Hari Raya Tritunggal Mahakudus & Penutupan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2025 - 15 Juni 2025
Bacaan I :
Bacaan II :
Bacaan Injil :
"Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada dalam hatimu" (1Ptr 3:15)
Hari ini kita merayakan dua momen penting: Hari Raya Tritunggal Mahakudus dan penutupan Hari Komunikasi Sosial Sedunia. Kedua perayaan ini bersatu dalam satu pesan yang mendalam: kita dipanggil untuk hidup dalam cinta Allah yang relasional dan komunikatif, serta mewartakannya kepada dunia dengan lemah lembut dan pengharapan.
Allah yang kita imani bukanlah Allah yang tertutup atau statis, tetapi Allah yang adalah relasi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dalam Injil Yohanes 3:16, kita mendengar, “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal...” Kasih itu bukan diam, tetapi mengalir, menyapa, dan menjangkau. Seperti dikatakan oleh St. Agustinus, “Dalam Tritunggal Mahakudus ada yang mengasihi (Bapa), yang dikasihi (Putra), dan kasih itu sendiri (Roh Kudus).” Inilah dinamika komunikasi ilahi: cinta yang saling memberi dan menerima secara total. Allah adalah komunikasi sejati. Maka, ketika kita berkata bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, berarti kita diciptakan untuk hidup dalam relasi dan komunikasi yang sejati.
Dalam pesannya untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2025, Paus Fransiskus mengajak kita: “Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada dalam hatimu.” Pesan ini lahir dari keprihatinan mendalam terhadap meningkatnya agresivitas dalam komunikasi, baik di ruang publik, media sosial, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dunia modern mengalami krisis dalam cara orang berinteraksi: maraknya ujaran kebencian, polarisasi opini, manipulasi informasi, dan komunikasi yang mendominasi, bukan mendengarkan.
Dalam konteks itu, Paus mengajak seluruh umat beriman untuk "melucuti komunikasi dari kekerasan, dominasi, dan egoisme," serta menghidupi gaya komunikasi Kristiani yang penuh kasih, lemah lembut, dan membangun pengharapan. Pesan ini juga sejalan dengan semangat sinodalitas: membangun Gereja yang mendengarkan, berdialog, dan saling meneguhkan dalam kasih Kristus.
Melalui tema "Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada di dalam hatimu", Paus menggarisbawahi bahwa komunikasi sejati bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi menjadi ruang perjumpaan dan penghiburan — terutama dalam dunia yang dilanda kecemasan, luka sosial, dan disinformasi.
Paus Benediktus XVI pernah mengatakan: “Komunikasi yang sejati berasal dari cinta; hanya cinta yang mampu meyakinkan.” Maka, siapa pun kita — entah imam, religius, atau awam — kita dipanggil menjadi komunikator cinta, karena kita hidup dalam Allah yang adalah komunikasi cinta itu sendiri.
Menjadi komunikator pengharapan berarti menghadirkan kata, sikap, dan tindakan yang membangun, menyembuhkan, dan mempersatukan—bukan sebaliknya. Dalam dunia yang sering diliputi kecurigaan, kebisingan, dan luka sosial, komunikator pengharapan memilih untuk berbicara dengan kelembutan, mendengar dengan empati, dan hadir dengan ketulusan. Ia bukan sekadar penyampai informasi, tetapi menjadi penyampai penghiburan, penyambung pengertian, dan penyaksi kehadiran Allah yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Harapan yang dibagikannya bukan ilusi, melainkan berakar pada keyakinan akan kasih Allah yang setia.
Model komunikasi ini berpijak pada hidup Allah Tritunggal: Bapa, Putra, dan Roh Kudus hidup dalam relasi kasih yang sempurna, di mana komunikasi bukanlah dominasi melainkan saling memberi diri, saling memahami, dan saling menghidupi. Dalam Tritunggal, komunikasi adalah persekutuan. Maka, setiap orang Kristiani yang berkomunikasi dengan kasih, jujur, dan merangkul perbedaan, sesungguhnya sedang ikut ambil bagian dalam hidup Allah sendiri. Dengan meneladan Tritunggal Mahakudus, kita dipanggil bukan hanya untuk berkata benar, tetapi berkata dengan kasih yang memulihkan dan menguatkan pengharapan sesama.
St. Fransiskus dari Sales, pelindung jurnalis dan komunikator, mengingatkan: “Hati tidak pernah dimenangkan dengan kekerasan, tetapi dengan kelembutan.”
Beato Carlo Acutis, remaja digital yang menginspirasi banyak orang, berkata: “Ekaristi adalah jalan raya menuju Surga.” Dia menggunakan internet untuk mewartakan iman.
Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam Redemptoris Missio: “Gereja ada untuk mewartakan Injil.” Maka tugas kita sebagai orang yang telah dibaptis adalah menyampaikan kabar baik ini kepada sesama.
Saudara-saudari, hidup dalam dinamika Tritunggal berarti membiarkan hidup kita menjadi gema kasih Allah yang tak berkesudahan. Jangan takut menjadi saksi, walau hanya dengan satu kata penghiburan, satu senyum pengharapan, atau satu kesediaan untuk mendengarkan.
Mari kita menjadi komunikator ilahi di zaman ini — pembawa kabar baik, saksi pengharapan, dalam semangat kasih Tritunggal Mahakudus. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Homili Bapa Uskup Agung Medan sebelumnya : (klik untuk membacanya)
Hari Raya Pentakosta - 08 Juni 2025
Bacaan I : Kis. 2:1-11
Bacaan II : 1Kor. 12:3b-7,12-13
Bacaan Injil : Yoh. 20:19-23
“Roh Kudus: Kekuatan untuk Menjadi Saksi di Dunia yang Luka”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini, kita merayakan Pentakosta, hari kelahiran Gereja, ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan mengubah mereka dari orang-orang yang takut menjadi saksi-saksi yang penuh keberanian. Dalam satu hari, Petrus yang pernah menyangkal Yesus tiga kali tampil di hadapan ribuan orang dan dengan suara lantang memberitakan Injil. Apa yang mengubah mereka? Roh Kudus.
Roh Kudus bukan sekadar simbol, bukan perasaan. Ia adalah Pribadi Ilahi, nafas Allah sendiri, yang diberikan kepada kita untuk menguatkan, menghibur, membimbing, dan mengutus.
Roh Kudus: Hadiah Terbesar dari Yesus
Dalam Injil hari ini, Yesus yang bangkit menampakkan diri dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu! Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Lalu Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus.” (Yoh 20:21–22).
Apa arti “mengembusi” dalam konteks ini? Itu adalah gambaran penciptaan baru. Seperti Allah menghembuskan nafas kehidupan ke dalam Adam, sekarang Yesus menghembuskan Roh Kudus ke dalam para murid agar mereka menjadi ciptaan baru, siap untuk menjalankan misi Injil.
Roh Kudus di Tengah Tantangan Zaman
Zaman kita adalah zaman yang penuh tantangan:
Krisis identitas dan nilai.
Perpecahan dalam keluarga dan masyarakat.
Tekanan sosial, budaya instan, dan hedonisme.
Media sosial yang kadang menciptakan dunia semu dan polarisasi.
Dalam dunia seperti ini, siapa yang bisa bertahan sebagai saksi Kristus?
Jawabannya: Mereka yang hidup dalam Roh Kudus.
Paus Fransiskus mengatakan: “Roh Kudus memberi kita kekuatan untuk melangkah keluar dari kenyamanan dan berani pergi ke pinggiran dunia dan keberadaan manusia.” (Evangelii Gaudium 20)
Roh Kudus bukan hanya memberi damai, tapi membangkitkan semangat kerasulan. Ia membuat hati kita berkobar dan memberi kita kata-kata untuk bersaksi bahkan dalam situasi sulit.
Roh Kudus Menyatukan dan Memberdayakan
Dalam bacaan pertama dari Kisah Para Rasul, kita mendengar bagaimana orang dari berbagai bangsa, bahasa, dan budaya, semuanya mendengar satu pewartaan yang sama. Roh Kudus tidak menghapus perbedaan, tetapi menyatukannya dalam kasih dan misi. Ini adalah pesan kuat untuk zaman kita yang mudah terpecah oleh perbedaan: “Di dalam satu Roh kita semua dibaptis menjadi satu tubuh.” (1 Kor 12:13)
Gereja hari ini juga terdiri dari banyak “anggota” — imam, awam, biarawan-biarawati, katekis, pegawai pastoral, orang muda, lansia — dan semua diberi karunia yang berbeda untuk kebaikan bersama. (lih. 1 Kor 12:7)
Ajakan: Jadilah Saksi Kristus
Saudara-saudari, jika kita telah menerima Roh Kudus, kita tidak bisa hanya diam. Kita dipanggil menjadi:
Pembawa damai di tengah konflik.
Suara kebenaran di tengah kebohongan.
Saksi harapan di tengah keputusasaan.
Paus Benediktus XVI mengingatkan: “Roh Kudus menjadikan kita tidak hanya orang yang dikuatkan dari dalam, tetapi juga penginjil — orang-orang yang mampu membawa terang kepada dunia yang gelap.”
Dan Santo Yohanes Paulus II menegaskan: “Dunia membutuhkan kesaksian yang sungguh-sungguh, bukan hanya kata-kata.”
Penutup: Biarkan Roh Kudus Berkarya Lewat Anda
Mungkin kita merasa lemah, tidak pantas, atau tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi lihatlah para rasul: mereka juga orang biasa. Tapi ketika Roh Kudus turun atas mereka, mereka menjadi luar biasa.
Hari ini, mari kita berdoa: Datanglah ya Roh Kudus! Penuhi hati kami. Biarlah Engkau membakar semangat kami kembali.
Jangan takut, karena Roh Kudus yang sama yang mengubah Petrus dan Paulus, hari ini juga turun atas kita. Bukan hanya untuk membuat kita merasa nyaman, tapi untuk mengubah kita menjadi para saksi Kristus di tengah dunia. Amin
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah VII - 01 Juni 2025 - Hari Minggu Komunikasi Sedunia
Bacaan I : Kis. 7:55-60
Bacaan II : Why. 22:12-14,16-17,20
Bacaan Injil : Yoh. 17:20-26
“Komunikasi sebagai Jalan Kesatuan dan Pengampunan”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Semoga Tuhan memberimu damai dan Kebaikan. Pada Minggu Paskah VII ini, kita berdiri di ambang dua peryaan besar: Hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus yang baru saja kita rayakan, dan Hari Raya Kedatangan Roh Kudus pada Hari Pentakosta yang segera tiba. Di tengah-tengah kedua momen agung itu, kita diundang oleh liturgi Sabda hari ini untuk merenungkan suara-suara yang paling dalam dari hidup Kristiani: suara Yesus yang berdoa bagi kesatuan, suara Stefanus yang berseru dalam pengampunan, dan suara Gereja yang menyerukan harapan: “Maranatha! Datanglah, Tuhan Yesus!”
Semua bacaan hari ini berbicara tentang komunikasi, bukan dalam arti teknis atau sekadar pertukaran pesan, tetapi sebagai pengungkapan terdalam dari iman yang hidup. Maka tidak heran bahwa Minggu ini juga ditandai oleh peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, di mana mendiang Paus Fransiskus melalui suratnya mengajak kita untuk merenungkan kembali peran komunikasi dalam membangun persaudaraan, menegakkan kebenaran, dan menyembuhkan luka dunia. Doa Yesus: Komunikasi sebagai Jalan Kesatuan.
Injil Yohanes 17 mengabadikan doa Yesus yang paling intim dan mendalam, yang sering disebut sebagai Doa Imam Agung. Di dalamnya, Yesus berdoa bukan hanya bagi para rasul yang hadir di hadapan-Nya, tetapi juga untuk kita semua: "Aku berdoa, bukan untuk mereka ini saja, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka." (Yoh 17:20). Yesus tahu bahwa dunia ini mudah terpecah oleh kebencian, oleh perbedaan, bahkan oleh kata-kata yang menyakitkan. Karena itu, Ia tidak hanya menyerahkan pesan-Nya, tetapi juga menyerahkan kita semua ke dalam pelukan kasih Bapa-Nya, agar “mereka semua menjadi satu.” Kesatuan bukan berarti keseragaman, tetapi kebersamaan dalam cinta yang mendengarkan, menghargai, dan membuka diri. Dalam pesannya pada Hari Komunikasi Sosial, Paus Fransiskus menekankan pentingnya mendengarkan secara mendalam sebagai dasar komunikasi sejati. Tanpa mendengarkan dengan hati, kata-kata kita kosong. Sebaliknya, mendengar dengan cinta menghasilkan kata-kata yang menyembuhkan.
Stefanus: Komunikasi yang Menyembuhkan Luka dengan Pengampunan Lalu kita mendengar suara Stefanus, sang diakon dan martir pertama Gereja. Ia tidak hanya mati karena mengaku iman, tetapi meninggal dengan kata pengampunan di bibirnya: “Ya Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka.” (Kis 7:60)
Di dunia yang sering merespons luka dengan kekerasan, dan balas dendam dianggap wajar, suara Stefanus adalah komunikasi yang melampaui akal sehat manusia. Ia menunjukkan bahwa komunikasi bukan soal menang-berdebat, tetapi soal menyerahkan diri pada kasih Allah yang tak terbatas.
Paus Fransiskus berkali-kali mengingatkan: "Kata-kata kita bisa menjadi senjata yang memecah atau menjadi minyak yang menyembuhkan." Dalam era digital, dengan media sosial yang cepat dan sering tak terkontrol, betapa mudahnya kita menghakimi, menyerang, atau menyebarkan fitnah. Tetapi Stefanus mengajarkan, bahwa suara orang benar bukanlah suara kebencian, melainkan seruan kasih dan pengampunan. Maranatha: Komunikasi sebagai Seruan Pengharapan
Dalam bacaan dari Kitab Wahyu, kita mendengar suara lain: “Datanglah, Tuhan Yesus!” Inilah doa Gereja sepanjang masa, yang menanti bukan dalam pasif, tetapi dalam pengharapan aktif. Komunikasi iman kita tidak hanya berkisah tentang masa lalu, tetapi mengarahkan hati kepada kedatangan Tuhan di masa kini dan masa depan. Seruan ini, Maranatha, adalah inti dari hidup kristiani. Ini juga adalah jiwa dari komunikasi Gereja: menyerukan harapan di tengah dunia yang semakin lelah, patah, dan bingung oleh arus informasi. Di tengah berita bohong, ujaran kebencian, dan narasi pesimisme, kita diundang untuk menjadi suara yang membawa terang, bukan kegelapan.
Menjadi Gereja yang Berkomunikasi dengan Kasih
Dalam terang bacaan ini dan pesan Paus Fransiskus, kita diajak untuk merefleksikan beberapa sikap konkret:
Belajar mendengarkan lebih dari berbicara. Dunia butuh Gereja yang punya telinga, bukan hanya mulut.
Menyampaikan pesan dengan kejujuran dan kelembutan. Jangan biarkan kata-kata kita menyakiti, tetapi sembuhkan.
Menggunakan media sosial untuk evangelisasi dan membangun harapan. Jadilah “influencer Injil” yang menyampaikan kasih dan sukacita sejati.
Menjadi komunikator Roh Kudus: artinya berkomunikasi dengan hikmat, kelembutan, dan kebenaran, bukan dengan emosi, nafsu, atau keinginan menguasai.
Suara Yesus adalah Doa, Suara Stefanus adalah Pengampunan, Suara Gereja adalah Harapan Saudara-saudari, ketiga suara ini—Yesus, Stefanus, dan Gereja—harus menjadi dasar suara kita sebagai murid-murid Kristus. Jangan biarkan dunia mencuri suara kasih dari hati kita. Jangan biarkan media sosial menciptakan jurang dalam Gereja.
Mari kita jawab seruan Paus Fransiskus: menjadikan komunikasi sebagai sarana persaudaraan, bukan permusuhan. Maranatha! Mari kita menantikan Tuhan, sambil menjadi suara yang membangun kesatuan, menyembuhkan luka, dan mewartakan pengharapan. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah VI - 25 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 15:1-2,22-29
Bacaan II : Why. 21:10-14.22-23
Bacaan Injil : Yoh. 14:23-29
Damai Sejati: Warisan Yesus yang Dibangun di atas Keadilan dan Kasih
Saudara-saudari terkasih, Dalam sejarah dunia, kita mengenal semboyan kuno dari zaman Romawi: Si vis pacem, para bellum – 'Jika engkau menginginkan damai, bersiaplah untuk perang.' Tapi hari ini, kita mendengar suara lain dari mulut Yesus sendiri: 'Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu. Aku memberikan kepadamu bukan seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.' (Yoh 14:27)
Yesus tidak mempersiapkan murid-murid-Nya dengan senjata, tapi dengan kasih. Ia tidak mengajarkan dominasi, tapi pengampunan. Warisan-Nya bukan benteng militer, tapi kehadiran Roh Kudus dan sabda kasih yang membentuk hati.
1. Dua Jalan Menuju Damai: Logika Dunia vs. Logika Kristus
Vegetius, ahli militer Romawi, mengajarkan bahwa damai harus dijaga dengan kesiapan untuk perang. Tapi Yesus mengajarkan damai yang sejati lahir dari hati yang membangun keadilan dan menghidupi kasih. Itulah logika Kerajaan Allah yang terbalik dari dunia. Ketika dunia berkata: 'Bela dirimu!', Yesus berkata: 'Kasihilah musuhmu.' Ketika dunia berkata: 'Kuasai!', Yesus berkata: 'Layanilah.' Di sinilah letak kekuatan damai Kristus — bukan dengan menaklukkan, tetapi dengan mengasihi tanpa syarat.
2. Warisan Damai dalam Injil Yohanes
Yesus tahu bahwa para murid akan menghadapi dunia yang gelap, penuh penganiayaan dan ketidakpastian. Tapi Ia tidak memberi mereka strategi politik. Ia memberi mereka damai. Bukan damai yang lahir dari kenyamanan, tapi dari kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus. Damai ini bukan hasil dari kondisi luar, tapi dari kehadiran Allah di dalam. Dan Roh Kudus diutus untuk mengingatkan Sabda yang menghidupkan damai ini di hati kita setiap hari.
3. Damai Tidak Mungkin Tanpa Keadilan
Paus Paulus VI dengan tegas berkata, 'Jika kamu ingin damai, bekerjalah demi keadilan.' Tidak ada damai di tengah penindasan. Tidak ada damai sejati di tengah ketimpangan. Gereja dipanggil untuk menyuarakan suara yang dibungkam, menyembuhkan yang terluka, dan mendampingi yang rapuh. Bacaan pertama hari ini (Kis 15) menunjukkan bagaimana Gereja Perdana mengatasi perbedaan bukan dengan kekuasaan, tapi dengan dialog dan keterbukaan terhadap Roh Kudus. Itulah damai yang dibangun dalam keadilan dan kesetaraan.
4. Gereja Menjadi Kota Kudus Ketika Warisan Ini Dihidupi
Wahyu 21 memperlihatkan Yerusalem baru, kota kudus tanpa bait, karena Allah sendiri hadir dan menjadi terang. Kota itu bersinar bukan karena tembok, tapi karena kemuliaan Tuhan. Gereja hari ini menjadi kota kudus ketika ia hidup dalam damai Kristus. Komunitas paroki, keluarga, dan lingkungan menjadi terang ketika anggotanya saling menghargai, saling menegur dengan kasih, dan saling mengampuni. Damai bukan slogan. Ia menjadi nyata ketika kasih menjadi budaya dan keadilan menjadi cara hidup.
5. Teladan Para Kudus dalam Jalan Damai
St. Fransiskus dari Assisi, St. Oscar Romero, dan Beato Charles de Foucauld semuanya menunjukkan bahwa damai dibangun dari kasih sejati. Mereka tidak memiliki kekuasaan, tetapi mereka membawa damai dengan kerendahan hati dan keberanian cinta. Damai bukanlah milik yang kuat secara militer, tapi milik yang kuat dalam kasih.
Seperti yang ditulis Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti: 'Perdamaian sejati hanya mungkin bila dibangun atas dasar budaya kasih: kasih yang mengakui martabat setiap orang.'
Penutup:
Saudara-saudari, di tengah dunia yang mudah marah dan cepat membalas, mari kita bawa warisan Kristus: damai yang lahir dari kasih dan keadilan. Kita tidak perlu persenjataan, tapi kita butuh hati yang sabar, tangan yang mengulurkan pengampunan, dan mata yang melihat sesama sebagai saudara.
Maka, dunia akan mengenal Kristus bukan dari kekuatan kita, tapi dari damai yang terpancar dari hidup kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
11 MEI 2025 - MINGGU IV PASKAH: MINGGU GEMBALA YANG BAIK
Bacaan I : Kis. 13:14,43-52
Bacaan II : Why. 7:9,14b-17
Bacaan Injil : Yoh. 10:27-30
Gembala yang Mengenal, Mencari, dan Menyelamatkan
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan, Sang Gembala baik, memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini kita merayakan Minggu Gembala yang Baik. Dalam tradisi Gereja, ini adalah hari penuh makna di mana kita merenungkan Yesus bukan hanya sebagai Tuhan dan Guru, tetapi sebagai Gembala yang mengenal, mencari, dan menyelamatkan setiap domba-Nya.
“Akulah Gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-domba-Nya.” (Yoh 10:11)
I. Yesus: Gembala yang Mengenal Dombanya
Yesus mengenal kita secara personal. Ia bukan gembala upahan yang lari saat ancaman datang. Ia tahu nama kita, luka batin kita, sejarah hidup kita. Seperti dikatakan Paus Fransiskus, “Gembala yang baik berbau seperti domba-dombanya.”
Paus Leo XIV, dalam pidato perdananya, menegaskan bahwa seorang uskup maupun paus harus “menjadi dekat dengan umat, mendengarkan mereka, dan menyapa dengan kelembutan.” Baginya, menjadi gembala bukan jabatan, tetapi perutusan untuk mengenal dan menemani, dengan hati penuh kasih seperti Kristus sendiri.
II. Yesus: Gembala yang Menyelamatkan, Bukan Menghakimi
Dalam Kisah Para Rasul, Petrus bersaksi bahwa hanya dalam nama Yesus ada keselamatan. Dan Injil menunjukkan bahwa keselamatan bukan teori, melainkan cinta yang konkret: Yesus menyerahkan nyawa-Nya. Ia tidak menuntut kita mati untuk-Nya, Ia yang memilih mati untuk kita.
Paus Leo XIV berkata, “Kasih tidak dibuktikan dengan kata-kata, tetapi dengan luka.” Ini mengingatkan kita bahwa menjadi gembala artinya rela berkorban dan hadir dengan kasih nyata, bukan kekuasaan.
III. Kita Dipanggil Menjadi Gembala-Gembala Seperti Dia
Minggu Gembala yang Baik juga menjadi momen refleksi panggilan. Bukan hanya untuk para imam dan religius, tapi untuk semua orang beriman. Kita semua dipanggil menjadi gembala dalam keluarga, komunitas, masyarakat.
Tanya diri kita: Apakah aku menjadi gembala yang hadir dan peduli? Atau aku seperti gembala upahan yang menghindar saat kesulitan datang? Paus Leo XIV mengingatkan, “Paus bukanlah manusia dengan super power, bukan superman. Paus adalah seorang murid Kristus yang dipilih menjadi gembala dan akan membuat kesalahan seperti manusia lainnya.” Dengan kerendahan hati itu, kita juga dipanggil menggembalakan bukan karena kekuatan, tetapi karena kasih.
IV. Kita Anak-anak Allah: Kasih yang Mengangkat Martabat Kita
Surat 1 Yohanes mengingatkan: “Kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah!” (1Yoh 3:1) Status ini bukan hasil kerja keras kita, tetapi karena kasih Allah yang memilih dan mengangkat kita.
Karena itu, hidup kita tidak lagi dikendalikan oleh rasa takut atau rasa tidak layak, tetapi oleh keyakinan: Aku dikenal, dicintai, dan dipanggil untuk mencintai sebagai gembala kecil di tengah dunia.
Penutup: Tinggal dalam Gembala Sejati
Yesus tidak berhenti menggembalakan setelah kebangkitan. Ia hadir dalam Ekaristi, dalam Sabda, dalam sesama yang menderita, dan dalam hati kita yang tenang saat berdoa.
Dalam misa pertamanya sebagai Paus di Kapel Sistina pada 9 Mei 2025, Paus Leo XIV menyampaikan pesan yang kuat kepada para kardinal yang memilihnya. Ia menggambarkan tugas barunya sebagai "salib sekaligus berkat" dan menekankan pentingnya mewartakan Injil dengan sukacita di tengah dunia yang sering mengejeknya. Paus Leo XIV juga menegaskan komitmennya untuk berjalan bersama dengan seluruh gereja sebagai komunitas dan sahabat Kristus, serta menyertakan persatuan dalam misi pewartaan kabar baik.
Maka mari kita meneladan Dia dan berkata: “Tuhan, tuntunlah aku. Ajari aku mengenal dan mencintai. Jadikan aku gembala bagi yang kecil, lemah, dan tersingkir.” Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 04 Mei 2025 - Minggu Paskah III
Bacaan I : Kis. 5:27b-32,40b-41
Bacaan II : Why. 5:11-14
Bacaan Injil : Yoh. 21:1-19
"Paskah dan Misi: Dari Perjumpaan Menuju Kesaksian"
Saudara-saudari terkasih, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Minggu Paskah III Tahun C ini, liturgi membawa kita merenungkan relasi yang erat antara pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang bangkit dan panggilan untuk bersaksi dalam dunia. Semua bacaan hari ini menegaskan bahwa kebangkitan Kristus bukan sekadar pengalaman spiritual pribadi, melainkan pendorong misi untuk mewartakan Injil.
1. Yesus Bangkit dan Menyapa dalam Hidup Sehari-hari
Injil Yohanes 21 hari ini menunjukkan bagaimana Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid di danau Tiberias. Para murid kembali ke aktivitas lama mereka sebagai nelayan. Setelah semalaman tanpa hasil, mereka mengikuti suara seorang asing di pantai untuk menebarkan jala ke sebelah kanan. Hasilnya melimpah. Dalam peristiwa ini, murid yang dikasihi menyadari: “Itu Tuhan!”.
Pengalaman ini mencerminkan hidup harian kita. Kita sering tidak menyadari kehadiran Tuhan, sampai Ia menyentuh hidup kita secara tak terduga. Murid yang dikasihi adalah simbol dari orang yang memiliki kedekatan rohani dengan Yesus sehingga dapat mengenal-Nya, bahkan dalam hal-hal kecil. “Carilah Tuhan dalam hal-hal kecil dan tersembunyi. Di sanalah Ia menunggu.” – St. Thérèse dari Lisieux
2. Dari Perjumpaan Menuju Misi: “Gembalakanlah Domba-domba-Ku”
Setelah sarapan bersama di pantai, Yesus berbicara kepada Petrus. Tiga kali Ia bertanya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan tiga kali Petrus menjawab: “Ya, Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Maka Yesus bersabda: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Dialog ini bukan hanya rekonsiliasi antara Yesus dan Petrus setelah penyangkalannya, tetapi juga peneguhan misi. Kasih sejati kepada Tuhan tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus dinyatakan dalam penggembalaan dan pelayanan. St. Yohanes Paulus II berkata: “Kasih yang tidak menjadi pelayanan akan mati; pelayanan yang tidak dilandasi kasih akan kosong.”
3. Kesaksian yang Berani Meski Ditolak
Bacaan pertama dari Kisah Para Rasul menggambarkan para rasul yang bersaksi tentang kebangkitan Yesus, meski harus menghadapi larangan, intimidasi, dan hukuman. Namun mereka menjawab dengan tegas, “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.”
Kesaksian mereka lahir dari pengalaman nyata perjumpaan dengan Yesus. Paskah bukan hanya tentang sukacita pribadi, tetapi keberanian bersaksi di tengah tantangan. Gereja perdana menunjukkan bahwa kesaksian iman bukan tanpa risiko, namun dilandasi oleh keyakinan bahwa Kristus hidup dan mendampingi.
St. Ignatius dari Antiokhia menulis: “Kini aku mulai menjadi murid. Biarkan aku meniru Sengsara Tuhanku.”
4. Pujian dan Penyembahan kepada Anak Domba yang Disembelih
Kitab Wahyu menggambarkan pujian surgawi kepada Anak Domba yang layak menerima kuasa dan kemuliaan. Dialah Yesus yang disalibkan dan bangkit. Gereja di bumi yang bersaksi dan Gereja di surga yang memuji adalah satu dalam semangat: meninggikan Kristus Sang Anak Domba. St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Marilah kita mencintai dan menyembah Dia yang telah menebus kita dengan darah-Nya.”
Ini memberi harapan dan kekuatan: penderitaan kita dalam bersaksi bukanlah akhir, tetapi bagian dari kemenangan Paskah.
Penutup: Paskah adalah Awal Perutusan
Saudara-saudari, Paskah bukan hanya pesta iman, tapi panggilan perutusan:
Untuk mengenali kehadiran Tuhan dalam kehidupan harian,
Untuk menjawab kasih-Nya dengan pelayanan,
Untuk bersaksi tentang Dia meski ada tantangan,
Dan untuk memuji Dia sebagai Anak Domba yang layak disembah.
St. Katarina dari Siena berseru: “Jika kamu menjadi seperti dirimu seharusnya, kamu akan menyalakan dunia.”
Seperti Petrus yang telah disembuhkan dan diutus, seperti murid yang dikasihi yang mengenali-Nya, seperti para rasul yang tidak takut bersaksi, mari kita pun melanjutkan misi Paskah dalam hidup kita: mengenali, mencintai, menggembalakan, dan bersaksi. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 27 April 2025 - Minggu Kerahiman Ilahi
Bacaan I : Kisah Para Rasul 5:12-16
Bacaan II : Wahyu 1:9-11a,12-13,17-19
Bacaan Injil : Yohanes 20:19-31
"Kerahiman Allah: Kasih yang Mengampuni dan Memulihkan"
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini kita merayakan Minggu Kerahiman Ilahi, hari penuh rahmat yang diwartakan melalui Santa Faustina Kowalska, Rasul Kerahiman. Hari ini Gereja mengundang kita untuk memandang wajah sejati Allah — wajah belas kasih yang hidup dalam Yesus Kristus yang bangkit.
Dalam terang Minggu Kerahiman Ilahi, kita diundang untuk merenungkan hati terdalam Allah: bukan murka, bukan hukuman, melainkan belas kasih yang mengalir dalam bentuk pengampunan.
Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada murid-murid yang ketakutan dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu.” (Yoh 20:19) Tetapi damai itu bukan sekadar kata. Yesus menunjukkan luka-luka kasih-Nya dan menghembusi mereka dengan Roh Kudus sambil berkata: “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni.” (Yoh 20:23)
Inilah wajah sejati Allah: Allah yang memulihkan, bukan menghukum; Allah yang mengangkat, bukan menjatuhkan.
1. Kerahiman Allah: Wajah yang Mengampuni
Dalam seluruh Injil, kita melihat bahwa kerahiman Allah tidak pernah hanya teori. Ia nyata dalam tindakan Yesus:
- Kepada perempuan yang berzinah: "Aku pun tidak menghukum engkau." (Yoh 8:11)
- Kepada Petrus yang menyangkal-Nya: Ia memulihkan kepercayaannya dengan kasih.
- Kepada musuh-musuh di salib: "Ya Bapa, ampunilah mereka." (Luk 23:34)
Kerahiman itu hadir dalam pengampunan nyata. Sebagaimana St. Yohanes Paulus II bersaksi: “Dunia lebih membutuhkan saksi kerahiman daripada saksi keadilan.”
2. Dunia Kita: Dunia yang Sulit Mengampuni
Dunia lebih mengenal balas dendam daripada pengampunan. Dunia lebih menyukai penghakiman daripada pemulihan. Dunia lebih cepat menyebarkan aib daripada melindungi martabat. Bahkan dalam keluarga, komunitas, dan Gereja, sering luka-luka tidak disembuhkan karena pengampunan dianggap kelemahan.
Tetapi Paus Fransiskus mengingatkan: “Mengampuni bukan berarti melupakan keadilan, melainkan menyembuhkan hati.” (Misericordiae Vultus)
3. Mengapa Harus Mengampuni?
Jika kita tidak mengampuni:
- Luka kita tetap terbuka,
- Dendam menjadi racun dalam jiwa,
- Hidup menjadi tawanan masa lalu.
Sebaliknya, jika kita mengampuni:
- Kita dibebaskan,
- Luka disembuhkan,
- Kita menjadi serupa dengan Allah.
St. Faustina Kowalska menulis: “Kasih sejati terwujud dalam pengampunan.”
4. Pengampunan: Pusat dari Pewartaan Injil
Kerahiman dan pengampunan tidak dapat dipisahkan.
Pengampunan adalah wajah operatif dari Kerahiman Allah. Yesus mempercayakan tugas besar ini kepada para murid: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni.”
St. Augustinus berkata: “Percaya bahwa engkau diampuni akan membebaskanmu untuk mengampuni.”
5. Tomas: Dari Ragu Menjadi Saksi Kerahiman
Tomas tidak ditolak oleh Yesus. Ia memperlihatkan luka-luka-Nya. Dari sentuhan itu, Tomas berseru: "Tuhanku dan Allahku!" Iman yang lahir dari kerahiman jauh lebih kuat daripada iman yang lahir dari ketakutan.
Penutup: Jadilah Wajah Allah
Di dunia yang penuh luka: Jadilah pembawa pengampunan.
Di dunia yang penuh kebencian: Jadilah wajah Allah yang Maharahim.
St. Fransiskus dari Assisi berdoa: “Di mana ada kebencian, biarkan aku membawa cinta.
Di mana ada luka, biarkan aku membawa pengampunan.” Mari kita sambut sabda Yesus: "Damai sejahtera bagi kamu." Damai yang lahir dari hati yang mengampuni. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 20 April 2025 - Hari Raya Paskah
Bacaan I : Kel. 14:15-15:1
Bacaan II : Rm. 6:3-11
Bacaan Injil : Mat. 28:1-10
“Iman yang Bangkit dari Dalam Gelap: Mengalahkan Prasangka, Mewartakan Harapan”
Untuk Perayaan Paskah dan Penerimaan Sakramen Penguatan Dalam Terang Tahun Yubileum Pengharapan 2025
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, selamat Hari Raya Paskah
Pagi hari itu, ketika hari masih gelap, Maria Magdalena berjalan ke kubur Yesus. Ia larut dalam kesedihan, pikirannya dibayangi kehilangan, dan hatinya belum diterangi pengertian iman. Maka, ketika melihat kubur kosong, pikirannya langsung dipenuhi prasangka, “Tuhan telah diambil orang...” (Yoh 20:2)
Ia belum melihat kebenaran bahwa Yesus telah bangkit, karena, seperti ditulis dalam Injil, “Sebab selama ini mereka belum mengerti Kitab Suci, yang mengatakan bahwa Dia harus bangkit dari antara orang mati.” (Yoh 20:9)
1. Prasangka Lahir dari Kegelapan Iman
Mengapa Maria mengira jenazah Yesus dicuri? Karena hatinya sedang gelap. Gelap oleh kesedihan, gelap karena kehilangan arah. Dalam Injil Yohanes, “gelap” bukan sekadar waktu dini hari, tetapi simbol kebingungan batin dan ketidaktahuan rohani.
Prasangka buruk tumbuh ketika terang Sabda Tuhan belum menerangi pikiran. Maria belum mengerti janji Yesus. Maka ia menafsirkan realitas dari sudut pandang rasa takut, bukan iman.
Kita pun sering bersikap demikian:
Ketika masalah datang, kita cepat curiga.
Ketika doa belum dijawab, kita mudah merasa ditinggalkan.
Ketika dunia tampak gelap, kita bertanya, “Di mana Tuhan?”
Padahal Tuhan tidak absen. Ia hidup. Tapi kita hanya bisa mengenali-Nya jika hati kita diterangi Sabda.
2. Sabda: Terang yang Membebaskan dari Prasangka
Injil hari ini mengatakan, “Sebab selama ini mereka belum mengerti Kitab Suci...” (Yoh 20:9) Tanpa Sabda, kubur kosong adalah misteri yang menakutkan. Dengan Sabda, kubur kosong menjadi tanda kemenangan.
Sabda adalah terang yang mengubah tafsir keliru menjadi pengenalan akan kebenaran. Sabda adalah cahaya yang menuntun kita keluar dari ketakutan.
Maria berubah bukan karena melihat jenazah, tetapi karena ia mendengar Sabda pribadi dari Yesus, “Maria!” — “Rabuni!” (Yoh 20:16)
Dalam sekejap, prasangka hilang, pengharapan lahir. Sabda Yesus menyentuh hatinya dan membangkitkan imannya.
3. Sakramen Krisma: Roh Kudus Membuka Pengertian dan Misi
Hari ini, saudara-saudari kita menerima Sakramen Penguatan. Sakramen ini bukan sekadar ritual. Ini adalah pencurahan Roh Kudus, agar kamu:
Dapat mengingat dan mengerti Sabda Tuhan,
Dapat membedakan kebenaran dari kebingungan dunia,
Dapat berdiri teguh saat dunia meragukan imanmu,
Dan menjadi saksi kebangkitan Kristus di mana pun kamu berada.
Roh Kudus adalah terang yang membakar hati dan membuka mata iman.
Dalam terang-Nya, prasangka digantikan oleh pengertian, dan ketakutan berubah menjadi keberanian.
4. Tahun Yubileum: Waktu untuk Bangkit dan Bersaksi
Tahun Yubileum 2025 adalah Tahun Pengharapan. Dan harapan itu bukanlah optimisme buta, tapi keyakinan bahwa, “Kristus telah bangkit, dan karena itu tidak ada malam yang terlalu gelap untuk dikalahkan terang-Nya.”
Seperti Maria, kita dipanggil:
Untuk tidak berhenti dan tinggal pada tangisan,
Untuk tidak hidup dalam prasangka, Tapi berbalik dan melihat Yesus yang hidup,
Dan pergi memberitakan: “Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh 20:18)
5. Penutup: Pegang Sabda, Wartakan Harapan
Saudara-saudari, Jangan tunggu semuanya jelas baru percaya. Percayalah, dan kamu akan melihat. Pegang Sabda, dan kamu akan dibebaskan dari ketakutan.
Untuk para penerima Krisma:
Jadilah saksi iman di sekolah, di rumah, di dunia digital. Bawalah terang Kristus ke dalam dunia yang penuh prasangka. Hidupkan Sabda dan wartakan harapan.
Kristus telah bangkit. Alleluya. Harapan tidak mengecewakan. Alleluya.
Amin.
Penutup
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 13 April 2025 - Hari Minggu Palma Mengenang Sengsara Tuhan
Bacaan I : Yes. 50:4-7
Bacaan II : Flp. 2:6-11
Bacaan Injil : Luk. 22:14- 23:56
“Dari Hosana ke Salibkan Dia: Kerapuhan Hati Manusia dan Kasih yang Tetap Setia”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini kita memasuki Pekan Suci. Kita baru saja mendengarkan kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Kita diajak untuk merenungkan kontras dramatis antara sambutan penuh sukacita di pintu gerbang Yerusalem dan teriakan kebencian di halaman pengadilan Pilatus.
“Hosana bagi Anak Daud!” berubah menjadi “Salibkan Dia!”
Pertanyaannya: mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang membuat manusia—yang mengaku percaya kepada Allah—begitu cepat berbalik dari pujian ke pengkhianatan?
1. Kekecewaan terhadap Harapan yang Tidak Terpenuhi
Banyak orang menaruh harapan bahwa Yesus akan menjadi Mesias politis yang membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Tapi Yesus tidak menuruti ekspektasi mereka. Ia datang sebagai Hamba yang menderita, bukan sebagai pahlawan bersenjata. Ketika harapan mereka runtuh, kekecewaan berubah menjadi penolakan.
Hal yang sama bisa terjadi dalam hidup kita. Ketika Tuhan tidak bertindak seperti yang kita harapkan—saat doa tidak segera dijawab, atau salib terasa berat—apakah kita tetap setia, atau ikut berteriak “Salibkan Dia”?
2. Massa yang Mudah Tergoyah dan Ketakutan yang Menyebar
Iman yang tidak berakar mudah goyah dalam tekanan. Orang-orang yang sebelumnya bersorak “Hosana” bisa berubah karena:
Takut dikucilkan,
Terbawa arus,
Atau sekadar tidak mengerti siapa Yesus sebenarnya.
Yesus tidak pernah menjanjikan popularitas atau kenyamanan. Ia menjanjikan salib yang membawa kehidupan. Maka, mengikuti Yesus adalah keberanian untuk tetap setia meski dunia berbalik arah.
3. Dosa dan Ketertutupan Hati
Penolakan Yesus juga lahir dari hati yang tidak mau bertobat. Ia datang membawa terang, tapi banyak yang lebih memilih kegelapan karena:
Takut dikoreksi,
Nyaman dengan kebiasaan lama,
Tidak rela kehilangan kekuasaan atau ego.
Yesus disalibkan bukan hanya oleh paku dan kayu, tapi juga oleh penolakan batin manusia yang tak mau diubah.
4. Tapi Yesus Tetap Setia
Yang luar biasa dari kisah sengsara ini adalah: kasih Yesus tidak berubah. Ia tetap diam saat dihina. Ia tetap mengasihi saat disalibkan. Ia bahkan mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya.
Inilah Injil kasih: Tuhan tidak menyesal mengasihi kita, walau kita sering berkhianat.
5. Undangan untuk Masuk ke Jalan Salib
Saudara-saudari, Pekan Suci ini bukan sekadar kenangan. Ini adalah undangan untuk ikut berjalan bersama Yesus.
Bukan hanya ikut arak-arakan palma, tapi juga ikut memanggul salib.
Bukan hanya ikut liturgi, tapi juga menjadi saksi kasih yang setia dalam hidup nyata.
Jangan biarkan suara “Salibkan Dia!” terdengar lagi—dari sikap kita, dari ketidakpedulian kita, dari kompromi kita terhadap kebenaran.
Sebaliknya, marilah kita berkata: Hosana yg berarti "Selamatkanlah, tolonglah kami sekarang" “Hosana dalam arti yang sejati: Yesus, datang dan ubahlah hatiku.”
Penutup
Pekan Suci telah dimulai. Kita diajak masuk ke dalam misteri sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan. Mari kita ikut berjalan dengan-Nya—dalam iman, pengharapan, dan kasih. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 06 April 2025 - Hari Minggu Prapaskah V
Bacaan I : Yes. 43:16-21
Mazmur : Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6
Bacaan II : Flp. 3:8-14
Bacaan Injil : Yoh. 8:1-11
Allah yang Mahapengampun
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Minggu ini, Injil membawa kita ke sebuah kisah yang amat kuat, penuh luka dan kasih, penghakiman dan pengampunan: perempuan yang tertangkap basah dalam perzinahan. Sebuah kisah yang menggambarkan dua dunia—dunia manusia yang ingin menghukum, dan dunia Allah yang memilih mengampuni.
1. Dosa yang Nyata dan Penghakiman yang Cepat
Perempuan itu bersalah. Ia tertangkap basah. Tak ada dalih. Hukum Musa jelas: ia harus dirajam. Tapi anehnya, hanya dia yang dibawa. Tidak ada pasangan lelakinya. Keadilan menjadi alat manipulasi, bukan kebenaran. Orang-orang Farisi datang bukan mencari kebenaran. Mereka datang untuk menjebak Yesus. Jika Yesus menghukum, kasih-Nya dipertanyakan. Jika membebaskan, Ia dianggap melawan hukum Musa. Sebuah dilema.
Yesus tidak menjawab. Ia menunduk dan menulis di tanah. Ketika mereka mendesak, Yesus berdiri dan berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”
Sunyi. Batu-batu dijatuhkan. Dari yang tertua, satu per satu pergi. Tinggal Yesus dan perempuan itu.
2. Allah Mengampuni, Bukan Menghakimi
Yesus berdiri dan bertanya: “Di mana mereka? Tidak adakah yang menghukum engkau?” Perempuan itu menjawab: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu Yesus berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi.”
Saudara-saudari, inilah wajah Allah kita. Bukan Allah yang mencatat dan menghitung dosa kita, tetapi Allah yang membuka lembaran baru. Yesus tidak membiarkan dosa, tapi mengampuni dan mengundang untuk bertobat.
3. Kita Adalah Perempuan Itu – Dan Juga Farisi Itu
Dalam hidup, kita pernah berdosa seperti perempuan itu. Kita pernah gagal. Kita pernah jatuh.
Tapi sering pula, kita berdosa seperti orang Farisi: merasa lebih suci, cepat menghakimi, lambat mengampuni.
Yesus hari ini berdiri di tengah kita dan berkata, “Kalau engkau tidak berdosa, silakan lempar batu pertama." Kita semua berdosa. Tapi kita semua juga dikasihi.
4. Pengampunan Adalah Awal, Bukan Akhir
Yesus tidak hanya menyelamatkan perempuan itu dari hukuman. Ia memberinya arah hidup baru. Kata-Nya, “Jangan berdosa lagi mulai sekarang.”
Itu bukan perintah keras, tapi undangan penuh kasih, “Aku tahu engkau bisa berubah.” Inilah keadilan ilahi: bukan menghukum, tapi membangun kembali.
5. Paulus: Dari Penganiaya Menjadi Pewarta Pengampunan
Bacaan kedua dari surat Filipi memperkuat pesan ini. Paulus dulunya Farisi yang fanatik. Tapi setelah dijamah kasih Kristus, ia berubah. Ia menulis, “Yang lama kulupakan, dan aku berlari menuju yang di depan.” (Flp 3:13)
Allah memanggil kita bukan karena kita pantas, tapi karena kasih-Nya tidak pernah menyerah.
6. Tahun Yubileum Pengharapan: Saatnya Memulai Lagi
Dalam Spes Non Confundit, Paus Fransiskus menulis, “Tuhan tidak bosan memberi kesempatan baru. Dialah Allah yang membukakan pintu.”
Hari ini kita diundang menjadi seperti Kristus: Bukan melempar batu, tapi merangkul sesama. Bukan mengungkit luka lama, tapi memberi harapan baru. '
Penutup: Jangan Takut Datang Kembali
Saudara-saudari, Yesus tidak melihat siapa kamu kemarin. Ia melihat siapa kamu bisa jadi hari ini. Ia tidak tertarik menghukum. Ia ingin menyembuhkan. Maka datanglah kepada-Nya. Terimalah kasih yang mengampuni dan membebaskan. Dan jadilah pembawa harapan di tengah dunia yang penuh penghakiman. “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berdosa lagi.” Itulah sabda kasih. Itulah suara Allah. Dan itulah undangan bagi kita semua hari ini.
Apakah aku bersedia mengampuni seperti Kristus mengampuni—tanpa mengungkit masa lalu, dan memberi harapan pada masa depan? Para saudara dan saudari, mari beri jawaban singkat pada kolom komentar! Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap