Minggu XXVIII Tahun C - 12 Oktober 2025
Bacaan I : 2Raj. 5:14-17
Bacaan II : 2 Tim. 2:8-13
Bacaan Injil : Luk. 17:11-19
Syukur: Menyadari Rahmat, Menempatkan Allah di Pusat, dan Hidup Profetis di Tengah Dunia yang Lupa Berterima Kasih
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, hari ini sabda Tuhan mengundang kita menengok kembali hal paling sederhana tapi paling mendalam dalam hidup iman: bersyukur. Dalam Injil, Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta, namun hanya satu yang kembali untuk berterima kasih. Yang lain, sembilan orang, pergi begitu saja — mungkin sibuk merayakan kesembuhan, mungkin lupa, mungkin merasa sudah sepantasnya mereka disembuhkan.
Yesus pun bertanya dengan nada haru: “Bukankah kesepuluhnya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan itu?”
Pertanyaan itu bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kita. Bukankah sering kali kita pun menikmati berkat tanpa kembali kepada Sumber Berkat? Bacaan hari ini mengajak kita menyadari bahwa syukur bukan sekadar sopan santun rohani, melainkan tanda iman yang menyelamatkan.
1. Syukur: Menyadari Rahmat
Dalam bacaan pertama, Naaman disembuhkan dari penyakit kustanya setelah menuruti sabda nabi Elisa untuk mandi tujuh kali di Sungai Yordan. Ia hampir menolak, karena merasa perintah itu terlalu sederhana — tidak sebanding dengan kedudukannya sebagai panglima perang. Tetapi ketika ia taat dengan rendah hati, mukjizat terjadi, dan ia berseru: “Sekarang aku tahu bahwa tidak ada Allah selain di Israel.”
Naaman belajar melihat rahmat Allah dalam hal yang sederhana.
Demikian juga orang Samaria dalam Injil: ia tidak hanya bersyukur karena sembuh, tetapi karena menyadari kasih Allah yang menyentuh hidupnya. Di sinilah syukur sejati dimulai — bukan dari hal besar, melainkan dari mata iman yang mampu melihat rahmat dalam keseharian.
Namun, banyak orang zaman ini kehilangan rasa syukur karena matanya tertutup oleh keinginan yang tak pernah cukup. Mereka berkata, “Aku akan bersyukur kalau…” — padahal syukur sejati berkata, “Aku bersyukur meskipun…” Orang yang bersyukur melihat hidup bukan sebagai hak, tetapi sebagai rahmat.
2. Syukur: Menempatkan Allah di Pusat Segalanya
Mazmur hari ini mengajak kita bernyanyi: “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, sebab Ia telah melakukan perbuatan yang ajaib.” (Mzm 98:1)
Artinya, sumber sukacita bukanlah apa yang kita capai, tetapi siapa yang kita sembah. Orang yang menempatkan Allah di pusat hidupnya akan tetap memuji meski keadaan tidak mudah. Ia seperti Paulus dalam bacaan kedua, yang menulis dari penjara dengan penuh harapan: “Jika kita mati dengan Kristus, kita akan hidup dengan Dia; jika kita bertekun, kita akan ikut memerintah bersama Dia.” (2Tim 2:11–12)
Syukur yang sejati tidak bergantung pada keadaan, tetapi berakar pada keyakinan: Allah setia, meski hidup tidak selalu sesuai harapan. Sebaliknya, banyak orang kehilangan rasa syukur karena pusat hidupnya bergeser — dari Allah kepada diri sendiri. Ketika segala sesuatu dipandang sebagai hasil jerih payah pribadi, syukur lenyap dan yang tersisa hanyalah keluhan atau tuntutan.
Paus Benediktus XVI pernah menulis: “Syukur adalah cara mengembalikan pusat kehidupan kepada Allah.” Artinya, setiap kali kita bersyukur, kita menegaskan bahwa Allah tetap memegang kendali atas hidup kita.
3. Syukur: Tindakan Profetis di Tengah Dunia yang Lupa Berterima Kasih
Dalam dunia modern, bersyukur adalah sikap profetis. Zaman ini mengajarkan bahwa kebahagiaan diukur dari apa yang kita miliki, bukan dari siapa kita milik. Kita hidup di tengah budaya perbandingan — media sosial membuat kita sibuk melihat hidup orang lain, hingga lupa melihat berkat kita sendiri. Akibatnya, banyak orang pandai mengeluh tapi sulit memuji.
Maka, orang Samaria yang kembali kepada Yesus adalah nabi kecil di tengah dunia yang lupa bersyukur. Ia berani melawan arus kesibukan dan kesombongan untuk datang bersujud di kaki Yesus dan berkata, “Terima kasih, Tuhan.” Syukur semacam ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan rohani. Karena orang yang bersyukur tahu: hidupnya tidak tergantung pada keadaan, melainkan pada kasih Allah yang setia.
Paus Fransiskus berkata dalam Evangelii Gaudium: “Wajah murid Kristus adalah wajah yang penuh syukur dan sukacita, bukan wajah sedih yang kehilangan pengharapan.” Syukur adalah pewartaan yang paling sederhana sekaligus paling kuat: Dunia mengenal Allah bukan hanya lewat kotbah, tapi lewat wajah orang yang bersyukur.
Penutup
Saudara-saudari terkasih, ketika hanya satu orang kusta kembali, Yesus berkata: “Bangunlah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:19)
Ia tidak hanya disembuhkan, tetapi diselamatkan — karena ia tahu bersyukur. Syukur mengubah penyembuhan menjadi keselamatan, dan pengalaman menjadi kesaksian.
Maka hari ini, marilah kita belajar bersyukur bukan karena segalanya sempurna, tetapi karena Allah hadir dalam segala hal. Bersyukur bukan tanda kita punya hidup mudah, tetapi tanda kita punya iman yang matang.
Semoga Roh Kudus membentuk kita menjadi umat yang tahu bersyukur: yang menyadari rahmat, menempatkan Allah di pusat hidup, dan menjadi saksi profetis di tengah dunia yang sering lupa berterima kasih. Amin.
Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Homili Mingguan - Uskup Keuskupan Agung Medan:
(klik untuk membacanya)
Minggu XXVII Tahun C - 5 Oktober 2025
Bacaan I : Hab. 1:2-3; 2:2-4
Bacaan II : 2Tim. 1:6-8,13-14
Bacaan Injil : Luk. 17:5-10
Iman yang Hidup, Kecil Namun Mengubah Dunia
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini para murid berseru kepada Yesus: “Tambahkanlah iman kami!” (Luk 17:5). Seruan ini begitu jujur dan manusiawi, sebab mereka sadar bahwa mengikuti Yesus tidak mudah. Jalan bersama Kristus tidak selalu terang dan lapang. Ia tidak menjanjikan kemudahan, tetapi mengundang pada salib, pengampunan tanpa batas, dan pelayanan tanpa pamrih. Karena itu, para murid merasa imannya kecil dan rapuh.
Namun jawaban Yesus sungguh mengejutkan: “Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi, kamu dapat berkata kepada pohon ara: Tumbanglah dan tertanamlah di laut, maka pohon itu akan menuruti kamu.” (Luk 17:6)
Yesus tidak memberi ukuran baru, tetapi menghadirkan perspektif baru. Ia tidak menuntut iman yang besar, melainkan iman yang hidup dan sejati.
Biji sesawi adalah biji terkecil di Palestina, namun mampu tumbuh menjadi pohon besar. Dari benih kecil itulah Yesus mengajar kita bahwa kualitas iman lebih penting daripada kuantitasnya. Para ekseget Katolik seperti Raymond E. Brown menegaskan bahwa Yesus tidak sedang berbicara tentang mukjizat fisik, melainkan tentang kekuatan rohani—iman sejati yang sanggup mengubah situasi mustahil.
Karena itu, Yesus tidak menyuruh kita berbicara kepada pohon literal, melainkan mengajak kita menghadapi pohon-pohon besar dalam hidup kita: akar dosa, kebiasaan buruk, ketakutan, dan luka batin yang selama ini menjerat. Dengan iman sejati, akar-akar itu dapat dicabut, bukan oleh kekuatan manusia, melainkan oleh kasih Allah yang berkarya di dalam diri kita.
Rudolf Schnackenburg memandang pohon ara sebagai lambang kekuatan batin yang berakar kuat di hati manusia—hal-hal yang tidak mudah diubah oleh kehendak sendiri. Mungkin itu akar kemarahan yang disimpan bertahun-tahun, akar kesombongan yang sulit tunduk, atau akar luka batin yang menghalangi kita untuk mengampuni. Iman sejati, walau sekecil biji sesawi, menyatu dengan kuasa kasih Allah yang mampu mencabut semua akar itu.
Yesus menegaskan, “Bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37). Iman sejati adalah partisipasi dalam daya cipta Allah—Allah yang mengubah kekacauan menjadi ciptaan baru, luka menjadi rahmat, dan dosa menjadi kesempatan untuk bertumbuh.
Nabi Habakuk dalam bacaan pertama pun mengungkapkan pergumulan yang sama. Ia berteriak dalam kebingungan, “Berapa lama lagi, ya Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar?” (Hab 1:2). Namun Allah menjawab dengan lembut: “Orang benar akan hidup oleh imannya” (Hab 2:4). Inilah kunci iman sejati: bukan jalan pintas menuju hasil, melainkan kesetiaan dalam perjalanan panjang.
Seperti biji sesawi yang memerlukan waktu untuk bertumbuh, iman juga butuh proses: dipupuk oleh doa, diuji oleh penderitaan, dan dikuatkan oleh kesetiaan. Di tengah dunia yang menuntut hasil cepat, iman mengajar kita untuk sabar menunggu proses rahmat Allah.
St. Thomas Aquinas mengutip para Bapa Gereja: “Yesus tidak mengajarkan besarnya iman, tetapi keberadaannya yang sejati. Sebab iman yang hidup dapat memindahkan gunung keraguan dan mencabut pohon dosa.”
Iman sejati bukan sekadar “percaya bahwa Allah ada”, melainkan percaya kepada Allah yang mengasihi. Ketika iman berakar pada kasih, ia tidak lagi sekadar ide intelektual, melainkan relasi yang mengubah hati. Dari hati yang diubah inilah mengalir kekuatan untuk mengampuni, melayani, dan berharap di tengah situasi sulit.
Dalam bagian akhir Injil hari ini, Yesus berbicara tentang pelayan yang rendah hati: “Kami hanyalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan.”
Iman sejati tampak bukan dalam kata-kata, melainkan dalam pelayanan yang setia. Ia tidak menuntut pujian, tidak menghitung jasa, tetapi melayani karena cinta. Semakin murni iman seseorang, semakin rendah hati pula pelayanannya.
Saudara-saudari terkasih, Iman tidak harus besar, tetapi harus hidup. Kadang kecil, namun bila sejati, ia mampu mencabut akar dosa, mengubah hati, menyembuhkan luka, dan menggerakkan dunia. Hari ini, kita tidak perlu berkata, “Tuhan, tambahkan iman kami,” tetapi, “Tuhan, hidupkanlah iman kami.”
Iman seperti biji sesawi inilah yang membuat hidup kita berbuah—bukan karena kekuatan kita, tetapi karena kasih Allah yang bekerja di dalam diri kita. Semoga kita menjadi orang beriman sejati: yang percaya walau tidak melihat, yang berharap walau di tengah kesulitan, dan yang mengasihi walau di tengah dunia yang terluka.
Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu XXVI Tahun C - 28 September 2025
Bacaan I : Am 6:1a,4-7
Bacaan II : 1Tim. 6:11-16
Bacaan Injil : Luk. 16:19-31
Hidup Berkat, Bukan Berhala — Umat yang Hadir dan Peduli
Saudara-saudari terkasih, semoga Tuhan memberimu damai dn kebaikan.
Sabda Tuhan hari ini mengajak kita merenungkan sebuah pertanyaan penting: apakah hidup kita sungguh menjadi berkat bagi orang lain, ataukah berkat yang kita miliki justru telah berubah menjadi berhala yang menutup mata terhadap sesama?
Nabi Amos dalam bacaan pertama mengecam keras bangsa yang hidup mewah tanpa peduli pada penderitaan di sekitarnya: “Mereka berbaring di ranjang dari gading, makan domba dan anak lembu, bernyanyi-nyanyi, minum anggur dari bokor, memakai minyak terbaik, tetapi tidak peduli akan kehancuran umat.” (Am 6:4–6). Gambaran ini sangat relevan dengan zaman sekarang: dunia kita penuh kemewahan, tetapi seringkali miskin empati; banyak hiburan, tetapi sedikit belas kasih. Kita mudah terjebak pada kenyamanan diri dan lupa bahwa berkat diberikan bukan untuk ditimbun, melainkan untuk dibagikan.
Yesus dalam Injil hari ini menampilkan kontras yang tajam antara orang kaya dan Lazarus. Orang kaya itu tidak digambarkan sebagai penjahat. Ia tidak menolak Lazarus, tidak mengusirnya. Namun ia juga tidak peduli. Di situlah letak dosanya: ketidakpedulian. Ia hidup dalam pesta, sementara di depan pintunya, seorang miskin menanti setetes kasih. Paus Fransiskus menyebut sikap ini sebagai globalisasi ketidakpedulian, ketika hati manusia beku oleh egoisme, dan mata tertutup terhadap penderitaan sesama.
Saudara-saudari, berkat sejati tidak diukur dari seberapa banyak kita memiliki, melainkan seberapa banyak kita berbagi. Santo Basilius Agung mengingatkan: “Roti yang kau simpan adalah milik orang lapar, pakaian yang kau tumpuk adalah milik orang telanjang.” Artinya, berkat yang tidak dibagikan akan berubah menjadi beban. St. Yohanes Krisostomus menambahkan: “Kamu menghina Kristus jika kamu menghias dinding gereja dengan emas tetapi membiarkan orang miskin kelaparan.” Maka, setiap orang beriman dipanggil untuk menjadikan hidupnya saluran kasih — menghadirkan wajah Allah melalui kepekaan dan solidaritas.
Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est menulis: “Kekayaan tanpa kasih adalah kemiskinan.” Berkat yang sejati tidak membuat kita sombong, tetapi rendah hati; tidak menutup diri, tetapi membuka pintu bagi sesama. Dunia modern sering kali mengajarkan bahwa kebahagiaan diukur dari prestasi, jabatan, atau harta. Namun Yesus menegaskan bahwa nilai sejati manusia tidak terletak pada apa yang dimiliki, melainkan pada kasih yang dihidupi.
Yesus ingin kita menyadari: berkat adalah panggilan untuk melayani. Harta, talenta, waktu, dan kesempatan yang kita miliki bukan sekadar untuk memperindah hidup sendiri, tetapi untuk menghadirkan sukacita bagi orang lain. Santo Fransiskus dari Asisi memberi teladan ini dengan hidup sederhana dan hati yang kaya akan kasih. Ia memilih miskin agar bisa mencintai lebih besar. Kesederhanaan seperti inilah yang membebaskan hati dari ilusi kemewahan.
Kisah orang kaya dan Lazarus juga mengingatkan kita bahwa kesempatan untuk berbuat kasih adalah sekarang, bukan nanti. Setelah meninggal, jarak di antara mereka tidak bisa dijembatani lagi. Maka selagi hidup, marilah kita membuka mata dan hati. Banyak Lazarus modern di sekitar kita: mereka yang lapar, kesepian, kehilangan arah, atau terluka batinnya. Jangan biarkan berkat yang kita miliki menjadi penghalang untuk melihat wajah Allah dalam diri mereka.
Paus Fransiskus mengajak kita menjadi Gereja yang “keluar,” bukan Gereja yang terkurung. “Lebih baik Gereja yang memar karena keluar, daripada Gereja yang sakit karena terkurung.” Artinya, lebih baik kita capek karena melayani, daripada nyaman tapi tidak peduli. Dunia membutuhkan Gereja yang hadir — umat yang mau berjalan bersama, berbagi kasih, dan mengulurkan tangan bagi yang lemah.
Saudara-saudari terkasih, marilah kita memohon rahmat agar hidup kita sungguh menjadi berkat, bukan berhala. Semoga hati kita peka, tangan kita terbuka, dan langkah kita terarah kepada kasih. Dengan begitu, dunia akan melihat bahwa kita bukan hanya umat yang rajin berdoa, tetapi umat yang menghadirkan kasih Allah dalam tindakan nyata.
Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu XXV Tahun C - 21 September 2025
Bacaan I : Am. 8:4-7
Bacaan II : 1Tim. 2:1-8
Bacaan Injil : Luk. 16:1-13
Harta: Berkat atau Berhala?
Saudara-saudari terkasih, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini Sabda Tuhan mengajak kita menaruh perhatian pada sesuatu yang sangat dekat dengan hidup kita sehari-hari: harta. Kita semua menggunakannya, kita semua membutuhkannya. Tetapi Sabda Tuhan bertanya dengan tegas: apakah harta ini menjadi berkat atau justru berubah menjadi berhala yang memperbudak kita?
Kitab Amos menggambarkan Allah yang murka pada orang-orang kaya yang menindas orang miskin, meremehkan mereka hanya demi keuntungan. Namun, harta pada dirinya bukanlah jahat. Kitab Ulangan mengingatkan: “Dialah Tuhan, Allahmu, yang memberi kekuatan kepadamu untuk memperoleh kekayaan” (Ul 8:18).
Harta menjadi berkat bila diterima dengan syukur dan dipakai untuk menolong orang lain. Santo Basilius Agung pernah berkata: “Roti yang kau simpan adalah milik orang lapar; pakaian yang kau tumpuk adalah milik orang telanjang.” Paus Fransiskus juga menekankan hal serupa: kekayaan yang sejati bukan diukur dari apa yang kita kumpulkan, melainkan dari kasih yang kita bagikan.
Sebaliknya, harta menjadi berhala ketika ia menggantikan Allah sebagai pusat hidup kita. Yesus berkata dalam Injil hari ini: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Luk 16:13). Mamon di sini bukan sekadar uang, melainkan lambang kuasa yang menuntut penyembahan.
Paus Benediktus XVI pernah menegaskan bahwa orang yang menjadikan harta sebagai tujuan hidupnya sedang melayani “allah palsu” yang kejam, karena Mamon selalu meminta lebih dan tidak pernah puas. Inilah bahayanya: ketika harta membuat kita mengorbankan keadilan, melupakan belas kasih, dan menjauh dari Allah.
Yesus melalui perumpamaan bendahara yang cerdik menantang kita untuk mengelola harta duniawi dengan bijak. Bukan sekadar untuk diri sendiri, melainkan untuk menghasilkan buah kekal. Harta akan menjadi alat keselamatan bila dikelola dengan jujur, transparan, dan penuh kasih. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium mengingatkan: “Ekonomi yang sejati harus berorientasi pada kesejahteraan semua orang, bukan pada segelintir orang kaya.” Maka harta menjadi berkat bila ia dipakai untuk membangun kehidupan bersama, untuk menegakkan keadilan, dan untuk memperhatikan mereka yang kecil dan tersisih.
St. Agustinus mengingatkan kita: “Engkau telah menciptakan kami untuk-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sebelum beristirahat dalam Engkau.” Hati manusia hanya menemukan damai bila Allah menjadi pusat. Jika hati lebih melekat pada harta daripada pada Allah, kita akan terus resah, takut kehilangan, iri pada orang lain, dan tak pernah puas. Tetapi bila hati tertambat pada Allah, harta tidak lagi menguasai kita, melainkan menjadi alat untuk melayani. Paus Yohanes Paulus II pernah menekankan bahwa kesederhanaan hidup adalah tanda profetis yang menyatakan bahwa “Allah saja sudah cukup.”
Sejarah para kudus memberi teladan yang jelas. St. Fransiskus dari Asisi meninggalkan harta duniawi demi menemukan Kristus sebagai “mutiara berharga” yang tak ternilai. St. Yohanes Maria Vianney hidup dalam kesederhanaan dan mempersembahkan seluruh dirinya demi umatnya. Mereka menunjukkan bahwa harta dunia hanya punya nilai bila dijadikan sarana menuju kekudusan. Dengan cara ini, harta menjadi berkat, bukan berhala.
Saudara-saudari, hari ini kita diajak untuk jujur menilai hati kita. Apakah harta yang kita miliki sungguh menjadi berkat yang dipakai untuk menolong sesama, ataukah ia diam-diam sudah menjadi berhala yang kita puja dan perbudak? Paus Fransiskus memberi peringatan yang sangat relevan: “Jangan biarkan dirimu diperbudak uang. Pakailah uang untuk berbuat baik, untuk mencintai, untuk membangun dunia yang lebih adil.”
Maka marilah kita mohon rahmat agar harta yang Tuhan percayakan kepada kita sungguh menjadi berkat, bukan berhala. Semoga kita bijak mengelolanya, setia kepada Allah, dan rela berbagi demi kebaikan bersama. Dengan begitu, kita mewartakan dengan hidup kita sendiri bahwa hanya Allah yang layak menjadi Tuan kita, bukan Mamon. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Hari Minggu Kitab Suci Nasional - MB XXIII Tahun C - 07 September 2025
Bacaan I : Keb. 9:13-18
Bacaan II : Flm. 9b-10, 12-17
Bacaan Injil : Luk. 14:25-33
Hati yang Merdeka untuk Kristus
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Injil hari ini menghadirkan tuntutan Yesus yang sangat serius bagi setiap orang yang mau mengikuti-Nya: mengutamakan Dia di atas segalanya, siap memikul salib, dan berani melepaskan keterikatan pada harta. Yesus tidak sedang mencari pengikut yang setengah hati atau ikut hanya karena euforia. Ia menuntut komitmen total.
Paus Fransiskus pernah mengingatkan: “Salib bukan dekorasi, tetapi kompas hidup seorang Kristiani.” Dengan kata lain, salib adalah arah dan gaya hidup, bukan sekadar hiasan.
Boleh Memiliki Dunia, Hati Hanya untuk Allah
Yesus tidak pernah berkata bahwa kita harus membuang semua yang kita miliki. Ia justru menekankan: jangan sampai harta, jabatan, atau teknologi menguasai hati kita. Kita boleh memiliki dunia, tetapi jangan biarkan dunia memiliki hati kita.
Santo Agustinus mengingatkan perbedaan antara memakai (uti) dan menikmati (frui): segala sesuatu di dunia boleh kita gunakan sebagai sarana menuju Allah, tetapi hanya Allah sendiri yang layak dinikmati sebagai tujuan akhir. Ketika urutannya terbalik, kita jatuh ke dalam perbudakan harta, jabatan, atau gengsi.
Keterikatan Modern yang Mengikat Hati
Kalau kita jujur, ada banyak bentuk keterikatan zaman modern yang membuat kita sulit mengikuti Yesus dengan bebas: kecanduan media sosial yang haus akan “likes” dan komentar; gaya hidup konsumtif yang membuat kita bekerja tanpa henti demi status; jabatan yang sering membuat orang lupa melayani; bahkan rasa takut kehilangan kenyamanan yang membuat kita kompromi terhadap dosa. Semua ini adalah “berhala” modern yang seolah kecil, tetapi perlahan-lahan menguasai hati kita.
Paus Benediktus XVI menegaskan: “Iman yang tidak berani kehilangan sesuatu tidak akan pernah benar-benar menemukan Kristus.”
Contoh Konkret Melepaskan Hati
Lepas dari keterikatan bukan berarti hidup tanpa apa-apa, tetapi hidup dengan hati yang bebas. Misalnya: seorang ayah boleh bekerja keras mencari rezeki, tetapi tetap pulang dengan hati yang utuh bagi keluarga, bukan tersita seluruhnya oleh pekerjaan. Seorang pejabat boleh punya kuasa, tetapi tidak memakainya untuk menindas, melainkan melayani rakyat kecil. Seorang anak muda boleh menggunakan teknologi, tetapi tidak diperbudak gawai; ia memakainya untuk belajar, berjejaring dalam kebaikan, bahkan mewartakan Injil. Di situlah bedanya: dunia dipakai, tetapi hati tetap milik Kristus.
Hidup sebagai Murid Sejati
Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan menegaskan keterbatasan manusia, tetapi juga janji Roh Allah yang menuntun. Bacaan kedua dari Surat Filemon memperlihatkan bahwa Injil mengubah relasi: Onesimus yang dulu budak kini diterima sebagai saudara. Artinya, ketika hati dikuasai Kristus, cara kita bekerja, mengelola harta, dan membangun relasi akan diubah. Kita menjadi murid yang benar-benar bebas — bebas untuk mengasihi, bebas untuk melayani, bebas untuk memikul salib.
Rumah pastor dan kantor pastoral yang kita berkati hari ini bukan sekadar bangunan untuk kenyamanan, melainkan tanda nyata kehadiran Kristus di tengah umat. Yesus sendiri berkata bahwa Ia datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Maka rumah ini dipanggil untuk menjadi rumah pelayanan: tempat umat menemukan telinga yang mendengar, hati yang menyambut, dan tangan yang siap membantu. Hati yang merdeka dari keterikatan duniawi akan menjadikan rumah ini bukan benteng pribadi, melainkan pondok gembala yang terbuka, sederhana, dan penuh kasih.
Kita boleh memiliki rumah ini, tetapi hati kita hanya milik Kristus. Gedung pastoral ini menjadi pusat misi, tempat koordinasi karya, dan ruang perjumpaan iman, agar seluruh umat merasakan bahwa mereka dicintai Tuhan. Paus Fransiskus mengingatkan para imam untuk menjadi gembala yang “berbau domba,” artinya dekat dan akrab dengan umat. Dengan berkat ini, marilah kita mohon rahmat agar rumah dan kantor paroki ini sungguh dipakai untuk pelayanan, bukan hanya untuk kenyamanan, sehingga setiap langkah di dalamnya mengalirkan terang dan kasih Kristus bagi seluruh umat Allah.
Penutup: Hati yang Merdeka
Saudara-saudari terkasih, Yesus mengundang kita untuk memeriksa: apakah hatiku dimiliki dunia, ataukah aku sungguh milik Kristus? Kita boleh memiliki harta, jabatan, teknologi, bahkan kenyamanan; tetapi jangan biarkan itu semua memiliki hati kita. Hanya hati yang merdeka yang mampu mengikuti Kristus sampai akhir. Mari kita mohon rahmat agar hidup kita sungguh berpusat pada Yesus, sehingga kita layak disebut murid sejati, yang siap memikul salib dengan kasih dan memasuki logika Kerajaan Allah. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Hari Minggu Kitab Suci Nasional - MB XXIII Tahun C - 07 September 2025
Bacaan I : Keb. 9:13-18
Bacaan II : Flm. 9b-10, 12-17
Bacaan Injil : Luk. 14:25-33
Hati yang Merdeka untuk Kristus
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Injil hari ini menghadirkan tuntutan Yesus yang sangat serius bagi setiap orang yang mau mengikuti-Nya: mengutamakan Dia di atas segalanya, siap memikul salib, dan berani melepaskan keterikatan pada harta. Yesus tidak sedang mencari pengikut yang setengah hati atau ikut hanya karena euforia. Ia menuntut komitmen total.
Paus Fransiskus pernah mengingatkan: “Salib bukan dekorasi, tetapi kompas hidup seorang Kristiani.” Dengan kata lain, salib adalah arah dan gaya hidup, bukan sekadar hiasan.
Boleh Memiliki Dunia, Hati Hanya untuk Allah
Yesus tidak pernah berkata bahwa kita harus membuang semua yang kita miliki. Ia justru menekankan: jangan sampai harta, jabatan, atau teknologi menguasai hati kita. Kita boleh memiliki dunia, tetapi jangan biarkan dunia memiliki hati kita.
Santo Agustinus mengingatkan perbedaan antara memakai (uti) dan menikmati (frui): segala sesuatu di dunia boleh kita gunakan sebagai sarana menuju Allah, tetapi hanya Allah sendiri yang layak dinikmati sebagai tujuan akhir. Ketika urutannya terbalik, kita jatuh ke dalam perbudakan harta, jabatan, atau gengsi.
Keterikatan Modern yang Mengikat Hati
Kalau kita jujur, ada banyak bentuk keterikatan zaman modern yang membuat kita sulit mengikuti Yesus dengan bebas: kecanduan media sosial yang haus akan “likes” dan komentar; gaya hidup konsumtif yang membuat kita bekerja tanpa henti demi status; jabatan yang sering membuat orang lupa melayani; bahkan rasa takut kehilangan kenyamanan yang membuat kita kompromi terhadap dosa. Semua ini adalah “berhala” modern yang seolah kecil, tetapi perlahan-lahan menguasai hati kita.
Paus Benediktus XVI menegaskan: “Iman yang tidak berani kehilangan sesuatu tidak akan pernah benar-benar menemukan Kristus.”
Contoh Konkret Melepaskan Hati
Lepas dari keterikatan bukan berarti hidup tanpa apa-apa, tetapi hidup dengan hati yang bebas. Misalnya: seorang ayah boleh bekerja keras mencari rezeki, tetapi tetap pulang dengan hati yang utuh bagi keluarga, bukan tersita seluruhnya oleh pekerjaan. Seorang pejabat boleh punya kuasa, tetapi tidak memakainya untuk menindas, melainkan melayani rakyat kecil. Seorang anak muda boleh menggunakan teknologi, tetapi tidak diperbudak gawai; ia memakainya untuk belajar, berjejaring dalam kebaikan, bahkan mewartakan Injil. Di situlah bedanya: dunia dipakai, tetapi hati tetap milik Kristus.
Hidup sebagai Murid Sejati
Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan menegaskan keterbatasan manusia, tetapi juga janji Roh Allah yang menuntun. Bacaan kedua dari Surat Filemon memperlihatkan bahwa Injil mengubah relasi: Onesimus yang dulu budak kini diterima sebagai saudara. Artinya, ketika hati dikuasai Kristus, cara kita bekerja, mengelola harta, dan membangun relasi akan diubah. Kita menjadi murid yang benar-benar bebas — bebas untuk mengasihi, bebas untuk melayani, bebas untuk memikul salib.
Rumah pastor dan kantor pastoral yang kita berkati hari ini bukan sekadar bangunan untuk kenyamanan, melainkan tanda nyata kehadiran Kristus di tengah umat. Yesus sendiri berkata bahwa Ia datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Maka rumah ini dipanggil untuk menjadi rumah pelayanan: tempat umat menemukan telinga yang mendengar, hati yang menyambut, dan tangan yang siap membantu. Hati yang merdeka dari keterikatan duniawi akan menjadikan rumah ini bukan benteng pribadi, melainkan pondok gembala yang terbuka, sederhana, dan penuh kasih.
Kita boleh memiliki rumah ini, tetapi hati kita hanya milik Kristus. Gedung pastoral ini menjadi pusat misi, tempat koordinasi karya, dan ruang perjumpaan iman, agar seluruh umat merasakan bahwa mereka dicintai Tuhan. Paus Fransiskus mengingatkan para imam untuk menjadi gembala yang “berbau domba,” artinya dekat dan akrab dengan umat. Dengan berkat ini, marilah kita mohon rahmat agar rumah dan kantor paroki ini sungguh dipakai untuk pelayanan, bukan hanya untuk kenyamanan, sehingga setiap langkah di dalamnya mengalirkan terang dan kasih Kristus bagi seluruh umat Allah.
Penutup: Hati yang Merdeka
Saudara-saudari terkasih, Yesus mengundang kita untuk memeriksa: apakah hatiku dimiliki dunia, ataukah aku sungguh milik Kristus? Kita boleh memiliki harta, jabatan, teknologi, bahkan kenyamanan; tetapi jangan biarkan itu semua memiliki hati kita. Hanya hati yang merdeka yang mampu mengikuti Kristus sampai akhir. Mari kita mohon rahmat agar hidup kita sungguh berpusat pada Yesus, sehingga kita layak disebut murid sejati, yang siap memikul salib dengan kasih dan memasuki logika Kerajaan Allah. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XXII Tahun C - 31 Agustus 2025
Bacaan I : Sir. 3:17-18,20,28-29
Bacaan II : Ibr. 12:18-19,22-24a
Bacaan Injil : Luk. 14:1,7-14
Kerendahan Hati dan Kasih Tanpa Pamrih: Jalan Masuk Kerajaan Allah
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Injil hari ini menampilkan dua pesan yang tajam dari Yesus.
Pertama, Ia mengoreksi kecenderungan manusia mencari tempat terhormat: “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan; barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Kedua, Ia menantang egoisme relasional: jangan hanya mengundang mereka yang bisa membalas, tetapi undanglah mereka yang miskin, cacat, lumpuh, dan buta — yang tidak mampu membalas sama sekali.
Kedua pesan ini bertemu dalam satu titik: hanya kerendahan hati dan kasih tanpa pamrih yang membuka jalan menuju logika Kerajaan Allah. Kerendahan hati membersihkan hati dari kesombongan; kasih tanpa pamrih membersihkan kasih dari kepentingan.
Namun, saudara-saudari, apakah hanya dua hal ini syarat masuk ke dalam Kerajaan Allah? Bacaan lain hari ini memberi perspektif lebih luas. Sirakh menegaskan: “Semakin besar engkau, semakin harus engkau merendah, supaya engkau mendapat kasih karunia di hadapan Tuhan” (Sir 3:18).
Surat kepada orang Ibrani mengingatkan bahwa kita dipanggil bukan kepada gunung yang menakutkan, melainkan ke hadirat Allah yang penuh belas kasih. Jadi, kerendahan hati dan kasih tanpa pamrih memang inti, tetapi keduanya tidak berdiri sendiri.
Mereka terkait erat dengan pertobatan, iman, dan kerahiman. Santo Agustinus berkata: “Jalan menuju surga sempit bukan karena jalannya kecil, tetapi karena orang yang membawanya terlalu besar oleh kesombongan.” Artinya, pintu sempit hanya bisa dilalui hati yang sederhana, yang rela bertobat dan percaya penuh kepada Tuhan.
Paus Fransiskus sering mengingatkan bahaya “kekristenan kosmetik” — iman yang indah di luar tetapi rapuh di dalam. Orang yang hanya mencari kehormatan atau memberi demi pamrih terjebak dalam kekristenan kosmetik. Sebaliknya, iman sejati menuntut keotentikan: kerendahan hati yang jujur, kasih yang tulus, serta keberanian hidup dalam pertobatan terus-menerus.
Paus Benediktus XVI menambahkan: “Iman tidak bisa hanya menjadi adat istiadat, tetapi harus menjadi perjumpaan nyata dengan Kristus yang mengubah hidup.”
Saudara-saudari, Injil ini juga menegur kita dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia modern, banyak “tempat terhormat” yang kita kejar: status sosial, jumlah pengikut di media sosial, kekuasaan, bahkan pengaruh dalam Gereja.
Banyak pula “undangan pamrih” yang kita lakukan: kita berbuat baik agar dipuji, agar mendapat imbalan, atau sekadar untuk menjaga gengsi. Namun Yesus berkata dengan jelas: kasih yang sejati adalah kasih yang memberi tanpa balas, karena di situlah kita menyerupai kasih Allah sendiri.
“Kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm 5:5) — kasih yang murah hati, tanpa syarat, tanpa pamrih.
Karena itu, hari ini kita dipanggil untuk masuk ke dalam logika Kerajaan Allah: dengan kerendahan hati yang menanggalkan kesombongan, dengan kasih tanpa pamrih yang menanggalkan kepentingan, dengan pertobatan yang menanggalkan dosa, dengan iman yang teguh, dan dengan kerahiman yang rela mengampuni.
Semuanya bermuara pada satu hal: hidup yang berpusat pada Kristus, bukan pada diri sendiri. Inilah syarat sejati untuk ikut dalam perjamuan Kerajaan Allah.
Saudara-saudari terkasih, marilah kita memohon rahmat agar tidak terjebak pada kehormatan palsu dan kasih yang berhitung untung-rugi.
Mari kita belajar rendah hati seperti Kristus yang “mengosongkan diri-Nya” (Flp 2:7), dan mengasihi seperti Dia yang memberi diri sampai tuntas di kayu salib.
Dengan begitu, kita sungguh siap mendengar janji Yesus: “Engkau akan mendapat balasannya pada hari kebangkitan orang-orang benar.” Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XXI Tahun C - 24 Agustus 2025
Bacaan I : Yes. 66:18-21
Bacaan II : Ibr. 12:5-7,11-13
Bacaan Injil : Luk. 13:22-30
Berjuang Masuk Melalui Pintu yang Sempit
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
“Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit” (Luk 13:24). Latar belakang pernyataan Yesus ini muncul dari konteks di mana orang-orang Yahudi pada zaman-Nya merasa diri mereka sudah “aman” hanya karena menjadi bagian dari umat pilihan atau karena secara lahiriah menaati hukum Taurat. Yesus ingin meluruskan anggapan itu: keselamatan tidak otomatis datang dari status etnis, tradisi, atau kedekatan formal dengan Bait Allah, melainkan dari pertobatan hati dan kesetiaan hidup. Karena itu Ia memakai gambaran “pintu sempit” untuk menunjukkan bahwa jalan menuju Kerajaan Allah menuntut perjuangan pribadi, askese, kerendahan hati, dan kesediaan meninggalkan keterikatan pada dosa serta egoisme. Dengan kata lain, Yesus menekankan bahwa keselamatan adalah undangan yang universal, tetapi tanggapannya menuntut kesungguhan, bukan hanya sekadar klaim atau identitas luar.
Yesus menggambarkan pintu itu sempit, sebab hanya bisa dilewati oleh mereka yang rela merendahkan diri, menanggalkan beban ego, kesombongan, dendam, dan keterikatan pada harta. Santo Agustinus dengan tajam berkata: “Jalan menuju surga sempit bukan karena jalannya kecil, tetapi karena orang yang membawanya terlalu besar oleh kesombongan.” Betapa sering kita gagal masuk, bukan karena Tuhan menutup pintu, tetapi karena kita enggan melepaskan beban yang kita peluk.
Bacaan pertama dari Nabi Yesaya memperlihatkan bahwa keselamatan terbuka bagi semua bangsa dan bahasa. Tetapi undangan universal ini menuntut tanggapan pribadi: apakah kita sungguh mau menyesuaikan hidup dengan kehendak Tuhan? Sedangkan Surat kepada orang Ibrani menegaskan bahwa jalan menuju Kerajaan Allah bukanlah jalan instan. Tuhan mendidik kita melalui disiplin iman: doa yang konsisten, pelayanan yang tulus, kesabaran dalam penderitaan. Paus Benediktus XVI pernah mengingatkan: “Allah tidak menjanjikan jalan yang mudah, tetapi menjanjikan bahwa Ia menyertai kita dalam setiap perjuangan menuju kebaikan.”
Saudara-saudari, Yesus juga memberi peringatan yang keras: banyak yang akan berseru “Tuhan, Tuhan,” tetapi ditolak karena hidup mereka tidak sejalan dengan Injil. Artinya, keaktifan lahiriah — hadir di Misa, ikut devosi, sibuk dalam kegiatan Gereja — tidak otomatis menjamin keselamatan bila tidak diiringi pertobatan hati. Santo Yohanes Krisostomus menegaskan: “Tidak cukup mendengar Injil, yang dibutuhkan adalah melakukannya. Sebab mendengar tanpa melakukan hanyalah menambah penghukuman.” Mendengar tanpa melakukan hanya seperti membangun rumah di atas dasar pasir.
Paus Fransiskus dalam sebuah homili berkata: “Pintu sempit itu adalah Kristus sendiri. Untuk masuk, kita harus mengecilkan diri, membiarkan kesombongan lenyap. Pintu itu terbuka lebar, tetapi hanya kerendahan hati yang bisa melewatinya.” Inilah logika rohani yang berlawanan dengan dunia: yang meninggikan diri akan direndahkan, yang merendahkan diri akan ditinggikan. Santa Teresa dari Kalkuta menambahkan dengan sederhana: “Hanya dengan kasih yang rendah hati kita bisa masuk surga.”
Saudara-saudari, marilah kita bertanya: apa yang menjadi “bawaan berat” dalam hidup kita yang membuat kita sulit masuk melalui pintu sempit? Apakah ambisi, iri hati, gaya hidup hedonis, atau mungkin keengganan untuk mengampuni? Mari kita mohon rahmat Tuhan agar kita berani meletakkannya di kaki-Nya. Sebab, seperti Yesus tegaskan, “Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.”
Maka, janganlah kita takut pada pintu sempit itu. Justru di sanalah jalan menuju sukacita sejati. Marilah kita berjuang dengan kerendahan hati, dengan kasih yang tulus, dan dengan iman yang teguh. Dengan Maria, Ratu Surga, yang hidupnya adalah teladan pintu sempit dalam “ya” yang total kepada Allah, kita pun diarahkan kepada Kristus Sang Jalan. Dan kelak, ketika hari panggilan kita tiba, semoga kita diterima masuk ke dalam pesta Kerajaan-Nya, bukan sebagai orang asing, tetapi sebagai sahabat yang setia. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
HARI RAYA KEMERDEKAAN RI 80 TAHUN - 17 Agustus 2025
Bacaan I : Sir. 10:1-8
Bacaan II : 1Ptr. 2:13-17
Bacaan Injil : Mat. 22:15-21
“Mengasihi Tanah Air, Mengabdi Tuhan – Menuju Kemerdekaan Sejati”
1. Pendahuluan – Kemerdekaan yang Diperjuangkan
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Hari ini kita bersyukur merayakan 80 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Pagi 17 Agustus 1945, di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Bung Karno dan Bung Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…”
Kata-kata itu menggetarkan jiwa bangsa dan menggema ke seluruh dunia. Namun, di balik proklamasi itu ada darah para pejuang yang tumpah, air mata para ibu yang berdoa, dan nyawa yang rela dikorbankan. Kemerdekaan ini bukan hadiah, melainkan buah dari perjuangan tanpa pamrih, yang mempersatukan rakyat dari berbagai suku, bahasa, dan agama dalam satu tekad: Indonesia merdeka.
2. Kemerdekaan yang Diuji – Realitas Zaman Kita
Delapan puluh tahun kemudian, kita patut bertanya: apakah kita sungguh merdeka? Secara politik, kita bebas dari penjajahan asing. Namun secara moral dan rohani, banyak dari kita masih terjajah oleh korupsi, keserakahan, kebencian, kebohongan, dan ketidakpedulian. Polarisasi politik memecah belah bangsa; hoaks merusak kepercayaan; ketidakadilan ekonomi memperlebar jurang kaya-miskin; dan kerusakan lingkungan mengancam masa depan anak cucu kita.
Bung Hatta pernah berkata: “Kemerdekaan hanyalah jembatan; yang di seberangnya adalah masyarakat adil dan makmur.” Jembatan itu sudah kita lewati, tetapi apakah kita sudah sampai pada tujuannya? Jawabannya tergantung pada kemerdekaan hati kita—apakah kita sungguh bebas dari egoisme, iri hati, dan ketidakpedulian.
3. Hikmah Filsafat – Sokrates dan Kemerdekaan Sejati
Filsuf Yunani Sokrates pernah menegaskan bahwa kemerdekaan sejati tidak terletak pada kuasa melakukan apa saja yang diinginkan, tetapi pada kemampuan menguasai diri dan hidup dalam kebenaran. Orang yang tidak mampu menguasai dirinya, kata Sokrates, “adalah budak, walaupun ia mungkin seorang raja.”
Bagi Sokrates, kebebasan tidak lahir dari memuaskan hawa nafsu, melainkan dari pengekangan diri demi kebajikan. Ia memilih menderita ketidakadilan daripada melakukan ketidakadilan, karena integritas lebih berharga daripada keuntungan sesaat. Inilah kemerdekaan yang tidak dapat dirampas oleh siapapun—kemerdekaan yang berakar pada kebijaksanaan, kebaikan, dan penguasaan diri.
4. Pesan Kitab Suci – Pemimpin Bijak, Rakyat Damai
Bacaan pertama, Sirakh 10:1–8, mengingatkan: “Pemerintah yang bijaksana menjamin ketenteraman rakyat, dan pemerintahan seorang bijak akan teratur.” Sebaliknya, pemimpin yang egois akan menyeret bangsanya ke kehancuran.
Bacaan kedua, 1 Petrus 2:13–17, menegaskan: “Hiduplah sebagai orang merdeka, dan janganlah menggunakan kemerdekaan itu sebagai selubung untuk kejahatan, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” Rasul Petrus mengajarkan dua kewajiban yang tak terpisahkan:
1. Kepada Negara – taat hukum, menjaga persatuan, dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Kepada Tuhan – takut akan Allah, hidup kudus, dan menjadi saksi kasih di mana pun kita berada.
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari perintah keempat: menghormati “ibu pertiwi” yang melahirkan kita. Paus Fransiskus menambahkan dalam Fratelli Tutti bahwa patriotisme sejati tidak menutup diri dari bangsa lain, tetapi membangun persaudaraan lintas batas.
5. Prinsip Emas Yesus – Fondasi Kemerdekaan yang Berkat
Yesus memberi pedoman universal: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12). Prinsip ini adalah inti dari keadilan dan kasih—menempatkan diri pada posisi orang lain sebelum bertindak. Bayangkan sebuah Indonesia di mana pemimpin selalu memikirkan rakyat sebelum dirinya; warga saling menghormati tanpa memandang perbedaan; dan keberagaman menjadi kekuatan pemersatu. Kemerdekaan tanpa kasih hanyalah kebebasan yang hampa; tetapi kemerdekaan yang diwarnai kasih akan menjadi berkat bagi semua.
6. Penutup – Menjadi Penjaga Api Kemerdekaan Sejati
Saudara-saudari terkasih, Kemerdekaan yang kita rayakan hari ini adalah anugerah Tuhan sekaligus amanat sejarah. Kemerdekaan politik telah kita miliki; kini kita dipanggil menuju kemerdekaan sejati—kemerdekaan hati yang menguasai diri, memilih kebaikan, hidup dalam kebenaran, dan mengabdi kepada Tuhan serta sesama.
Mari kita menjadi penjaga api kemerdekaan: jujur dalam bekerja, tulus dalam mengasihi, setia dalam iman, dan berani dalam membela kebenaran. Dengan begitu, kita bukan hanya menjadi warga negara yang baik, tetapi juga murid Kristus yang setia.
Di hari bersejarah ini, marilah kita berseru bersama: Tuhan, berkatilah Indonesia. Jadikan kami anak-anak-Mu yang merdeka hati, teguh iman, setia melayani, dan tulus mengasihi. Merdeka! Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga - 10 Agustus 2025
Bacaan I : Why. 11:19a; 12:1,3-6a,10ab
Bacaan II : 1Kor. 15:20-26
Bacaan Injil : Lukas 1:39-56
“Maria Bergegas – Gereja yang Hidup”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Hari ini kita merayakan salah satu perayaan besar Gereja, Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Gereja mengajarkan bahwa Maria, Bunda Tuhan kita, di akhir hidupnya di dunia diangkat ke surga, tubuh dan jiwanya, menikmati kemuliaan bersama Kristus. Ini adalah pengharapan besar bagi kita semua—bahwa hidup yang setia kepada Allah akan berakhir bukan di kuburan, tetapi dalam pelukan Bapa di surga.
Namun Injil hari ini tidak langsung menceritakan Maria diangkat ke surga. Justru yang kita dengar adalah kisah sederhana namun penuh makna: Maria bergegas ke pegunungan Yudea untuk mengunjungi Elisabet. Kata bergegas di sini penting. Dalam bahasa aslinya, Lukas menggunakan frasa meta spoudēs—bukan sekadar berjalan cepat, tetapi melangkah dengan semangat, digerakkan oleh kasih dan sukacita. Maria baru saja menerima kabar luar biasa dari malaikat bahwa ia akan mengandung Mesias. Ia bisa saja tinggal di rumah, memikirkan diri sendiri. Tetapi Maria memilih keluar dari kenyamanannya untuk melayani orang lain.
Saudara-saudari, Maria yang bergegas ini adalah gambaran Gereja yang hidup—Gereja yang tidak hanya berkutat pada urusan internal, tetapi yang keluar dari dirinya untuk bertemu, melayani, dan membawa Kristus kepada orang lain. Paus Benediktus XVI menyebut Maria sebagai bintang penginjilan, karena ia membawa Yesus bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kehadiran yang penuh kasih. Paus Fransiskus menambahkan bahwa Gereja sejati adalah Gereja yang “berjalan keluar” (una Chiesa in uscita), tidak tinggal diam, tetapi mendatangi yang lemah, yang sakit, yang menderita, dan yang tersisih.
Dorongan Maria untuk bergegas lahir dari tiga kekuatan rohani yang juga harus menjadi milik kita:
1. Kasih yang ingin melayani – karena kasih sejati tidak bisa menunggu.
2. Sukacita yang ingin dibagikan – karena sukacita Injil bertambah saat dibagikan.
3. Ketaatan pada Sabda Allah – karena setiap langkah pelayanan adalah jawaban atas panggilan Tuhan.
Saudara-saudari, Perayaan Maria Diangkat ke Surga mengingatkan kita bahwa pelayanan bukanlah beban yang menguras hidup, tetapi jalan yang memuliakan kita. Maria mengajar kita bahwa setiap langkah untuk melayani sesama adalah langkah menuju surga. Kalau kita mau sampai pada kemuliaan seperti Maria, kita pun harus belajar “bergegas” dalam karya kasih: mendatangi yang membutuhkan, mengulurkan tangan pada yang terjatuh, dan membawa Kristus dalam perkataan maupun perbuatan.
Maka hari ini, marilah kita meneladani Bunda Maria: keluar dari kenyamanan, bergerak dengan semangat, dan membawa Kristus ke mana pun kita pergi. Sebab seperti Maria, kita pun dipanggil untuk menjadi Gereja yang hidup—Gereja yang bergegas untuk mengasihi. Dan di akhir hidup kita, semoga Tuhan berkata: “Mari masuk ke dalam kemuliaan-Ku,” seperti Ia menyambut Maria di surga. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XVIII - 03 Agustus 2025
Bacaan I : Pengkhotbah. 1:2; 2:21-23 (klik untuk membacanya)
Bacaan II : Kolose 3:1-5.9-11
Bacaan Injil : Lukas 12:13-21
Apa yang Kau Cari dalam Hidup Ini? Jangan Sampai Kesia-siaan Membungkus Keberhasilan
Pendahuluan: Dunia Penuh Pencarian, Tapi Tidak Semua Bernilai
Saudara-saudari terkasih,semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Kita semua sedang dan selalu akan hidup dalam pencarian. Ada yang mengejar penghidupan yang lebih baik, ada yang membangun usaha, ada yang memperjuangkan anak-anaknya, atau membangun pelayanan dan karya. Semua sah. Semua baik.
Namun Sabda Tuhan hari ini mengajak kita merenung dalam: “Apa yang sebenarnya sedang kita cari dalam hidup ini?” Dan apakah yang kita kejar itu sungguh bernilai kekal atau hanya tampak megah namun hampa?
1. Kesia-siaan yang Tidak Terasa Tapi Mematikan Jiwa
Kitab Pengkhotbah menyapa kita dengan jujur: “Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia!” Banyak orang hidup dengan bekerja keras siang malam, tetapi akhirnya merasa kosong dan lelah jiwa.
Yesus dalam Injil Lukas 12:13–21 bercerita tentang seorang yang sukses besar—ladangnya menghasilkan panen melimpah. Ia berkata pada dirinya, “Tenanglah, makanlah, bersenang-senanglah.”
Namun Allah menjawab: “Hai engkau orang bodoh, malam ini juga jiwamu akan diambil darimu!” Ia lupa satu hal penting: bahwa hidup ini sementara, dan jiwa harus dipersiapkan untuk kekekalan.
2. Pencarian-Pencarian Sia-sia Zaman Ini
Zaman sekarang makin canggih, tetapi hati manusia makin lelah. Banyak orang terjebak dalam pencarian yang tampak menjanjikan, namun kosong secara rohani:
a. Mengejar kekayaan dengan cara curang atau merugikan orang lain. “Asal kaya, tak peduli cara.” Tapi apa artinya kaya kalau hati keras dan tak ada damai?
b. Mengejar citra dan pengakuan di media sosial. Kita hidup demi penilaian orang. Tapi Allah melihat hati, bukan tampilan.
c. Mengejar karier dan prestasi tanpa makna pelayanan. Hebat di luar, tetapi rapuh dan kering dalam jiwa. Apa gunanya?
d. Mengejar kebebasan tanpa arah. Tak mau terikat. Tapi akhirnya terikat oleh kesepian dan dosa. Yesus menegaskan: Jangan hanya mengumpulkan harta di bumi, tetapi jadilah kaya di hadapan Allah. (Luk 12:21)
3. Hidup Baru Menurut Roh: Arahkan Pencarianmu ke Atas
Dalam bacaan kedua, Rasul Paulus mengajak kita: “Carilah perkara yang di atas… matikanlah segala sesuatu yang duniawi.” (Kol 3:1–5)
Hidup rohani bukan pelarian dari dunia, tetapi arah bagi dunia. Bekerja boleh, tetapi jangan lupa berdoa. Mengejar rezeki sah, tetapi jangan mengabaikan kasih dan kejujuran. Membangun masa depan itu baik, tapi jangan mengorbankan hidup kekal.
Penutup: Mari Hidup Lebih Bijaksana dan Bernilai Kekal
Mazmur 90 berkata: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami, supaya kami beroleh hati yang bijaksana.”
Orang bijak bukan yang paling kaya, paling viral, atau paling hebat. Orang bijak adalah dia yang tahu: bahwa hidup ini singkat, dan bahwa hanya kasih, kebaikan, dan kebenaran yang akan kekal.
Aksi Nyata Minggu Ini:
1. Renungkan kembali: Apa yang paling aku kejar dalam hidup ini?
2. Periksa: Apakah caraku mengejar itu sesuai dengan kehendak Tuhan?
3. Komitmenkan dirimu untuk menjadi “kaya di hadapan Allah”: Lewat kejujuran, kesederhanaan, dan kasih terhadap sesama.
Peneguhan: “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?”
(Mrk 8:36) “Jadilah pribadi yang mencari Tuhan lebih dari segalanya—dan kamu tak akan sia-sia.” Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XVII - 27 Juli 2025 - Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia
Bacaan I : Kej. 18:20-33 (klik untuk membacanya)
Bacaan II : Kol. 2:12-14
Bacaan Injil : Luk. 11:1-13
“Kakek-Nenek: Penjaga Akar Iman, Jembatan Kasih Antar Generasi”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, terutama para kakek-nenek dan orang tua lansia yang kami cintai, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini Gereja memberikan penghormatan istimewa kepada Anda—para kakek dan nenek, para lansia yang telah mengarungi waktu dan tetap setia memelihara iman.
Paus Fransiskus mengatakan: “Tanpa kakek-nenek, generasi muda kehilangan ingatan. Tanpa lansia, dunia kehilangan akar.”
Dan sungguh, dunia kita sedang mengalami itu: kehilangan akar, kehilangan makna, kehilangan telinga yang mendengar dan hati yang mengerti. Maka hari ini kita bersyukur atas hadirnya Anda semua sebagai pengingat akan kasih yang bertahan, doa yang terus berlanjut, dan iman yang diwariskan dengan kesetiaan.
1. Teladan St. Yoakim dan St. Anna: Pewaris dan Penerus Iman
Gereja menghormati St. Yoakim dan St. Anna sebagai kakek dan nenek Yesus. Meskipun Kitab Suci tidak mencatat kisah mereka secara rinci, Tradisi Suci Gereja mengenal mereka sebagai pasangan saleh, yang hidup dalam doa dan pengharapan.
Mereka telah lama menantikan keturunan. Dalam kesabaran dan iman, mereka tidak kehilangan harapan. Dalam usia tua, Allah memberi mereka seorang anak: Maria, yang kelak menjadi Bunda Sang Juruselamat. Dan dalam didikan mereka, Maria tumbuh menjadi wanita yang rendah hati, taat, dan penuh kasih.
Bisa kita bayangkan bagaimana Yoakim dan Anna mengajarkan Maria untuk:
Mendengarkan Sabda Allah,
Mendoakan mazmur-mazmur Daud,
Menjalani hidup dengan takut akan Tuhan.
Mereka tidak membesarkan seorang ratu dunia, tetapi seorang wanita kudus yang bersedia berkata: “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu.”
Maka peran kakek-nenek bukanlah sekadar merawat cucu, tetapi mewariskan nilai-nilai luhur—iman, pengharapan, dan kasih.
2. Pewaris Doa: Warisan yang Tak Terlihat Tapi Berkuasa
Injil hari ini (Lukas 11:1–13) mengajarkan kita tentang doa yang tekun dan percaya. Ketika murid meminta Yesus mengajarkan mereka berdoa, Ia memberikan Doa Bapa Kami dan menegaskan bahwa Bapa Surgawi tahu memberi yang terbaik bagi anak-anak-Nya.
Siapa yang pertama mengajarkan kita doa ini? Bukankah banyak dari kita belajar dari nenek yang mengajak kita berdoa rosario, dari kakek yang berlutut di ruang tamu, dari ibu yang menuntun kita membuat tanda salib sebelum tidur?
Iman tidak diwariskan lewat seminar, tetapi lewat kebiasaan sederhana: litani malam, doa makan, keheningan saat menghadiri Misa. Itulah liturgi hidup dalam keluarga, dan para lansia adalah imam-imamnya.
3. Akar Iman di Zaman yang Terburu-Buru
Bacaan pertama dari Kitab Kejadian (18:20–32) menampilkan Abraham sebagai teladan doa syafaat. Seperti seorang kakek yang memohon kepada Tuhan bagi kota dan bangsanya, Abraham melambangkan wajah doa umat lansia—tak bersuara di dunia, tapi lantang di hadapan Tuhan.
Hari ini banyak dari Anda mungkin merasa tidak berguna lagi—anak-anak sibuk, cucu-cucu bermain gawai, dunia bergerak terlalu cepat. Tetapi percayalah: “Doa Anda adalah nafas Gereja.” (Paus Fransiskus).
Setiap rosario yang Anda daraskan, setiap doa yang Anda ucapkan saat lampu dimatikan, setiap air mata yang Anda teteskan di ruang sepi—adalah kekuatan yang menopang Gereja.
4. Kakek-Nenek: Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan
Paus Yohanes Paulus II menyebut kakek-nenek sebagai: “Jembatan antara generasi, penghubung antara masa lalu dan masa depan.”
Tanpa jembatan ini, anak-anak hanya akan tahu budaya populer, bukan warisan iman. Tanpa jembatan ini, mereka tahu “tren terbaru” tapi tidak tahu “kisah penyelamatan.”
Hari ini, Yesus berkata: “Mintalah, maka kamu akan diberi... ketoklah, maka pintu akan dibukakan.” (Luk 11:9)
Maka mintalah kepada Tuhan agar Anda:
Tetap kuat untuk menjadi saksi iman dalam keluarga.
Tetap sabar dalam menasihati tanpa menggurui.
Tetap bersukacita walau dunia berubah.
Penutup:
Hormat dan Tanggung Jawab Kepada para lansia dan kakek-nenek: Terima kasih karena tetap berdoa saat kami lupa, tetap berharap saat kami putus asa, dan tetap mencintai meski kami jarang mengucapkan terima kasih.
Dan kepada anak-anak muda, kita diingatkan: Jangan lupakan sejarahmu. Jangan abaikan akar yang menopangmu. Peluklah nenekmu, temani kakekmu, dengarkan kisah mereka—di dalamnya ada suara Tuhan yang membentuk hidupmu.
Mari kita semua menjadi seperti Yoakim dan Anna—pribadi yang menyambungkan generasi, menanamkan nilai, dan mendampingi dengan kasih. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XVII - 27 Juli 2025 - Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia
Bacaan I : Kej. 18:20-33 (klik untuk membacanya)
Bacaan II : Kol. 2:12-14
Bacaan Injil : Luk. 11:1-13
“Kakek-Nenek: Penjaga Akar Iman, Jembatan Kasih Antar Generasi”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, terutama para kakek-nenek dan orang tua lansia yang kami cintai, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini Gereja memberikan penghormatan istimewa kepada Anda—para kakek dan nenek, para lansia yang telah mengarungi waktu dan tetap setia memelihara iman.
Paus Fransiskus mengatakan: “Tanpa kakek-nenek, generasi muda kehilangan ingatan. Tanpa lansia, dunia kehilangan akar.”
Dan sungguh, dunia kita sedang mengalami itu: kehilangan akar, kehilangan makna, kehilangan telinga yang mendengar dan hati yang mengerti. Maka hari ini kita bersyukur atas hadirnya Anda semua sebagai pengingat akan kasih yang bertahan, doa yang terus berlanjut, dan iman yang diwariskan dengan kesetiaan.
1. Teladan St. Yoakim dan St. Anna: Pewaris dan Penerus Iman
Gereja menghormati St. Yoakim dan St. Anna sebagai kakek dan nenek Yesus. Meskipun Kitab Suci tidak mencatat kisah mereka secara rinci, Tradisi Suci Gereja mengenal mereka sebagai pasangan saleh, yang hidup dalam doa dan pengharapan.
Mereka telah lama menantikan keturunan. Dalam kesabaran dan iman, mereka tidak kehilangan harapan. Dalam usia tua, Allah memberi mereka seorang anak: Maria, yang kelak menjadi Bunda Sang Juruselamat. Dan dalam didikan mereka, Maria tumbuh menjadi wanita yang rendah hati, taat, dan penuh kasih.
Bisa kita bayangkan bagaimana Yoakim dan Anna mengajarkan Maria untuk:
Mendengarkan Sabda Allah,
Mendoakan mazmur-mazmur Daud,
Menjalani hidup dengan takut akan Tuhan.
Mereka tidak membesarkan seorang ratu dunia, tetapi seorang wanita kudus yang bersedia berkata: “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu.”
Maka peran kakek-nenek bukanlah sekadar merawat cucu, tetapi mewariskan nilai-nilai luhur—iman, pengharapan, dan kasih.
2. Pewaris Doa: Warisan yang Tak Terlihat Tapi Berkuasa
Injil hari ini (Lukas 11:1–13) mengajarkan kita tentang doa yang tekun dan percaya. Ketika murid meminta Yesus mengajarkan mereka berdoa, Ia memberikan Doa Bapa Kami dan menegaskan bahwa Bapa Surgawi tahu memberi yang terbaik bagi anak-anak-Nya.
Siapa yang pertama mengajarkan kita doa ini? Bukankah banyak dari kita belajar dari nenek yang mengajak kita berdoa rosario, dari kakek yang berlutut di ruang tamu, dari ibu yang menuntun kita membuat tanda salib sebelum tidur?
Iman tidak diwariskan lewat seminar, tetapi lewat kebiasaan sederhana: litani malam, doa makan, keheningan saat menghadiri Misa. Itulah liturgi hidup dalam keluarga, dan para lansia adalah imam-imamnya.
3. Akar Iman di Zaman yang Terburu-Buru
Bacaan pertama dari Kitab Kejadian (18:20–32) menampilkan Abraham sebagai teladan doa syafaat. Seperti seorang kakek yang memohon kepada Tuhan bagi kota dan bangsanya, Abraham melambangkan wajah doa umat lansia—tak bersuara di dunia, tapi lantang di hadapan Tuhan.
Hari ini banyak dari Anda mungkin merasa tidak berguna lagi—anak-anak sibuk, cucu-cucu bermain gawai, dunia bergerak terlalu cepat. Tetapi percayalah: “Doa Anda adalah nafas Gereja.” (Paus Fransiskus).
Setiap rosario yang Anda daraskan, setiap doa yang Anda ucapkan saat lampu dimatikan, setiap air mata yang Anda teteskan di ruang sepi—adalah kekuatan yang menopang Gereja.
4. Kakek-Nenek: Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan
Paus Yohanes Paulus II menyebut kakek-nenek sebagai: “Jembatan antara generasi, penghubung antara masa lalu dan masa depan.”
Tanpa jembatan ini, anak-anak hanya akan tahu budaya populer, bukan warisan iman. Tanpa jembatan ini, mereka tahu “tren terbaru” tapi tidak tahu “kisah penyelamatan.”
Hari ini, Yesus berkata: “Mintalah, maka kamu akan diberi... ketoklah, maka pintu akan dibukakan.” (Luk 11:9)
Maka mintalah kepada Tuhan agar Anda:
Tetap kuat untuk menjadi saksi iman dalam keluarga.
Tetap sabar dalam menasihati tanpa menggurui.
Tetap bersukacita walau dunia berubah.
Penutup:
Hormat dan Tanggung Jawab Kepada para lansia dan kakek-nenek: Terima kasih karena tetap berdoa saat kami lupa, tetap berharap saat kami putus asa, dan tetap mencintai meski kami jarang mengucapkan terima kasih.
Dan kepada anak-anak muda, kita diingatkan: Jangan lupakan sejarahmu. Jangan abaikan akar yang menopangmu. Peluklah nenekmu, temani kakekmu, dengarkan kisah mereka—di dalamnya ada suara Tuhan yang membentuk hidupmu.
Mari kita semua menjadi seperti Yoakim dan Anna—pribadi yang menyambungkan generasi, menanamkan nilai, dan mendampingi dengan kasih. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XVI - 20 Juli 2025
Bacaan I : Kej. 18:1-10a (klik untuk membacanya)
Bacaan II : Kol. 1:24-28
Bacaan Injil : Luk. 10:38-42
Mendengarkan Lebih Dahulu: Dasar Pelayanan yang Membebaskan
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini, Sabda Tuhan menuntun kita untuk merenungkan hal yang sangat penting namun sering kita abaikan dalam hidup beriman: kebijaksanaan untuk mendengarkan sebelum melayani.
Dalam bacaan pertama, kita melihat Abraham, bapa orang beriman, menerima tiga tamu misterius. Ia segera berlari menyambut mereka, menunduk dan berkata, “Tuan-tuan, silakan singgah… biarlah hambamu mengambil air untuk membasuh kaki Tuan-tuan... dan silakan beristirahat.” Abraham tidak langsung menyodorkan bantuannya tanpa mendengar, tetapi bertanya dan memberi pilihan: “Apa yang Tuan-tuan kehendaki?”
Bandingkan dengan Injil hari ini. Marta, yang penuh semangat, menyambut Yesus ke rumahnya. Ia segera sibuk menyiapkan banyak hal untuk menjamu-Nya. Tapi ironisnya, dalam kesibukan itu, Marta tidak bertanya kepada Yesus apa yang Ia butuhkan. Ia langsung mengambil alih dengan persepsi sendiri. Dan ketika merasa tidak dibantu oleh Maria, ia mengeluh kepada Yesus. Namun Yesus menegurnya dengan lembut: “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara. Hanya satu yang perlu. Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil darinya.”
Apa bagian yang terbaik itu? Mendengarkan. Duduk di kaki Tuhan. Menerima kehadiran-Nya, bukan hanya sibuk untuk-Nya.
1. Mendengarkan Lebih Dahulu: Karakter Iman yang Bijaksana
Abraham dan Maria memberi teladan bahwa pelayanan sejati dimulai dari kepekaan akan kehendak Allah. Sementara Marta mencerminkan kita yang sering melayani berdasarkan apa yang kita pikir orang butuh, bukan berdasarkan apa yang benar-benar Tuhan kehendaki.
St. Benediktus pernah berkata: “Dengarkanlah dengan telinga hati.” Paus Fransiskus menegaskan: “Kehidupan Kristen bukan pertama-tama tentang berbuat banyak, tapi tentang menjadi dekat dengan Yesus.”
Gedung gereja, kegiatan pastoral, karya sosial… semua hanya akan bermakna bila lahir dari hati yang lebih dahulu mendengarkan Tuhan—bukan dari ambisi, keinginan membuktikan diri, atau rutinitas.
2. Mendengarkan Bukan Pasif, Tapi Aktif Dalam Cinta
Mendengarkan dalam Kitab Suci bukan sikap pasif. Mendengarkan adalah tindakan relasi yang mendalam. Maria tidak malas. Ia memilih menyimak Sabda yang menyelamatkan. Demikian juga Abraham. Setelah mendengarkan para tamunya, ia bergegas melayani, bukan sekadar karena kewajiban budaya, tetapi karena ia menyadari bahwa ia menjamu Allah sendiri.
Bacaan kedua dari Surat kepada Jemaat Kolose menyempurnakan pesan ini: Paulus menyadari bahwa hidupnya, bahkan penderitaannya, menjadi sarana untuk menghadirkan Sabda Allah kepada umat. Ia berkata, “Dialah yang kami beritakan... supaya setiap orang menjadi sempurna dalam Kristus.” Maka mendengarkan Sabda itu tidak berhenti pada kontemplasi, tapi menjelma dalam pewartaan dan kesetiaan hidup.
3. Dari Sabda Menuju Belas Kasih
Yesus tidak menolak pelayanan Marta. Tapi Ia ingin Marta (dan kita) melayani bukan dari kegelisahan dan kekhawatiran, tapi dari hati yang tenang karena sudah lebih dahulu bersama Tuhan.
Gereja yang sibuk namun lupa mendengarkan Sabda akan cepat lelah dan mudah frustrasi. Tapi Gereja yang duduk di kaki Yesus akan selalu menemukan kekuatan baru untuk melayani.
Maka Paus Benediktus XVI pernah berkata: “Bukan banyaknya kegiatan pastoral yang menjadi tanda kesuburan Gereja, tetapi kedalaman relasinya dengan Kristus.”
Saudara-saudari terkasih,
Hari ini, mari kita belajar seperti Abraham dan Maria: menjadi orang yang lebih dahulu hadir, mendengar, dan memahami. Dan mari kita sadari bahwa Sabda Tuhan bukan untuk dikagumi, tapi dihidupi; bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk dihayati dalam pelayanan kasih.
Bukan jumlah kegiatan yang Tuhan cari, tapi ketaatan yang lahir dari keheningan yang mendengarkan.
Mari duduk sejenak di kaki Yesus. Dan dari sana, berdiri dan melayani dengan hati yang penuh damai. Sebab hanya Sabda yang kita dengar dengan hati akan menghasilkan pelayanan yang benar-benar membawa hidup. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XV - 13 Juli 2025
Bacaan I : Ul. 30:10-14 (klik untuk membacanya)
Bacaan II : Kol. 1:15-20
Bacaan Injil : Luk. 10:25-37
Menjadi Sesama yang Penuh Belas Kasih
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Hari ini, Injil membawa kita kepada percakapan mendalam antara Yesus dan seorang ahli Taurat yang bertanya: “Siapakah sesamaku manusia?” Pertanyaan ini mungkin terdengar polos, tetapi sesungguhnya berisi godaan yang sangat manusiawi: untuk membatasi kasih. Kita cenderung mencari definisi sempit tentang siapa yang layak kita bantu. Tetapi Yesus membalikkan arah pertanyaan itu. Ia tidak menjawab, “Ini lho daftar siapa yang menjadi sesamamu,” tetapi Ia mengajak: “Jadilah sesama bagi siapa pun.”
Dalam perumpamaan itu, Yesus mengejutkan pendengarnya. Yang menjadi tokoh utama bukan imam, bukan orang Lewi—dua figur religius yang mestinya menjadi teladan belas kasih—tetapi seorang Samaria. Dalam konteks zaman itu, orang Samaria adalah kelompok yang dianggap sesat secara agama dan dibenci secara sosial. Namun justru dialah yang berhenti, berlutut, dan menyentuh luka. Dalam pikiran Yesus, sesama adalah siapa pun yang membutuhkan pertolongan, bahkan mereka yang berbeda secara suku, agama, dan latar belakang. Maka, belas kasih bukanlah urusan ras, bangsa, atau status sosial. Belas kasih adalah ukuran sejati keimanan.
Paus Fransiskus berkata: “Tidak ada situasi manusia, tidak ada orang yang begitu hancur sehingga Allah tidak dapat menyentuh dan memulihkannya.” Gereja, tegas beliau, dipanggil bukan untuk menjadi menara gading yang menghakimi dari jauh, tetapi rumah sakit medan perang yang merawat luka manusia. Para kudus seperti St. Bakhita dan St. Teresa dari Kalkuta telah menunjukkan bahwa belas kasih adalah bahasa universal yang dimengerti oleh semua orang. Mereka tidak sibuk bertanya siapa yang pantas, tapi sibuk mencintai. Santo Gregorius Agung berkata: “Kasih sejati bukan hanya perasaan, tetapi tindakan yang konkret dan terkadang menyakitkan.”
Perumpamaan hari ini memanggil kita untuk melewati batas. Dalam dunia yang semakin dikotak-kotakkan oleh polarisasi politik, prasangka agama, dan diskriminasi sosial, Yesus mengajak kita untuk menjadi Samaria modern—mereka yang menyentuh luka dan menyiraminya dengan minyak penghiburan. Apakah kita menjadi sesama bagi imigran, orang miskin, anak jalanan, tetangga yang menyebalkan, atau bahkan anggota keluarga yang sulit kita ampuni?
Saudara-saudari, menjadi sesama berarti keluar dari zona nyaman. Jangan hanya beriman dalam kata, tetapi dalam tindakan. Seperti yang dikatakan Santo Yohanes Paulus II: “Kasih yang tidak menjadi pelayanan adalah kasih yang tidak hidup.” Maka, tanyakanlah bukan hanya “siapa sesamaku?” tetapi lebih dalam lagi: “Apakah aku telah menjadi sesama yang penuh belas kasih?”
Yesus menutup pengajaran ini dengan kalimat yang sangat kuat: “Pergilah, dan perbuatlah demikian.” Ini bukan saran, tapi perintah misi. Dunia sedang penuh luka, dan Gereja hanya akan relevan jika ia menjadi tangan belas kasih Allah.
Semoga kita, seperti orang Samaria yang baik hati, berani menyembuhkan dunia dengan cinta yang tak memilih dan pelayanan yang tidak mengenal batas. Semoga, dengan wajah yang ramah, tangan yang terbuka, dan hati yang peka, kita semua sungguh menjadi sesama bagi siapa pun — sebagai wujud nyata Injil yang hidup. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Biasa XIV - 06 Juli 2025
Bacaan I : Yes. 66:10-14c (klik untuk membacanya)
Bacaan II : Gal. 6:14-18
Bacaan Injil : Luk. 10:1-12,17-20
Gereja, Komunitas Para Pembuka Jalan bagi Kristus
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini, Sabda Tuhan mengajak kita menengok kembali jati diri kita sebagai Gereja. Bukan sekadar tempat kita beribadah, berkegiatan sosial, atau berkumpul sebagai komunitas. Gereja bukan hanya soal gedung dan organisasi. Gereja adalah komunitas para pembuka jalan bagi Kristus. Artinya, kita semua, sebagai umat beriman, dipanggil menjadi jembatan rohani—mengantar sesama kepada perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus.
Injil hari ini (Luk 10:1–12.17–20) menampilkan Yesus yang mengutus 72 murid ke berbagai kota dan tempat yang hendak Ia kunjungi. Mereka bukan hanya diutus untuk menyampaikan kabar, tetapi untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan sendiri. Apa artinya ini bagi kita?
1. Gereja Bukan Tujuan, tetapi Jembatan kepada Kristus
Kita sering terjebak dalam rutinitas gerejawi: misa, rapat, pelayanan. Semua itu penting, tetapi kita harus sadar: tujuan akhir dari semua itu adalah Kristus. Gereja tidak eksis untuk dirinya sendiri. Gereja ada supaya orang mengenal, mencintai, dan mengalami Kristus.
Jika semua aktivitas gerejawi hanya sibuk dengan diri sendiri, tanpa menghadirkan Kristus, kita telah kehilangan arah.
Maka, sebagai umat beriman, tugas kita bukan hanya menjadi “pengunjung gereja,” tapi menjadi penghubung bagi sesama kita agar mereka juga mengalami kasih dan kehadiran Kristus.
2. Kesaksian Hidup: Jalan Terbaik Membuka Hati Sesama
Yesus tidak membekali para murid dengan banyak harta atau kekuatan lahiriah. Ia justru mengutus mereka dengan kesederhanaan, membawa damai, dan hidup dalam belas kasih.
Dunia hari ini haus akan teladan, bukan hanya kata-kata.
Banyak orang skeptis terhadap agama, tetapi tersentuh oleh kasih sejati yang nyata.
Kita bisa menjadi pembuka jalan bagi Kristus ketika hidup kita mencerminkan kasih, kejujuran, pengampunan, dan kerendahan hati. Di keluarga, tempat kerja, komunitas, bahkan di jalanan—di situlah kita bisa menjadi saksi Kristus.
3. Menjadi Gereja yang Menyembuhkan, Bukan Menghakimi
Yesus berkata, “Pergilah, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah serigala.” Dunia yang kita hadapi tidak selalu ramah. Banyak luka, kekecewaan, kebingungan, bahkan kemarahan terhadap agama. Tapi justru di tengah dunia inilah, kita dipanggil untuk membawa damai dan pengharapan.
Gereja harus menjadi komunitas penyembuh. Bukan tempat orang disaring siapa yang layak dan tidak, tetapi tempat di mana siapa pun yang terluka bisa mengalami kasih dan pengampunan Tuhan.
Paus Fransiskus berkata: “Saya lebih suka Gereja yang terluka, kotor dan berantakan karena keluar ke jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan nyaman dengan keamanannya sendiri.”
Kita semua dipanggil keluar dari zona nyaman, bukan hanya menunggu orang datang, tapi mengunjungi, mendampingi, dan membawa Kristus ke tengah hidup sehari-hari.
4. Setia dalam Pelayanan: Menjadi Jembatan yang Kokoh
Yesus juga menekankan pentingnya kesetiaan. Bukan popularitas, bukan hasil langsung, tapi kesetiaan. Ia tidak menjanjikan kemudahan, tetapi menjanjikan kehadiran-Nya.
St. Teresa dari Kalkuta berkata dengan sederhana tapi kuat: “Tuhan tidak memanggil kita untuk sukses, tetapi untuk setia.”
Maka jangan kecil hati jika pelayanan kita tampak sederhana atau tidak dihargai. Yang penting adalah bahwa kita membuka jalan—dan Kristus sendiri yang akan lewat.
Penutup: Jangan Pernah Lelah Membuka Jalan bagi Kristus
Saudara-saudari,
Marilah kita memperbarui panggilan kita sebagai anggota Gereja: bukan hanya sebagai penerima, tapi pengantar;
bukan hanya sebagai penyimak, tapi pembuka jalan;
bukan hanya sebagai pendoa, tapi pelaku kasih di dunia nyata.
Biarlah orang berkata setelah melihat hidup kita: “Bukankah hati kita berkobar-kobar saat ia hadir, saat ia mengasihi, saat ia mengampuni?” (lih. Luk 24:32)
Gereja yang hidup adalah gereja yang membawa Kristus ke tengah dunia. Mari kita bersama menjadi jembatan kasih dan harapan di dunia yang haus akan kehadiran Tuhan. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Hari Raya Santo Petrus dan Paulus - Minggu, 29 Juni 2025
Bacaan I : Kis 12:1–11 (klik untuk buka Bacaan)
Bacaan II : 2 Tim 4:6–8.17–18
Bacaan Injil : Mat 16:13–19
"Ditantang, Diubah, Diutus: Menjadi Nabi-Nabi Kasih dalam Gereja Hari Ini"
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan
Hari ini Gereja merayakan dua pribadi yang sangat berbeda namun disatukan dalam satu Roh: Santo Petrus dan Santo Paulus, dua rasul agung yang ditantang secara personal oleh Yesus, diubah oleh kasih-Nya, dan diutus sebagai nabi untuk zamannya—dan juga untuk kita hari ini.
Yesus tidak pernah memulai transformasi besar dari kemapanan, melainkan dari tantangan. Kepada Petrus, Yesus bertanya: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mat 16:15). Sebuah pertanyaan sederhana, namun dalam: bukan tentang opini umum, tetapi tentang pilihan pribadi. Petrus akhirnya menyadari bahwa mengikut Kristus tidak cukup dengan mengikuti suara mayoritas, melainkan harus menyerahkan hati sepenuhnya kepada-Nya. Dan dari pengakuan imannya, Yesus mengukir nubuat: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku.” (Mat 16:18).
Paulus pun ditantang secara radikal. Ketika Saulus dengan angkuhnya mengejar orang-orang Kristen, suara dari Surga mengguncangnya: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kis 9:4). Di jalan menuju Damaskus, kesombongan religiusnya dihancurkan. Dia tidak hanya dijatuhkan secara fisik, tetapi secara rohani dilucuti. Maka lahirlah Paulus, yang berarti "kecil", seorang rasul besar yang justru bersinar dalam kerendahan hati dan perutusan. Untuk Paulus pun, Yesus mengukir nubuat: “Orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel.” (Kis 9:15).
Inilah pola dasar dalam hidup Kristiani sejati: tantangan – perubahan – perutusan. Dan dari sanalah nubuat lahir. Bukan dari rencana kita yang tertata rapi, bukan dari hati yang tertutup rapat, tetapi dari kerelaan untuk diganggu oleh Tuhan. Nubuat tidak muncul ketika kita bermain aman, melainkan ketika kita membiarkan Injil mengguncang kepastian-kepastian kita. Hanya orang yang terbuka pada kejutan Tuhan yang bisa menjadi nabi.
Saudara-saudari, Petrus dan Paulus adalah nabi sejati. Bukan karena mereka hebat dalam berbicara, tetapi karena mereka mencintai Tuhan dengan sungguh. Petrus wafat dengan salib terbalik karena merasa tak layak mati seperti Gurunya. Paulus menulis menjelang wafatnya: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik… Aku ingin dicurahkan sebagai persembahan.” (2Tim 4:6–8). Inilah nubuat yang hidup—bukan kata-kata, tetapi kehidupan yang diserahkan total.
Paus Fransiskus dalam homilinya berkata dengan jujur: “Apakah Anda menginginkan Gereja profetik? Maka mulailah melayani dan diamlah. Bukan teori, tapi kesaksian. Bukan pidato, tapi pelayanan. Bukan kekuatan, tapi cinta.”
Gereja tidak sedang menanti pembicara ulung, tetapi saksi yang jujur. Dunia tidak sedang haus akan doktrin yang kaku, tetapi rindu pada kesaksian kasih yang nyata. Kita tidak butuh rencana pastoral yang sempurna tanpa cinta. Kita butuh pelayan yang hatinya terbakar oleh Tuhan, dan yang hidupnya menjadi jendela harapan bagi yang miskin, yang tersingkir, dan yang kehilangan arah.
Hari ini, Yesus kembali berkata kepada kita semua: “Engkau adalah Petrus… Engkau adalah Paulus… Engkau adalah batu hidup…” (lih. Why 2:17) “Di atasmu, Aku ingin membangun kesatuan, membangun pengharapan, membangun Gereja-Ku.”
Maka hari ini, marilah kita bertanya dalam hati:
Apakah aku bersedia ditantang oleh Tuhan seperti Petrus?
Apakah aku siap dijatuhkan demi diangkat kembali seperti Paulus?
Apakah aku bersedia menjadi nabi? Bukan nabi yang berkoar, tetapi nabi yang hidupnya mencerminkan kasih Allah?
Saudara-saudari terkasih, pada perayaan ini, marilah kita membuka diri bagi tantangan Injil. Mari biarkan hidup kita ditransformasi oleh pertanyaan Tuhan, agar kita juga dapat menanggapi-Nya dengan keberanian dan berkata seperti Petrus dan Paulus: “Ya, Tuhan, aku siap. Pakailah aku.”
Santo Petrus dan Paulus, doakanlah kami. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus Christi) - Minggu, 22 Juni 2025
Bacaan I : Kejadian 14:18-20 (klik untuk buka Bacaan)
Bacaan II : 1 Korintus 11:23-26
Bacaan Injil : Lukas 9:11b-17
"Kamu Berilah Mereka Makan: Ekaristi sebagai Sumber Misi di Dunia yang Lapar"
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini Gereja universal merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Corpus Christi. Sebuah perayaan iman yang tidak hanya mengajak kita memandang hosti yang diangkat dan piala yang ditinggikan, tetapi yang terlebih lagi mendorong kita masuk dalam misteri: bahwa Kristus yang kita sambut di altar adalah Kristus yang bersabda, “Kamu harus memberi mereka makan.” (Luk 9:13). Ini adalah Sabda yang mengubah segalanya: dari kekaguman menjadi keterlibatan, dari perayaan menjadi perutusan.
I. Kelaparan Zaman Ini: Lebih Dalam dari Sekadar Kekurangan Fisik
Di dunia modern, banyak orang hidup dalam kelimpahan materi, tetapi hatinya tetap kosong. Maka kita harus bertanya: apa sebenarnya yang dunia ini lapar akan?
1. Lapar akan Kasih: Dunia lapar akan cinta yang tulus, bukan cinta yang bersyarat. Banyak anak muda merasa kesepian di tengah media sosial yang ramai. Banyak lansia ditinggalkan tanpa pelukan.
2. Lapar akan Pengampunan dan Rekonsiliasi: Banyak relasi rusak karena dendam dan luka yang tidak sembuh. Keluarga, bangsa, bahkan Gereja pun tak luput dari luka ini.
3. Lapar akan Keadilan dan Perdamaian: Perang di berbagai belahan dunia, krisis pengungsi, eksploitasi alam, dan ketimpangan sosial menjadi bukti bahwa manusia masih belum mengutamakan solidaritas.
4. Lapar akan Kehadiran Tuhan: Banyak umat merasa doa tidak lagi bermakna. Ritual keagamaan dijalankan tanpa perjumpaan pribadi dengan Allah yang hidup.
II. Ekaristi: Roti yang Dipecah untuk Dunia yang Luka
Yesus dalam Injil Lukas (9:11b–17) tidak hanya memberi makan lima ribu orang, Ia lebih dari itu: Ia menunjukkan bahwa keterbatasan kita bukan penghalang untuk berbagi, tetapi justru tempat mujizat terjadi. Lima roti dan dua ikan cukup jika diserahkan kepada Yesus.
Dan Ekaristi adalah perjamuan yang mengulangi keajaiban itu: Kita datang dengan lapar dan miskin, Kita disambut, Kita diubah, Kita diutus. "Ekaristi bukan hadiah bagi orang sempurna, tetapi kekuatan bagi para peziarah." (Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium 47).
III. Menjadi Roti yang Dipecah: Hidup Ekaristis Adalah Hidup Misioner
St. Paulus dalam 1 Korintus 11:23–26 menegaskan bahwa setiap kali kita makan roti ini dan minum dari cawan ini, kita mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang. Maka, Ekaristi adalah tindakan profetik: kita menyatakan bahwa kasih adalah jalan hidup, bukan kekuasaan atau kekerasan.
Paus Benediktus XVI dalam Sacramentum Caritatis berkata: “Relasi antara Ekaristi dan misi sangat erat: perayaan Ekaristi harus menjadi dorongan nyata bagi para umat beriman untuk mempersembahkan hidup mereka dalam kasih kepada sesama.”
IV. Teladan Para Kudus: Roti Kasih yang Dibagikan
St. Laurensius, martir, menunjukkan orang miskin sebagai harta Gereja. Ia tidak memberi emas, tapi persaudaraan. St. Teresa dari Kalkuta, memberi makan yang lapar, tapi juga mencintai yang kesepian. Ia berkata: “Orang paling miskin adalah mereka yang tidak dicintai.” St. Damien dari Molokai, misionaris kusta, menjadi roti bagi mereka yang dikucilkan. Ia berkata: “Kita hanya bisa menginjili jika lebih dulu menjadi saudara mereka.”
V. Kita, Murid Masa Kini: Panggilan untuk Memberi Dunia Makan
1. Menjadi Gereja yang memberi makan:
Bukan hanya karitas, tapi kehadiran yang menyembuhkan
Bukan hanya program, tapi komunitas yang menyambut.
2. Menghidupi Ekaristi di luar misa:
Dengan waktu yang diberikan bagi yang sepi
Dengan telinga bagi yang tak didengar
Dengan kejujuran dalam pekerjaan
3. Mengajarkan generasi muda untuk berbagi, bukan menumpuk:
Di tengah budaya konsumtif, ajarkan spiritualitas cukup
Di tengah budaya cepat, ajarkan perhatian
Penutup: Yesus tidak pernah menolak orang lapar. Ia bersabda: “Berilah mereka makan.” Itu adalah perintah yang sama yang diberikan kepada Gereja, kepada kita, kepada Anda dan saya.
Mari jangan takut untuk dipecah, untuk dibagikan, untuk dicurahkan, sebab di situlah makna hidup Kristiani: menjadi roti kasih bagi dunia yang lapar.
Semoga Ekaristi yang kita rayakan hari ini membakar hati kita untuk menjadi saksi kasih, menjadi tanda pengharapan, menjadi sarana damai. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Hari Raya Tritunggal Mahakudus & Penutupan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2025 - 15 Juni 2025
Bacaan I : Ams. 8:22-31
Bacaan II : Rm. 5:1-5
Bacaan Injil : Yoh. 16:12-15
"Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada dalam hatimu" (1Ptr 3:15)
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Hari ini kita merayakan dua momen penting: Hari Raya Tritunggal Mahakudus dan penutupan Hari Komunikasi Sosial Sedunia. Kedua perayaan ini bersatu dalam satu pesan yang mendalam: kita dipanggil untuk hidup dalam cinta Allah yang relasional dan komunikatif, serta mewartakannya kepada dunia dengan lemah lembut dan pengharapan.
1. Allah Tritunggal: Cinta yang Hidup dan Komunikatif
Allah yang kita imani bukanlah Allah yang tertutup atau statis, tetapi Allah yang adalah relasi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dalam Injil Yohanes 3:16, kita mendengar, “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal...” Kasih itu bukan diam, tetapi mengalir, menyapa, dan menjangkau. Seperti dikatakan oleh St. Agustinus, “Dalam Tritunggal Mahakudus ada yang mengasihi (Bapa), yang dikasihi (Putra), dan kasih itu sendiri (Roh Kudus).” Inilah dinamika komunikasi ilahi: cinta yang saling memberi dan menerima secara total. Allah adalah komunikasi sejati. Maka, ketika kita berkata bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, berarti kita diciptakan untuk hidup dalam relasi dan komunikasi yang sejati.
2. Komunikasi yang Membangun dan Membagikan Harapan
Dalam pesannya untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2025, Paus Fransiskus mengajak kita: “Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada dalam hatimu.” Pesan ini lahir dari keprihatinan mendalam terhadap meningkatnya agresivitas dalam komunikasi, baik di ruang publik, media sosial, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dunia modern mengalami krisis dalam cara orang berinteraksi: maraknya ujaran kebencian, polarisasi opini, manipulasi informasi, dan komunikasi yang mendominasi, bukan mendengarkan.
Dalam konteks itu, Paus mengajak seluruh umat beriman untuk "melucuti komunikasi dari kekerasan, dominasi, dan egoisme," serta menghidupi gaya komunikasi Kristiani yang penuh kasih, lemah lembut, dan membangun pengharapan. Pesan ini juga sejalan dengan semangat sinodalitas: membangun Gereja yang mendengarkan, berdialog, dan saling meneguhkan dalam kasih Kristus.
Melalui tema "Bagikanlah dengan lemah lembut pengharapan yang ada di dalam hatimu", Paus menggarisbawahi bahwa komunikasi sejati bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi menjadi ruang perjumpaan dan penghiburan — terutama dalam dunia yang dilanda kecemasan, luka sosial, dan disinformasi.
Paus Benediktus XVI pernah mengatakan: “Komunikasi yang sejati berasal dari cinta; hanya cinta yang mampu meyakinkan.” Maka, siapa pun kita — entah imam, religius, atau awam — kita dipanggil menjadi komunikator cinta, karena kita hidup dalam Allah yang adalah komunikasi cinta itu sendiri.
3. Aplikasi: Komunikasi Iman dalam Semangat Tritunggal
Menjadi komunikator pengharapan berarti menghadirkan kata, sikap, dan tindakan yang membangun, menyembuhkan, dan mempersatukan—bukan sebaliknya. Dalam dunia yang sering diliputi kecurigaan, kebisingan, dan luka sosial, komunikator pengharapan memilih untuk berbicara dengan kelembutan, mendengar dengan empati, dan hadir dengan ketulusan. Ia bukan sekadar penyampai informasi, tetapi menjadi penyampai penghiburan, penyambung pengertian, dan penyaksi kehadiran Allah yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Harapan yang dibagikannya bukan ilusi, melainkan berakar pada keyakinan akan kasih Allah yang setia.
Model komunikasi ini berpijak pada hidup Allah Tritunggal: Bapa, Putra, dan Roh Kudus hidup dalam relasi kasih yang sempurna, di mana komunikasi bukanlah dominasi melainkan saling memberi diri, saling memahami, dan saling menghidupi. Dalam Tritunggal, komunikasi adalah persekutuan. Maka, setiap orang Kristiani yang berkomunikasi dengan kasih, jujur, dan merangkul perbedaan, sesungguhnya sedang ikut ambil bagian dalam hidup Allah sendiri. Dengan meneladan Tritunggal Mahakudus, kita dipanggil bukan hanya untuk berkata benar, tetapi berkata dengan kasih yang memulihkan dan menguatkan pengharapan sesama.
4. Inspirasi dari Para Kudus dan Teolog
St. Fransiskus dari Sales, pelindung jurnalis dan komunikator, mengingatkan: “Hati tidak pernah dimenangkan dengan kekerasan, tetapi dengan kelembutan.”
Beato Carlo Acutis, remaja digital yang menginspirasi banyak orang, berkata: “Ekaristi adalah jalan raya menuju Surga.” Dia menggunakan internet untuk mewartakan iman.
Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam Redemptoris Missio: “Gereja ada untuk mewartakan Injil.” Maka tugas kita sebagai orang yang telah dibaptis adalah menyampaikan kabar baik ini kepada sesama.
Penutup:
Saudara-saudari, hidup dalam dinamika Tritunggal berarti membiarkan hidup kita menjadi gema kasih Allah yang tak berkesudahan. Jangan takut menjadi saksi, walau hanya dengan satu kata penghiburan, satu senyum pengharapan, atau satu kesediaan untuk mendengarkan.
Mari kita menjadi komunikator ilahi di zaman ini — pembawa kabar baik, saksi pengharapan, dalam semangat kasih Tritunggal Mahakudus. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Hari Raya Pentakosta - 08 Juni 2025
Bacaan I : Kis. 2:1-11
Bacaan II : 1Kor. 12:3b-7,12-13
Bacaan Injil : Yoh. 20:19-23
“Roh Kudus: Kekuatan untuk Menjadi Saksi di Dunia yang Luka”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini, kita merayakan Pentakosta, hari kelahiran Gereja, ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan mengubah mereka dari orang-orang yang takut menjadi saksi-saksi yang penuh keberanian. Dalam satu hari, Petrus yang pernah menyangkal Yesus tiga kali tampil di hadapan ribuan orang dan dengan suara lantang memberitakan Injil. Apa yang mengubah mereka? Roh Kudus.
Roh Kudus bukan sekadar simbol, bukan perasaan. Ia adalah Pribadi Ilahi, nafas Allah sendiri, yang diberikan kepada kita untuk menguatkan, menghibur, membimbing, dan mengutus.
Roh Kudus: Hadiah Terbesar dari Yesus
Dalam Injil hari ini, Yesus yang bangkit menampakkan diri dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu! Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Lalu Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus.” (Yoh 20:21–22).
Apa arti “mengembusi” dalam konteks ini? Itu adalah gambaran penciptaan baru. Seperti Allah menghembuskan nafas kehidupan ke dalam Adam, sekarang Yesus menghembuskan Roh Kudus ke dalam para murid agar mereka menjadi ciptaan baru, siap untuk menjalankan misi Injil.
Roh Kudus di Tengah Tantangan Zaman
Zaman kita adalah zaman yang penuh tantangan:
Krisis identitas dan nilai.
Perpecahan dalam keluarga dan masyarakat.
Tekanan sosial, budaya instan, dan hedonisme.
Media sosial yang kadang menciptakan dunia semu dan polarisasi.
Dalam dunia seperti ini, siapa yang bisa bertahan sebagai saksi Kristus?
Jawabannya: Mereka yang hidup dalam Roh Kudus.
Paus Fransiskus mengatakan: “Roh Kudus memberi kita kekuatan untuk melangkah keluar dari kenyamanan dan berani pergi ke pinggiran dunia dan keberadaan manusia.” (Evangelii Gaudium 20)
Roh Kudus bukan hanya memberi damai, tapi membangkitkan semangat kerasulan. Ia membuat hati kita berkobar dan memberi kita kata-kata untuk bersaksi bahkan dalam situasi sulit.
Roh Kudus Menyatukan dan Memberdayakan
Dalam bacaan pertama dari Kisah Para Rasul, kita mendengar bagaimana orang dari berbagai bangsa, bahasa, dan budaya, semuanya mendengar satu pewartaan yang sama. Roh Kudus tidak menghapus perbedaan, tetapi menyatukannya dalam kasih dan misi. Ini adalah pesan kuat untuk zaman kita yang mudah terpecah oleh perbedaan: “Di dalam satu Roh kita semua dibaptis menjadi satu tubuh.” (1 Kor 12:13)
Gereja hari ini juga terdiri dari banyak “anggota” — imam, awam, biarawan-biarawati, katekis, pegawai pastoral, orang muda, lansia — dan semua diberi karunia yang berbeda untuk kebaikan bersama. (lih. 1 Kor 12:7)
Ajakan: Jadilah Saksi Kristus
Saudara-saudari, jika kita telah menerima Roh Kudus, kita tidak bisa hanya diam. Kita dipanggil menjadi:
Pembawa damai di tengah konflik.
Suara kebenaran di tengah kebohongan.
Saksi harapan di tengah keputusasaan.
Paus Benediktus XVI mengingatkan: “Roh Kudus menjadikan kita tidak hanya orang yang dikuatkan dari dalam, tetapi juga penginjil — orang-orang yang mampu membawa terang kepada dunia yang gelap.”
Dan Santo Yohanes Paulus II menegaskan: “Dunia membutuhkan kesaksian yang sungguh-sungguh, bukan hanya kata-kata.”
Penutup: Biarkan Roh Kudus Berkarya Lewat Anda
Mungkin kita merasa lemah, tidak pantas, atau tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi lihatlah para rasul: mereka juga orang biasa. Tapi ketika Roh Kudus turun atas mereka, mereka menjadi luar biasa.
Hari ini, mari kita berdoa: Datanglah ya Roh Kudus! Penuhi hati kami. Biarlah Engkau membakar semangat kami kembali.
Jangan takut, karena Roh Kudus yang sama yang mengubah Petrus dan Paulus, hari ini juga turun atas kita. Bukan hanya untuk membuat kita merasa nyaman, tapi untuk mengubah kita menjadi para saksi Kristus di tengah dunia. Amin
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah VII - 01 Juni 2025 - Hari Minggu Komunikasi Sedunia
Bacaan I : Kis. 7:55-60
Bacaan II : Why. 22:12-14,16-17,20
Bacaan Injil : Yoh. 17:20-26
“Komunikasi sebagai Jalan Kesatuan dan Pengampunan”
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Semoga Tuhan memberimu damai dan Kebaikan. Pada Minggu Paskah VII ini, kita berdiri di ambang dua peryaan besar: Hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus yang baru saja kita rayakan, dan Hari Raya Kedatangan Roh Kudus pada Hari Pentakosta yang segera tiba. Di tengah-tengah kedua momen agung itu, kita diundang oleh liturgi Sabda hari ini untuk merenungkan suara-suara yang paling dalam dari hidup Kristiani: suara Yesus yang berdoa bagi kesatuan, suara Stefanus yang berseru dalam pengampunan, dan suara Gereja yang menyerukan harapan: “Maranatha! Datanglah, Tuhan Yesus!”
Semua bacaan hari ini berbicara tentang komunikasi, bukan dalam arti teknis atau sekadar pertukaran pesan, tetapi sebagai pengungkapan terdalam dari iman yang hidup. Maka tidak heran bahwa Minggu ini juga ditandai oleh peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, di mana mendiang Paus Fransiskus melalui suratnya mengajak kita untuk merenungkan kembali peran komunikasi dalam membangun persaudaraan, menegakkan kebenaran, dan menyembuhkan luka dunia. Doa Yesus: Komunikasi sebagai Jalan Kesatuan.
Injil Yohanes 17 mengabadikan doa Yesus yang paling intim dan mendalam, yang sering disebut sebagai Doa Imam Agung. Di dalamnya, Yesus berdoa bukan hanya bagi para rasul yang hadir di hadapan-Nya, tetapi juga untuk kita semua: "Aku berdoa, bukan untuk mereka ini saja, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka." (Yoh 17:20). Yesus tahu bahwa dunia ini mudah terpecah oleh kebencian, oleh perbedaan, bahkan oleh kata-kata yang menyakitkan. Karena itu, Ia tidak hanya menyerahkan pesan-Nya, tetapi juga menyerahkan kita semua ke dalam pelukan kasih Bapa-Nya, agar “mereka semua menjadi satu.” Kesatuan bukan berarti keseragaman, tetapi kebersamaan dalam cinta yang mendengarkan, menghargai, dan membuka diri. Dalam pesannya pada Hari Komunikasi Sosial, Paus Fransiskus menekankan pentingnya mendengarkan secara mendalam sebagai dasar komunikasi sejati. Tanpa mendengarkan dengan hati, kata-kata kita kosong. Sebaliknya, mendengar dengan cinta menghasilkan kata-kata yang menyembuhkan.
Stefanus: Komunikasi yang Menyembuhkan Luka dengan Pengampunan Lalu kita mendengar suara Stefanus, sang diakon dan martir pertama Gereja. Ia tidak hanya mati karena mengaku iman, tetapi meninggal dengan kata pengampunan di bibirnya: “Ya Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka.” (Kis 7:60)
Di dunia yang sering merespons luka dengan kekerasan, dan balas dendam dianggap wajar, suara Stefanus adalah komunikasi yang melampaui akal sehat manusia. Ia menunjukkan bahwa komunikasi bukan soal menang-berdebat, tetapi soal menyerahkan diri pada kasih Allah yang tak terbatas.
Paus Fransiskus berkali-kali mengingatkan: "Kata-kata kita bisa menjadi senjata yang memecah atau menjadi minyak yang menyembuhkan." Dalam era digital, dengan media sosial yang cepat dan sering tak terkontrol, betapa mudahnya kita menghakimi, menyerang, atau menyebarkan fitnah. Tetapi Stefanus mengajarkan, bahwa suara orang benar bukanlah suara kebencian, melainkan seruan kasih dan pengampunan. Maranatha: Komunikasi sebagai Seruan Pengharapan
Dalam bacaan dari Kitab Wahyu, kita mendengar suara lain: “Datanglah, Tuhan Yesus!” Inilah doa Gereja sepanjang masa, yang menanti bukan dalam pasif, tetapi dalam pengharapan aktif. Komunikasi iman kita tidak hanya berkisah tentang masa lalu, tetapi mengarahkan hati kepada kedatangan Tuhan di masa kini dan masa depan. Seruan ini, Maranatha, adalah inti dari hidup kristiani. Ini juga adalah jiwa dari komunikasi Gereja: menyerukan harapan di tengah dunia yang semakin lelah, patah, dan bingung oleh arus informasi. Di tengah berita bohong, ujaran kebencian, dan narasi pesimisme, kita diundang untuk menjadi suara yang membawa terang, bukan kegelapan.
Menjadi Gereja yang Berkomunikasi dengan Kasih
Dalam terang bacaan ini dan pesan Paus Fransiskus, kita diajak untuk merefleksikan beberapa sikap konkret:
Belajar mendengarkan lebih dari berbicara. Dunia butuh Gereja yang punya telinga, bukan hanya mulut.
Menyampaikan pesan dengan kejujuran dan kelembutan. Jangan biarkan kata-kata kita menyakiti, tetapi sembuhkan.
Menggunakan media sosial untuk evangelisasi dan membangun harapan. Jadilah “influencer Injil” yang menyampaikan kasih dan sukacita sejati.
Menjadi komunikator Roh Kudus: artinya berkomunikasi dengan hikmat, kelembutan, dan kebenaran, bukan dengan emosi, nafsu, atau keinginan menguasai.
Suara Yesus adalah Doa, Suara Stefanus adalah Pengampunan, Suara Gereja adalah Harapan Saudara-saudari, ketiga suara ini—Yesus, Stefanus, dan Gereja—harus menjadi dasar suara kita sebagai murid-murid Kristus. Jangan biarkan dunia mencuri suara kasih dari hati kita. Jangan biarkan media sosial menciptakan jurang dalam Gereja.
Mari kita jawab seruan Paus Fransiskus: menjadikan komunikasi sebagai sarana persaudaraan, bukan permusuhan. Maranatha! Mari kita menantikan Tuhan, sambil menjadi suara yang membangun kesatuan, menyembuhkan luka, dan mewartakan pengharapan. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu Paskah V - 18 Mei 2025
Bacaan I : Kis. 14:21b-27
Bacaan II : Why. 21:1-5a
Bacaan Injil : Yoh. 13:31-33a,34-35
Kasih yang Mengubah Dunia: Perintah Baru untuk Zaman Baru
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Dalam Injil hari ini (Yoh 13:31–35), Yesus mengucapkan sebuah sabda yang menjadi inti seluruh spiritualitas Kristiani: “Perintah baru Kuberikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ini bukan hanya pesan moral. Ini adalah identitas sejati murid Kristus. Karena itulah Yesus menambahkan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.”
I. Perintah Baru: Sebuah Revolusi Rohani
Apa yang membuat perintah ini “baru”? Dalam Perjanjian Lama, kita diajarkan untuk mencintai sesama seperti diri sendiri. Tetapi Yesus mengangkat standar itu lebih tinggi: kita harus mengasihi seperti Ia mengasihi.
Cinta seperti ini bersumber dari salib. Bukan cinta yang sekadar menyenangkan, tetapi cinta yang memilih memberi bahkan ketika tidak dimengerti.
St. Maximilianus Kolbe, martir kasih, pernah berkata: “Cinta sejati tidak mengenal batas. Ia tidak lelah. Ia tidak hitung-hitungan.” Dan dia membuktikannya ketika rela menggantikan seorang ayah keluarga di kamar gas Auschwitz.
II. Dunia yang Rindu Kasih yang Sejati
Dunia kita hari ini sangat membutuhkan kasih yang seperti ini. Di tengah krisis relasi, polarisasi politik, luka sosial, dan luka dalam keluarga, kita dipanggil menghadirkan kasih yang menyembuhkan.
Seperti dikatakan oleh St. Teresa dari Kalkuta: “Kita dipanggil bukan untuk melakukan hal-hal besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Dunia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh cinta yang dihidupi.
III. Kasih yang Mewujud dalam Misi
Dalam bacaan pertama (Kis 14:21–27), kita melihat Paulus dan Barnabas tidak berhenti mewartakan Injil meski ditolak dan diusir. Cinta kepada Tuhan dan sesama membuat mereka terus maju. Mereka tidak mengabarkan kebenaran sebagai ide, tetapi sebagai kasih yang menyelamatkan.
St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Beritakan Injil setiap waktu. Bila perlu, gunakan kata-kata.” Artinya: kasih harus menjadi tindakan, bukan hanya wacana.
IV. Langit Baru dan Bumi Baru: Dimulai dari Hati yang Mau Mengasihi
Bacaan dari Kitab Wahyu (21:1–5a) meneguhkan visi besar: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dunia yang diperbarui tidak akan datang dari sistem politik atau teknologi canggih, tetapi dari orang-orang yang hatinya diperbarui oleh kasih Kristus.
Paus Benediktus XVI mengingatkan kita: “Kasih adalah terang satu-satunya yang mampu menerangi kegelapan dunia dan memberi kita keberanian untuk hidup.”
Dan Paus Fransiskus menegaskan dalam Fratelli Tutti: “Hanya kasih yang membuka jalan menuju peradaban kasih. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain.”
V. Kasih yang Menjadi Tanda Murid Kristus
Jika Gereja ingin tetap relevan di zaman ini, kita harus kembali kepada jantung Injil: kasih. Jangan berharap orang muda, orang miskin, atau mereka yang terluka datang ke Gereja jika mereka tidak terlebih dahulu merasakan kehangatan kasih di dalamnya.
Pertanyaannya untuk kita: Apakah kasih Kristus sudah terasa dalam hidupku? Apakah aku menjadi sumber damai atau sumber luka? Apakah parokiku menjadi tempat aman dan menyembuhkan atau justru menjadi ruang penilaian dan penghakiman?
Penutup
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya berkata: “Cintailah sesamamu.” Ia berkata: “Cintailah seperti Aku.” Inilah spiritualitas perintah baru. Bukan hanya menghindari benci, tetapi berani mencintai dengan cara salib.
Inilah saatnya kita hidup sebagai murid yang dikenali karena cinta. Sehingga seperti kata Paus Pius XII: “Dunia saat ini tidak mendengarkan pengkhotbah sebanyak mereka ingin melihat saksi.”
Mari kita menjadi saksi cinta. Di rumah, di komunitas, di media sosial, dan di dunia. Dan dengan itu, kita membantu Allah membangun langit dan bumi baru yang dimulai dari hati kita. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap