Senin, September 15, 2025
Lainnya
    Beranda Blog

    Homili Uskup – Hari Minggu Kitab Suci Nasional

    0

    Hari Minggu Kitab Suci Nasional - MB XXII Tahun C - 07 September 2025

    Bacaan I : Keb. 9:13-18
    Bacaan II :  Flm. 9b-10, 12-17
    Bacaan Injil : Luk. 14:25-33

    Hati yang Merdeka untuk Kristus

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Injil hari ini menghadirkan tuntutan Yesus yang sangat serius bagi setiap orang yang mau mengikuti-Nya: mengutamakan Dia di atas segalanya, siap memikul salib, dan berani melepaskan keterikatan pada harta. Yesus tidak sedang mencari pengikut yang setengah hati atau ikut hanya karena euforia. Ia menuntut komitmen total.

    Paus Fransiskus pernah mengingatkan: “Salib bukan dekorasi, tetapi kompas hidup seorang Kristiani.” Dengan kata lain, salib adalah arah dan gaya hidup, bukan sekadar hiasan.

    Boleh Memiliki Dunia, Hati Hanya untuk Allah

    Yesus tidak pernah berkata bahwa kita harus membuang semua yang kita miliki. Ia justru menekankan: jangan sampai harta, jabatan, atau teknologi menguasai hati kita. Kita boleh memiliki dunia, tetapi jangan biarkan dunia memiliki hati kita.

    Santo Agustinus mengingatkan perbedaan antara memakai (uti) dan menikmati (frui): segala sesuatu di dunia boleh kita gunakan sebagai sarana menuju Allah, tetapi hanya Allah sendiri yang layak dinikmati sebagai tujuan akhir. Ketika urutannya terbalik, kita jatuh ke dalam perbudakan harta, jabatan, atau gengsi.

    Keterikatan Modern yang Mengikat Hati

    Kalau kita jujur, ada banyak bentuk keterikatan zaman modern yang membuat kita sulit mengikuti Yesus dengan bebas: kecanduan media sosial yang haus akan “likes” dan komentar; gaya hidup konsumtif yang membuat kita bekerja tanpa henti demi status; jabatan yang sering membuat orang lupa melayani; bahkan rasa takut kehilangan kenyamanan yang membuat kita kompromi terhadap dosa. Semua ini adalah “berhala” modern yang seolah kecil, tetapi perlahan-lahan menguasai hati kita.

    Paus Benediktus XVI menegaskan: “Iman yang tidak berani kehilangan sesuatu tidak akan pernah benar-benar menemukan Kristus.”

    Contoh Konkret Melepaskan Hati

    Lepas dari keterikatan bukan berarti hidup tanpa apa-apa, tetapi hidup dengan hati yang bebas. Misalnya: seorang ayah boleh bekerja keras mencari rezeki, tetapi tetap pulang dengan hati yang utuh bagi keluarga, bukan tersita seluruhnya oleh pekerjaan. Seorang pejabat boleh punya kuasa, tetapi tidak memakainya untuk menindas, melainkan melayani rakyat kecil. Seorang anak muda boleh menggunakan teknologi, tetapi tidak diperbudak gawai; ia memakainya untuk belajar, berjejaring dalam kebaikan, bahkan mewartakan Injil. Di situlah bedanya: dunia dipakai, tetapi hati tetap milik Kristus.

    Hidup sebagai Murid Sejati
    Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan menegaskan keterbatasan manusia, tetapi juga janji Roh Allah yang menuntun. Bacaan kedua dari Surat Filemon memperlihatkan bahwa Injil mengubah relasi: Onesimus yang dulu budak kini diterima sebagai saudara. Artinya, ketika hati dikuasai Kristus, cara kita bekerja, mengelola harta, dan membangun relasi akan diubah. Kita menjadi murid yang benar-benar bebas — bebas untuk mengasihi, bebas untuk melayani, bebas untuk memikul salib.

    Rumah pastor dan kantor pastoral yang kita berkati hari ini bukan sekadar bangunan untuk kenyamanan, melainkan tanda nyata kehadiran Kristus di tengah umat. Yesus sendiri berkata bahwa Ia datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Maka rumah ini dipanggil untuk menjadi rumah pelayanan: tempat umat menemukan telinga yang mendengar, hati yang menyambut, dan tangan yang siap membantu. Hati yang merdeka dari keterikatan duniawi akan menjadikan rumah ini bukan benteng pribadi, melainkan pondok gembala yang terbuka, sederhana, dan penuh kasih.

    Kita boleh memiliki rumah ini, tetapi hati kita hanya milik Kristus. Gedung pastoral ini menjadi pusat misi, tempat koordinasi karya, dan ruang perjumpaan iman, agar seluruh umat merasakan bahwa mereka dicintai Tuhan. Paus Fransiskus mengingatkan para imam untuk menjadi gembala yang “berbau domba,” artinya dekat dan akrab dengan umat. Dengan berkat ini, marilah kita mohon rahmat agar rumah dan kantor paroki ini sungguh dipakai untuk pelayanan, bukan hanya untuk kenyamanan, sehingga setiap langkah di dalamnya mengalirkan terang dan kasih Kristus bagi seluruh umat Allah.

    Penutup: Hati yang Merdeka

    Saudara-saudari terkasih, Yesus mengundang kita untuk memeriksa: apakah hatiku dimiliki dunia, ataukah aku sungguh milik Kristus? Kita boleh memiliki harta, jabatan, teknologi, bahkan kenyamanan; tetapi jangan biarkan itu semua memiliki hati kita. Hanya hati yang merdeka yang mampu mengikuti Kristus sampai akhir. Mari kita mohon rahmat agar hidup kita sungguh berpusat pada Yesus, sehingga kita layak disebut murid sejati, yang siap memikul salib dengan kasih dan memasuki logika Kerajaan Allah. Amin.

     

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Homili Mingguan - Uskup Keuskupan Agung Medan:
    (klik untuk membacanya)

    Minggu Biasa XXII Tahun C - 31 Agustus 2025

    Bacaan I : Sir. 3:17-18,20,28-29
    Bacaan II :  Ibr. 12:18-19,22-24a
    Bacaan Injil : Luk. 14:1,7-14

    Kerendahan Hati dan Kasih Tanpa Pamrih: Jalan Masuk Kerajaan Allah

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Injil hari ini menampilkan dua pesan yang tajam dari Yesus.
    Pertama, Ia mengoreksi kecenderungan manusia mencari tempat terhormat: “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan; barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

    Kedua, Ia menantang egoisme relasional: jangan hanya mengundang mereka yang bisa membalas, tetapi undanglah mereka yang miskin, cacat, lumpuh, dan buta — yang tidak mampu membalas sama sekali.

     

    Kedua pesan ini bertemu dalam satu titik: hanya kerendahan hati dan kasih tanpa pamrih yang membuka jalan menuju logika Kerajaan Allah. Kerendahan hati membersihkan hati dari kesombongan; kasih tanpa pamrih membersihkan kasih dari kepentingan.

    Namun, saudara-saudari, apakah hanya dua hal ini syarat masuk ke dalam Kerajaan Allah? Bacaan lain hari ini memberi perspektif lebih luas. Sirakh menegaskan: “Semakin besar engkau, semakin harus engkau merendah, supaya engkau mendapat kasih karunia di hadapan Tuhan” (Sir 3:18).

    Surat kepada orang Ibrani mengingatkan bahwa kita dipanggil bukan kepada gunung yang menakutkan, melainkan ke hadirat Allah yang penuh belas kasih. Jadi, kerendahan hati dan kasih tanpa pamrih memang inti, tetapi keduanya tidak berdiri sendiri.

    Mereka terkait erat dengan pertobatan, iman, dan kerahiman. Santo Agustinus berkata: “Jalan menuju surga sempit bukan karena jalannya kecil, tetapi karena orang yang membawanya terlalu besar oleh kesombongan.” Artinya, pintu sempit hanya bisa dilalui hati yang sederhana, yang rela bertobat dan percaya penuh kepada Tuhan.

    Paus Fransiskus sering mengingatkan bahaya “kekristenan kosmetik” — iman yang indah di luar tetapi rapuh di dalam. Orang yang hanya mencari kehormatan atau memberi demi pamrih terjebak dalam kekristenan kosmetik. Sebaliknya, iman sejati menuntut keotentikan: kerendahan hati yang jujur, kasih yang tulus, serta keberanian hidup dalam pertobatan terus-menerus.

    Paus Benediktus XVI menambahkan: “Iman tidak bisa hanya menjadi adat istiadat, tetapi harus menjadi perjumpaan nyata dengan Kristus yang mengubah hidup.”

    Saudara-saudari, Injil ini juga menegur kita dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia modern, banyak “tempat terhormat” yang kita kejar: status sosial, jumlah pengikut di media sosial, kekuasaan, bahkan pengaruh dalam Gereja.

    Banyak pula “undangan pamrih” yang kita lakukan: kita berbuat baik agar dipuji, agar mendapat imbalan, atau sekadar untuk menjaga gengsi. Namun Yesus berkata dengan jelas: kasih yang sejati adalah kasih yang memberi tanpa balas, karena di situlah kita menyerupai kasih Allah sendiri.

    “Kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm 5:5) — kasih yang murah hati, tanpa syarat, tanpa pamrih.

    Karena itu, hari ini kita dipanggil untuk masuk ke dalam logika Kerajaan Allah: dengan kerendahan hati yang menanggalkan kesombongan, dengan kasih tanpa pamrih yang menanggalkan kepentingan, dengan pertobatan yang menanggalkan dosa, dengan iman yang teguh, dan dengan kerahiman yang rela mengampuni.

    Semuanya bermuara pada satu hal: hidup yang berpusat pada Kristus, bukan pada diri sendiri. Inilah syarat sejati untuk ikut dalam perjamuan Kerajaan Allah.

    Saudara-saudari terkasih, marilah kita memohon rahmat agar tidak terjebak pada kehormatan palsu dan kasih yang berhitung untung-rugi.

    Mari kita belajar rendah hati seperti Kristus yang “mengosongkan diri-Nya” (Flp 2:7), dan mengasihi seperti Dia yang memberi diri sampai tuntas di kayu salib.

    Dengan begitu, kita sungguh siap mendengar janji Yesus: “Engkau akan mendapat balasannya pada hari kebangkitan orang-orang benar.” Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Biasa XXI Tahun C - 24 Agustus 2025

    Bacaan I : Yes. 66:18-21
    Bacaan II :  Ibr. 12:5-7,11-13
    Bacaan Injil : Luk. 13:22-30

    Berjuang Masuk Melalui Pintu yang Sempit

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit” (Luk 13:24). Latar belakang pernyataan Yesus ini muncul dari konteks di mana orang-orang Yahudi pada zaman-Nya merasa diri mereka sudah “aman” hanya karena menjadi bagian dari umat pilihan atau karena secara lahiriah menaati hukum Taurat. Yesus ingin meluruskan anggapan itu: keselamatan tidak otomatis datang dari status etnis, tradisi, atau kedekatan formal dengan Bait Allah, melainkan dari pertobatan hati dan kesetiaan hidup. Karena itu Ia memakai gambaran “pintu sempit” untuk menunjukkan bahwa jalan menuju Kerajaan Allah menuntut perjuangan pribadi, askese, kerendahan hati, dan kesediaan meninggalkan keterikatan pada dosa serta egoisme. Dengan kata lain, Yesus menekankan bahwa keselamatan adalah undangan yang universal, tetapi tanggapannya menuntut kesungguhan, bukan hanya sekadar klaim atau identitas luar.

    Yesus menggambarkan pintu itu sempit, sebab hanya bisa dilewati oleh mereka yang rela merendahkan diri, menanggalkan beban ego, kesombongan, dendam, dan keterikatan pada harta. Santo Agustinus dengan tajam berkata: “Jalan menuju surga sempit bukan karena jalannya kecil, tetapi karena orang yang membawanya terlalu besar oleh kesombongan.” Betapa sering kita gagal masuk, bukan karena Tuhan menutup pintu, tetapi karena kita enggan melepaskan beban yang kita peluk.

    Bacaan pertama dari Nabi Yesaya memperlihatkan bahwa keselamatan terbuka bagi semua bangsa dan bahasa. Tetapi undangan universal ini menuntut tanggapan pribadi: apakah kita sungguh mau menyesuaikan hidup dengan kehendak Tuhan? Sedangkan Surat kepada orang Ibrani menegaskan bahwa jalan menuju Kerajaan Allah bukanlah jalan instan. Tuhan mendidik kita melalui disiplin iman: doa yang konsisten, pelayanan yang tulus, kesabaran dalam penderitaan. Paus Benediktus XVI pernah mengingatkan: “Allah tidak menjanjikan jalan yang mudah, tetapi menjanjikan bahwa Ia menyertai kita dalam setiap perjuangan menuju kebaikan.”

    Saudara-saudari, Yesus juga memberi peringatan yang keras: banyak yang akan berseru “Tuhan, Tuhan,” tetapi ditolak karena hidup mereka tidak sejalan dengan Injil. Artinya, keaktifan lahiriah — hadir di Misa, ikut devosi, sibuk dalam kegiatan Gereja — tidak otomatis menjamin keselamatan bila tidak diiringi pertobatan hati. Santo Yohanes Krisostomus menegaskan: “Tidak cukup mendengar Injil, yang dibutuhkan adalah melakukannya. Sebab mendengar tanpa melakukan hanyalah menambah penghukuman.” Mendengar tanpa melakukan hanya seperti membangun rumah di atas dasar pasir.

    Paus Fransiskus dalam sebuah homili berkata: “Pintu sempit itu adalah Kristus sendiri. Untuk masuk, kita harus mengecilkan diri, membiarkan kesombongan lenyap. Pintu itu terbuka lebar, tetapi hanya kerendahan hati yang bisa melewatinya.” Inilah logika rohani yang berlawanan dengan dunia: yang meninggikan diri akan direndahkan, yang merendahkan diri akan ditinggikan. Santa Teresa dari Kalkuta menambahkan dengan sederhana: “Hanya dengan kasih yang rendah hati kita bisa masuk surga.”

    Saudara-saudari, marilah kita bertanya: apa yang menjadi “bawaan berat” dalam hidup kita yang membuat kita sulit masuk melalui pintu sempit? Apakah ambisi, iri hati, gaya hidup hedonis, atau mungkin keengganan untuk mengampuni? Mari kita mohon rahmat Tuhan agar kita berani meletakkannya di kaki-Nya. Sebab, seperti Yesus tegaskan, “Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.”

    Maka, janganlah kita takut pada pintu sempit itu. Justru di sanalah jalan menuju sukacita sejati. Marilah kita berjuang dengan kerendahan hati, dengan kasih yang tulus, dan dengan iman yang teguh. Dengan Maria, Ratu Surga, yang hidupnya adalah teladan pintu sempit dalam “ya” yang total kepada Allah, kita pun diarahkan kepada Kristus Sang Jalan. Dan kelak, ketika hari panggilan kita tiba, semoga kita diterima masuk ke dalam pesta Kerajaan-Nya, bukan sebagai orang asing, tetapi sebagai sahabat yang setia. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    HARI RAYA KEMERDEKAAN RI 80 TAHUN - 17 Agustus 2025

    Bacaan I : Sir. 10:1-8
    Bacaan II : 1Ptr. 2:13-17
    Bacaan Injil : Mat. 22:15-21

    “Mengasihi Tanah Air, Mengabdi Tuhan – Menuju Kemerdekaan Sejati”

    1. Pendahuluan – Kemerdekaan yang Diperjuangkan

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Hari ini kita bersyukur merayakan 80 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Pagi 17 Agustus 1945, di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Bung Karno dan Bung Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…”

    Kata-kata itu menggetarkan jiwa bangsa dan menggema ke seluruh dunia. Namun, di balik proklamasi itu ada darah para pejuang yang tumpah, air mata para ibu yang berdoa, dan nyawa yang rela dikorbankan. Kemerdekaan ini bukan hadiah, melainkan buah dari perjuangan tanpa pamrih, yang mempersatukan rakyat dari berbagai suku, bahasa, dan agama dalam satu tekad: Indonesia merdeka.

    2. Kemerdekaan yang Diuji – Realitas Zaman Kita 
    Delapan puluh tahun kemudian, kita patut bertanya: apakah kita sungguh merdeka? Secara politik, kita bebas dari penjajahan asing. Namun secara moral dan rohani, banyak dari kita masih terjajah oleh korupsi, keserakahan, kebencian, kebohongan, dan ketidakpedulian. Polarisasi politik memecah belah bangsa; hoaks merusak kepercayaan; ketidakadilan ekonomi memperlebar jurang kaya-miskin; dan kerusakan lingkungan mengancam masa depan anak cucu kita.

    Bung Hatta pernah berkata: “Kemerdekaan hanyalah jembatan; yang di seberangnya adalah masyarakat adil dan makmur.” Jembatan itu sudah kita lewati, tetapi apakah kita sudah sampai pada tujuannya? Jawabannya tergantung pada kemerdekaan hati kita—apakah kita sungguh bebas dari egoisme, iri hati, dan ketidakpedulian.

    3. Hikmah Filsafat – Sokrates dan Kemerdekaan Sejati 
    Filsuf Yunani Sokrates pernah menegaskan bahwa kemerdekaan sejati tidak terletak pada kuasa melakukan apa saja yang diinginkan, tetapi pada kemampuan menguasai diri dan hidup dalam kebenaran. Orang yang tidak mampu menguasai dirinya, kata Sokrates, “adalah budak, walaupun ia mungkin seorang raja.”

    Bagi Sokrates, kebebasan tidak lahir dari memuaskan hawa nafsu, melainkan dari pengekangan diri demi kebajikan. Ia memilih menderita ketidakadilan daripada melakukan ketidakadilan, karena integritas lebih berharga daripada keuntungan sesaat. Inilah kemerdekaan yang tidak dapat dirampas oleh siapapun—kemerdekaan yang berakar pada kebijaksanaan, kebaikan, dan penguasaan diri.

    4. Pesan Kitab Suci – Pemimpin Bijak, Rakyat Damai 
    Bacaan pertama, Sirakh 10:1–8, mengingatkan: “Pemerintah yang bijaksana menjamin ketenteraman rakyat, dan pemerintahan seorang bijak akan teratur.” Sebaliknya, pemimpin yang egois akan menyeret bangsanya ke kehancuran.

    Bacaan kedua, 1 Petrus 2:13–17, menegaskan: “Hiduplah sebagai orang merdeka, dan janganlah menggunakan kemerdekaan itu sebagai selubung untuk kejahatan, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” Rasul Petrus mengajarkan dua kewajiban yang tak terpisahkan:

    1. Kepada Negara – taat hukum, menjaga persatuan, dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. 
    2. Kepada Tuhan – takut akan Allah, hidup kudus, dan menjadi saksi kasih di mana pun kita berada.

    Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari perintah keempat: menghormati “ibu pertiwi” yang melahirkan kita. Paus Fransiskus menambahkan dalam Fratelli Tutti bahwa patriotisme sejati tidak menutup diri dari bangsa lain, tetapi membangun persaudaraan lintas batas.

    5. Prinsip Emas Yesus – Fondasi Kemerdekaan yang Berkat 
    Yesus memberi pedoman universal: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12). Prinsip ini adalah inti dari keadilan dan kasih—menempatkan diri pada posisi orang lain sebelum bertindak. Bayangkan sebuah Indonesia di mana pemimpin selalu memikirkan rakyat sebelum dirinya; warga saling menghormati tanpa memandang perbedaan; dan keberagaman menjadi kekuatan pemersatu. Kemerdekaan tanpa kasih hanyalah kebebasan yang hampa; tetapi kemerdekaan yang diwarnai kasih akan menjadi berkat bagi semua.

    6. Penutup – Menjadi Penjaga Api Kemerdekaan Sejati 
    Saudara-saudari terkasih, Kemerdekaan yang kita rayakan hari ini adalah anugerah Tuhan sekaligus amanat sejarah. Kemerdekaan politik telah kita miliki; kini kita dipanggil menuju kemerdekaan sejati—kemerdekaan hati yang menguasai diri, memilih kebaikan, hidup dalam kebenaran, dan mengabdi kepada Tuhan serta sesama.

    Mari kita menjadi penjaga api kemerdekaan: jujur dalam bekerja, tulus dalam mengasihi, setia dalam iman, dan berani dalam membela kebenaran. Dengan begitu, kita bukan hanya menjadi warga negara yang baik, tetapi juga murid Kristus yang setia.

    Di hari bersejarah ini, marilah kita berseru bersama: Tuhan, berkatilah Indonesia. Jadikan kami anak-anak-Mu yang merdeka hati, teguh iman, setia melayani, dan tulus mengasihi. Merdeka! Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga - 10 Agustus 2025

    Bacaan I : Why. 11:19a; 12:1,3-6a,10ab
    Bacaan II : 1Kor. 15:20-26
    Bacaan Injil : Lukas 1:39-56

    “Maria Bergegas – Gereja yang Hidup”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Hari ini kita merayakan salah satu perayaan besar Gereja, Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Gereja mengajarkan bahwa Maria, Bunda Tuhan kita, di akhir hidupnya di dunia diangkat ke surga, tubuh dan jiwanya, menikmati kemuliaan bersama Kristus. Ini adalah pengharapan besar bagi kita semua—bahwa hidup yang setia kepada Allah akan berakhir bukan di kuburan, tetapi dalam pelukan Bapa di surga.

    Namun Injil hari ini tidak langsung menceritakan Maria diangkat ke surga. Justru yang kita dengar adalah kisah sederhana namun penuh makna: Maria bergegas ke pegunungan Yudea untuk mengunjungi Elisabet. Kata bergegas di sini penting. Dalam bahasa aslinya, Lukas menggunakan frasa meta spoudēs—bukan sekadar berjalan cepat, tetapi melangkah dengan semangat, digerakkan oleh kasih dan sukacita. Maria baru saja menerima kabar luar biasa dari malaikat bahwa ia akan mengandung Mesias. Ia bisa saja tinggal di rumah, memikirkan diri sendiri. Tetapi Maria memilih keluar dari kenyamanannya untuk melayani orang lain.

    Saudara-saudari, Maria yang bergegas ini adalah gambaran Gereja yang hidup—Gereja yang tidak hanya berkutat pada urusan internal, tetapi yang keluar dari dirinya untuk bertemu, melayani, dan membawa Kristus kepada orang lain. Paus Benediktus XVI menyebut Maria sebagai bintang penginjilan, karena ia membawa Yesus bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kehadiran yang penuh kasih. Paus Fransiskus menambahkan bahwa Gereja sejati adalah Gereja yang “berjalan keluar” (una Chiesa in uscita), tidak tinggal diam, tetapi mendatangi yang lemah, yang sakit, yang menderita, dan yang tersisih.

    Dorongan Maria untuk bergegas lahir dari tiga kekuatan rohani yang juga harus menjadi milik kita:

    1. Kasih yang ingin melayani – karena kasih sejati tidak bisa menunggu.
    2. Sukacita yang ingin dibagikan – karena sukacita Injil bertambah saat dibagikan.
    3. Ketaatan pada Sabda Allah – karena setiap langkah pelayanan adalah jawaban atas panggilan Tuhan.

    Saudara-saudari, Perayaan Maria Diangkat ke Surga mengingatkan kita bahwa pelayanan bukanlah beban yang menguras hidup, tetapi jalan yang memuliakan kita. Maria mengajar kita bahwa setiap langkah untuk melayani sesama adalah langkah menuju surga. Kalau kita mau sampai pada kemuliaan seperti Maria, kita pun harus belajar “bergegas” dalam karya kasih: mendatangi yang membutuhkan, mengulurkan tangan pada yang terjatuh, dan membawa Kristus dalam perkataan maupun perbuatan.

    Maka hari ini, marilah kita meneladani Bunda Maria: keluar dari kenyamanan, bergerak dengan semangat, dan membawa Kristus ke mana pun kita pergi. Sebab seperti Maria, kita pun dipanggil untuk menjadi Gereja yang hidup—Gereja yang bergegas untuk mengasihi. Dan di akhir hidup kita, semoga Tuhan berkata: “Mari masuk ke dalam kemuliaan-Ku,” seperti Ia menyambut Maria di surga. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Biasa XVIII - 03 Agustus 2025

    Bacaan I : Pengkhotbah. 1:2; 2:21-23 (klik untuk membacanya)
    Bacaan II : Kolose 3:1-5.9-11
    Bacaan Injil : Lukas 12:13-21

    Apa yang Kau Cari dalam Hidup Ini? Jangan Sampai Kesia-siaan Membungkus Keberhasilan

    Pendahuluan: Dunia Penuh Pencarian, Tapi Tidak Semua Bernilai

    Saudara-saudari terkasih,semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
    Kita semua sedang dan selalu akan hidup dalam pencarian. Ada yang mengejar penghidupan yang lebih baik, ada yang membangun usaha, ada yang memperjuangkan anak-anaknya, atau membangun pelayanan dan karya. Semua sah. Semua baik.

    Namun Sabda Tuhan hari ini mengajak kita merenung dalam: “Apa yang sebenarnya sedang kita cari dalam hidup ini?” Dan apakah yang kita kejar itu sungguh bernilai kekal atau hanya tampak megah namun hampa?

    1. Kesia-siaan yang Tidak Terasa Tapi Mematikan Jiwa

     Kitab Pengkhotbah menyapa kita dengan jujur: “Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia!” Banyak orang hidup dengan bekerja keras siang malam, tetapi akhirnya merasa kosong dan lelah jiwa.

    Yesus dalam Injil Lukas 12:13–21 bercerita tentang seorang yang sukses besar—ladangnya menghasilkan panen melimpah. Ia berkata pada dirinya, “Tenanglah, makanlah, bersenang-senanglah.”

    Namun Allah menjawab: “Hai engkau orang bodoh, malam ini juga jiwamu akan diambil darimu!” Ia lupa satu hal penting: bahwa hidup ini sementara, dan jiwa harus dipersiapkan untuk kekekalan. 

    2. Pencarian-Pencarian Sia-sia Zaman Ini

    Zaman sekarang makin canggih, tetapi hati manusia makin lelah. Banyak orang terjebak dalam pencarian yang tampak menjanjikan, namun kosong secara rohani:
    a. Mengejar kekayaan dengan cara curang atau merugikan orang lain. “Asal kaya, tak peduli cara.” Tapi apa artinya kaya kalau hati keras dan tak ada damai?
    b. Mengejar citra dan pengakuan di media sosial. Kita hidup demi penilaian orang. Tapi Allah melihat hati, bukan tampilan.
    c. Mengejar karier dan prestasi tanpa makna pelayanan. Hebat di luar, tetapi rapuh dan kering dalam jiwa. Apa gunanya?
    d. Mengejar kebebasan tanpa arah. Tak mau terikat. Tapi akhirnya terikat oleh kesepian dan dosa. Yesus menegaskan: Jangan hanya mengumpulkan harta di bumi, tetapi jadilah kaya di hadapan Allah. (Luk 12:21)

    3. Hidup Baru Menurut Roh: Arahkan Pencarianmu ke Atas

    Dalam bacaan kedua, Rasul Paulus mengajak kita: “Carilah perkara yang di atas… matikanlah segala sesuatu yang duniawi.” (Kol 3:1–5) 

    Hidup rohani bukan pelarian dari dunia, tetapi arah bagi dunia. Bekerja boleh, tetapi jangan lupa berdoa. Mengejar rezeki sah, tetapi jangan mengabaikan kasih dan kejujuran. Membangun masa depan itu baik, tapi jangan mengorbankan hidup kekal.

    Penutup: Mari Hidup Lebih Bijaksana dan Bernilai Kekal

    Mazmur 90 berkata: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami, supaya kami beroleh hati yang bijaksana.”
     Orang bijak bukan yang paling kaya, paling viral, atau paling hebat. Orang bijak adalah dia yang tahu: bahwa hidup ini singkat, dan bahwa hanya kasih, kebaikan, dan kebenaran yang akan kekal.

    Aksi Nyata Minggu Ini:
    1. Renungkan kembali: Apa yang paling aku kejar dalam hidup ini?
    2. Periksa: Apakah caraku mengejar itu sesuai dengan kehendak Tuhan?
    3. Komitmenkan dirimu untuk menjadi “kaya di hadapan Allah”: Lewat kejujuran, kesederhanaan, dan kasih terhadap sesama.

    Peneguhan: “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” 
    (Mrk 8:36) “Jadilah pribadi yang mencari Tuhan lebih dari segalanya—dan kamu tak akan sia-sia.” Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Biasa XVII - 27 Juli 2025 - Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia

    Bacaan I : Kej. 18:20-33 (klik untuk membacanya)
    Bacaan II : Kol. 2:12-14
    Bacaan Injil : Luk. 11:1-13

    “Kakek-Nenek: Penjaga Akar Iman, Jembatan Kasih Antar Generasi”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, terutama para kakek-nenek dan orang tua lansia yang kami cintai, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini Gereja memberikan penghormatan istimewa kepada Anda—para kakek dan nenek, para lansia yang telah mengarungi waktu dan tetap setia memelihara iman.

    Paus Fransiskus mengatakan: “Tanpa kakek-nenek, generasi muda kehilangan ingatan. Tanpa lansia, dunia kehilangan akar.”

    Dan sungguh, dunia kita sedang mengalami itu: kehilangan akar, kehilangan makna, kehilangan telinga yang mendengar dan hati yang mengerti. Maka hari ini kita bersyukur atas hadirnya Anda semua sebagai pengingat akan kasih yang bertahan, doa yang terus berlanjut, dan iman yang diwariskan dengan kesetiaan.

    1. Teladan St. Yoakim dan St. Anna: Pewaris dan Penerus Iman

    Gereja menghormati St. Yoakim dan St. Anna sebagai kakek dan nenek Yesus. Meskipun Kitab Suci tidak mencatat kisah mereka secara rinci, Tradisi Suci Gereja mengenal mereka sebagai pasangan saleh, yang hidup dalam doa dan pengharapan.

    Mereka telah lama menantikan keturunan. Dalam kesabaran dan iman, mereka tidak kehilangan harapan. Dalam usia tua, Allah memberi mereka seorang anak: Maria, yang kelak menjadi Bunda Sang Juruselamat. Dan dalam didikan mereka, Maria tumbuh menjadi wanita yang rendah hati, taat, dan penuh kasih.

    Bisa kita bayangkan bagaimana Yoakim dan Anna mengajarkan Maria untuk:
    Mendengarkan Sabda Allah,
    Mendoakan mazmur-mazmur Daud,
    Menjalani hidup dengan takut akan Tuhan.

    Mereka tidak membesarkan seorang ratu dunia, tetapi seorang wanita kudus yang bersedia berkata: “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu.”

    Maka peran kakek-nenek bukanlah sekadar merawat cucu, tetapi mewariskan nilai-nilai luhur—iman, pengharapan, dan kasih.

    2. Pewaris Doa: Warisan yang Tak Terlihat Tapi Berkuasa

    Injil hari ini (Lukas 11:1–13) mengajarkan kita tentang doa yang tekun dan percaya. Ketika murid meminta Yesus mengajarkan mereka berdoa, Ia memberikan Doa Bapa Kami dan menegaskan bahwa Bapa Surgawi tahu memberi yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

    Siapa yang pertama mengajarkan kita doa ini? Bukankah banyak dari kita belajar dari nenek yang mengajak kita berdoa rosario, dari kakek yang berlutut di ruang tamu, dari ibu yang menuntun kita membuat tanda salib sebelum tidur?

    Iman tidak diwariskan lewat seminar, tetapi lewat kebiasaan sederhana: litani malam, doa makan, keheningan saat menghadiri Misa. Itulah liturgi hidup dalam keluarga, dan para lansia adalah imam-imamnya.

    3. Akar Iman di Zaman yang Terburu-Buru

    Bacaan pertama dari Kitab Kejadian (18:20–32) menampilkan Abraham sebagai teladan doa syafaat. Seperti seorang kakek yang memohon kepada Tuhan bagi kota dan bangsanya, Abraham melambangkan wajah doa umat lansia—tak bersuara di dunia, tapi lantang di hadapan Tuhan.

    Hari ini banyak dari Anda mungkin merasa tidak berguna lagi—anak-anak sibuk, cucu-cucu bermain gawai, dunia bergerak terlalu cepat. Tetapi percayalah: “Doa Anda adalah nafas Gereja.” (Paus Fransiskus).

    Setiap rosario yang Anda daraskan, setiap doa yang Anda ucapkan saat lampu dimatikan, setiap air mata yang Anda teteskan di ruang sepi—adalah kekuatan yang menopang Gereja.

    4. Kakek-Nenek: Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan

    Paus Yohanes Paulus II menyebut kakek-nenek sebagai: “Jembatan antara generasi, penghubung antara masa lalu dan masa depan.”

    Tanpa jembatan ini, anak-anak hanya akan tahu budaya populer, bukan warisan iman. Tanpa jembatan ini, mereka tahu “tren terbaru” tapi tidak tahu “kisah penyelamatan.”

    Hari ini, Yesus berkata: “Mintalah, maka kamu akan diberi... ketoklah, maka pintu akan dibukakan.” (Luk 11:9)

    Maka mintalah kepada Tuhan agar Anda:
    Tetap kuat untuk menjadi saksi iman dalam keluarga.
    Tetap sabar dalam menasihati tanpa menggurui.
    Tetap bersukacita walau dunia berubah.

    Penutup:

    Hormat dan Tanggung Jawab Kepada para lansia dan kakek-nenek: Terima kasih karena tetap berdoa saat kami lupa, tetap berharap saat kami putus asa, dan tetap mencintai meski kami jarang mengucapkan terima kasih.

    Dan kepada anak-anak muda, kita diingatkan: Jangan lupakan sejarahmu. Jangan abaikan akar yang menopangmu. Peluklah nenekmu, temani kakekmu, dengarkan kisah mereka—di dalamnya ada suara Tuhan yang membentuk hidupmu.

    Mari kita semua menjadi seperti Yoakim dan Anna—pribadi yang menyambungkan generasi, menanamkan nilai, dan mendampingi dengan kasih. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Biasa XVII - 27 Juli 2025 - Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia

    Bacaan I : Kej. 18:20-33 (klik untuk membacanya)
    Bacaan II : Kol. 2:12-14
    Bacaan Injil : Luk. 11:1-13

    “Kakek-Nenek: Penjaga Akar Iman, Jembatan Kasih Antar Generasi”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, terutama para kakek-nenek dan orang tua lansia yang kami cintai, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini Gereja memberikan penghormatan istimewa kepada Anda—para kakek dan nenek, para lansia yang telah mengarungi waktu dan tetap setia memelihara iman.

    Paus Fransiskus mengatakan: “Tanpa kakek-nenek, generasi muda kehilangan ingatan. Tanpa lansia, dunia kehilangan akar.”

    Dan sungguh, dunia kita sedang mengalami itu: kehilangan akar, kehilangan makna, kehilangan telinga yang mendengar dan hati yang mengerti. Maka hari ini kita bersyukur atas hadirnya Anda semua sebagai pengingat akan kasih yang bertahan, doa yang terus berlanjut, dan iman yang diwariskan dengan kesetiaan.

    1. Teladan St. Yoakim dan St. Anna: Pewaris dan Penerus Iman

    Gereja menghormati St. Yoakim dan St. Anna sebagai kakek dan nenek Yesus. Meskipun Kitab Suci tidak mencatat kisah mereka secara rinci, Tradisi Suci Gereja mengenal mereka sebagai pasangan saleh, yang hidup dalam doa dan pengharapan.

    Mereka telah lama menantikan keturunan. Dalam kesabaran dan iman, mereka tidak kehilangan harapan. Dalam usia tua, Allah memberi mereka seorang anak: Maria, yang kelak menjadi Bunda Sang Juruselamat. Dan dalam didikan mereka, Maria tumbuh menjadi wanita yang rendah hati, taat, dan penuh kasih.

    Bisa kita bayangkan bagaimana Yoakim dan Anna mengajarkan Maria untuk:
    Mendengarkan Sabda Allah,
    Mendoakan mazmur-mazmur Daud,
    Menjalani hidup dengan takut akan Tuhan.

    Mereka tidak membesarkan seorang ratu dunia, tetapi seorang wanita kudus yang bersedia berkata: “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu.”

    Maka peran kakek-nenek bukanlah sekadar merawat cucu, tetapi mewariskan nilai-nilai luhur—iman, pengharapan, dan kasih.

    2. Pewaris Doa: Warisan yang Tak Terlihat Tapi Berkuasa

    Injil hari ini (Lukas 11:1–13) mengajarkan kita tentang doa yang tekun dan percaya. Ketika murid meminta Yesus mengajarkan mereka berdoa, Ia memberikan Doa Bapa Kami dan menegaskan bahwa Bapa Surgawi tahu memberi yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

    Siapa yang pertama mengajarkan kita doa ini? Bukankah banyak dari kita belajar dari nenek yang mengajak kita berdoa rosario, dari kakek yang berlutut di ruang tamu, dari ibu yang menuntun kita membuat tanda salib sebelum tidur?

    Iman tidak diwariskan lewat seminar, tetapi lewat kebiasaan sederhana: litani malam, doa makan, keheningan saat menghadiri Misa. Itulah liturgi hidup dalam keluarga, dan para lansia adalah imam-imamnya.

    3. Akar Iman di Zaman yang Terburu-Buru

    Bacaan pertama dari Kitab Kejadian (18:20–32) menampilkan Abraham sebagai teladan doa syafaat. Seperti seorang kakek yang memohon kepada Tuhan bagi kota dan bangsanya, Abraham melambangkan wajah doa umat lansia—tak bersuara di dunia, tapi lantang di hadapan Tuhan.

    Hari ini banyak dari Anda mungkin merasa tidak berguna lagi—anak-anak sibuk, cucu-cucu bermain gawai, dunia bergerak terlalu cepat. Tetapi percayalah: “Doa Anda adalah nafas Gereja.” (Paus Fransiskus).

    Setiap rosario yang Anda daraskan, setiap doa yang Anda ucapkan saat lampu dimatikan, setiap air mata yang Anda teteskan di ruang sepi—adalah kekuatan yang menopang Gereja.

    4. Kakek-Nenek: Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan

    Paus Yohanes Paulus II menyebut kakek-nenek sebagai: “Jembatan antara generasi, penghubung antara masa lalu dan masa depan.”

    Tanpa jembatan ini, anak-anak hanya akan tahu budaya populer, bukan warisan iman. Tanpa jembatan ini, mereka tahu “tren terbaru” tapi tidak tahu “kisah penyelamatan.”

    Hari ini, Yesus berkata: “Mintalah, maka kamu akan diberi... ketoklah, maka pintu akan dibukakan.” (Luk 11:9)

    Maka mintalah kepada Tuhan agar Anda:
    Tetap kuat untuk menjadi saksi iman dalam keluarga.
    Tetap sabar dalam menasihati tanpa menggurui.
    Tetap bersukacita walau dunia berubah.

    Penutup:

    Hormat dan Tanggung Jawab Kepada para lansia dan kakek-nenek: Terima kasih karena tetap berdoa saat kami lupa, tetap berharap saat kami putus asa, dan tetap mencintai meski kami jarang mengucapkan terima kasih.

    Dan kepada anak-anak muda, kita diingatkan: Jangan lupakan sejarahmu. Jangan abaikan akar yang menopangmu. Peluklah nenekmu, temani kakekmu, dengarkan kisah mereka—di dalamnya ada suara Tuhan yang membentuk hidupmu.

    Mari kita semua menjadi seperti Yoakim dan Anna—pribadi yang menyambungkan generasi, menanamkan nilai, dan mendampingi dengan kasih. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Biasa XVI - 20 Juli 2025

    Bacaan I : Kej. 18:1-10a (klik untuk membacanya)
    Bacaan II : Kol. 1:24-28
    Bacaan Injil : Luk. 10:38-42

    Mendengarkan Lebih Dahulu: Dasar Pelayanan yang Membebaskan

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini, Sabda Tuhan menuntun kita untuk merenungkan hal yang sangat penting namun sering kita abaikan dalam hidup beriman: kebijaksanaan untuk mendengarkan sebelum melayani.

    Dalam bacaan pertama, kita melihat Abraham, bapa orang beriman, menerima tiga tamu misterius. Ia segera berlari menyambut mereka, menunduk dan berkata, “Tuan-tuan, silakan singgah… biarlah hambamu mengambil air untuk membasuh kaki Tuan-tuan... dan silakan beristirahat.” Abraham tidak langsung menyodorkan bantuannya tanpa mendengar, tetapi bertanya dan memberi pilihan: “Apa yang Tuan-tuan kehendaki?”

    Bandingkan dengan Injil hari ini. Marta, yang penuh semangat, menyambut Yesus ke rumahnya. Ia segera sibuk menyiapkan banyak hal untuk menjamu-Nya. Tapi ironisnya, dalam kesibukan itu, Marta tidak bertanya kepada Yesus apa yang Ia butuhkan. Ia langsung mengambil alih dengan persepsi sendiri. Dan ketika merasa tidak dibantu oleh Maria, ia mengeluh kepada Yesus. Namun Yesus menegurnya dengan lembut: “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara. Hanya satu yang perlu. Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil darinya.”

    Apa bagian yang terbaik itu? Mendengarkan. Duduk di kaki Tuhan. Menerima kehadiran-Nya, bukan hanya sibuk untuk-Nya.

    1. Mendengarkan Lebih Dahulu: Karakter Iman yang Bijaksana

    Abraham dan Maria memberi teladan bahwa pelayanan sejati dimulai dari kepekaan akan kehendak Allah. Sementara Marta mencerminkan kita yang sering melayani berdasarkan apa yang kita pikir orang butuh, bukan berdasarkan apa yang benar-benar Tuhan kehendaki.

    St. Benediktus pernah berkata: “Dengarkanlah dengan telinga hati.” Paus Fransiskus menegaskan: “Kehidupan Kristen bukan pertama-tama tentang berbuat banyak, tapi tentang menjadi dekat dengan Yesus.”

    Gedung gereja, kegiatan pastoral, karya sosial… semua hanya akan bermakna bila lahir dari hati yang lebih dahulu mendengarkan Tuhan—bukan dari ambisi, keinginan membuktikan diri, atau rutinitas.

    2. Mendengarkan Bukan Pasif, Tapi Aktif Dalam Cinta

    Mendengarkan dalam Kitab Suci bukan sikap pasif. Mendengarkan adalah tindakan relasi yang mendalam. Maria tidak malas. Ia memilih menyimak Sabda yang menyelamatkan. Demikian juga Abraham. Setelah mendengarkan para tamunya, ia bergegas melayani, bukan sekadar karena kewajiban budaya, tetapi karena ia menyadari bahwa ia menjamu Allah sendiri.

    Bacaan kedua dari Surat kepada Jemaat Kolose menyempurnakan pesan ini: Paulus menyadari bahwa hidupnya, bahkan penderitaannya, menjadi sarana untuk menghadirkan Sabda Allah kepada umat. Ia berkata, “Dialah yang kami beritakan... supaya setiap orang menjadi sempurna dalam Kristus.” Maka mendengarkan Sabda itu tidak berhenti pada kontemplasi, tapi menjelma dalam pewartaan dan kesetiaan hidup.

    3. Dari Sabda Menuju Belas Kasih

    Yesus tidak menolak pelayanan Marta. Tapi Ia ingin Marta (dan kita) melayani bukan dari kegelisahan dan kekhawatiran, tapi dari hati yang tenang karena sudah lebih dahulu bersama Tuhan.

    Gereja yang sibuk namun lupa mendengarkan Sabda akan cepat lelah dan mudah frustrasi. Tapi Gereja yang duduk di kaki Yesus akan selalu menemukan kekuatan baru untuk melayani.

    Maka Paus Benediktus XVI pernah berkata: “Bukan banyaknya kegiatan pastoral yang menjadi tanda kesuburan Gereja, tetapi kedalaman relasinya dengan Kristus.”

    Saudara-saudari terkasih, 
    Hari ini, mari kita belajar seperti Abraham dan Maria: menjadi orang yang lebih dahulu hadir, mendengar, dan memahami. Dan mari kita sadari bahwa Sabda Tuhan bukan untuk dikagumi, tapi dihidupi; bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk dihayati dalam pelayanan kasih.

    Bukan jumlah kegiatan yang Tuhan cari, tapi ketaatan yang lahir dari keheningan yang mendengarkan.

    Mari duduk sejenak di kaki Yesus. Dan dari sana, berdiri dan melayani dengan hati yang penuh damai. Sebab hanya Sabda yang kita dengar dengan hati akan menghasilkan pelayanan yang benar-benar membawa hidup. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Biasa XV - 13 Juli 2025

    Bacaan I : Ul. 30:10-14 (klik untuk membacanya)
    Bacaan II : Kol. 1:15-20
    Bacaan Injil : Luk. 10:25-37 

    Menjadi Sesama yang Penuh Belas Kasih

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,

    Hari ini, Injil membawa kita kepada percakapan mendalam antara Yesus dan seorang ahli Taurat yang bertanya: “Siapakah sesamaku manusia?” Pertanyaan ini mungkin terdengar polos, tetapi sesungguhnya berisi godaan yang sangat manusiawi: untuk membatasi kasih. Kita cenderung mencari definisi sempit tentang siapa yang layak kita bantu. Tetapi Yesus membalikkan arah pertanyaan itu. Ia tidak menjawab, “Ini lho daftar siapa yang menjadi sesamamu,” tetapi Ia mengajak: “Jadilah sesama bagi siapa pun.”

    Dalam perumpamaan itu, Yesus mengejutkan pendengarnya. Yang menjadi tokoh utama bukan imam, bukan orang Lewi—dua figur religius yang mestinya menjadi teladan belas kasih—tetapi seorang Samaria. Dalam konteks zaman itu, orang Samaria adalah kelompok yang dianggap sesat secara agama dan dibenci secara sosial. Namun justru dialah yang berhenti, berlutut, dan menyentuh luka. Dalam pikiran Yesus, sesama adalah siapa pun yang membutuhkan pertolongan, bahkan mereka yang berbeda secara suku, agama, dan latar belakang. Maka, belas kasih bukanlah urusan ras, bangsa, atau status sosial. Belas kasih adalah ukuran sejati keimanan.

    Paus Fransiskus berkata: “Tidak ada situasi manusia, tidak ada orang yang begitu hancur sehingga Allah tidak dapat menyentuh dan memulihkannya.” Gereja, tegas beliau, dipanggil bukan untuk menjadi menara gading yang menghakimi dari jauh, tetapi rumah sakit medan perang yang merawat luka manusia. Para kudus seperti St. Bakhita dan St. Teresa dari Kalkuta telah menunjukkan bahwa belas kasih adalah bahasa universal yang dimengerti oleh semua orang. Mereka tidak sibuk bertanya siapa yang pantas, tapi sibuk mencintai. Santo Gregorius Agung berkata: “Kasih sejati bukan hanya perasaan, tetapi tindakan yang konkret dan terkadang menyakitkan.”

    Perumpamaan hari ini memanggil kita untuk melewati batas. Dalam dunia yang semakin dikotak-kotakkan oleh polarisasi politik, prasangka agama, dan diskriminasi sosial, Yesus mengajak kita untuk menjadi Samaria modern—mereka yang menyentuh luka dan menyiraminya dengan minyak penghiburan. Apakah kita menjadi sesama bagi imigran, orang miskin, anak jalanan, tetangga yang menyebalkan, atau bahkan anggota keluarga yang sulit kita ampuni?

    Saudara-saudari, menjadi sesama berarti keluar dari zona nyaman. Jangan hanya beriman dalam kata, tetapi dalam tindakan. Seperti yang dikatakan Santo Yohanes Paulus II: “Kasih yang tidak menjadi pelayanan adalah kasih yang tidak hidup.” Maka, tanyakanlah bukan hanya “siapa sesamaku?” tetapi lebih dalam lagi: “Apakah aku telah menjadi sesama yang penuh belas kasih?”

    Yesus menutup pengajaran ini dengan kalimat yang sangat kuat: “Pergilah, dan perbuatlah demikian.” Ini bukan saran, tapi perintah misi. Dunia sedang penuh luka, dan Gereja hanya akan relevan jika ia menjadi tangan belas kasih Allah.

    Semoga kita, seperti orang Samaria yang baik hati, berani menyembuhkan dunia dengan cinta yang tak memilih dan pelayanan yang tidak mengenal batas. Semoga, dengan wajah yang ramah, tangan yang terbuka, dan hati yang peka, kita semua sungguh menjadi sesama bagi siapa pun — sebagai wujud nyata Injil yang hidup. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Biasa XIV - 06 Juli 2025

    Bacaan I : Yes. 66:10-14c (klik untuk membacanya)
    Bacaan II : Gal. 6:14-18
    Bacaan Injil : Luk. 10:1-12,17-20

    Gereja, Komunitas Para Pembuka Jalan bagi Kristus

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini, Sabda Tuhan mengajak kita menengok kembali jati diri kita sebagai Gereja. Bukan sekadar tempat kita beribadah, berkegiatan sosial, atau berkumpul sebagai komunitas. Gereja bukan hanya soal gedung dan organisasi. Gereja adalah komunitas para pembuka jalan bagi Kristus. Artinya, kita semua, sebagai umat beriman, dipanggil menjadi jembatan rohani—mengantar sesama kepada perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus.

    Injil hari ini (Luk 10:1–12.17–20) menampilkan Yesus yang mengutus 72 murid ke berbagai kota dan tempat yang hendak Ia kunjungi. Mereka bukan hanya diutus untuk menyampaikan kabar, tetapi untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan sendiri. Apa artinya ini bagi kita?

    1. Gereja Bukan Tujuan, tetapi Jembatan kepada Kristus

    Kita sering terjebak dalam rutinitas gerejawi: misa, rapat, pelayanan. Semua itu penting, tetapi kita harus sadar: tujuan akhir dari semua itu adalah Kristus. Gereja tidak eksis untuk dirinya sendiri. Gereja ada supaya orang mengenal, mencintai, dan mengalami Kristus.

    Jika semua aktivitas gerejawi hanya sibuk dengan diri sendiri, tanpa menghadirkan Kristus, kita telah kehilangan arah.

    Maka, sebagai umat beriman, tugas kita bukan hanya menjadi “pengunjung gereja,” tapi menjadi penghubung bagi sesama kita agar mereka juga mengalami kasih dan kehadiran Kristus.

    2. Kesaksian Hidup: Jalan Terbaik Membuka Hati Sesama
    Yesus tidak membekali para murid dengan banyak harta atau kekuatan lahiriah. Ia justru mengutus mereka dengan kesederhanaan, membawa damai, dan hidup dalam belas kasih.
    Dunia hari ini haus akan teladan, bukan hanya kata-kata.
    Banyak orang skeptis terhadap agama, tetapi tersentuh oleh kasih sejati yang nyata.

    Kita bisa menjadi pembuka jalan bagi Kristus ketika hidup kita mencerminkan kasih, kejujuran, pengampunan, dan kerendahan hati. Di keluarga, tempat kerja, komunitas, bahkan di jalanan—di situlah kita bisa menjadi saksi Kristus.

    3. Menjadi Gereja yang Menyembuhkan, Bukan Menghakimi 
    Yesus berkata, “Pergilah, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah serigala.” Dunia yang kita hadapi tidak selalu ramah. Banyak luka, kekecewaan, kebingungan, bahkan kemarahan terhadap agama. Tapi justru di tengah dunia inilah, kita dipanggil untuk membawa damai dan pengharapan.

    Gereja harus menjadi komunitas penyembuh. Bukan tempat orang disaring siapa yang layak dan tidak, tetapi tempat di mana siapa pun yang terluka bisa mengalami kasih dan pengampunan Tuhan.

    Paus Fransiskus berkata: “Saya lebih suka Gereja yang terluka, kotor dan berantakan karena keluar ke jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan nyaman dengan keamanannya sendiri.”

    Kita semua dipanggil keluar dari zona nyaman, bukan hanya menunggu orang datang, tapi mengunjungi, mendampingi, dan membawa Kristus ke tengah hidup sehari-hari.

    4. Setia dalam Pelayanan: Menjadi Jembatan yang Kokoh 
    Yesus juga menekankan pentingnya kesetiaan. Bukan popularitas, bukan hasil langsung, tapi kesetiaan. Ia tidak menjanjikan kemudahan, tetapi menjanjikan kehadiran-Nya.
    St. Teresa dari Kalkuta berkata dengan sederhana tapi kuat: “Tuhan tidak memanggil kita untuk sukses, tetapi untuk setia.”

    Maka jangan kecil hati jika pelayanan kita tampak sederhana atau tidak dihargai. Yang penting adalah bahwa kita membuka jalan—dan Kristus sendiri yang akan lewat.

    Penutup: Jangan Pernah Lelah Membuka Jalan bagi Kristus

    Saudara-saudari,
    Marilah kita memperbarui panggilan kita sebagai anggota Gereja:
    ➡️ bukan hanya sebagai penerima, tapi pengantar;
    ➡️ bukan hanya sebagai penyimak, tapi pembuka jalan;
    ➡️ bukan hanya sebagai pendoa, tapi pelaku kasih di dunia nyata.

    Biarlah orang berkata setelah melihat hidup kita: “Bukankah hati kita berkobar-kobar saat ia hadir, saat ia mengasihi, saat ia mengampuni?” (lih. Luk 24:32)

    Gereja yang hidup adalah gereja yang membawa Kristus ke tengah dunia. Mari kita bersama menjadi jembatan kasih dan harapan di dunia yang haus akan kehadiran Tuhan. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Hari Raya Santo Petrus dan Paulus - Minggu, 29 Juni 2025

    Bacaan I : Kis 12:1–11 (klik untuk buka Bacaan)
    Bacaan II : 2 Tim 4:6–8.17–18
    Bacaan Injil : Mat 16:13–19

    "Ditantang, Diubah, Diutus: Menjadi Nabi-Nabi Kasih dalam Gereja Hari Ini"

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan

    Hari ini Gereja merayakan dua pribadi yang sangat berbeda namun disatukan dalam satu Roh: Santo Petrus dan Santo Paulus, dua rasul agung yang ditantang secara personal oleh Yesus, diubah oleh kasih-Nya, dan diutus sebagai nabi untuk zamannya—dan juga untuk kita hari ini.

    Yesus tidak pernah memulai transformasi besar dari kemapanan, melainkan dari tantangan. Kepada Petrus, Yesus bertanya: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mat 16:15). Sebuah pertanyaan sederhana, namun dalam: bukan tentang opini umum, tetapi tentang pilihan pribadi. Petrus akhirnya menyadari bahwa mengikut Kristus tidak cukup dengan mengikuti suara mayoritas, melainkan harus menyerahkan hati sepenuhnya kepada-Nya. Dan dari pengakuan imannya, Yesus mengukir nubuat: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku.” (Mat 16:18).

    Paulus pun ditantang secara radikal. Ketika Saulus dengan angkuhnya mengejar orang-orang Kristen, suara dari Surga mengguncangnya: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kis 9:4). Di jalan menuju Damaskus, kesombongan religiusnya dihancurkan. Dia tidak hanya dijatuhkan secara fisik, tetapi secara rohani dilucuti. Maka lahirlah Paulus, yang berarti "kecil", seorang rasul besar yang justru bersinar dalam kerendahan hati dan perutusan. Untuk Paulus pun, Yesus mengukir nubuat: “Orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel.” (Kis 9:15).

    Inilah pola dasar dalam hidup Kristiani sejati: tantangan – perubahan – perutusan. Dan dari sanalah nubuat lahir. Bukan dari rencana kita yang tertata rapi, bukan dari hati yang tertutup rapat, tetapi dari kerelaan untuk diganggu oleh Tuhan. Nubuat tidak muncul ketika kita bermain aman, melainkan ketika kita membiarkan Injil mengguncang kepastian-kepastian kita. Hanya orang yang terbuka pada kejutan Tuhan yang bisa menjadi nabi.

    Saudara-saudari, Petrus dan Paulus adalah nabi sejati. Bukan karena mereka hebat dalam berbicara, tetapi karena mereka mencintai Tuhan dengan sungguh. Petrus wafat dengan salib terbalik karena merasa tak layak mati seperti Gurunya. Paulus menulis menjelang wafatnya: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik… Aku ingin dicurahkan sebagai persembahan.” (2Tim 4:6–8). Inilah nubuat yang hidup—bukan kata-kata, tetapi kehidupan yang diserahkan total.

    Paus Fransiskus dalam homilinya berkata dengan jujur: “Apakah Anda menginginkan Gereja profetik? Maka mulailah melayani dan diamlah. Bukan teori, tapi kesaksian. Bukan pidato, tapi pelayanan. Bukan kekuatan, tapi cinta.”

    Gereja tidak sedang menanti pembicara ulung, tetapi saksi yang jujur. Dunia tidak sedang haus akan doktrin yang kaku, tetapi rindu pada kesaksian kasih yang nyata. Kita tidak butuh rencana pastoral yang sempurna tanpa cinta. Kita butuh pelayan yang hatinya terbakar oleh Tuhan, dan yang hidupnya menjadi jendela harapan bagi yang miskin, yang tersingkir, dan yang kehilangan arah.

    Hari ini, Yesus kembali berkata kepada kita semua: “Engkau adalah Petrus… Engkau adalah Paulus… Engkau adalah batu hidup…” (lih. Why 2:17) “Di atasmu, Aku ingin membangun kesatuan, membangun pengharapan, membangun Gereja-Ku.”

    Maka hari ini, marilah kita bertanya dalam hati:
    Apakah aku bersedia ditantang oleh Tuhan seperti Petrus?
    Apakah aku siap dijatuhkan demi diangkat kembali seperti Paulus?
    Apakah aku bersedia menjadi nabi? Bukan nabi yang berkoar, tetapi nabi yang hidupnya mencerminkan kasih Allah?

    Saudara-saudari terkasih, pada perayaan ini, marilah kita membuka diri bagi tantangan Injil. Mari biarkan hidup kita ditransformasi oleh pertanyaan Tuhan, agar kita juga dapat menanggapi-Nya dengan keberanian dan berkata seperti Petrus dan Paulus: “Ya, Tuhan, aku siap. Pakailah aku.”

    Santo Petrus dan Paulus, doakanlah kami. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus Christi) - Minggu, 22 Juni 2025

    Bacaan I : Kejadian 14:18-20 (klik untuk buka Bacaan)
    Bacaan II : 1 Korintus 11:23-26 
    Bacaan Injil : Lukas 9:11b-17

    "Kamu Berilah Mereka Makan: Ekaristi sebagai Sumber Misi di Dunia yang Lapar"

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini Gereja universal merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Corpus Christi. Sebuah perayaan iman yang tidak hanya mengajak kita memandang hosti yang diangkat dan piala yang ditinggikan, tetapi yang terlebih lagi mendorong kita masuk dalam misteri: bahwa Kristus yang kita sambut di altar adalah Kristus yang bersabda, “Kamu harus memberi mereka makan.” (Luk 9:13). Ini adalah Sabda yang mengubah segalanya: dari kekaguman menjadi keterlibatan, dari perayaan menjadi perutusan.

    I. Kelaparan Zaman Ini: Lebih Dalam dari Sekadar Kekurangan Fisik

    Di dunia modern, banyak orang hidup dalam kelimpahan materi, tetapi hatinya tetap kosong. Maka kita harus bertanya: apa sebenarnya yang dunia ini lapar akan?

    1. Lapar akan Kasih: Dunia lapar akan cinta yang tulus, bukan cinta yang bersyarat. Banyak anak muda merasa kesepian di tengah media sosial yang ramai. Banyak lansia ditinggalkan tanpa pelukan.

    2. Lapar akan Pengampunan dan Rekonsiliasi: Banyak relasi rusak karena dendam dan luka yang tidak sembuh. Keluarga, bangsa, bahkan Gereja pun tak luput dari luka ini.

    3. Lapar akan Keadilan dan Perdamaian: Perang di berbagai belahan dunia, krisis pengungsi, eksploitasi alam, dan ketimpangan sosial menjadi bukti bahwa manusia masih belum mengutamakan solidaritas.

    4. Lapar akan Kehadiran Tuhan: Banyak umat merasa doa tidak lagi bermakna. Ritual keagamaan dijalankan tanpa perjumpaan pribadi dengan Allah yang hidup.

    II. Ekaristi: Roti yang Dipecah untuk Dunia yang Luka

    Yesus dalam Injil Lukas (9:11b–17) tidak hanya memberi makan lima ribu orang, Ia lebih dari itu: Ia menunjukkan bahwa keterbatasan kita bukan penghalang untuk berbagi, tetapi justru tempat mujizat terjadi. Lima roti dan dua ikan cukup jika diserahkan kepada Yesus.

    Dan Ekaristi adalah perjamuan yang mengulangi keajaiban itu: Kita datang dengan lapar dan miskin, Kita disambut, Kita diubah, Kita diutus. "Ekaristi bukan hadiah bagi orang sempurna, tetapi kekuatan bagi para peziarah." (Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium 47).

    III. Menjadi Roti yang Dipecah: Hidup Ekaristis Adalah Hidup Misioner

    St. Paulus dalam 1 Korintus 11:23–26 menegaskan bahwa setiap kali kita makan roti ini dan minum dari cawan ini, kita mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang. Maka, Ekaristi adalah tindakan profetik: kita menyatakan bahwa kasih adalah jalan hidup, bukan kekuasaan atau kekerasan.

    Paus Benediktus XVI dalam Sacramentum Caritatis berkata: “Relasi antara Ekaristi dan misi sangat erat: perayaan Ekaristi harus menjadi dorongan nyata bagi para umat beriman untuk mempersembahkan hidup mereka dalam kasih kepada sesama.”

    IV. Teladan Para Kudus: Roti Kasih yang Dibagikan

    St. Laurensius, martir, menunjukkan orang miskin sebagai harta Gereja. Ia tidak memberi emas, tapi persaudaraan. St. Teresa dari Kalkuta, memberi makan yang lapar, tapi juga mencintai yang kesepian. Ia berkata: “Orang paling miskin adalah mereka yang tidak dicintai.” St. Damien dari Molokai, misionaris kusta, menjadi roti bagi mereka yang dikucilkan. Ia berkata: “Kita hanya bisa menginjili jika lebih dulu menjadi saudara mereka.”

    V. Kita, Murid Masa Kini: Panggilan untuk Memberi Dunia Makan

    1. Menjadi Gereja yang memberi makan:
    Bukan hanya karitas, tapi kehadiran yang menyembuhkan
    Bukan hanya program, tapi komunitas yang menyambut.
    2. Menghidupi Ekaristi di luar misa:
    Dengan waktu yang diberikan bagi yang sepi
    Dengan telinga bagi yang tak didengar
    Dengan kejujuran dalam pekerjaan
    3. Mengajarkan generasi muda untuk berbagi, bukan menumpuk:
    Di tengah budaya konsumtif, ajarkan spiritualitas cukup
    Di tengah budaya cepat, ajarkan perhatian

    Penutup: Yesus tidak pernah menolak orang lapar. Ia bersabda: “Berilah mereka makan.” Itu adalah perintah yang sama yang diberikan kepada Gereja, kepada kita, kepada Anda dan saya.

    Mari jangan takut untuk dipecah, untuk dibagikan, untuk dicurahkan, sebab di situlah makna hidup Kristiani: menjadi roti kasih bagi dunia yang lapar.

    Semoga Ekaristi yang kita rayakan hari ini membakar hati kita untuk menjadi saksi kasih, menjadi tanda pengharapan, menjadi sarana damai. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

     

    Hari Raya Tritunggal Mahakudus & Penutupan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2025 - 15 Juni 2025

    Bacaan I : Ams. 8:22-31
    Bacaan II : Rm. 5:1-5
    Bacaan Injil : Yoh. 16:12-15

    "Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada dalam hatimu" (1Ptr 3:15)

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,

    Hari ini kita merayakan dua momen penting: Hari Raya Tritunggal Mahakudus dan penutupan Hari Komunikasi Sosial Sedunia. Kedua perayaan ini bersatu dalam satu pesan yang mendalam: kita dipanggil untuk hidup dalam cinta Allah yang relasional dan komunikatif, serta mewartakannya kepada dunia dengan lemah lembut dan pengharapan.

    1. Allah Tritunggal: Cinta yang Hidup dan Komunikatif

    Allah yang kita imani bukanlah Allah yang tertutup atau statis, tetapi Allah yang adalah relasi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dalam Injil Yohanes 3:16, kita mendengar, “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal...” Kasih itu bukan diam, tetapi mengalir, menyapa, dan menjangkau. Seperti dikatakan oleh St. Agustinus, “Dalam Tritunggal Mahakudus ada yang mengasihi (Bapa), yang dikasihi (Putra), dan kasih itu sendiri (Roh Kudus).” Inilah dinamika komunikasi ilahi: cinta yang saling memberi dan menerima secara total. Allah adalah komunikasi sejati. Maka, ketika kita berkata bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, berarti kita diciptakan untuk hidup dalam relasi dan komunikasi yang sejati.

    2. Komunikasi yang Membangun dan Membagikan Harapan

    Dalam pesannya untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2025, Paus Fransiskus mengajak kita: “Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada dalam hatimu.” Pesan ini lahir dari keprihatinan mendalam terhadap meningkatnya agresivitas dalam komunikasi, baik di ruang publik, media sosial, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dunia modern mengalami krisis dalam cara orang berinteraksi: maraknya ujaran kebencian, polarisasi opini, manipulasi informasi, dan komunikasi yang mendominasi, bukan mendengarkan.

    Dalam konteks itu, Paus mengajak seluruh umat beriman untuk "melucuti komunikasi dari kekerasan, dominasi, dan egoisme," serta menghidupi gaya komunikasi Kristiani yang penuh kasih, lemah lembut, dan membangun pengharapan. Pesan ini juga sejalan dengan semangat sinodalitas: membangun Gereja yang mendengarkan, berdialog, dan saling meneguhkan dalam kasih Kristus.

    Melalui tema "Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada di dalam hatimu", Paus menggarisbawahi bahwa komunikasi sejati bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi menjadi ruang perjumpaan dan penghiburan — terutama dalam dunia yang dilanda kecemasan, luka sosial, dan disinformasi.

    Paus Benediktus XVI pernah mengatakan: “Komunikasi yang sejati berasal dari cinta; hanya cinta yang mampu meyakinkan.” Maka, siapa pun kita — entah imam, religius, atau awam — kita dipanggil menjadi komunikator cinta, karena kita hidup dalam Allah yang adalah komunikasi cinta itu sendiri.

    3. Aplikasi: Komunikasi Iman dalam Semangat Tritunggal

    Menjadi komunikator pengharapan berarti menghadirkan kata, sikap, dan tindakan yang membangun, menyembuhkan, dan mempersatukan—bukan sebaliknya. Dalam dunia yang sering diliputi kecurigaan, kebisingan, dan luka sosial, komunikator pengharapan memilih untuk berbicara dengan kelembutan, mendengar dengan empati, dan hadir dengan ketulusan. Ia bukan sekadar penyampai informasi, tetapi menjadi penyampai penghiburan, penyambung pengertian, dan penyaksi kehadiran Allah yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Harapan yang dibagikannya bukan ilusi, melainkan berakar pada keyakinan akan kasih Allah yang setia.

    Model komunikasi ini berpijak pada hidup Allah Tritunggal: Bapa, Putra, dan Roh Kudus hidup dalam relasi kasih yang sempurna, di mana komunikasi bukanlah dominasi melainkan saling memberi diri, saling memahami, dan saling menghidupi. Dalam Tritunggal, komunikasi adalah persekutuan. Maka, setiap orang Kristiani yang berkomunikasi dengan kasih, jujur, dan merangkul perbedaan, sesungguhnya sedang ikut ambil bagian dalam hidup Allah sendiri. Dengan meneladan Tritunggal Mahakudus, kita dipanggil bukan hanya untuk berkata benar, tetapi berkata dengan kasih yang memulihkan dan menguatkan pengharapan sesama.

    4. Inspirasi dari Para Kudus dan Teolog

    St. Fransiskus dari Sales, pelindung jurnalis dan komunikator, mengingatkan: “Hati tidak pernah dimenangkan dengan kekerasan, tetapi dengan kelembutan.”

    Beato Carlo Acutis, remaja digital yang menginspirasi banyak orang, berkata: “Ekaristi adalah jalan raya menuju Surga.” Dia menggunakan internet untuk mewartakan iman.

    Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam Redemptoris Missio: “Gereja ada untuk mewartakan Injil.” Maka tugas kita sebagai orang yang telah dibaptis adalah menyampaikan kabar baik ini kepada sesama.

    Penutup:

    Saudara-saudari, hidup dalam dinamika Tritunggal berarti membiarkan hidup kita menjadi gema kasih Allah yang tak berkesudahan. Jangan takut menjadi saksi, walau hanya dengan satu kata penghiburan, satu senyum pengharapan, atau satu kesediaan untuk mendengarkan.

    Mari kita menjadi komunikator ilahi di zaman ini — pembawa kabar baik, saksi pengharapan, dalam semangat kasih Tritunggal Mahakudus. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah V - 18 Mei 2025

    Bacaan I : Kis. 14:21b-27
    Bacaan II :  Why. 21:1-5a
    Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35

    Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. 

    Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”

    Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”

    I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani 

    Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi. 

    Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.

    St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.

    II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati 

    Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.

    Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.

    III. Kasih yang Mewujud dalam Misi

    Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.

    St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.

    IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi

    Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”

    Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”

    V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus

    Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.

    Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?

    Penutup

    Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.

    Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”

    Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Hari Raya Pentakosta - 08 Juni 2025

    Bacaan I : Kis. 2:1-11
    Bacaan II : 1Kor. 12:3b-7,12-13
    Bacaan Injil : Yoh. 20:19-23

    “Roh Kudus: Kekuatan untuk Menjadi Saksi di Dunia yang Luka”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini, kita merayakan Pentakosta, hari kelahiran Gereja, ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan mengubah mereka dari orang-orang yang takut menjadi saksi-saksi yang penuh keberanian. Dalam satu hari, Petrus yang pernah menyangkal Yesus tiga kali tampil di hadapan ribuan orang dan dengan suara lantang memberitakan Injil. Apa yang mengubah mereka? Roh Kudus.

    Roh Kudus bukan sekadar simbol, bukan perasaan. Ia adalah Pribadi Ilahi, nafas Allah sendiri, yang diberikan kepada kita untuk menguatkan, menghibur, membimbing, dan mengutus.

    Roh Kudus: Hadiah Terbesar dari Yesus

    Dalam Injil hari ini, Yesus yang bangkit menampakkan diri dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu! Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Lalu Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus.” (Yoh 20:21–22).

    Apa arti “mengembusi” dalam konteks ini? Itu adalah gambaran penciptaan baru. Seperti Allah menghembuskan nafas kehidupan ke dalam Adam, sekarang Yesus menghembuskan Roh Kudus ke dalam para murid agar mereka menjadi ciptaan baru, siap untuk menjalankan misi Injil.

    Roh Kudus di Tengah Tantangan Zaman

    Zaman kita adalah zaman yang penuh tantangan:
    Krisis identitas dan nilai.
    Perpecahan dalam keluarga dan masyarakat.
    Tekanan sosial, budaya instan, dan hedonisme.
    Media sosial yang kadang menciptakan dunia semu dan polarisasi.
    Dalam dunia seperti ini, siapa yang bisa bertahan sebagai saksi Kristus?
    Jawabannya: Mereka yang hidup dalam Roh Kudus.

    Paus Fransiskus mengatakan: “Roh Kudus memberi kita kekuatan untuk melangkah keluar dari kenyamanan dan berani pergi ke pinggiran dunia dan keberadaan manusia.” (Evangelii Gaudium 20)

    Roh Kudus bukan hanya memberi damai, tapi membangkitkan semangat kerasulan. Ia membuat hati kita berkobar dan memberi kita kata-kata untuk bersaksi bahkan dalam situasi sulit.

    Roh Kudus Menyatukan dan Memberdayakan

    Dalam bacaan pertama dari Kisah Para Rasul, kita mendengar bagaimana orang dari berbagai bangsa, bahasa, dan budaya, semuanya mendengar satu pewartaan yang sama. Roh Kudus tidak menghapus perbedaan, tetapi menyatukannya dalam kasih dan misi. Ini adalah pesan kuat untuk zaman kita yang mudah terpecah oleh perbedaan: “Di dalam satu Roh kita semua dibaptis menjadi satu tubuh.” (1 Kor 12:13)

    Gereja hari ini juga terdiri dari banyak “anggota” — imam, awam, biarawan-biarawati, katekis, pegawai pastoral, orang muda, lansia — dan semua diberi karunia yang berbeda untuk kebaikan bersama. (lih. 1 Kor 12:7) 

    Ajakan: Jadilah Saksi Kristus

    Saudara-saudari, jika kita telah menerima Roh Kudus, kita tidak bisa hanya diam. Kita dipanggil menjadi:
    Pembawa damai di tengah konflik.
    Suara kebenaran di tengah kebohongan.
    Saksi harapan di tengah keputusasaan.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan: “Roh Kudus menjadikan kita tidak hanya orang yang dikuatkan dari dalam, tetapi juga penginjil — orang-orang yang mampu membawa terang kepada dunia yang gelap.”

    Dan Santo Yohanes Paulus II menegaskan: “Dunia membutuhkan kesaksian yang sungguh-sungguh, bukan hanya kata-kata.”

    Penutup: Biarkan Roh Kudus Berkarya Lewat Anda

    Mungkin kita merasa lemah, tidak pantas, atau tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi lihatlah para rasul: mereka juga orang biasa. Tapi ketika Roh Kudus turun atas mereka, mereka menjadi luar biasa.

    Hari ini, mari kita berdoa: Datanglah ya Roh Kudus! Penuhi hati kami. Biarlah Engkau membakar semangat kami kembali.

    Jangan takut, karena Roh Kudus yang sama yang mengubah Petrus dan Paulus, hari ini juga turun atas kita. Bukan hanya untuk membuat kita merasa nyaman, tapi untuk mengubah kita menjadi para saksi Kristus di tengah dunia. Amin

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah V - 18 Mei 2025

    Bacaan I : Kis. 14:21b-27
    Bacaan II :  Why. 21:1-5a
    Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35

    Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. 

    Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”

    Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”

    I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani 

    Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi. 

    Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.

    St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.

    II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati 

    Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.

    Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.

    III. Kasih yang Mewujud dalam Misi

    Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.

    St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.

    IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi

    Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”

    Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”

    V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus

    Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.

    Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?

    Penutup

    Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.

    Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”

    Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah VII - 01 Juni 2025 - Hari Minggu Komunikasi Sedunia

    Bacaan I : Kis. 7:55-60
    Bacaan II : Why. 22:12-14,16-17,20
    Bacaan Injil : Yoh. 17:20-26

    “Komunikasi sebagai Jalan Kesatuan dan Pengampunan”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Semoga Tuhan memberimu damai dan Kebaikan. Pada Minggu Paskah VII ini, kita berdiri di ambang dua peryaan besar: Hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus yang baru saja kita rayakan, dan Hari Raya Kedatangan Roh Kudus pada Hari Pentakosta yang segera tiba. Di tengah-tengah kedua momen agung itu, kita diundang oleh liturgi Sabda hari ini untuk merenungkan suara-suara yang paling dalam dari hidup Kristiani: suara Yesus yang berdoa bagi kesatuan, suara Stefanus yang berseru dalam pengampunan, dan suara Gereja yang menyerukan harapan: “Maranatha! Datanglah, Tuhan Yesus!”

    Semua bacaan hari ini berbicara tentang komunikasi, bukan dalam arti teknis atau sekadar pertukaran pesan, tetapi sebagai pengungkapan terdalam dari iman yang hidup. Maka tidak heran bahwa Minggu ini juga ditandai oleh peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, di mana mendiang Paus Fransiskus melalui suratnya mengajak kita untuk merenungkan kembali peran komunikasi dalam membangun persaudaraan, menegakkan kebenaran, dan menyembuhkan luka dunia. Doa Yesus: Komunikasi sebagai Jalan Kesatuan.

    Injil Yohanes 17 mengabadikan doa Yesus yang paling intim dan mendalam, yang sering disebut sebagai Doa Imam Agung. Di dalamnya, Yesus berdoa bukan hanya bagi para rasul yang hadir di hadapan-Nya, tetapi juga untuk kita semua: "Aku berdoa, bukan untuk mereka ini saja, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka." (Yoh 17:20). Yesus tahu bahwa dunia ini mudah terpecah oleh kebencian, oleh perbedaan, bahkan oleh kata-kata yang menyakitkan. Karena itu, Ia tidak hanya menyerahkan pesan-Nya, tetapi juga menyerahkan kita semua ke dalam pelukan kasih Bapa-Nya, agar “mereka semua menjadi satu.” Kesatuan bukan berarti keseragaman, tetapi kebersamaan dalam cinta yang mendengarkan, menghargai, dan membuka diri. Dalam pesannya pada Hari Komunikasi Sosial, Paus Fransiskus menekankan pentingnya mendengarkan secara mendalam sebagai dasar komunikasi sejati. Tanpa mendengarkan dengan hati, kata-kata kita kosong. Sebaliknya, mendengar dengan cinta menghasilkan kata-kata yang menyembuhkan.

    Stefanus: Komunikasi yang Menyembuhkan Luka dengan Pengampunan Lalu kita mendengar suara Stefanus, sang diakon dan martir pertama Gereja. Ia tidak hanya mati karena mengaku iman, tetapi meninggal dengan kata pengampunan di bibirnya: “Ya Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka.” (Kis 7:60)

    Di dunia yang sering merespons luka dengan kekerasan, dan balas dendam dianggap wajar, suara Stefanus adalah komunikasi yang melampaui akal sehat manusia. Ia menunjukkan bahwa komunikasi bukan soal menang-berdebat, tetapi soal menyerahkan diri pada kasih Allah yang tak terbatas.

    Paus Fransiskus berkali-kali mengingatkan: "Kata-kata kita bisa menjadi senjata yang memecah atau menjadi minyak yang menyembuhkan." Dalam era digital, dengan media sosial yang cepat dan sering tak terkontrol, betapa mudahnya kita menghakimi, menyerang, atau menyebarkan fitnah. Tetapi Stefanus mengajarkan, bahwa suara orang benar bukanlah suara kebencian, melainkan seruan kasih dan pengampunan. Maranatha: Komunikasi sebagai Seruan Pengharapan

    Dalam bacaan dari Kitab Wahyu, kita mendengar suara lain: “Datanglah, Tuhan Yesus!” Inilah doa Gereja sepanjang masa, yang menanti bukan dalam pasif, tetapi dalam pengharapan aktif. Komunikasi iman kita tidak hanya berkisah tentang masa lalu, tetapi mengarahkan hati kepada kedatangan Tuhan di masa kini dan masa depan. Seruan ini, Maranatha, adalah inti dari hidup kristiani. Ini juga adalah jiwa dari komunikasi Gereja: menyerukan harapan di tengah dunia yang semakin lelah, patah, dan bingung oleh arus informasi. Di tengah berita bohong, ujaran kebencian, dan narasi pesimisme, kita diundang untuk menjadi suara yang membawa terang, bukan kegelapan.

    Menjadi Gereja yang Berkomunikasi dengan Kasih

    Dalam terang bacaan ini dan pesan Paus Fransiskus, kita diajak untuk merefleksikan beberapa sikap konkret:

    Belajar mendengarkan lebih dari berbicara. Dunia butuh Gereja yang punya telinga, bukan hanya mulut.

    Menyampaikan pesan dengan kejujuran dan kelembutan. Jangan biarkan kata-kata kita menyakiti, tetapi sembuhkan.

    Menggunakan media sosial untuk evangelisasi dan membangun harapan. Jadilah “influencer Injil” yang menyampaikan kasih dan sukacita sejati.

    Menjadi komunikator Roh Kudus: artinya berkomunikasi dengan hikmat, kelembutan, dan kebenaran, bukan dengan emosi, nafsu, atau keinginan menguasai.

    Suara Yesus adalah Doa, Suara Stefanus adalah Pengampunan, Suara Gereja adalah Harapan Saudara-saudari, ketiga suara ini—Yesus, Stefanus, dan Gereja—harus menjadi dasar suara kita sebagai murid-murid Kristus. Jangan biarkan dunia mencuri suara kasih dari hati kita. Jangan biarkan media sosial menciptakan jurang dalam Gereja.

    Mari kita jawab seruan Paus Fransiskus: menjadikan komunikasi sebagai sarana persaudaraan, bukan permusuhan. Maranatha! Mari kita menantikan Tuhan, sambil menjadi suara yang membangun kesatuan, menyembuhkan luka, dan mewartakan pengharapan. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah V - 18 Mei 2025

    Bacaan I : Kis. 14:21b-27
    Bacaan II :  Why. 21:1-5a
    Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35

    Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. 

    Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”

    Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”

    I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani 

    Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi. 

    Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.

    St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.

    II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati 

    Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.

    Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.

    III. Kasih yang Mewujud dalam Misi

    Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.

    St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.

    IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi

    Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”

    Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”

    V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus

    Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.

    Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?

    Penutup

    Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.

    Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”

    Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah VI - 25 Mei 2025

    Bacaan I : Kis. 15:1-2,22-29
    Bacaan II : Why. 21:10-14.22-23
    Bacaan Injil : Yoh. 14:23-29

    Damai Sejati: Warisan Yesus yang Dibangun di atas Keadilan dan Kasih

    Saudara-saudari terkasih, Dalam sejarah dunia, kita mengenal semboyan kuno dari zaman Romawi: Si vis pacem, para bellum – 'Jika engkau menginginkan damai, bersiaplah untuk perang.' Tapi hari ini, kita mendengar suara lain dari mulut Yesus sendiri: 'Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu. Aku memberikan kepadamu bukan seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.' (Yoh 14:27)

    Yesus tidak mempersiapkan murid-murid-Nya dengan senjata, tapi dengan kasih. Ia tidak mengajarkan dominasi, tapi pengampunan. Warisan-Nya bukan benteng militer, tapi kehadiran Roh Kudus dan sabda kasih yang membentuk hati.

    1. Dua Jalan Menuju Damai: Logika Dunia vs. Logika Kristus 
    Vegetius, ahli militer Romawi, mengajarkan bahwa damai harus dijaga dengan kesiapan untuk perang. Tapi Yesus mengajarkan damai yang sejati lahir dari hati yang membangun keadilan dan menghidupi kasih. Itulah logika Kerajaan Allah yang terbalik dari dunia. Ketika dunia berkata: 'Bela dirimu!', Yesus berkata: 'Kasihilah musuhmu.' Ketika dunia berkata: 'Kuasai!', Yesus berkata: 'Layanilah.' Di sinilah letak kekuatan damai Kristus — bukan dengan menaklukkan, tetapi dengan mengasihi tanpa syarat.

    2. Warisan Damai dalam Injil Yohanes 
    Yesus tahu bahwa para murid akan menghadapi dunia yang gelap, penuh penganiayaan dan ketidakpastian. Tapi Ia tidak memberi mereka strategi politik. Ia memberi mereka damai. Bukan damai yang lahir dari kenyamanan, tapi dari kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus. Damai ini bukan hasil dari kondisi luar, tapi dari kehadiran Allah di dalam. Dan Roh Kudus diutus untuk mengingatkan Sabda yang menghidupkan damai ini di hati kita setiap hari.

    3. Damai Tidak Mungkin Tanpa Keadilan 

    Paus Paulus VI dengan tegas berkata, 'Jika kamu ingin damai, bekerjalah demi keadilan.' Tidak ada damai di tengah penindasan. Tidak ada damai sejati di tengah ketimpangan. Gereja dipanggil untuk menyuarakan suara yang dibungkam, menyembuhkan yang terluka, dan mendampingi yang rapuh. Bacaan pertama hari ini (Kis 15) menunjukkan bagaimana Gereja Perdana mengatasi perbedaan bukan dengan kekuasaan, tapi dengan dialog dan keterbukaan terhadap Roh Kudus. Itulah damai yang dibangun dalam keadilan dan kesetaraan.

    4. Gereja Menjadi Kota Kudus Ketika Warisan Ini Dihidupi 

    Wahyu 21 memperlihatkan Yerusalem baru, kota kudus tanpa bait, karena Allah sendiri hadir dan menjadi terang. Kota itu bersinar bukan karena tembok, tapi karena kemuliaan Tuhan. Gereja hari ini menjadi kota kudus ketika ia hidup dalam damai Kristus. Komunitas paroki, keluarga, dan lingkungan menjadi terang ketika anggotanya saling menghargai, saling menegur dengan kasih, dan saling mengampuni. Damai bukan slogan. Ia menjadi nyata ketika kasih menjadi budaya dan keadilan menjadi cara hidup.

    5. Teladan Para Kudus dalam Jalan Damai 
    St. Fransiskus dari Assisi, St. Oscar Romero, dan Beato Charles de Foucauld semuanya menunjukkan bahwa damai dibangun dari kasih sejati. Mereka tidak memiliki kekuasaan, tetapi mereka membawa damai dengan kerendahan hati dan keberanian cinta. Damai bukanlah milik yang kuat secara militer, tapi milik yang kuat dalam kasih.

    Seperti yang ditulis Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti: 'Perdamaian sejati hanya mungkin bila dibangun atas dasar budaya kasih: kasih yang mengakui martabat setiap orang.'

    Penutup:  
    Saudara-saudari, di tengah dunia yang mudah marah dan cepat membalas, mari kita bawa warisan Kristus: damai yang lahir dari kasih dan keadilan. Kita tidak perlu persenjataan, tapi kita butuh hati yang sabar, tangan yang mengulurkan pengampunan, dan mata yang melihat sesama sebagai saudara.

    Maka, dunia akan mengenal Kristus bukan dari kekuatan kita, tapi dari damai yang terpancar dari hidup kita. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah V - 18 Mei 2025

    Bacaan I : Kis. 14:21b-27
    Bacaan II :  Why. 21:1-5a
    Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35

    Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. 

    Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”

    Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”

    I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani 

    Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi. 

    Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.

    St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.

    II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati 

    Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.

    Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.

    III. Kasih yang Mewujud dalam Misi

    Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.

    St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.

    IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi

    Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”

    Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”

    V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus

    Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.

    Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?

    Penutup

    Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.

    Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”

    Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah V - 18 Mei 2025

    Bacaan I : Kis. 14:21b-27
    Bacaan II :  Why. 21:1-5a
    Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35

    Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. 

    Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”

    Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”

    I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani 

    Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi. 

    Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.

    St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.

    II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati 

    Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.

    Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.

    III. Kasih yang Mewujud dalam Misi

    Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.

    St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.

    IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi

    Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”

    Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”

    V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus

    Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.

    Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?

    Penutup

    Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.

    Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”

    Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu Paskah V - 18 Mei 2025

    Bacaan I : Kis. 14:21b-27
    Bacaan II :  Why. 21:1-5a
    Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35

    Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. 

    Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”

    Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”

    I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani 

    Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi. 

    Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.

    St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.

    II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati 

    Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.

    Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.

    III. Kasih yang Mewujud dalam Misi

    Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.

    St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.

    IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi

    Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”

    Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”

    V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus

    Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.

    Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?

    Penutup

    Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.

    Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”

    Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    11 MEI 2025 - MINGGU IV PASKAH: MINGGU GEMBALA YANG BAIK

    Bacaan I : Kis. 13:14,43-52
    Bacaan II : Why. 7:9,14b-17
    Bacaan Injil : Yoh. 10:27-30

    Gembala yang Mengenal, Mencari, dan Menyelamatkan

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan, Sang Gembala baik, memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini kita merayakan Minggu Gembala yang Baik. Dalam tradisi Gereja, ini adalah hari penuh makna di mana kita merenungkan Yesus bukan hanya sebagai Tuhan dan Guru, tetapi sebagai Gembala yang mengenal, mencari, dan menyelamatkan setiap domba-Nya.

    “Akulah Gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-domba-Nya.” (Yoh 10:11)

    I. Yesus: Gembala yang Mengenal Dombanya 
    Yesus mengenal kita secara personal. Ia bukan gembala upahan yang lari saat ancaman datang. Ia tahu nama kita, luka batin kita, sejarah hidup kita. Seperti dikatakan Paus Fransiskus, “Gembala yang baik berbau seperti domba-dombanya.”

    Paus Leo XIV, dalam pidato perdananya, menegaskan bahwa seorang uskup maupun paus harus “menjadi dekat dengan umat, mendengarkan mereka, dan menyapa dengan kelembutan.” Baginya, menjadi gembala bukan jabatan, tetapi perutusan untuk mengenal dan menemani, dengan hati penuh kasih seperti Kristus sendiri.

    II. Yesus: Gembala yang Menyelamatkan, Bukan Menghakimi 
    Dalam Kisah Para Rasul, Petrus bersaksi bahwa hanya dalam nama Yesus ada keselamatan. Dan Injil menunjukkan bahwa keselamatan bukan teori, melainkan cinta yang konkret: Yesus menyerahkan nyawa-Nya. Ia tidak menuntut kita mati untuk-Nya, Ia yang memilih mati untuk kita.

    Paus Leo XIV berkata, “Kasih tidak dibuktikan dengan kata-kata, tetapi dengan luka.” Ini mengingatkan kita bahwa menjadi gembala artinya rela berkorban dan hadir dengan kasih nyata, bukan kekuasaan.

    III. Kita Dipanggil Menjadi Gembala-Gembala Seperti Dia 
    Minggu Gembala yang Baik juga menjadi momen refleksi panggilan. Bukan hanya untuk para imam dan religius, tapi untuk semua orang beriman. Kita semua dipanggil menjadi gembala dalam keluarga, komunitas, masyarakat.

     Tanya diri kita: Apakah aku menjadi gembala yang hadir dan peduli? Atau aku seperti gembala upahan yang menghindar saat kesulitan datang? Paus Leo XIV mengingatkan, “Paus bukanlah manusia dengan super power, bukan superman. Paus adalah seorang murid Kristus yang dipilih menjadi gembala dan akan membuat kesalahan seperti manusia lainnya.” Dengan kerendahan hati itu, kita juga dipanggil menggembalakan bukan karena kekuatan, tetapi karena kasih.

    IV. Kita Anak-anak Allah: Kasih yang Mengangkat Martabat Kita
    Surat 1 Yohanes mengingatkan: “Kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah!” (1Yoh 3:1) Status ini bukan hasil kerja keras kita, tetapi karena kasih Allah yang memilih dan mengangkat kita.

    Karena itu, hidup kita tidak lagi dikendalikan oleh rasa takut atau rasa tidak layak, tetapi oleh keyakinan: Aku dikenal, dicintai, dan dipanggil untuk mencintai sebagai gembala kecil di tengah dunia.

    Penutup: Tinggal dalam Gembala Sejati 
    Yesus tidak berhenti menggembalakan setelah kebangkitan. Ia hadir dalam Ekaristi, dalam Sabda, dalam sesama yang menderita, dan dalam hati kita yang tenang saat berdoa.

    Dalam misa pertamanya sebagai Paus di Kapel Sistina pada 9 Mei 2025, Paus Leo XIV menyampaikan pesan yang kuat kepada para kardinal yang memilihnya. Ia menggambarkan tugas barunya sebagai "salib sekaligus berkat" dan menekankan pentingnya mewartakan Injil dengan sukacita di tengah dunia yang sering mengejeknya. Paus Leo XIV juga menegaskan komitmennya untuk berjalan bersama dengan seluruh gereja sebagai komunitas dan sahabat Kristus, serta menyertakan persatuan dalam misi pewartaan kabar baik.

    Maka mari kita meneladan Dia dan berkata: “Tuhan, tuntunlah aku. Ajari aku mengenal dan mencintai. Jadikan aku gembala bagi yang kecil, lemah, dan tersingkir.” Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu, 04 Mei 2025 - Minggu Paskah III

    Bacaan I : Kis. 5:27b-32,40b-41
    Bacaan II : Why. 5:11-14
    Bacaan Injil :  Yoh. 21:1-19

    "Paskah dan Misi: Dari Perjumpaan Menuju Kesaksian"

    Saudara-saudari terkasih, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Dalam Minggu Paskah III Tahun C ini, liturgi membawa kita merenungkan relasi yang erat antara pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang bangkit dan panggilan untuk bersaksi dalam dunia. Semua bacaan hari ini menegaskan bahwa kebangkitan Kristus bukan sekadar pengalaman spiritual pribadi, melainkan pendorong misi untuk mewartakan Injil.

    1. Yesus Bangkit dan Menyapa dalam Hidup Sehari-hari 
    Injil Yohanes 21 hari ini menunjukkan bagaimana Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid di danau Tiberias. Para murid kembali ke aktivitas lama mereka sebagai nelayan. Setelah semalaman tanpa hasil, mereka mengikuti suara seorang asing di pantai untuk menebarkan jala ke sebelah kanan. Hasilnya melimpah. Dalam peristiwa ini, murid yang dikasihi menyadari: “Itu Tuhan!”.

    Pengalaman ini mencerminkan hidup harian kita. Kita sering tidak menyadari kehadiran Tuhan, sampai Ia menyentuh hidup kita secara tak terduga. Murid yang dikasihi adalah simbol dari orang yang memiliki kedekatan rohani dengan Yesus sehingga dapat mengenal-Nya, bahkan dalam hal-hal kecil. “Carilah Tuhan dalam hal-hal kecil dan tersembunyi. Di sanalah Ia menunggu.” – St. Thérèse dari Lisieux

    2. Dari Perjumpaan Menuju Misi: “Gembalakanlah Domba-domba-Ku” 
    Setelah sarapan bersama di pantai, Yesus berbicara kepada Petrus. Tiga kali Ia bertanya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan tiga kali Petrus menjawab: “Ya, Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Maka Yesus bersabda: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

    Dialog ini bukan hanya rekonsiliasi antara Yesus dan Petrus setelah penyangkalannya, tetapi juga peneguhan misi. Kasih sejati kepada Tuhan tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus dinyatakan dalam penggembalaan dan pelayanan. St. Yohanes Paulus II berkata: “Kasih yang tidak menjadi pelayanan akan mati; pelayanan yang tidak dilandasi kasih akan kosong.”

    3. Kesaksian yang Berani Meski Ditolak 
    Bacaan pertama dari Kisah Para Rasul menggambarkan para rasul yang bersaksi tentang kebangkitan Yesus, meski harus menghadapi larangan, intimidasi, dan hukuman. Namun mereka menjawab dengan tegas, “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.”

    Kesaksian mereka lahir dari pengalaman nyata perjumpaan dengan Yesus. Paskah bukan hanya tentang sukacita pribadi, tetapi keberanian bersaksi di tengah tantangan. Gereja perdana menunjukkan bahwa kesaksian iman bukan tanpa risiko, namun dilandasi oleh keyakinan bahwa Kristus hidup dan mendampingi.

    St. Ignatius dari Antiokhia menulis: “Kini aku mulai menjadi murid. Biarkan aku meniru Sengsara Tuhanku.”

    4. Pujian dan Penyembahan kepada Anak Domba yang Disembelih  
    Kitab Wahyu menggambarkan pujian surgawi kepada Anak Domba yang layak menerima kuasa dan kemuliaan. Dialah Yesus yang disalibkan dan bangkit. Gereja di bumi yang bersaksi dan Gereja di surga yang memuji adalah satu dalam semangat: meninggikan Kristus Sang Anak Domba. St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Marilah kita mencintai dan menyembah Dia yang telah menebus kita dengan darah-Nya.”

    Ini memberi harapan dan kekuatan: penderitaan kita dalam bersaksi bukanlah akhir, tetapi bagian dari kemenangan Paskah.

    Penutup: Paskah adalah Awal Perutusan

    Saudara-saudari, Paskah bukan hanya pesta iman, tapi panggilan perutusan:
    Untuk mengenali kehadiran Tuhan dalam kehidupan harian,
    Untuk menjawab kasih-Nya dengan pelayanan,
    Untuk bersaksi tentang Dia meski ada tantangan,
    Dan untuk memuji Dia sebagai Anak Domba yang layak disembah.

    St. Katarina dari Siena berseru: “Jika kamu menjadi seperti dirimu seharusnya, kamu akan menyalakan dunia.”

    Seperti Petrus yang telah disembuhkan dan diutus, seperti murid yang dikasihi yang mengenali-Nya, seperti para rasul yang tidak takut bersaksi, mari kita pun melanjutkan misi Paskah dalam hidup kita: mengenali, mencintai, menggembalakan, dan bersaksi. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu, 27 April 2025 - Minggu Kerahiman Ilahi

    "Kerahiman Allah: Kasih yang Mengampuni dan Memulihkan"

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
    Hari ini kita merayakan Minggu Kerahiman Ilahi, hari penuh rahmat yang diwartakan melalui Santa Faustina Kowalska, Rasul Kerahiman. Hari ini Gereja mengundang kita untuk memandang wajah sejati Allah — wajah belas kasih yang hidup dalam Yesus Kristus yang bangkit.

    Dalam terang Minggu Kerahiman Ilahi, kita diundang untuk merenungkan hati terdalam Allah: bukan murka, bukan hukuman, melainkan belas kasih yang mengalir dalam bentuk pengampunan.
    Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada murid-murid yang ketakutan dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu.” (Yoh 20:19) Tetapi damai itu bukan sekadar kata. Yesus menunjukkan luka-luka kasih-Nya dan menghembusi mereka dengan Roh Kudus sambil berkata: “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni.” (Yoh 20:23)

    Inilah wajah sejati Allah: Allah yang memulihkan, bukan menghukum; Allah yang mengangkat, bukan menjatuhkan.

    1. Kerahiman Allah: Wajah yang Mengampuni 
    Dalam seluruh Injil, kita melihat bahwa kerahiman Allah tidak pernah hanya teori. Ia nyata dalam tindakan Yesus:
    - Kepada perempuan yang berzinah: "Aku pun tidak menghukum engkau." (Yoh 8:11)
    - Kepada Petrus yang menyangkal-Nya: Ia memulihkan kepercayaannya dengan kasih.
    - Kepada musuh-musuh di salib: "Ya Bapa, ampunilah mereka." (Luk 23:34)
    Kerahiman itu hadir dalam pengampunan nyata. Sebagaimana St. Yohanes Paulus II bersaksi: “Dunia lebih membutuhkan saksi kerahiman daripada saksi keadilan.”

    2. Dunia Kita: Dunia yang Sulit Mengampuni 
    Dunia lebih mengenal balas dendam daripada pengampunan. Dunia lebih menyukai penghakiman daripada pemulihan. Dunia lebih cepat menyebarkan aib daripada melindungi martabat. Bahkan dalam keluarga, komunitas, dan Gereja, sering luka-luka tidak disembuhkan karena pengampunan dianggap kelemahan. 
    Tetapi Paus Fransiskus mengingatkan: “Mengampuni bukan berarti melupakan keadilan, melainkan menyembuhkan hati.” (Misericordiae Vultus) 

    3. Mengapa Harus Mengampuni? 
    Jika kita tidak mengampuni:
    - Luka kita tetap terbuka,
    - Dendam menjadi racun dalam jiwa,
    - Hidup menjadi tawanan masa lalu. 

    Sebaliknya, jika kita mengampuni:
    - Kita dibebaskan,
    - Luka disembuhkan,
    - Kita menjadi serupa dengan Allah.

    St. Faustina Kowalska menulis: “Kasih sejati terwujud dalam pengampunan.”

    4. Pengampunan: Pusat dari Pewartaan Injil 
    Kerahiman dan pengampunan tidak dapat dipisahkan.
    Pengampunan adalah wajah operatif dari Kerahiman Allah. Yesus mempercayakan tugas besar ini kepada para murid: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni.”
    St. Augustinus berkata: “Percaya bahwa engkau diampuni akan membebaskanmu untuk mengampuni.”

    5. Tomas: Dari Ragu Menjadi Saksi Kerahiman 
    Tomas tidak ditolak oleh Yesus. Ia memperlihatkan luka-luka-Nya. Dari sentuhan itu, Tomas berseru: "Tuhanku dan Allahku!" Iman yang lahir dari kerahiman jauh lebih kuat daripada iman yang lahir dari ketakutan.

    Penutup: Jadilah Wajah Allah
    Di dunia yang penuh luka: Jadilah pembawa pengampunan.
    Di dunia yang penuh kebencian: Jadilah wajah Allah yang Maharahim. 
    St. Fransiskus dari Assisi berdoa: “Di mana ada kebencian, biarkan aku membawa cinta.
    Di mana ada luka, biarkan aku membawa pengampunan.” Mari kita sambut sabda Yesus: "Damai sejahtera bagi kamu." Damai yang lahir dari hati yang mengampuni. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu, 20 April 2025 - Hari Raya Paskah

    Bacaan I : Kel. 14:15-15:1
    Bacaan II :  Rm. 6:3-11
    Bacaan Injil : Mat. 28:1-10

    “Iman yang Bangkit dari Dalam Gelap: Mengalahkan Prasangka, Mewartakan Harapan”

    Untuk Perayaan Paskah dan Penerimaan Sakramen Penguatan Dalam Terang Tahun Yubileum Pengharapan 2025

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, selamat Hari Raya Paskah

    Pagi hari itu, ketika hari masih gelap, Maria Magdalena berjalan ke kubur Yesus. Ia larut dalam kesedihan, pikirannya dibayangi kehilangan, dan hatinya belum diterangi pengertian iman. Maka, ketika melihat kubur kosong, pikirannya langsung dipenuhi prasangka, “Tuhan telah diambil orang...” (Yoh 20:2)

    Ia belum melihat kebenaran bahwa Yesus telah bangkit, karena, seperti ditulis dalam Injil, “Sebab selama ini mereka belum mengerti Kitab Suci, yang mengatakan bahwa Dia harus bangkit dari antara orang mati.” (Yoh 20:9)

    1. Prasangka Lahir dari Kegelapan Iman

    Mengapa Maria mengira jenazah Yesus dicuri? Karena hatinya sedang gelap. Gelap oleh kesedihan, gelap karena kehilangan arah. Dalam Injil Yohanes, “gelap” bukan sekadar waktu dini hari, tetapi simbol kebingungan batin dan ketidaktahuan rohani.

    Prasangka buruk tumbuh ketika terang Sabda Tuhan belum menerangi pikiran. Maria belum mengerti janji Yesus. Maka ia menafsirkan realitas dari sudut pandang rasa takut, bukan iman.

    Kita pun sering bersikap demikian:

    Ketika masalah datang, kita cepat curiga.
    Ketika doa belum dijawab, kita mudah merasa ditinggalkan.
    Ketika dunia tampak gelap, kita bertanya, “Di mana Tuhan?”
    Padahal Tuhan tidak absen. Ia hidup. Tapi kita hanya bisa mengenali-Nya jika hati kita diterangi Sabda.

    2. Sabda: Terang yang Membebaskan dari Prasangka

    Injil hari ini mengatakan, “Sebab selama ini mereka belum mengerti Kitab Suci...” (Yoh 20:9) Tanpa Sabda, kubur kosong adalah misteri yang menakutkan. Dengan Sabda, kubur kosong menjadi tanda kemenangan.
    Sabda adalah terang yang mengubah tafsir keliru menjadi pengenalan akan kebenaran. Sabda adalah cahaya yang menuntun kita keluar dari ketakutan.

    Maria berubah bukan karena melihat jenazah, tetapi karena ia mendengar Sabda pribadi dari Yesus, “Maria!” — “Rabuni!” (Yoh 20:16)
    Dalam sekejap, prasangka hilang, pengharapan lahir. Sabda Yesus menyentuh hatinya dan membangkitkan imannya.

    3. Sakramen Krisma: Roh Kudus Membuka Pengertian dan Misi 
    Hari ini, saudara-saudari kita menerima Sakramen Penguatan. Sakramen ini bukan sekadar ritual. Ini adalah pencurahan Roh Kudus, agar kamu:
    Dapat mengingat dan mengerti Sabda Tuhan,
    Dapat membedakan kebenaran dari kebingungan dunia,
    Dapat berdiri teguh saat dunia meragukan imanmu,
    Dan menjadi saksi kebangkitan Kristus di mana pun kamu berada.
    Roh Kudus adalah terang yang membakar hati dan membuka mata iman.
    Dalam terang-Nya, prasangka digantikan oleh pengertian, dan ketakutan berubah menjadi keberanian.

    4. Tahun Yubileum: Waktu untuk Bangkit dan Bersaksi 
    Tahun Yubileum 2025 adalah Tahun Pengharapan. Dan harapan itu bukanlah optimisme buta, tapi keyakinan bahwa, “Kristus telah bangkit, dan karena itu tidak ada malam yang terlalu gelap untuk dikalahkan terang-Nya.” 

    Seperti Maria, kita dipanggil:
    Untuk tidak berhenti dan tinggal pada tangisan,
    Untuk tidak hidup dalam prasangka, Tapi berbalik dan melihat Yesus yang hidup,
    Dan pergi memberitakan: “Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh 20:18)

    5. Penutup: Pegang Sabda, Wartakan Harapan 
    Saudara-saudari, Jangan tunggu semuanya jelas baru percaya. Percayalah, dan kamu akan melihat. Pegang Sabda, dan kamu akan dibebaskan dari ketakutan.

    Untuk para penerima Krisma:
    Jadilah saksi iman di sekolah, di rumah, di dunia digital. Bawalah terang Kristus ke dalam dunia yang penuh prasangka. Hidupkan Sabda dan wartakan harapan.
    Kristus telah bangkit. Alleluya. Harapan tidak mengecewakan. Alleluya. 
    Amin.

    Penutup

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu, 13 April 2025 - Hari Minggu Palma Mengenang Sengsara Tuhan

    Bacaan I : Yes. 50:4-7
    Bacaan II : Flp. 2:6-11
    Bacaan Injil : Luk. 22:14- 23:56

    “Dari Hosana ke Salibkan Dia: Kerapuhan Hati Manusia dan Kasih yang Tetap Setia”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini kita memasuki Pekan Suci. Kita baru saja mendengarkan kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Kita diajak untuk merenungkan kontras dramatis antara sambutan penuh sukacita di pintu gerbang Yerusalem dan teriakan kebencian di halaman pengadilan Pilatus.

    “Hosana bagi Anak Daud!” berubah menjadi “Salibkan Dia!”

    Pertanyaannya: mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang membuat manusia—yang mengaku percaya kepada Allah—begitu cepat berbalik dari pujian ke pengkhianatan?

    1. Kekecewaan terhadap Harapan yang Tidak Terpenuhi

    Banyak orang menaruh harapan bahwa Yesus akan menjadi Mesias politis yang membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Tapi Yesus tidak menuruti ekspektasi mereka. Ia datang sebagai Hamba yang menderita, bukan sebagai pahlawan bersenjata. Ketika harapan mereka runtuh, kekecewaan berubah menjadi penolakan.

    Hal yang sama bisa terjadi dalam hidup kita. Ketika Tuhan tidak bertindak seperti yang kita harapkan—saat doa tidak segera dijawab, atau salib terasa berat—apakah kita tetap setia, atau ikut berteriak “Salibkan Dia”?

    2. Massa yang Mudah Tergoyah dan Ketakutan yang Menyebar

    Iman yang tidak berakar mudah goyah dalam tekanan. Orang-orang yang sebelumnya bersorak “Hosana” bisa berubah karena:
    Takut dikucilkan,
    Terbawa arus,
    Atau sekadar tidak mengerti siapa Yesus sebenarnya.

    Yesus tidak pernah menjanjikan popularitas atau kenyamanan. Ia menjanjikan salib yang membawa kehidupan. Maka, mengikuti Yesus adalah keberanian untuk tetap setia meski dunia berbalik arah.

    3. Dosa dan Ketertutupan Hati

    Penolakan Yesus juga lahir dari hati yang tidak mau bertobat. Ia datang membawa terang, tapi banyak yang lebih memilih kegelapan karena:
    Takut dikoreksi,
    Nyaman dengan kebiasaan lama,
    Tidak rela kehilangan kekuasaan atau ego.

    Yesus disalibkan bukan hanya oleh paku dan kayu, tapi juga oleh penolakan batin manusia yang tak mau diubah.

    4. Tapi Yesus Tetap Setia

    Yang luar biasa dari kisah sengsara ini adalah: kasih Yesus tidak berubah. Ia tetap diam saat dihina. Ia tetap mengasihi saat disalibkan. Ia bahkan mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya.

    Inilah Injil kasih: Tuhan tidak menyesal mengasihi kita, walau kita sering berkhianat.

    5. Undangan untuk Masuk ke Jalan Salib

    Saudara-saudari, Pekan Suci ini bukan sekadar kenangan. Ini adalah undangan untuk ikut berjalan bersama Yesus.

    Bukan hanya ikut arak-arakan palma, tapi juga ikut memanggul salib.

    Bukan hanya ikut liturgi, tapi juga menjadi saksi kasih yang setia dalam hidup nyata.

    Jangan biarkan suara “Salibkan Dia!” terdengar lagi—dari sikap kita, dari ketidakpedulian kita, dari kompromi kita terhadap kebenaran.

    Sebaliknya, marilah kita berkata: Hosana yg berarti "Selamatkanlah, tolonglah kami sekarang" “Hosana dalam arti yang sejati: Yesus, datang dan ubahlah hatiku.”

    Penutup

    Pekan Suci telah dimulai. Kita diajak masuk ke dalam misteri sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan. Mari kita ikut berjalan dengan-Nya—dalam iman, pengharapan, dan kasih. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Minggu, 06 April 2025 - Hari Minggu Prapaskah V

    Bacaan I : Yes. 43:16-21
    Mazmur :  Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6
    Bacaan II :  Flp. 3:8-14
    Bacaan Injil : Yoh. 8:1-11

    Allah yang Mahapengampun

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Minggu ini, Injil membawa kita ke sebuah kisah yang amat kuat, penuh luka dan kasih, penghakiman dan pengampunan: perempuan yang tertangkap basah dalam perzinahan. Sebuah kisah yang menggambarkan dua dunia—dunia manusia yang ingin menghukum, dan dunia Allah yang memilih mengampuni.

    1. Dosa yang Nyata dan Penghakiman yang Cepat

    Perempuan itu bersalah. Ia tertangkap basah. Tak ada dalih. Hukum Musa jelas: ia harus dirajam. Tapi anehnya, hanya dia yang dibawa. Tidak ada pasangan lelakinya. Keadilan menjadi alat manipulasi, bukan kebenaran. Orang-orang Farisi datang bukan mencari kebenaran. Mereka datang untuk menjebak Yesus. Jika Yesus menghukum, kasih-Nya dipertanyakan. Jika membebaskan, Ia dianggap melawan hukum Musa. Sebuah dilema.

    Yesus tidak menjawab. Ia menunduk dan menulis di tanah. Ketika mereka mendesak, Yesus berdiri dan berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

    Sunyi. Batu-batu dijatuhkan. Dari yang tertua, satu per satu pergi. Tinggal Yesus dan perempuan itu.

    2. Allah Mengampuni, Bukan Menghakimi

    Yesus berdiri dan bertanya: “Di mana mereka? Tidak adakah yang menghukum engkau?” Perempuan itu menjawab: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu Yesus berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi.”

    Saudara-saudari, inilah wajah Allah kita. Bukan Allah yang mencatat dan menghitung dosa kita, tetapi Allah yang membuka lembaran baru. Yesus tidak membiarkan dosa, tapi mengampuni dan mengundang untuk bertobat.

    3. Kita Adalah Perempuan Itu – Dan Juga Farisi Itu

    Dalam hidup, kita pernah berdosa seperti perempuan itu. Kita pernah gagal. Kita pernah jatuh.

    Tapi sering pula, kita berdosa seperti orang Farisi: merasa lebih suci, cepat menghakimi, lambat mengampuni.

    Yesus hari ini berdiri di tengah kita dan berkata, “Kalau engkau tidak berdosa, silakan lempar batu pertama." Kita semua berdosa. Tapi kita semua juga dikasihi.

    4. Pengampunan Adalah Awal, Bukan Akhir

    Yesus tidak hanya menyelamatkan perempuan itu dari hukuman. Ia memberinya arah hidup baru. Kata-Nya, “Jangan berdosa lagi mulai sekarang.”

    Itu bukan perintah keras, tapi undangan penuh kasih, “Aku tahu engkau bisa berubah.” Inilah keadilan ilahi: bukan menghukum, tapi membangun kembali.

    5. Paulus: Dari Penganiaya Menjadi Pewarta Pengampunan

    Bacaan kedua dari surat Filipi memperkuat pesan ini. Paulus dulunya Farisi yang fanatik. Tapi setelah dijamah kasih Kristus, ia berubah. Ia menulis, “Yang lama kulupakan, dan aku berlari menuju yang di depan.” (Flp 3:13)

    Allah memanggil kita bukan karena kita pantas, tapi karena kasih-Nya tidak pernah menyerah.

    6. Tahun Yubileum Pengharapan: Saatnya Memulai Lagi

    Dalam Spes Non Confundit, Paus Fransiskus menulis, “Tuhan tidak bosan memberi kesempatan baru. Dialah Allah yang membukakan pintu.”

    Hari ini kita diundang menjadi seperti Kristus: Bukan melempar batu, tapi merangkul sesama. Bukan mengungkit luka lama, tapi memberi harapan baru. '

    Penutup: Jangan Takut Datang Kembali

    Saudara-saudari, Yesus tidak melihat siapa kamu kemarin. Ia melihat siapa kamu bisa jadi hari ini. Ia tidak tertarik menghukum. Ia ingin menyembuhkan. Maka datanglah kepada-Nya. Terimalah kasih yang mengampuni dan membebaskan. Dan jadilah pembawa harapan di tengah dunia yang penuh penghakiman. “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berdosa lagi.” Itulah sabda kasih. Itulah suara Allah. Dan itulah undangan bagi kita semua hari ini.

     Apakah aku bersedia mengampuni seperti Kristus mengampuni—tanpa mengungkit masa lalu, dan memberi harapan pada masa depan? Para saudara dan saudari, mari beri jawaban singkat pada kolom komentar! Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

     

    Bahan Pendalaman Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2025

    0
    Unduh Bahan Doa Lingkungan BKSN 2025 - Bahasa Indonesia & Daerah
    Unduh Bahan Pendalaman BKSN 2025 - SEKAMI, BIR & OMK
    Unduh Bahan Pendalaman BKSN 2025 - SD, SMP & SMA
    Unduh Bahan Pendalaman BKSN 2025 - Imam, Calon Imam, Biarawan/ti (THB)

    Saudara-saudari terkasih, kini kita tiba di bulan September yang didedikasikan oleh Gereja sebagai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Kiranya kita semua sudah mengerti alasan Gereja menetapkan bulan ini secara istimewa untuk memusatkan diri pada Kitab Suci.

    Kitab Suci merupakan sumber iman kita, selain Tradisi Suci dan Magisterium. ”Kitab Suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh Ilahi” (DV 9). Dapat dipahami mengapa Santo Hieronimus (342-420) mengatakan, “Orang yang tidak mengenal Kitab Suci tidak mengenal Kristus (Ignoratio Scripturarum ignoratio Christi est)”. Kitab Suci menjadi kompas bagi kita orang beriman bagaimana harus menjalani hidup seturut kehendak Allah.

    Perjalanan hidup kita tidak selalu mulus. Ada dinamika, pergulatan, tantangan, dan pengalaman jatuh-bangun, termasuk dalam hal iman. Perubahan zaman tak jarang semakin menjauhkan kita dari jati diri sebagai citra Allah sejak penciptaan. Hubungan dengan Allah, diri sendiri, dan sesama, baik di tengah keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat, kerap jauh dari kehendak yang Ilahi. Tidak sedikit orang kehilangan harapan akibat persoalan hidup yang dipicu oleh perang, perubahan iklim, keretakan psikologis, dan hubungan interpersonal yang buruk. Akan menjadi apakah manusia kelak?

    Di sinilah pentingnya pembaruan hidup sebagaimana sudah disuarakan oleh dua orang nabi yang berkarya pada zaman sesudah pembuangan, yaitu Zakharia dan Maleakhi. Mereka menyampaikan seruan tentang pembaruan hidup kepada orang-orang Yahudi, bangsa yang dipilih Allah menjadi umat-Nya. Sebagai bangsa pilihan, mereka diingatkan untuk hidup sesuai dengan jati diri mereka, dengan jalan menuruti Sabda Allah. Seruan kedua nabi inilah yang akan kita renungkan pada BKSN Tahun 2025 ini. Umat diajak merenungkan kehadiran Allah sebagai sumber pembaruan hidup.

    Seruan nabi ini akan kita padukan dengan Fokus Pastoral Keuskupan Agung Medan 2025, yaitu ”Umat Katolik yang Bermisi”. Perpaduan seruan kenabian dan fokus pastoral Gereja lokal menghasilkan tema besar BKSN 2025, yaitu “Umat Katolik yang Bermisi Menjadikan Allah Sumber Pembaruan Hidup”.

    Tema di atas akan didalami dalam empat pertemuan dengan subtema sebagai berikut:

    1. Umat Katolik yang Bermisi Membarui Relasi dengan Diri Sendiri (Za. 1:1-6)
    2. Umat Katolik yang Bermisi Membarui Relasi dengan Sesama (Za. 7:1-14)
    3. Umat Katolik yang Bermisi Membarui Relasi dalam Keluarga (Mal. 2:10-16)
    4. Umat Katolik yang Bermisi Membarui Relasi dengan Allah (Mal. 3:13-18)

    Semoga seluruh umat Allah di KAM semakin menyadari panggilannya sebagai misionaris seraya membarui relasi dengan diri sendiri, sesama, keluarga, dan Allah. Semoga kita berhasil.

    Salam Kami,
    Komisi Kerasulan Kitab Suci KAM

    Selamat Ulang Tahun ke-55 Mgr Kornelius Sipayung OFMCap

    0

    Selamat ulang tahun yang ke-55, Yang Mulia Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap.

    Semoga Tuhan senantiasa memberikan kebijaksanaan, sukacita, kesehatan dan umur panjang kepada Bapa Uskup dalam menggembalakan umat di Keuskupan Agung Medan

    Selamat Jalan Fr. Martinus Bogor Lumbanraja CMM

    0

    Dengan hati yang diliputi duka, kami menyampaikan turut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya atas berpulangnya ke rumah Bapa di surga Fr. Martinus Bogor Lumbanraja, CMM pada usia 58 tahun.

    Kami percaya bahwa Allah yang penuh kasih telah memanggil beliau untuk beristirahat dalam damai dan sukacita kekal bersama para kudus di surga. Segala karya pelayanan, ketulusan hati, dan pengabdian beliau sebagai imam tetap menjadi kenangan indah sekaligus teladan iman bagi kami semua.

    Semoga keluarga besar, para sahabat, dan komunitas CMM diberi kekuatan, penghiburan, dan pengharapan oleh Roh Kudus. Dalam iman akan Kristus yang bangkit, kami yakin bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan pintu menuju hidup yang kekal.

    “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”
    Filipi 1:21

    Selamat jalan, Frater Martinus yang terkasih. Doa dan karya pelayananmu akan selalu dikenang.

    Warta Kuria KAM (Juni-Juli 2025)

    0
    20 Juni 2025
    Perayaan ulang tahun Kodam I Bukit Barisan pada 20 Juni 2025 dihadiri oleh RD. Jameslim Damanik, Vikaris Parokial Katedral Medan, mewakili Bapa Uskup, Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap. Keuskupan Agung Medan tampak akrab duduk bersama semua tokoh agama dan Masyarakat beserta undangan lain seperti para pejabat TNI/Polri, Bupati, Walikota Medan, para pejabat BUMN dan Swasta. Acara hiburan yang diisi oleh musik band dan artis lokal menyemarakkan pesta tersebut. Secara serempak, pada waktu yang sama, Kaum Muslim mengadakan shalat di masjid, sementara tamu yang beragama Kristen dan Katolik mengadakan ibadat ekumene di Gereja Kodam I. Setelah penayangan sejarah terbentuknya Kodam I BB dan profil para panglima daerah militer, acara dilanjutkan dengan pemotongan kue ulang tahun dan makan siang bersama. Semoga Keuskupan tetap bersinodalitas dengan Kodam I Bukit Barisan mengusahakan kesejahteraan masyarakat
    23 Juni 2025

    Komunitas Kasih Tuhan (KKT) Keuskupan Agung Medan merayakan pesta pelindung Santo Giuseppe Cavasso dalam perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Bapa Uskup Agung Medan, pada 23 Juni 2025 di salah satu rumah anggota KKT. Dalam homilinya, Bapa Uskup menggarisbawahi relevansi komunitas ini.

    Komunitas Kasih Tuhan menjadi wajah Injil yang hidup, injil yang tidak hanya diwartakan dengan kata-kata di mimbar, tetapi injil yang dihadirkan dengan kehadiran nyata, tulus dan pengorbanan nyata di tengah-tengah saudara-saudari kita yang ada di lembaga pemasyarakatan. Gereja sungguh bersyukur atas pelayanan Komunitas Kasih Tuhan yang merawat yang rapuh. Hati yang rapuh itu ada dalam diri saudara-saudari kita yang berada di lembaga pemasyarakatan. Komunitas Kasih Tuhan mengangkat yang jatuh. Mereka yang di dalam lembaga pemasyarakatan itu menganggap diri berada pada tatanan yang lebih rendah karena jatuh dan KKT ini memulihkan martabat anak-anak Allah yang sering kali tersingkir." Komunitas Kasih Tuhan adalah Pelayan Belas Kasih yang tidak menghakimi, tetapi memeluk dan membangun sebagai wujud pewartaan injil.

    24 - 27 Juni 2025

    Tribunal Keuskupan Agung Medan menyelenggarakan diklat tribunal se-regio Sumatera pada 24–27 Juni 2025 di CC PPU Pematangsiantar. Diklat ini diselenggarakan untuk membekali para parokus, vikaris parokial dan pelayan pastoral dengan pemahaman hukum kanonik yang lebih humanis. Kegiatan pembinaan lanjut yang diikuti oleh utusan keuskupan-keuskupan se-regio Sumatera, para imam dan frater ini menegaskan pentingnya pelayanan pastoral yang berbasis pada belas kasih dan komitmen untuk keselamatan jiwa. Melalui homilinya dalam perayaan Ekaristi penutupan diklat, Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap., menganimasi para peserta untuk merenungkan inti pelayanan pastoral Kanonis.

    “Sebagai tim kanonis, kita melayani bukan teks, tetapi kita melayani jiwa. Kita menafsir bukan semata kalimat hukum, tetapi roh dan maksud dari hukum itu sendiri. Maka kerja kita adalah kerja kebapaan, kerja pastoral, kerja pembimbingan, kerja menuntun dan mencari, bukan hanya menegakkan, bukan polisi, bukan hakim kendatipun dalam tribunal ada hakimnya. Gereja hari ini mengajak kita semua, terutama para pelayan hukum di keuskupan untuk meneladani hati Yesus yang hidup, hati Yesus yang terbuka, hati Yesus yang tetap mengasihi. Dalam menangani kasus bukan dengan ketegangan, tetapi dengan belas kasih yang teratur. Kita membuat keputusan bukan karena teks, tetapi karena kerinduan akan keselamatan jiwa-jiwa. Kita menafsir hukum bukan sebagai benteng, tetapi sebagai jembatan menuju rumah Bapa". Selamat melayani.

    27 - 28 Juni 2025

    Rapat Anggota Tahunan Koperasi Konsumen Sekunder Kristoforus Komisi PSE KAM yang berlangsung pada 27–28 Juni 2025 di gedung Catholic Center dihadiri oleh perwakilan pengurus CU dari berbagai paroki. Kegiatan evaluative ini menjadi momen untuk merefleksikan sisi pastoral dan Rohani dari usaha ekonomis. Esensi dari Koperasi Konsumen Sekunder Kristoforus KAM digariskan dengan jelas oleh Bapa Uskup dalam homilinya pada Ekaristi penutupan rapat.

    Koperasi itu sebenarnya wadah sabda Allah, sebuah komunitas nilai. Koperasi Kristen tidak boleh hanya menjadi koperasi uang, tempat uang dikumpulkan, didistribusikan, tetapi harus menjadi koperasi kasih. Maka koperasi Kristen harus meniru hati Maria, menyimpan nilai-nilai Injil dalam struktur, mengambil keputusan berdasarkan Sabda Allah dan pengelolaan harian seturut nilai-nilai solidaritas, transparansi, keadilan sosial dan kepedulian." Koperasi sebagai sarana pengelolaan ekonomi berusaha memperkuat nilai-nilai solidaritas, transparansi, keadilan sosial dan kepedulian.

    30 Juni 2025

    Dalam rangka Peringatan HUT Bhayangkara ke-79 tahun 2025, Polrestabes Medan menggelar kegiatan Doa Bersama Lintas Agama pada 30 Juni 2025 di Gedung Aula Patriatama Polresta Medan Jl. H. Said 1 Medan. Mewakili Keuskupan Agung Medan hadir Kanselarius KAM, RP. Adrianus Sembiring OFMCap. Kegiatan ini diawali dengan mengikuti secara online doa bersama lintas agama yang diselenggarakan di Mabes Polri Jakarta. Ustad Adi Hidayat tampil sebagai penceramah kebangsaan yang dengan cara sederhana menginspirasi keluarga Bahayangkara untuk belajar dari peristiwa Hijrah nabi Muhammad dari Makkah ke kota Yatsrib.

    Sang utusan Allah ini berhasil menciptakan kedamaian dan persaudaraan di antara masyarakat yang beraneka ragam suku dan bangsanya. Polri ditantang untuk semakin mampu menegakkan keadilan di tengah masyarakat berdasarkan spirit persaudaraan. Sekaligus mereka diajak merawat kebhinekaan demi persatuan yang diikat oleh semangat damai. Menutup rangkaian acara ini, para perwakilan denominasi memanjatkan doa menurut kepercayaannya masing-masing memohonkan berkat bagi keluarga Bhayangkara yang merayakan hari jadinya yang ke-79. Semoga tema, ‘POLRI untuk Masyarakat’ yang membingkai acara rohani ini membuat POLRI semakin jaya untuk melayani masyarakat.

    01 Juli 2025

    Para pengurus BERBAKTI KAM yang telah dibentuk pada 7 Mei 2025 mengadakan rapat perdana di ruang DEPKAM, lt. 3 gedung Catholic Center Medan pada 1 Juli 2025. BERBAKTI KAM adalah Lembaga Penerima Sumbangan Keagamaan Katolik (LPSK) yang sah untuk menghimpun dan mengelola sumbangan umat Katolik. Para wajib pajak, khususnya para pengusaha yang memiliki keuntungan yang tidak kecil jumlahnya diundang untuk berpartisipasi dalam karya pastoral karitatif dengan memberikan sumbangan. Sumbangan ini sama sekali tidak tidak mengurangi keuntungan mereka, sebaliknya dapat menjadi faktor pengurang jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah. Sekarang Berbakti sedang mengurus akta notaris untuk Anggaran Dasar yang akan diajukan kepada Dirjen Bimas Katolik untuk mendapatkan SK pendirian resmi dari pemerintah.

    03 Juli 2025

    Di tengah zaman yang berubah dengan cepat, Gereja dipanggil untuk memperkuat peran katekis purna waktu sebagai mitra strategis dalam karya penginjilan. Tanggap akan kemendesakan kebutuhan ini, Bapa Uskup meminta ketua komisi kateketik untuk mengorganisir sebuah pertemuan yang terdiri dari parokus, vikjen, vikep territorial dan vikaris pastoral untuk membahas kehadiran dan peran katekis purna waktu yang sudah berkarya di beberapa paroki. Pertemuan yang juga dihadiri oleh Bapa Uskup tersebut diadakan di lt. 8 gedung Catholic Center Christosophia Medan pada 3 Juli 2025.

    Pentingnya katekis profesional yang bukan sekedar relawan, melainkan pelayan berdedikasi ditegaskan dalam pertemuan ini. Berdasarkan semangat Antiquum Ministerium dan Direktori Kateketik Umum, kegiatan ini berusaha menyelaraskan pemahaman tentang peran katekis dalam membangun ekosistem pewartaan yang hidup dan dinamis. Katekis, sebagai jembatan antara sabda Allah dan hidup umat, perlu mendapat tempat yang layak dalam struktur pastoral dengan imbalan gaji yang standar. Katekis purna waktu perlu ditraining setiap bulan untuk menjadi trainer di paroki dan stasi.

    04 Juli 2025
    Pada 4 Juli 2025 Bapa Uskup memimpin perayaan Ekaristi pembukaan pertemuan Komisi Keluarga se-regio Sumatera di kapel santa Faustina, lantai 2 Catholic Center Medan. Dalam homilinya, Uskup menegaskan pentingnya pastoral keluarga sebagai pusat kehidupan Gereja. perlu diingatkan bahwa Gereja hadir bukan untuk menghakimi keluarga yang rapuh, melainkan bersama-sama membangun rumah-rumah iman yang kokoh. "Kita adalah arsitek rohani, yang merancang dan menata keluarga sebagai fondasi hidup beriman." Pertemuan ini diharapkan menjadi wadah saling meneguhkan dan menopang dalam karya kerasulan keluarga. Komisi Keluarga bekerja untuk membantu umat tidak hanya berseru kepada Tuhan, tetapi juga mewujudkan kehendak-Nya dengan membangun rumah tangga di atas batu sabda dan kasih Kristus.
    06 Juli 2025
    Pada 6 Juli 2025, umat Paroki Santo Konrad Parzam Lintongnihuta bersukacita dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. Kornelius untuk memberkati gedung pastoran dan aula yang telah lama dinantikan. Gedung ini menjadi pusat kegiatan pastoral paroki. Dalam homilinya, Bapa Uskup menegaskan gedung ini sebagai tempat perjumpaan dengan Kristus melalui dialog, rapat, dan berbagai kegiatan sinodal yang diselenggarakan di dalamnya untuk memperteguh iman dan mempererat kebersamaan umat. “Gedung pastoral ini adalah titik awal pengutusan kita ke tengah keluarga masing-masing untuk mempersiapkan hati umat menyambut kedatangan Tuhan. Tugas kita adalah membimbing agar setiap orang siap menerima kunjungan Tuhan dengan penuh sukacita.” Pesan penting ini menggarisbawahi makna pemberkatan ini sebagai tonggak penting dalam membangun kehidupan iman di Paroki Santo Konrad yang lebih teguh dan sinodal.
    07-09 Juli 2025
    Tanggal 7-9 Juli 2025 Bapa Uskup bersama anggota Dewan Presbiteral Keuskupan Agung Medan KAM mengadakan Sidang di ruang DEPKAM, lantai 3 Gedung Catholic Center Christosophia Medan. Sebagai dapur dan mesin pastoral, Sidang DEPKAM diadakan tiga kali dalam setahun untuk membahas, merumuskan dan memutuskan kegiatan-kegiatan yang akan diadakan di Keuskupan Agung Medan. Sidang kali ini membahas sejumlah poin penting, antara lain: persiapan Sinode Diosesan VII KAM, evaluasi kegiatan Yubileum Gereja 2025 di wilayah KAM, progress pekerjaan Tim TPP KAM, Pastoral Migran dan Perantau, Tim Optimasi Bina Iman Anak dan Remaja, Tim Kaderisasi Awam dan beberapa hal lain yang perlu dievaluasi dan dirumuskan tindak lanjutnya. Sidang ini menghasilkan beberapa Keputusan yang perlu ditindaklanjuti bersama oleh Kuria, Komisi-komisi dan Paroki.
    08 Juli 2025

    Keuskupan Agung Medan hadir secara online melalui platform Zoom Meeting dalam kegiatan The 1st International Conference on Geotourism Destination: Toba Caldera UNESCO Global Geopark 2025, dengan tema, “Innovation and Strengthening of Geopark as Sustainability Tourism” pada 8 Juli 2025, diwakili oleh RP. Stefanus Sitohang, OFMCap., Ketua Komisi PSE KAM.

    Konferensi Internasional ini diselenggarakan oleh Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp) sebagai bagian dari upaya strategis penguatan posisi Toba Caldera dalam jaringan Geopark global serta perwujudan pembangunan pariwisata yang adil, lestari dan berpihak kepada masyarakat. Kegiatan ilmiah ini menghadirkan narasumber internasional, antara lain Dr. Soojae Lee, Ph.D, dari Korea Selatan yang membagikan pengalaman sukses dari Jeju Island UNESCO Global Geopark, yang telah menjadi salah satu contoh terbaik dalam integrasi konservasi geologi dan ekonomi kreatif; Miss Nordiana Nordin dari Malaysia yang mempresentasikan keberhasilan Langkawi dalam mempertahankan status Geopark global selama lebih dari satu dekade. Menurutnya, pendekatan “local-driven conservation” menjadi faktor kunci keberlanjutan Geopark.

    Meneguhkan paparan kedua narasumber ini, Dr. Dewarman Sitompul, M.Sc, seorang akademisi dan praktisi geowisata nasional, menekankan perlunya pendekatan interdisipliner: antara geologi, antropologi, dan komunikasi publik. Turut tampil sebagai narasumber dalam konferensi ini Dr. Azizul Kholis, SE, M.Si, MPd, CMA, CSRS – General Manager TCUGGp, Drs. Wilmar Eliaser Simanjorang, Dipl.Ec., M.Si dan Angsoka Y. Paundralingga, Ph.D. Sependapat dengan para narasumber ini, Keuskupan Agung Medan mendukung gagasan bahwa pengelolaan Geopark harus dilakukan secara lintas sektor, interdisipliner dan inklusif. Geopark bukan sekadar status, melainkan komitmen kolektif dalam merawat warisan bumi untuk generasi mendatang.

    10 Juli 2025

    Pada 10 Juli 2025 Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap menahbiskan 7 orang saudara Kapusin Provinsi Medan dan 6 orang seminaris Keuskupan Agung Medan menjadi Diakon di Stasi Sukadono, Paroki Padre Pio-Helvetia. Perayaan Ekaristi Tahbisan yang berlangsung penuh hikmat ini menjadi momen yang sangat tepat bagi Bapa Uskup untuk menggarisbawahi pelayanan yang akan dijalankan oleh para Diakon yang dipilih dari tengah-tengah umat.

    Mengacu pada kisah penahbisan 7 orang diakon dalam Kisah Para Rasul dan hamba yang setia dari Injil Matius, Mgr. Kornelius OFMCap., menganimasi para calon diakon sebagai pelayan altar. Seorang Diakon bertugas membawa altar ke tengah-tengah dunia dan membawa dunia ke altar. Seorang Diakon menjadi pelayan dan hamba yang setiap saat siap menantikan tuannya pulang. Kesiapsiagaan seorang Diakon ditunjukkan dalam kecintaannya pada doa yang semakin mendalam yang menyalakan semangat dan membukakan hati pada tuntunan Roh Kudus. Hadir sebagai pembawa harapan kepada kaum lemah dan terpinggirkan, para Diakon menjadi saksi kasih yang hidup dan perduli akan penderitaan dan kebutuhan umat, sebagaimana diajarkan oleh Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium. Selamat melayani!

    11 Juli 2025

    Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mengadakan silaturahmi dengan tokoh lintas agama Sumut sebagai wujud sinergi bangun bangsa pada 11 Juli 2025, dalam rangka kunjungan kerja ke wilayah Sumatera Utara. Kegiatan ini merupakan agenda lanjutan dari kegiatan groundbreaking dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tingkat Polda dan Polres. Silaturahmi ini berlangsung di Pondok Pesantren Al Kautsar Al Akbar Medan. Turut mendampingi Kapolri: Irwasum Polri Komjen Dedi Prasetyo, AS SDM Kapolri Irjen Anwar, Kadivpropam Polri Irjen Sandi Nugroho, Kapolda Sumut Irjen Whisnu Hermawan, serta Wakasatgas MBG Polri Irjen Nurworo Danang.

    Suasana hangat dan kebersamaan antara Kapolri dengan para tokoh lintas agama dan masyarakat terjalin di lokasi Pesantren. Tokoh agama dan masyarakat yang hadir dalam kegiatan ini antara lain, Syech K.H Ali Akbar Marbun, Pendiri Ponpes Al Kautsar Al Akbar Medan dan Tuan Guru Besilam Syech DR. Zikmal Fuad. Hadir pula Indra Wahidin sebagai Ketua Walubi Sumut, Pdt. Bambang Jonan dari Rumah Persembahan GBI, Hasoloan Simanjuntak sebagai Ketua LDII Sumut dan RD. Parulian Sihombing mewakili Uskup Keuskupan Agung Medan.

    12 Juli 2025

    Pada 12 Juli 2025, di Gereja stasi Sukadono, Paroki Padre Pio, Helvetia, Bapa Uskup memimpin perayaan Syukur 140 tahun kehadiran dan pelayanan Kongregasi SCMM di Indonesia sejak tahun 1885. Patut disyukuri dalam peziarahan hidup pelayanan rohani Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih dari Maria Bunda yang Berbelaskasih (SCMM) ialah kesetiaan Allah untuk menyatakan cintanya kepada para suster baik secara pribadi maupun sebagai kongregasi. Empat belas dekade telah berlalu, namun api cinta mereka tetap menyala menjadi penuntun, peneduh dan penghidup harapan yang tak mengecewakan.

    Bapa Uskup, dalam homilinya, menegaskan bahwa perayaan ini bukan sekadar kenangan akan peristiwa kronologis, melainkan syukur atas memoria kasih Allah bagi manusia sepanjang sejarah keselamatan. Memoria ini menjadi penggerak utama para suster SCMM untuk mewujudkan kasih Allah melalui pelayanan pastoral di sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan berbagai karya kemanusiaan lainnya. Dalam kelemahan dan kerapuhan manusiawi, kuasa kasih Allah semakin nyata membuat hidup selalu berbuah. Bukan sukses karya yang terutama menjadi alasan untuk bersyukur, melainkan tumbuhnya Kerajaan Allah yang paling nyata kelihatan dalam sinodalitas para suster, terutama dalam doa bersama. Semoga para suster SCMM semakin berbuah.

    14 Juli 2025

    Bertempat di Hotel Sere Nauli Laguboti, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menginisiasi pertemuan pimpinan Gereja dan Lembaga Kristiani se-Sumatera Utara dengan tema: “Merawat Alam, Meneguhkan Komitmen Iman Gereja terhadap Krisis Ekologis Danau Toba”, pada 14 Juli 2025. Komitmen gereja dalam perjuangan keadilan ekologis dibangun dan diteguhkan berdasarkan hasil riset tentang Kerusakan Lingkungan di Kawasan Danau Toba yang diselenggarakan pada 18–19 Maret 2025 lalu di Parapat. Pemaparan hasil riset ini dihadiri oleh kurang lebih 100 peserta yang mewakili berbagai sinode gereja, lembaga keumatan, organisasi pemerhati lingkungan serta institusi pendidikan dan advokasi publik.

    Kehadiran para pimpinan dari berbagai denominasi mencerminkan semangat ekumenis untuk bersatu dalam satu suara dan langkah menghadapi krisis ekologis. Partisipasi aktif Keuskupan Agung Medan ditunjukkan oleh kehadiran aktif Yayasan Caritas KAM, yang diwakili oleh Sagrina Bangun selaku penanggung jawab Program Ketahanan Masyarakat: Lingkungan dan Sosial-Ekologis. Gereja Katolik selalu proaktif dalam membangun solidaritas lintas denominasi demi merawat bumi dan membela hak masyarakat terdampak. Semangat Laudato Si’ dari Paus Fransiskus, menegaskan bahwa “setiap komunitas iman memiliki tanggung jawab untuk merawat rumah bersama ini dan menjadi suara kenabian bagi ciptaan yang terluka.”

    Pada kesempatan ini diluncurkan buku, Jeritan Bona Pasogit Kompilasi Data dan Temuan Penelitian: Kerusakan Ekologi di sekitar Kawasan Danau Toba. Berdasarkan hasil riset yang telah dirilis para pemimpin gereja menyepakati Pernyataan Sikap Bersama Gereja-Gereja Sumatera Utara yang menolak eksploitasi ekologis dan mendukung gerakan pelestarian Danau Toba sebagai komitmen gereja-gereja dalam merawat ciptaan dan berpihak kepada korban ketidakadilan ekologis. Bersama semua yang berkemaun baik kita menyerukan suara profetis gereja dan bertindak tanpa kekerasan.

    Sampai jumpa dalam aktualita KAM selanjutnya.

    RP. Adrianus Sembiring OFMCap
    Kanselarius Keuskupan Agung Medan

    Selamat Jalan Sr. M. Mauricia Sihotang KYM

    0

    Dengan hati yang penuh duka, kami menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya Sr. M. Mauricia Sihotang KYM.

    Kehidupan beliau adalah cerminan kasih, kesetiaan, dan pengabdian yang tulus kepada Tuhan dan sesama. Doa-doanya, pelayanannya yang penuh cinta, serta teladan hidup imannya akan selalu dikenang dengan penuh rasa syukur.

    Semoga Allah yang Maharahim menerima beliau dalam damai dan kemuliaan abadi di surga. Terima kasih Suster, atas segala kebaikan dan keteladanan yang telah Suster wariskan.

    Tata Ibadat Pekan Laudato Si’ 2025 & Perayaan Hari Ekologis (25-30 Agustus)

    0
    Download Surat Pekan Laudato Si' dan Hari Ekologis KAM 2025
    Download Renungan Pekan Laudato Si' (25-29 Agustus 2025)
    Download Tata Ibadat Hari Ekologis 30 Agustus 2025 (Bahasa Indonesia & Daerah)

    Komisi PSE Keuskupan Agung Medan menginformasikan kepada para pastor Vikep, pastor paroki, DPPH Paroki dan Seksi PSE bahwa kegiatan Pekan Laudato Si’ dan Hari Ekologis 2025 akan kita laksanakan di Keuskupan Agung Medan.
    Adapun kegiatan bersama yang akan dilakukan adalah:

    1. Pekan Laudato Si’ dilakukan mulai tanggal 25-29 Agustus 2025. Komisi PSE KAM telah menyiapkan Buku Doa yang akan digunakan selama Pekan Laudato Si’.

    2. Hari Ekologis 2025 dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2025. Tema Hari Ekologis KAM 2025 adalah “Bermisi Membangun Pertobatan Ekologis”. Hari Ekologis tahun ini merupakan Hari Ekologis yang ke XIII di Keuskupan Agung Medan dan mengadakannya pada hari/tanggal: Sabtu, 30 Agustus 2025. Kami berharap agar Hari Ekologis ini merupakan suatu kegiatan bersama yang dilakukan seluruh umat yang ada di wilayah Keuskupan Agung Medan, dan bukan hanya sebagian kelompok-kelompok saja. Kegiatan aksi nyata yang dapat dilakukan seperti: penanaman bibit pohon bersama umat dan Orang Muda Katolik (OMK), membersihkan sungai/jalan umum, membersihkan dan menanam di pekarangan gereja/rumah (tanaman obat, sayur dan bunga), mengurangi penggunaan plastik sekali pakai (bawa tumbler, godyback/tas kain), mengadakan aksi bersih-bersih di lingkungan sekitar gereja, membuat kompos dari sampah rumah tangga dan mengadakan pelatihan pembuatan eco-enzyme.

    3. Komisi PSE KAM telah menyiapkan buku tata ibadat ekologis sebagai bahan refleksi dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Toba, Simalungun, Karo dan Pakpak. Buku tata ibadat tersebut akan dipakai pada hari/tanggal: Sabtu, 30 Agustus 2025 di tempat kita masing-masing. Buku ini disiapkan dalam jumlah cetakan yang terbatas sehingga, apabila Paroki/Stasi dan Lingkungan yang ingin memerlukan buku dengan jumlah yang banyak silahkan menggandakannya. Kami berharap bahwa setiap Paroki dapat memanfaatkannya secara maksimal dan membagikannya dalam bentuk digital kepada yang lain.

    Demikian surat ini kami sampaikan, semoga dengan terlaksananya kegiatan ini kita semakin mencintai dan menjaga bumi sebagai karunia Allah, menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan bersatu dalam pelayanan kita di Keuskupan Agung Medan.
    Atas kerjasama yang baik dan kemurahan para Vikep, Pastor Paroki, Bapak dan Ibu, kami mengucapkan terima kasih. Tuhan Yesus Memberkati.

    RP. Stefanus Sitohang, OFMCap
    Komisi PSE KAM

    Hari Kakek Nenek dan Lanjut Usia Sedunia – 27 Juli 2025

    0

    HARI KAKEK NENEK DAN LANJUT USIA SE-DUNIA V

    Dengan sukacita besar, kami menyiapkan perayaan Hari Kakek-Nenek dan Lanjut Usia se Dunia ke-V, sebuah acara yang, tahun demi tahun, semakin masuk dalam kehidupan pastoral komunitas kita. Edisi kelima ini menjadi pencapaian berarti, tanda dari meningkatnya kesadaran akan nilai para lanjut usia dalam Gereja dan masyarakat.

    Tema yang dipilih tahun ini, yang dipilih oleh Paus Fransiskus, "Berbahagialah yang tidak kehilangan harapannya" (lih. Sir 14,2), masuk dalam konteks Tahun Yubileum Pengharapan dan mengajak kita untuk melihat dalam diri orang tua bahwa mereka tidak hanya menjadi penerima perhatian pastoral, tetapi juga menjadi saksi harapan dan tokoh aktif dalam kehidupan menggereja. Pengalaman hidup dan iman mereka adalah harta berharga, mampu memperkaya generasi baru dan memperkuat jaringan komunitas.

    Hari Kakek dan Nenek dan Lanjut Usia se-Dunia, yang ditetapkan pada tahun 2021, semakin menguat menjadi tradisi yang mendidik komunitas untuk terus menempatkan orang tua sebagai pusat perhatian, bukan dengan cara yang luar biasa atau terjadi sesekali, tetapi dengan cara yang biasa dan terstruktur. Peringatan ini menjadi pedagogi yang mengajar kita tentang bagaimana mengakui peran mereka yang tak tergantikan sebagai penjaga ingatan, saksi iman, dan guru kehidupan.

    Tahun ini,dalam rangka Yubileum Pengharapan,kami ingin menekankan satu aspek khusus: belas kasih tanpa batas dari Bapa harus dialami oleh semua orang, termasuk mereka yang, karena alasan kesehatan atau usia, tidak dapat melakukan ziarah secara fisik. Untuk ini, di dalam petunjuk pastoral, anda akan menemukan tawaran sederhana bagi perayaan yubileum yang dapat dilakukan sesuai dengan struktur tempat tinggal para lanjut usia . Ritus ini akan memungkinkan mereka untuk mendapatkan Indulgensi Yubileum, bersatu secara rohani dengan Gereja universal dan mempersembahkan penderitaan serta doa mereka.

    Kami yakin bahwa peringatan ini akan menjadi kesempatan untuk memperbarui dialog antar generasi, memperkuat ikatan solidaritas, dan untuk memberikan kesaksian bahwa Gereja adalah rumah yang ramah bagi semua orang, khususnya bagi mereka yang paling rentan.

    Menyadari aneka inisiatif yang telah diambil pada peringatan-peringatan sebelumnya dan yang, kami harap, juga akan menandai Peringatan yang kelima ini, kami menyediakan logo yang dapat digunakan secara bebas untuk kepentingan paroki dan keuskupan.

    Untuk tujuan tersebut dan demi menyebarkan lebih banyak informasi tentang apa yang akan diselenggarakan bagi acara ini, kami meminta anda untuk mengirimkan informasi tentang berbagai inisiatif yang diambil melalui email [email protected] atau saluran sosial kami melalui tagar #NonnieAnziani.

    Kard. Kevin Farrell,
    Prefetto Dikateri Untuk Awam, Keluarga, dan Kehidupan

    + Dario Gervasi,
    Sekretaris Dikateri Untuk Awam, Keluarga, dan Kehidupan

    DOA HARI KAKEK NENEK DAN LANJUT USIA SE-DUNIA V

    Berbahagialah orang yang tidak kehilangan harapannya.
    bdk, Sir 14:2

    Betapa indahnya sabda-Mu ini, Tuhan! 
    Bantulah kami untuk melanjutkan perjalanan waktu kami ini, 
    didorong oleh harapan yang datang dari-Mu!
    Bantulah kami di dunia ini, yang semakin terpecah,
    untuk membawa harapan akan persekutuan.
    Bantulah kami di dunia ini, yang terluka oleh perang,
    untuk membawa harapan akan perdamaian.
    Bantulah kami di dunia ini, yang semakin tidak manusiawi,
    untuk membawa keindahan senyuman lama.
    Bantulah kami untuk menjadi kenangan kasih sayang-Mu bagi cucu-cucu kami,
    bagi orang-orang terkasih kami dan bagi semua orang yang kami jumpai.
    Bantulah kami untuk membawa kepada dunia yang teralih perhatian dari-Mu,
    harapan hidup baru yang hanya dapat Engkau berikan! 
    Karena di dalam-Mu, Tuhan, tidak ada yang hilang 
    Karena di dalam-Mu , Tuhan, segala sesuatu dimulai lagi!
    Amin.

    AJURAN PASTORAL

    Kami menganjurkan agar perayaan Hari Kakek Nenek dan Lanjut Usia ini – sebagaimana biasa – dilakukan dengan dua tindakan dasar :

    1. Perayaan Liturgi Ekaristi yang dibaktikan untuk lanjut usia
    2. Kunjungan kepada lanjut usia yang sendirian di komunitas masing-masing.

    Dalam kesempatan Yubileum Pengharapan ini, kami menganjurkan keterlibatan komunitas paroki untuk memfasilitasi peran serta semua lanjut usia – termasuk mereka yang jarang keluar rumah – dalam ziarah Yubileum. Bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi secara fisik, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam aturan pemberian Indulgensi Yubileum, kami menganjurkan untuk mengadakan perayaan Yubileum di tempat tinggal mereka.

    Download Petunjuk Pastoral Hari Kakek Nenek dan Lanjut Usia Sedunia 2025 : disini

    Daftar Isi Petunjuk Pastoral :

     

    • KUNJUNGAN KEPADA PARA LANJUT USIA YANG TINGGAL SENDIRIAN
    • PERSIAPAN HARI PERAYAAN BERSAMA DENGAN LANJUT USIA 
    • PERSIAPAN PERINGATAN BERSAMA DENGAN ORANG MUDA
    • PANDUAN LITURGIS
    • USULAN UNTUK DOA UMAT
    • PERAYAAN YUBILEUM BAGI PARA LANJUT USIA YANG MENGALAMI KETERBATASAN FISIK, YANG TIDAK DAPAT MENGIKUTI ZIARAH
    • PERSIAPAN PERINGATAN BERSAMA DENGAN ORANG MUDA

    Sumber : Komisi Keluarga KWI

     

    Lomba HPS Tingkat SMP Tahun 2025

    Download Ketentuan Lomba & Partitur Lagu Vocal Grup

    Kepada Yth. 
    Kepala Sekolah SMP Katolik se-KAM

    Dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia Tahun 2025, dengan mengusung tema: “Bermisi Menyemai Keadilan Pangan, Menuai Harapan yang Berkelanjutan” Komisi PSE KAM akan menyelenggarakan kegiatan perlombaan tingkat sekolah dan OMK Paroki se-KAM, sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran dan komitmen bersama terhadap isu keadilan pangan dan keberlanjutan. Perlombaan ini akan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai jenjang pendidikan: TK, SD, SMP, SMA/Sederajat, serta OMK Paroki se-KAM.

    Dengan ini, kami mengundang Sekolah Menengah Pertama (SMP) Katolik se-KAM untuk turut ambil bagian dan mendukung suksesnya kegiatan perlombaan ini. Partisipasi anak-anak SMP adalah bentuk nyata dari pelayanan kasih dan kepedulian terhadap sesama dan bumi ciptaan Tuhan.

    Bentuk kegiatan perlombaan untuk tingkat SMP adalah Lomba Pidato Bahasa Indonesia (satu orang peserta dari setiap sekolah) dan Lomba Vocal Group (1 kontingen maksimal 12 orang peserta, sudah termasuk penyanyi dan pemain musik).

    1. Lomba Pidato Bahasa Indonesia dan Vocal Group dilaksanakan secara online dan offline. Pada babak online, dewan juri akan memilih 10 orang peserta terbaik. Pengumuman 10 peserta terbaik dilaksanakan pada tanggal 11 Oktober 2025 di kanal youtube. 
    2. Pada babak offline, 10 peserta terbaik akan berkompetisi kembali untuk memperebutkan Juara 1, 2, 3; Harapan 1, 2, 3; serta Penghargaan 1, 2, 3, 4. 
    3. Pelaksanaan babak offline: hari Sabtu, 25 Oktober 2025 di Kompleks Sekolah Bintang Timur Balige, Yayasan Don Bosco Manado, Jl. Pastor Sybrandus Van Rossum, Sangkar Nihuta, Kec. Balige, Kab. Toba. 
    4. Pengumuman para pemenang dan pembagian hadiah akan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 26 Oktober 2025 (setelah seluruh rangkaian kegiatan perlombaan selesai) di Kompleks Sekolah Bintang Timur Balige Yayasan Don Bosco Manado Jl. Pastor Sybrandus Van Rossum, Sangkar Nihuta, Kec. Balige, Kab. Toba
    5. Informasi dan ketentuan lebih lanjut, dapat dilihat dalam lampiran 1 dan 2: Ketentuan Lomba Pidato Bahasa Indonesia dan Vocal Group.

    Demikian surat undangan ini kami sampaikan. Besar harapan kami Sekolah SMP Katolik se-KAM ikut ambil bagian dalam kegiatan perlombaan HPS KAM Tingkat Sekolah dan OMK Tahun 2025 ini. Terima kasih. Tuhan Yesus Memberkati.

    Hormat kami, RP. Stefanus Sitohang OFMCap
    Komisi PSE KAM

     

    Selamat Jalan Sr. Rafael Simangunsong KSSY

    0

    Salam damai dalam Kristus,

    Dengan hati penuh duka namun diliputi oleh pengharapan akan kebangkitan, kami menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya seorang pribadi yang sangat dikasihi dalam karya pelayanan Gereja,
    Sr. Rafael Simangunsong KSSY.

    Belaiau telah mengabdikan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan dalam semangat hidup bakti dan pelayanan yang setia di tengah umat. Dengan rendah hati dan cinta kasih, beliau menjadi saksi Injil melalui doa, karya, dan pengorbanan tanpa pamrih.

    Seperti tertulis dalam Kitab Suci:

    "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman."
    (2 Timotius 4:7)

    Kini, kita percaya bahwa beliau telah kembali ke rumah Bapa, untuk menerima mahkota kehidupan kekal yang telah dijanjikan kepada setiap hamba yang setia.

    Semoga teladan hidup almarhum menjadi benih panggilan baru dan sumber kekuatan bagi Kongregasi KSSY dan seluruh umat Allah.

    Kepada keluarga besar Kongregasi Suster Santu Yosef (KSSY), kami menyampaikan penghiburan iman dan doa-doa. Kita bersatu dalam harapan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari hidup kekal bersama Kristus.

    Terima kasih, Sr. Rafael Simangunsong.

    Istirahatlah dalam damai Tuhan, Sang Mempelai Ilahi.