantinya. Pada tanggal 24 Maret 1963 Pastor Ajut Mathias dari Swiss bertugas di Palipi dan Pastor Meinrad Manser juga dari Swiss ditempatkan di Pangururan. Pada tanggal 03 Januari 1967 pastor Ansfridus pindah ke Palipi. Pada bulan Desember 1969 misa pertama dipimpin oleh pastor pertama paroki Palipi yaitu pastor Ambrosius Sihombing. Pada tahu 1969 klinik bersalin dibuka. Pada tahun 1974 aula selesai dibangun dan pada 05 Januari 1974 pentahbisan pastor Simon Sinaga dan pastor Martinus Situmorang (dan pastor Venantius Sinaga, yang berasal dari Palipi tetapi orangtuanya sudah lama di Medan). Pastor Simon menjadi guru di Seminari Menengah Pematangsiantar dan pastor Martinus pergi ke Roma meneruskan studinya. Pada tanggal 10 Oktober 1974 pastor Liefink kembali ke Nederland untuk selama lamanya. Pastor Raoudboud tinggal di Palipi sebagi teman untuk pastor Thomas.
    Karya Pelayanan, Pembangunan & Strategi Pelayanan
    Karya Parokial
    Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi yang resmi berdiri sejak tahun 1936 ini diberikan nama pelindung Santo Fransiskus dari Assisi. Jumlah Stasi terdiri dari 34 stasi yang dibagi ke dalam 8 rayon.
    Pada periode 2017 sampai 2021, Karya parokial ini dilayani oleh pelayan atau sering diebut Tim Pastoral. Tim Pastoral yang dimaksud untuk lima tahun terakhir ini terdiri dari 3 orang pastor, 4 orang katekis, dan 3 orang sekretaris paroki. Ketiga imam itu adalah RP Damianus Gultom OFM Cap (Pastor kepala paroki), RP Ferdinand Lister Tamba, OFM Cap, (Vikaris Paroki), dan RP Samuel Aritonang OFM Cap (Pastor asisten). Sementara keempat katekis itu adalah Bapak Jadiaman Situmorang, (stasi Batujagar), Aston Pandiangan (Stasi Pandiangan), Bapak Sanur Sitohang (Stasi Torudolok) dan bapak Hadirian Naibaho (Stasi Tarabunga). Tim inilah yang menjadi tenaga full timer di Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi.
    Keadaan Fisik Gereja dan Upaya Pembangunan
    Setiap tahun Paroki mengadakan pembangunan dan perehapan fisik gereja. Selain pembangunan dan perehapan bangunan gereja stasi, juga pembangunan aula paroki. Strategi atau cara yang kami buat untuk percepatan pembangunan fisik gereja ada dua yaitu dengan cara sentralistik keuangan paroki dan dengan gotong royong. Sistem gotong royong yang dijalankan meliputi: Pengumpulan dana pembangunan per KK, pengumpulan dana lewat lelang, acara mangulosi, dan menjalankan beberapa proposal kepada donatur paroki. Sementara sistim sentralisasi adalah memusatkan semua keuangan stasi-stasi di paroki yang di dalamnya termasuk, kolekte pertama, kolekte kedua, kolekte khusus dan kolekte bangunan. Bantuan finansial tetap dimohonkan kepada keuskupan dan para donatur lainnya (pribadi, kelompok pun istasi pemerintahan).
    Pencarian dana untuk pembangunan gedung gereja permanen dan perehapan sungguh menguras tenaga, pikiran dan perhatian. Pada umumnya kondisi bangunan gereja gereja stasi masih setengah permanen. Ada beberapa gereja stasi yang sudah permanen tetapi butuh perehapan sesegera mungkin karena efek gempa dan tanah longsor seperti Sibatuara dan Pangaloan, stasi Hutaraja dan stasi Sabalangit. Fisik gedung gereja yang sudah permanen adalah stasi Tarabunga, Hutaraja, Dolok Maratahan, Silaban, Rapusan, Sabalangit, Pandiangan dan stasi Siupar. Bangunan fisik gereja yang sudah permanen tetapi segera butuh perehapan adalah stasi Palipi, stasi Sinagauruk. Kedua stasi itu butuh perehapan karena sudah tua dan lapuk. Sementara bangunan fisik gereja stasi yang lain masih setengah permanen keculi stasi Bolean dan stasi Pamutaran yang kondisi fisik gerejanya masih darurat. Kedua stasi ini disebut darurat karena diniding gereja dari papan tua dan sudah lapuk serta lantai tanah atau semen yang sudah retak.
    Sampai saat ini ada dua gedung gereja stasi yang belum selesai karena sedang proses pembangunan. Kedua stasi itu adalah stasi Sigaol dan stasi Lumban Malau. Stasi Sigaol sudah mulai perehapan total bangunan fisik gereja sejak tahun 2019 tetapi sampai sekarang belum juga selesai. Stasi Lumban Malau memulai perehapan total fisik gereja mulai tahun 2021 namun sampai sekarang juga belum selesai.
    Metode dan Strategi Pelayanan
    Metode pelayanan yang tetap dijungjung adalah memastikan kinerja Dewan Pastoral Se-Paroki Fransiskus Asisi Palipi berjalan dengan baik. Strategi ini diyakini sangat cocok untuk menjamin kualitas pelayanan di Paroki ini. Untuk mendukung cita-cita ini, jalan yang ditempuh pertama-tama, menjalin kerja sama yang baik dengan pengurus DPP beserta seksi. Kerjasama ini tampak dalam bentuk rapat yang teratur dan melibatkan mereka dalam setiap kegiatan.
    Kedua, kerjasama yang baik antara DPP dengan pengurus rayon dalam menganimasi kegiatan rayon hingga ke stasi. Kesuksesan yang diimpikan dapat diraih bila kerjasama dalam team berjalan dengan baik. Ketiga, memberdayakan Dewan Stasi dan Lingkungan dalam menganimasi dan menghidupan peribadatan. Keempat, melibatkan sedapat mungkin komisi-komisi Keuskupan dan segenap unsur lembaga/ unit sekolah demi pengembangan hidup menggereja yang subur. Kelima, memastikan kerja sama yang baik di kalangan para petugas pastoral sendiri. Ada rapat yang teratur di antara tim pastoral untuk menentukan arah perjalanan paroki, pembagian tugas dan tanggung jawab, penyusunan program dan perjalanan bulanan. Demi terlaksananya karya pelayanan paroki ini maka petugas pastoral diberi tanggung jawab dengan kesepakatan bersama.
    Biasanya dalam Rapat Pastoral (RAPAS) para petugas pastoral membicarakan segala program yang akan dilaksanakan di Minggu atau Bulan yang sedang berjalan. Pembagian tugas ini dimaksud untuk mengefektifkan dan sekaligus memudahkan pelayanan agar tepat sasaran. RAPAS ini juga menjadi kesempatan untuk mengevaluasi diri tim pastoral dengan segala karya-karya pelayanan di sepanjang minggu. Dan secara bersama kami mencari solusi yang tepat demi kebaikan bersama. Prinsip ini selalu memotivasi tim dalam berpikir dan bertindak di Paroki St. Fransiskus Asisi Palipi ini.
    Metode pelayanan yang sudah berjalan selama ini ialah kunjungan stasi dan lingkungan. Dalam karya pelayanan ke stasi, kami melayani dengan tidak memilih-milih stasi yang dekat atau jauh, yang sudah bisa dilalui roda empat pun yang masih dilalui roda dua. Pelayanan sermon juga berjalan secara merata mau di tempat jauh atau tidak tetap kami terima dengan gembira. Selain itu, Paroki juga menyelenggarakan pembinaan dan kursus-kursus seperti kursus Kitab Suci, Katekese, Liturgi, Kepemimpinan, Kotbah, Mandok Hata bagi dewan pastoral Rayon dan Stasi, pembinaan bagi guru-guru Asmika se-Paroki, pembinaan OMK se-Paroki, dll. Kursus perkawinan selama satu hari bagi calon-calon pengantin juga rutin dijadwalkan di paroki ini. Katekese dan pembinaan bagi calon Babtis, Komuni pertama, Krisma dan penerima sakramen lainnya umumnya dilakukan di sati masing masing.
    Sejarah Pelayanan Suster KYM
    Suster KYM sebelum Perang dunia Ke -II mempunyai rumah di Kota Raja, Bagan Siapiapi dan Pematang Siantar. Setelah Perang situasi tidak memungkinkan para Suster ke bali ke Kota Raja Bagan Siapiapi karena itu Kongregasi mencari tempat baru. Mgr. Brans sudah mengerti bahwa tiba saatnya menambah Kongregasi baru di tanah Batak. Pada Oktober 1950 Mgr Brans mengusulkan kepada Pimpinan Suster KYM di Schijndel Belanda untuk memulai rumah baru di Palipi. Pada libur Paskah Pastor Beatus Jenniskens Bersama 4 orang suster KYM dari pematang Siantar Meninjau ke Palipi yaitu 1. Muder Antonine Van de Wetering, 2 Sr Bonifacia Peters, Sr. Emberta Thomassen dan Sr Benecia Tan. Para suster cukup senang dan stelah beberapa waktu mereka pergi ke Palipi, bertempat tinggal di Pastoran dan pastor Nilus dan pastor Isidorus pindah ke kelas sekolah yang baru didirikan. Dan satu kamar yang disebut sekarang pavilium disediakan sebagai poliklinik dan kamar disampingnya di tempati oleh Justina br. Tanggang, yang direncanakan menolong para suster di Poliklinik.
    Pada tanggal 15 November 1951 Pasien pertama dirawat dan 19 November 1951 Poliklinik dan sekolah menjahit di resmikan. Di kemudian hari sekolah menjahit menjadi SKP (SKKP). Sekolah ini mulai dengan sembilan orang murid. Poliklinik suster berkembang dengan baik. Makin lama makin banyak pasien dari seluruh Samosir datang untuk berobat. Sr. Bonifacia Bersama Sr. Marie Andrea dan Ibu Yustina menjadi Wanita-wanita yang paling dikenal di Samosir.
    Karya yang dilakukan oleh para suster selain sekolah dan Kesehatan, para suster juga giat mengunjungi keluarga-keluarga dan ikut doa rosario Bersama. Selain itu juga Pastor Vwiekmans mengajar suster-suster berbahasa batak. Ibu Justina juga membantu para suster untuk melayani pasien karena para suster belum memahami Bahasa daerah yaitu Bahasa batak.
    Seiring perkembangan zaman dan melihat kebutuhan masyakat Palipi akan pentingnya Pendidikan, pengurus Yayasan cinta kaum Wanita yaitu Yayasan St. Laurensius membuat permohonan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah Sekolah Kepandaian Putri menjadi sebuah SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Hal ini mendapat tanggapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kepala Biro Keuangan, SKKP RK Bintang Samosir Palipi diintegrasikan menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama bersubsidi dengan nama SMP RK Bintang Samosir Palipi dan pada 1 Januari mengikuti Kurikulum 1975.
    Dengan berdirinya karya Kesehatan dan karya Pendidikan yang dirintis oleh para Suster ini menjadi cikal bakal dan menjadi pendorong semakin berkembangnya dan bertambahnya jumlah para Suster pribumi yang memberikan diri untuk berkarya menjadi Suster di Konggregasi KYM yang kemudian hari juga menjadi suster yang berkarya di bidang Kesehatan dan Pendidikan di pulau Samosir khususnya daerah Palipi dan sekitarnya. Kemajuan karya dalam bidang Pendidikan juga didukung dengan diadakannya fasilitas asrama putra dan putri untuk menampung pelajar-pelajar yang datang dari daerah di Samosir dan luar Samosir. Pengadaan fasilitas asrama putra-dan putri secara langsung memajukan citra sekolah Katolik, karena para siswa dan siswi yang tinggal diasrama secara disiplin diajari dan dibina oleh para suster yang berkarya di Palipi. Bukan hanya pembinaan di sekolah namun juga pembinaan di luar sekolah atau di asrama.
    Seiring berjalannya waktu karya para Suster KYM di Palipi merambah juga ke karya sosial di bidang kelompok tani dengan dibentuknya sebuah Gapoktan. Gapoktan merupakan akronim dari Gabungan Kelompok Tani. Sejak tahun 2008 Kelompok Tani di Palipi telah di rintis, letaknya di Desa Palipi dan sampai Tahun 2017 sekarang ini umurnya sudah 9 tahun. Dalam perjalanan umur yang sudah hampir 9 tahun ini banyak hal positif yang dicapai walaupun tidak bernilai besar antara lain:
    • Kerjasama dengan Pemerintah Daerah melalui dinas terkait terjalin baik 
    • Ada dana Pemerintah dengan pinjaman lunak untuk petani masih berjalan baik dengan laporan yang teratur tiap bulan ke Pemerintah. 
    • Dinas pertanian tetap melibatkan kelompok tani binaan Vita Dulcedo dalam beberapa kegiatan atau pelatihan 
    • Tumbuh kesadaran menggunakan baik uang pinjaman dan mengembalikannya pada waktunya. 
    • Kelompok kelompok yang masih eksis dapat bekerjasama dengan satu sama lain melalui simpan pimjam diantara mereka. 
    • Saat ini ada bangunan bronjongan memanjang di belakang asrama, komunitas dan bangunan sekolah yang sudah lama dimohon dan arena kerjasama yang baik dengan pemerintah.
    Pendampingan kelompok tani mengacu pada visi dan misi kongregasi untuk menjadikan dunia yang layak huni dengan berpihak pada orang-orang miskin dan menderita. Untuk itu dibutuhkan pembentukan karakter perubahan pola pikir dalam bertani demi menatap masa depan yang lebih baik. Pendampingan ini terjadi karena gerakan belaskasih Pemula melihat kondisi ekonomi para Petani yang kian hari kian memprihatinkan terutama mengenai pengolahan lahan para anggota kelompok tani. Langkah langkah yang terus dilakukan sesuai dengan situasi:
    1. Pendekatan pada anggota masyarakat yang punya lahan agar tanah mereka dikelola, lalu responnya akan diusahai karena pada waktu itu banyak tanah yang kosong karena hasilnya memprihatinkan kalau dikerjakan akibat banyaknya tumpuhan pupuk kimia yang membuat tanah jadi mengeras seperti lantai semen. 
    2. Mengumpulkan mereka untuk sosialisasi mengenai tujuan pembentukan kelompok tani 
    3. Mengundang Kepala Desa, Camat, penyuluh pertanian dan melaporkan kepada Paroki (Pastor Paroki tentang tujuan pembentukan Kelompok Tani)
    4. Terbentuk kelompok-kelompok Tani dan sambil penyuluhan pertanian
    Hingga saat ini dari awal mula berdirinya karya-karya para Suster KYM di Palipi, para suster tetap melanjutkan dan menjalankan karya-karya tersebut dalam semangat pelayanan dan cintakasih sembari menghidupi semangat-semangat para Suster pendahulu dalam mewujudkan visi dan misi Konggregasi KYM di Palipi.
    Sejarah Pelayanan Suster KSFL
    Kehadiran KSFL sebagai pengelola Asrama St. Thomas Rasul Tarabunga, Samosir berawal dari permintaan Pastor Nelson Sitanggang OFM Cap, selaku Vikaris Kevikepan Pangururan pada bulan Oktober 2015. Permintaan ini mendapat perhatian khusus dari KSFL, sehingga sejak bulan Januari-Mei 2016, pembicaraan tentang kehadiran KSFL di Tarabunga semakin intensif namun demikian belum ada jawaban yang pasti dari KSFL untuk menerima tawaran tersebut.
    Undangan yang belum juga mendapat jawaban dari KSFL selama kurang lebih lima bulan menggerakkan hati Pastor Nelson Sitanggang OFM Cap untuk lebih gigih mengutarakan niat baik mengundang KSFL berkarya di Tarabunga Samosir. Pada tanggal 30 Juni 2016, tepat pada pesta kaul kekal para suster KSFL, disaksikan oleh Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap dan DPU KSFL, Pastor Nelson kembali menegaskan bahwa pengelolaan asrama Santo Thomas Rasul Tarabunga dipercayakan kepada KSFL. Penegasan ini melahirkan kesepakatan bahwa KSFL akan hadir di Tarabunga tahun ajaran 2017-2018.
    Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan mendesak muncul dan kesepakatan pun berubah. Awal November 2016, pastor Nelson datang kebiara Pusat KSFL di Pematangsiantar dan memohon agar KSFL bersedia hadir di Tarabunga awal Januari 2017. Permohonan ini disampaikan mengingat bulan Januari-April 2017 sudah dilakukan persiapan penerimaan siswa baru Tahun ajaran 2017-2018, sehingga saat penerimaan siswa baru, kepada calon siswa sudah dapat diinformasikan bahwa pengelolaan asrama dipercayakan kepada tarekat religius.
    Kepercayaan mengelola asrama merupakan penghormatan besar bagi KSFL, sehingga KSFL menerima permohonan pastor Nelson OFM Cap. Penghormatan itu disambut baik oleh KSFL dengan mengutus 3 orang suster terbaiknya ke asrama Santo Thomas Rasul Tarabunga dan memulai misi di sana pada tanggal 6 Januari 2017. Para suster yang diutus adalah sr. Avelina Simamora, KSFL,Sr. Melania Nababan, KSFL dan Sr. Helena Silaban, KSFL (Novis II kegiatan stage).
    Patut dibanggakan ketiga suster utusan perdana mampu bersahabat dengan kondisi yang ada, terutama fasilitas yang sangat sederhana. Namun apa yang terjadi sesudah KSFL menepi di Asrama St. Thomas Rasul? Suara-suara fals bergaung. Ada kebingungan. Tetapi Bersama Santo Thomas Rasul para suster KSFL berseru “Ya Tuhanku dan Allahku” dan bersama seluruh stake holders Yayasan Pendidikan Kevikepan St. Thomas Rasul Pangururan Samosir Keuskupan Agung Medan, kami pun semakin yakin kepada siapa kami percaya “scio cui credidi”.
    Sejarah Pelayanan Suster OSCCap
    Bukalah Tanah Baru, Sebab Sudah Waktunya Untuk Mencari Tuhan (Hosea 10: 12.b).
    Pada tanggal 7 Mei 2018 sekitar pukul 8.10 WIB dalam masa persiapan pesta Kaul kekal Meriah saudari Sr. Rafaela Harefa & Sr. Gertrud Purba yang akan diadakan pada tanggal 14 Mei 2018, Bapak Uskup Mgr. Anicetus tiba-tiba mengontak Ibu Abdis Sr. Margaretha Sianipar OSCCap. Dia menyangka bahwa beliau mau bertanya sesuatu tentang Pesta kaul kekal, eh..ternyata sapaan beliau seperti ini:
    Mgr. Anicetus: Putri...bagaimana dengan rencana membangun biara di Muara Fajar, apakah sudah jelas perkembangannya?
    Sr. Margaretha: Belum Monsyiur, status tanah, sertifikat, IMB dan yang lain masih dalam usaha Panitia Pembangunan Keuskupan jawabnya.
    Mgr. Anicetus: Begini Putri...melihat jumlah kalian yang sudah terlalu banyak, kami melihat ada tempat yang cocok di daerah Paroki Palipi, disana sekarang ada usaha keuskupan untuk membuat wisata rohani dan Vikjen P. Elias Sembiring spontan mengatakan untuk wilayah tersebut sangat cocok ada Klaris di sana. Jadi...putri berdoalah selama seminggu ini, dan bertanya kepada para sustermu apakah ini kehendak Tuhan atau tidak? Saya tidak mau berjalan bila bukan kehendak Tuhan katanya.
    Sr. Margaretha: Baik Monsgiur, saya mencoba menyampaikan hal baik ini kepada persaudaraan. Tetapi ada satu hal Monsgiur...Bukankah sebaiknya kami konsultasi dulu pada Monsgiur Martinus Situmorang, mengingat kami diundang dan mempersiapkan diri pada suatu waktu berangkat ke Muara Fajar?
    Mgr. Anicetus: Ya memang...tetap kalian menunggu kepastian dan kesana....suruh yang lain nanti ke situ. Toh kalian punya cukup anggota komunitas. Jadi mari kita berdoa bersama dan melihat terang Tuhan.
    Sr. Margaretha: Baik Monsgiur kami bicarakan juga nanti dengan komunitas.
    Telephone ditutup dengan ucapan khas Mgr. Anicetus: Baik Putri...selamat.
    Sesudah Telepon ditutup, Sr. Margaretha spontan mendekati Sr. Johanna Timmer OSCCap (karena beliau Misionaris senior yang masih ada) dan menyampaikan semua hal apa yang telah dikatakan Mgr. Anicetus. Dan Sr. Johanna dengan senyumnya yang khas mengatakan:...entah mengapa saya merasa ini usul yang baik, karena jantung saya baik dan saya tidak takut....mungkin kehendak Tuhan toh ada biara Klaris nantinya di Pulau Samosir. Kalau begitu kita berdoa bersama ya. Walaupun pernyataan Sr. Johanna sepertinya sangat menyentuh, tetap undangan bapak Uskup membuka biara di Palipi, menjadi pergolakan baru lagi bagi komunitas. Berhubung situasi komunitas dalam masa persiapan pesta kaul kekal, kami tidak punya kesempatan untuk mengadakan pertemuan dengan para Dewan dan suster-suster yang sudah kaul kekal. Dan bukan hal baru tentang niat-niat membuka biara di daerah Pulau Samosir. Persepsi bahwa sulitnya air di daerah Samosir membuat pikiran dan hati tidak “terarah” akan undangan bapak uskup tersebut.
    Beberapa hari kemudian Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap mengontak Sr. Margaretha sehubungan dengan perihal maunya didirikan biara Santa Klara di Dolok Nagok, karena di Pusuk buhit itu pasti tidak mungkin, sebab air tidak ada dan lokasinya jauh sekali di atas. Sekarang saya di Keuskupan mau bertemu dengan Bapak Uskup. Tentu beliau akan bertanya tentang Lokasi tanah dan air di daerah Palipi. Pikirkanlah suster katanya.
    Tanggal 14 Mei 2018 Pesta Kaul kekal meriah kedua saudaripun tiba! Tentunya Bapak Uskup hadir dan memimpin Perayaan Ekaristi. Sewaktu ramah tamah, Monsgiur memanggil Ibu Abdis Sr. Margaretha dan bertanya, sudah kamu bertanya kepada suster-sustermu? Sr. Margaretha menjawab:..belum sempat Monsgiur karena komunitas sibuk dalam persiapan pesta kaul kekal. Mohon hal ini serius dipikirkan ya Putri dan menganjurkan agar dewan pimpinan Biara Sikeben datang ke Keuskupan menindaklanjuti hal ini.
    Hasil pertemuan komunitas, para suster menganjurkan, sebaiknya sebelum menghadap bapak uskup, kita pergi dulu meninjau lokasi tanahnya. Agar pada pertemuan di Keuskupan tidak berandai-andai, atau kurang memahami atas sesuatu yang perlu disetujui.
    Atas persetujuan komunitas pada tanggal 4 Juni 2018: Ibu Abdis Sr. Margaretha, Sr. Miryam, Sr. Magdalena, Sr. Bernadette berangkat Ke Palipi untuk meninjau lokasi tanahnya di paroki Palipi. Mereka di jemput oleh P. Damian Gultom pada hari itu dan langsung beliau membawa keempat saudari ke Palipi.
    Beliau berusaha agar sampai di Palipi sebelum matahari terbenam, karena para suster berencana kembali pulang ke Sikeben malam itu juga.
    Adapun hasil tinjauan lokasi: Kesan spontan adalah latar belakang panaroma Danau Toba yang Indah, aura setempat masih natural, suasana desa yang asli dan jauh dari keramaian, umat yang mayoritas Katolik sangat senang akan kehadiran para suster.
    Pada tinjau lokasi P. Damian berbicara tentang sumber air dan pipa ke penduduk dari pemerintah dan ada usaha dari Paroki. Tetapi para suster memberikan bahan pertimbangan sebaiknya biara punya pipa sendiri, karena nanti ada masalah ke depan.
    Sesudah meninjau lokasi, dengan pemahaman melihat sebentar dan sudah mendengar cerita Pastor paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap Ibu Abdis Sr. Margaretha, Sr. Fransiska, Sr. Bernadette, Sr. Elisabeth berani menghadap Bapak Uskup pada tanggal 13 Juni 2018.
    Untuk pertemuan ini kami meminta agar Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom diundang sebab beliau lebih tahu situasi tanah dan mengenal keluarga Bapak Andrea Sinaga yang akan menjual tanah. Pertemuan diketuai oleh Bapak Uskup, selain para suster juga hadir: P. Leo Sipahutar OFMCap (Vikep Religiosa Keuskupan Agung Medan), P. Ferdi Saragi Pr (Komisi Harta dan Tanah Keuskupan Agung Medan).
    Bapak Uskup meminta agar Sr. Margaretha memberikan pernyataan untuk apa pertemuan ini diadakan.
    1. Bahwa dengan mendengar tawaran dari bapak Uskup sendiri mau mendirikan biara di wilayah Samosir tepat di daerah paroki Palipi. Kami sudah melihat secara langsung bagaimana dengan kondisi tanah dan sekitarnya, kriteria praktis sesuai dengan Konstitusi yang mutlak perlu pendirian Biara Kontemplatif antara lain:
      a. Lokasi di Dolok Nagok memberi kepada kami kemungkinan untuk hidup dan berkarya sesuai dengan karisma kami sebagai Klaris.
      b. Pelayanan hidup rohani terjamin melalui Perayaan Ekaristi setiap hari, penerimaan Sakramen tobat yang teratur setiap bulan.
      c. Tersedia debit air seperlunya, bagi keperluan hidup dan karya kami.
      d. Jalan sampai ke lokasi, dapat di tempuh dengan mudah dan lancar oleh kendaraan beroda empat.
      e. Kehadiran kami menuntut, bahwa status tanah tempat tinggal kami, memberi segala jaminan hukum. Dimana kami bisa tinggal secara tetap di tempat itu, tanpa batas waktu. 
    2. P. Damian mengatakan bahwa mereka bisa mengusahakan misa setiap hari karna memang jarak Pastoran dengan tujuan kira-kira 10 menit dengan sepeda motor. Di samping itu kami sudah melihat bahwa debit air yang mereka katakan melimpah akan mampu membantu sarana kehidupan biara yang memerlukan air yang banyak.
    Dan adapun hasil pertemuan ini ada dalam surat selebaran dari keuskupan tertanggal 13 Juni 2018, “Kesepakatan Membuka Biara Klaris Di Dolok Nagok Palipi, Samosir”.

    Pada pertemuan tersebut P. Damian masih bercerita tentang bagaimana keluarga bapak Andre Sinaga mau memberikan tanahnya untuk para suster dengan harga pago – pago. Bahwa keluarga ini bercita-cita dengan adanya pusat rohani yang didirikan di sekitar tanah mereka akan memberikan kesempatan untuk berkembang dalam usaha dan ekonomi. Dan Keluarga Sinaga ini mendambakan bahwa para susterlah yang membeli tanah tersebut. Mereka punya 10 Hektar dan 5 Hektar akan dijual ke Biara. Dahulu tanah dipuncak itu adalah tempat kramat bagi leluhur mereka.
    Atas cerita P. Damian dan Sr. Margaretha, Bapak Uskup mengatakan: Bagaimanapun masih perlu mempertimbangkan beberapa hal Negatif yakni:
    • Bahwa Tanah di samosir lebih gersang bukan seperti tanah di Bandar Baru
    • Daerah yg dulu sipele begu, namun mentalnya agak baik tidak dikotori,
    • Orang sekitar, kikir. Bagimana dengan bantuan hidup kalian ke depan?
    • Ada daerah ekstrim kanan dan kiri. Bisa membuat orang jadi takut
    • Walaupun begitu ada keramatnya. Yang tentunya ada unsur kesalehan
    Pada pembicaraan lain disinggung apakah para suster memulai hidupnya tunggu sampai didirikan biara atau boleh tinggal di rumah penginapan sementara, yang seperti pada tinjau lokasi kemarin ada rumah 2 lantai milik umat yang kemungkinan bisa di sewa untuk para suster. Lokasinya tidak jauh dari Tanah milik Bapak Andrea Sinaga. Bapak Uskup meminta agar foto rumah tersebut ditunjukkan. P. Damian mengatakan: itu rumah Pak Umar Sinaga mantan kapusin, nanti bisa kita tanyakan pada beliau. Hanya memang air belum dialirkan ke rumah tersebut.
    Melihat diskusi ini, bapak Uskup bertanya jadi bagaimana para suster akan niat kalian? Ya Monsgiur, hasil kapitel mendukung akan rencana ini dan akan berdoa bersama. Bapak Uskup meminta agar P. Damian mewakili keuskupan untuk pengurusan tanak ke BPN. mengusakan dengan pihak mana terkaitannya jaminan tertulis bahwa seluruh pipa menjadi hak milik biara (team pengairan) agar tidak ada masalah di kemudian hari. Aplikasi ke lapangan; P. Damian Gultom OFMCao, P. Leo Sipahutar OFMCap, P. Ferdi Saragi Pr dan Sr. Margaretha Sianipar OSCCap Dan Bapak Uskup menugaskan Sr. Margaretha agar:
    • Menyusun Komposisi Team suster yg akan berangkat 
    • Rumah penginapan bisa dimulai suster, tanya berapa sewa? 
    • Berapa ditambah untuk pembenahan rumah 
    • Traktor untuk lahan. 
    • Peralatan tanah, dan patokan tanah. Harus pergi ke Palipi
    Tanggal 14 Juli 2018: Pertemuan dengan keluarga besar Sinaga, P. Damian Gultom OFMCap (P. Paroki), P. Oscar Sinaga OFMCap (Pastor rekan) sebagai perpanjangan tangan pihak Keuskupan untuk transaksi pembelian tanah. Sr. Margaretha dan keenam suster yang kelak akan ke Dolok Nagok. Acara berjalan dengan baik, percakapan hangat dan kekeluargaan dengan keluarga besar Sinaga. Mereka sangat bangga dan senang bila para suster kelak membangun Biara Kontemplatif di Dolok Nagok. Doakanlah kami ya suster....
    Sesudahnya seperti biasa acara ramah tamah disertai makan bersama yang telah disediakan oleh keluarga Sinaga. Wah...makanan khas batak memang tiada duanya!
    Sampai saat ini para suster senantiasa melaksanakan pengabdiannya dengan rendah hati yakni melaksanakan tugas utama; berdoa di dalam Gereja dan untuk Gereja, bekerja dengan menjahit perlengkapan liturgi, jubah, dan menata serta memelihara Gua Maria sebagai tempat rohani di Paroki Palipi-Samosir.
    Demikianlah sementara laporan Kronologi Pembukaan Biara Doloknagok di paroki Palipi. Untuk perkembangan selanjutnya kita berdoa bersama agar Tuhan menunjukkan jalan-jalan mana yang harus ditempuh. Dan pada kesempatan ini kami mohon doa dan dukungan dari Bapak Uskup. Semoga kehendak Tuhanlah yang selalu dimuliakan dan dipuji.
    Akhirnya terima kasih banyak atas: Undangan, ide, bapak Uskup untuk mendirikan Biara Baru di Pulau Samosir wilayah paroki Palipi kampung Dolok Nagok. Terima kasih banyak atas upaya Pastor Paroki Palipi P. Damian Gultom OFMCap, P. Oscar Sinaga OFMCap dan Vikep P. Nelson Sitanggang OFMCap dan perhatian, dukungan, pelayanan rohani yang tiada batasnya untuk kemudian.
    Puji Tuhan atas kerelaan kedelapan suster, untuk di utus membuka Biara baru di Dolok Nagok, Sr. Agnes Ginting OSCCap, Sr. Magdalena Situmorang OSCCap, Sr. Bernadette Nainggolan OSCCap, Sr. Benedikta Waruwu OSCCap, Sr. Yosefa Sinurat OSCCap, Sr. Dominika Siahaan OSCCap, Sr. Koleta Nahampun OSCCap (Novis), dan Sdri. Mariani Siregar (Postulant). Semoga Ibu kita Santa Klara mendoakan para suster, dan kami para saudari yang tinggal di Sikeben mendoakan dan mendukung para suster. Dan mari kita saling mendoakan.
    Terima kasih atas Misa pengutusan hari ini, dan atas kehadiran Bapak uskup, Bapa Spiritualitas P. Guido Situmorang OFMCap, saudara terdekat, tetangga kami para saudara dina Conventual dari Bandar Baru, komunitas Jarang uda, Vikep karo, perwakilan umat Sikeben. Semoga hari ini menjadi berkat untuk kita semua dan semoga rencana-rencana kita diberkati oleh Tuhan.
    Video Profil Paroki : -
    Lokasi Paroki :