loader image
Selasa, Mei 6, 2025
Lainnya
    BerandaRenunganRenungan Minggu Paskah III

    Renungan Minggu Paskah III

    Minggu, 04 Mei 2025 - Minggu Paskah III

    Bacaan I : Kis. 5:27b-32,40b-41
    Bacaan II : Why. 5:11-14
    Bacaan Injil :  Yoh. 21:1-19

    "Paskah dan Misi: Dari Perjumpaan Menuju Kesaksian"

    Saudara-saudari terkasih, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Dalam Minggu Paskah III Tahun C ini, liturgi membawa kita merenungkan relasi yang erat antara pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang bangkit dan panggilan untuk bersaksi dalam dunia. Semua bacaan hari ini menegaskan bahwa kebangkitan Kristus bukan sekadar pengalaman spiritual pribadi, melainkan pendorong misi untuk mewartakan Injil.

    1. Yesus Bangkit dan Menyapa dalam Hidup Sehari-hari 
    Injil Yohanes 21 hari ini menunjukkan bagaimana Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid di danau Tiberias. Para murid kembali ke aktivitas lama mereka sebagai nelayan. Setelah semalaman tanpa hasil, mereka mengikuti suara seorang asing di pantai untuk menebarkan jala ke sebelah kanan. Hasilnya melimpah. Dalam peristiwa ini, murid yang dikasihi menyadari: “Itu Tuhan!”.

    Pengalaman ini mencerminkan hidup harian kita. Kita sering tidak menyadari kehadiran Tuhan, sampai Ia menyentuh hidup kita secara tak terduga. Murid yang dikasihi adalah simbol dari orang yang memiliki kedekatan rohani dengan Yesus sehingga dapat mengenal-Nya, bahkan dalam hal-hal kecil. “Carilah Tuhan dalam hal-hal kecil dan tersembunyi. Di sanalah Ia menunggu.” – St. Thérèse dari Lisieux

    2. Dari Perjumpaan Menuju Misi: “Gembalakanlah Domba-domba-Ku” 
    Setelah sarapan bersama di pantai, Yesus berbicara kepada Petrus. Tiga kali Ia bertanya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan tiga kali Petrus menjawab: “Ya, Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Maka Yesus bersabda: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

    Dialog ini bukan hanya rekonsiliasi antara Yesus dan Petrus setelah penyangkalannya, tetapi juga peneguhan misi. Kasih sejati kepada Tuhan tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus dinyatakan dalam penggembalaan dan pelayanan. St. Yohanes Paulus II berkata: “Kasih yang tidak menjadi pelayanan akan mati; pelayanan yang tidak dilandasi kasih akan kosong.”

    3. Kesaksian yang Berani Meski Ditolak 
    Bacaan pertama dari Kisah Para Rasul menggambarkan para rasul yang bersaksi tentang kebangkitan Yesus, meski harus menghadapi larangan, intimidasi, dan hukuman. Namun mereka menjawab dengan tegas, “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.”

    Kesaksian mereka lahir dari pengalaman nyata perjumpaan dengan Yesus. Paskah bukan hanya tentang sukacita pribadi, tetapi keberanian bersaksi di tengah tantangan. Gereja perdana menunjukkan bahwa kesaksian iman bukan tanpa risiko, namun dilandasi oleh keyakinan bahwa Kristus hidup dan mendampingi.

    St. Ignatius dari Antiokhia menulis: “Kini aku mulai menjadi murid. Biarkan aku meniru Sengsara Tuhanku.”

    4. Pujian dan Penyembahan kepada Anak Domba yang Disembelih  
    Kitab Wahyu menggambarkan pujian surgawi kepada Anak Domba yang layak menerima kuasa dan kemuliaan. Dialah Yesus yang disalibkan dan bangkit. Gereja di bumi yang bersaksi dan Gereja di surga yang memuji adalah satu dalam semangat: meninggikan Kristus Sang Anak Domba. St. Fransiskus dari Assisi berkata: “Marilah kita mencintai dan menyembah Dia yang telah menebus kita dengan darah-Nya.”

    Ini memberi harapan dan kekuatan: penderitaan kita dalam bersaksi bukanlah akhir, tetapi bagian dari kemenangan Paskah.

    Penutup: Paskah adalah Awal Perutusan

    Saudara-saudari, Paskah bukan hanya pesta iman, tapi panggilan perutusan:
    Untuk mengenali kehadiran Tuhan dalam kehidupan harian,
    Untuk menjawab kasih-Nya dengan pelayanan,
    Untuk bersaksi tentang Dia meski ada tantangan,
    Dan untuk memuji Dia sebagai Anak Domba yang layak disembah.

    St. Katarina dari Siena berseru: “Jika kamu menjadi seperti dirimu seharusnya, kamu akan menyalakan dunia.”

    Seperti Petrus yang telah disembuhkan dan diutus, seperti murid yang dikasihi yang mengenali-Nya, seperti para rasul yang tidak takut bersaksi, mari kita pun melanjutkan misi Paskah dalam hidup kita: mengenali, mencintai, menggembalakan, dan bersaksi. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    Arsip Renungan Bapa Uskup Agung Medan : (klik untuk membacanya)

    27 April 2025 - Minggu Kerahiman Ilahi Paskah II

    Minggu, 27 April 2025 - Minggu Kerahiman Ilahi

    "Kerahiman Allah: Kasih yang Mengampuni dan Memulihkan"

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
    Hari ini kita merayakan Minggu Kerahiman Ilahi, hari penuh rahmat yang diwartakan melalui Santa Faustina Kowalska, Rasul Kerahiman. Hari ini Gereja mengundang kita untuk memandang wajah sejati Allah — wajah belas kasih yang hidup dalam Yesus Kristus yang bangkit.

    Dalam terang Minggu Kerahiman Ilahi, kita diundang untuk merenungkan hati terdalam Allah: bukan murka, bukan hukuman, melainkan belas kasih yang mengalir dalam bentuk pengampunan.
    Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada murid-murid yang ketakutan dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu.” (Yoh 20:19) Tetapi damai itu bukan sekadar kata. Yesus menunjukkan luka-luka kasih-Nya dan menghembusi mereka dengan Roh Kudus sambil berkata: “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni.” (Yoh 20:23)

    Inilah wajah sejati Allah: Allah yang memulihkan, bukan menghukum; Allah yang mengangkat, bukan menjatuhkan.

    1. Kerahiman Allah: Wajah yang Mengampuni 
    Dalam seluruh Injil, kita melihat bahwa kerahiman Allah tidak pernah hanya teori. Ia nyata dalam tindakan Yesus:
    - Kepada perempuan yang berzinah: "Aku pun tidak menghukum engkau." (Yoh 8:11)
    - Kepada Petrus yang menyangkal-Nya: Ia memulihkan kepercayaannya dengan kasih.
    - Kepada musuh-musuh di salib: "Ya Bapa, ampunilah mereka." (Luk 23:34)
    Kerahiman itu hadir dalam pengampunan nyata. Sebagaimana St. Yohanes Paulus II bersaksi: “Dunia lebih membutuhkan saksi kerahiman daripada saksi keadilan.”

    2. Dunia Kita: Dunia yang Sulit Mengampuni 
    Dunia lebih mengenal balas dendam daripada pengampunan. Dunia lebih menyukai penghakiman daripada pemulihan. Dunia lebih cepat menyebarkan aib daripada melindungi martabat. Bahkan dalam keluarga, komunitas, dan Gereja, sering luka-luka tidak disembuhkan karena pengampunan dianggap kelemahan. 
    Tetapi Paus Fransiskus mengingatkan: “Mengampuni bukan berarti melupakan keadilan, melainkan menyembuhkan hati.” (Misericordiae Vultus) 

    3. Mengapa Harus Mengampuni? 
    Jika kita tidak mengampuni:
    - Luka kita tetap terbuka,
    - Dendam menjadi racun dalam jiwa,
    - Hidup menjadi tawanan masa lalu. 

    Sebaliknya, jika kita mengampuni:
    - Kita dibebaskan,
    - Luka disembuhkan,
    - Kita menjadi serupa dengan Allah.

    St. Faustina Kowalska menulis: “Kasih sejati terwujud dalam pengampunan.”

    4. Pengampunan: Pusat dari Pewartaan Injil 
    Kerahiman dan pengampunan tidak dapat dipisahkan.
    Pengampunan adalah wajah operatif dari Kerahiman Allah. Yesus mempercayakan tugas besar ini kepada para murid: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni.”
    St. Augustinus berkata: “Percaya bahwa engkau diampuni akan membebaskanmu untuk mengampuni.”

    5. Tomas: Dari Ragu Menjadi Saksi Kerahiman 
    Tomas tidak ditolak oleh Yesus. Ia memperlihatkan luka-luka-Nya. Dari sentuhan itu, Tomas berseru: "Tuhanku dan Allahku!" Iman yang lahir dari kerahiman jauh lebih kuat daripada iman yang lahir dari ketakutan.

    Penutup: Jadilah Wajah Allah
    Di dunia yang penuh luka: Jadilah pembawa pengampunan.
    Di dunia yang penuh kebencian: Jadilah wajah Allah yang Maharahim. 
    St. Fransiskus dari Assisi berdoa: “Di mana ada kebencian, biarkan aku membawa cinta.
    Di mana ada luka, biarkan aku membawa pengampunan.” Mari kita sambut sabda Yesus: "Damai sejahtera bagi kamu." Damai yang lahir dari hati yang mengampuni. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    20 April 2025 - Hari Raya Paskah

    Minggu, 20 April 2025 - Hari Raya Paskah

    Bacaan I : Kel. 14:15-15:1
    Bacaan II :  Rm. 6:3-11
    Bacaan Injil : Mat. 28:1-10

    “Iman yang Bangkit dari Dalam Gelap: Mengalahkan Prasangka, Mewartakan Harapan”

    Untuk Perayaan Paskah dan Penerimaan Sakramen Penguatan Dalam Terang Tahun Yubileum Pengharapan 2025

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, selamat Hari Raya Paskah

    Pagi hari itu, ketika hari masih gelap, Maria Magdalena berjalan ke kubur Yesus. Ia larut dalam kesedihan, pikirannya dibayangi kehilangan, dan hatinya belum diterangi pengertian iman. Maka, ketika melihat kubur kosong, pikirannya langsung dipenuhi prasangka, “Tuhan telah diambil orang...” (Yoh 20:2)

    Ia belum melihat kebenaran bahwa Yesus telah bangkit, karena, seperti ditulis dalam Injil, “Sebab selama ini mereka belum mengerti Kitab Suci, yang mengatakan bahwa Dia harus bangkit dari antara orang mati.” (Yoh 20:9)

    1. Prasangka Lahir dari Kegelapan Iman

    Mengapa Maria mengira jenazah Yesus dicuri? Karena hatinya sedang gelap. Gelap oleh kesedihan, gelap karena kehilangan arah. Dalam Injil Yohanes, “gelap” bukan sekadar waktu dini hari, tetapi simbol kebingungan batin dan ketidaktahuan rohani.

    Prasangka buruk tumbuh ketika terang Sabda Tuhan belum menerangi pikiran. Maria belum mengerti janji Yesus. Maka ia menafsirkan realitas dari sudut pandang rasa takut, bukan iman.

    Kita pun sering bersikap demikian:

    Ketika masalah datang, kita cepat curiga.
    Ketika doa belum dijawab, kita mudah merasa ditinggalkan.
    Ketika dunia tampak gelap, kita bertanya, “Di mana Tuhan?”
    Padahal Tuhan tidak absen. Ia hidup. Tapi kita hanya bisa mengenali-Nya jika hati kita diterangi Sabda.

    2. Sabda: Terang yang Membebaskan dari Prasangka

    Injil hari ini mengatakan, “Sebab selama ini mereka belum mengerti Kitab Suci...” (Yoh 20:9) Tanpa Sabda, kubur kosong adalah misteri yang menakutkan. Dengan Sabda, kubur kosong menjadi tanda kemenangan.
    Sabda adalah terang yang mengubah tafsir keliru menjadi pengenalan akan kebenaran. Sabda adalah cahaya yang menuntun kita keluar dari ketakutan.

    Maria berubah bukan karena melihat jenazah, tetapi karena ia mendengar Sabda pribadi dari Yesus, “Maria!” — “Rabuni!” (Yoh 20:16)
    Dalam sekejap, prasangka hilang, pengharapan lahir. Sabda Yesus menyentuh hatinya dan membangkitkan imannya.

    3. Sakramen Krisma: Roh Kudus Membuka Pengertian dan Misi 
    Hari ini, saudara-saudari kita menerima Sakramen Penguatan. Sakramen ini bukan sekadar ritual. Ini adalah pencurahan Roh Kudus, agar kamu:
    Dapat mengingat dan mengerti Sabda Tuhan,
    Dapat membedakan kebenaran dari kebingungan dunia,
    Dapat berdiri teguh saat dunia meragukan imanmu,
    Dan menjadi saksi kebangkitan Kristus di mana pun kamu berada.
    Roh Kudus adalah terang yang membakar hati dan membuka mata iman.
    Dalam terang-Nya, prasangka digantikan oleh pengertian, dan ketakutan berubah menjadi keberanian.

    4. Tahun Yubileum: Waktu untuk Bangkit dan Bersaksi 
    Tahun Yubileum 2025 adalah Tahun Pengharapan. Dan harapan itu bukanlah optimisme buta, tapi keyakinan bahwa, “Kristus telah bangkit, dan karena itu tidak ada malam yang terlalu gelap untuk dikalahkan terang-Nya.” 

    Seperti Maria, kita dipanggil:
    Untuk tidak berhenti dan tinggal pada tangisan,
    Untuk tidak hidup dalam prasangka, Tapi berbalik dan melihat Yesus yang hidup,
    Dan pergi memberitakan: “Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh 20:18)

    5. Penutup: Pegang Sabda, Wartakan Harapan 
    Saudara-saudari, Jangan tunggu semuanya jelas baru percaya. Percayalah, dan kamu akan melihat. Pegang Sabda, dan kamu akan dibebaskan dari ketakutan.

    Untuk para penerima Krisma:
    Jadilah saksi iman di sekolah, di rumah, di dunia digital. Bawalah terang Kristus ke dalam dunia yang penuh prasangka. Hidupkan Sabda dan wartakan harapan.
    Kristus telah bangkit. Alleluya. Harapan tidak mengecewakan. Alleluya. 
    Amin.

    Penutup

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    13 April 2025 - Minggu Palma

    Minggu, 13 April 2025 - Hari Minggu Palma Mengenang Sengsara Tuhan

    Bacaan I : Yes. 50:4-7
    Bacaan II : Flp. 2:6-11
    Bacaan Injil : Luk. 22:14- 23:56

    “Dari Hosana ke Salibkan Dia: Kerapuhan Hati Manusia dan Kasih yang Tetap Setia”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini kita memasuki Pekan Suci. Kita baru saja mendengarkan kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Kita diajak untuk merenungkan kontras dramatis antara sambutan penuh sukacita di pintu gerbang Yerusalem dan teriakan kebencian di halaman pengadilan Pilatus.

    “Hosana bagi Anak Daud!” berubah menjadi “Salibkan Dia!”

    Pertanyaannya: mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang membuat manusia—yang mengaku percaya kepada Allah—begitu cepat berbalik dari pujian ke pengkhianatan?

    1. Kekecewaan terhadap Harapan yang Tidak Terpenuhi

    Banyak orang menaruh harapan bahwa Yesus akan menjadi Mesias politis yang membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Tapi Yesus tidak menuruti ekspektasi mereka. Ia datang sebagai Hamba yang menderita, bukan sebagai pahlawan bersenjata. Ketika harapan mereka runtuh, kekecewaan berubah menjadi penolakan.

    Hal yang sama bisa terjadi dalam hidup kita. Ketika Tuhan tidak bertindak seperti yang kita harapkan—saat doa tidak segera dijawab, atau salib terasa berat—apakah kita tetap setia, atau ikut berteriak “Salibkan Dia”?

    2. Massa yang Mudah Tergoyah dan Ketakutan yang Menyebar

    Iman yang tidak berakar mudah goyah dalam tekanan. Orang-orang yang sebelumnya bersorak “Hosana” bisa berubah karena:
    Takut dikucilkan,
    Terbawa arus,
    Atau sekadar tidak mengerti siapa Yesus sebenarnya.

    Yesus tidak pernah menjanjikan popularitas atau kenyamanan. Ia menjanjikan salib yang membawa kehidupan. Maka, mengikuti Yesus adalah keberanian untuk tetap setia meski dunia berbalik arah.

    3. Dosa dan Ketertutupan Hati

    Penolakan Yesus juga lahir dari hati yang tidak mau bertobat. Ia datang membawa terang, tapi banyak yang lebih memilih kegelapan karena:
    Takut dikoreksi,
    Nyaman dengan kebiasaan lama,
    Tidak rela kehilangan kekuasaan atau ego.

    Yesus disalibkan bukan hanya oleh paku dan kayu, tapi juga oleh penolakan batin manusia yang tak mau diubah.

    4. Tapi Yesus Tetap Setia

    Yang luar biasa dari kisah sengsara ini adalah: kasih Yesus tidak berubah. Ia tetap diam saat dihina. Ia tetap mengasihi saat disalibkan. Ia bahkan mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya.

    Inilah Injil kasih: Tuhan tidak menyesal mengasihi kita, walau kita sering berkhianat.

    5. Undangan untuk Masuk ke Jalan Salib

    Saudara-saudari, Pekan Suci ini bukan sekadar kenangan. Ini adalah undangan untuk ikut berjalan bersama Yesus.

    Bukan hanya ikut arak-arakan palma, tapi juga ikut memanggul salib.

    Bukan hanya ikut liturgi, tapi juga menjadi saksi kasih yang setia dalam hidup nyata.

    Jangan biarkan suara “Salibkan Dia!” terdengar lagi—dari sikap kita, dari ketidakpedulian kita, dari kompromi kita terhadap kebenaran.

    Sebaliknya, marilah kita berkata: Hosana yg berarti "Selamatkanlah, tolonglah kami sekarang" “Hosana dalam arti yang sejati: Yesus, datang dan ubahlah hatiku.”

    Penutup

    Pekan Suci telah dimulai. Kita diajak masuk ke dalam misteri sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan. Mari kita ikut berjalan dengan-Nya—dalam iman, pengharapan, dan kasih. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    06 April 2025 - Prapaskah V

    Minggu, 06 April 2025 - Hari Minggu Prapaskah V

    Bacaan I : Yes. 43:16-21
    Mazmur :  Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6
    Bacaan II :  Flp. 3:8-14
    Bacaan Injil : Yoh. 8:1-11

    Allah yang Mahapengampun

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Minggu ini, Injil membawa kita ke sebuah kisah yang amat kuat, penuh luka dan kasih, penghakiman dan pengampunan: perempuan yang tertangkap basah dalam perzinahan. Sebuah kisah yang menggambarkan dua dunia—dunia manusia yang ingin menghukum, dan dunia Allah yang memilih mengampuni.

    1. Dosa yang Nyata dan Penghakiman yang Cepat

    Perempuan itu bersalah. Ia tertangkap basah. Tak ada dalih. Hukum Musa jelas: ia harus dirajam. Tapi anehnya, hanya dia yang dibawa. Tidak ada pasangan lelakinya. Keadilan menjadi alat manipulasi, bukan kebenaran. Orang-orang Farisi datang bukan mencari kebenaran. Mereka datang untuk menjebak Yesus. Jika Yesus menghukum, kasih-Nya dipertanyakan. Jika membebaskan, Ia dianggap melawan hukum Musa. Sebuah dilema.

    Yesus tidak menjawab. Ia menunduk dan menulis di tanah. Ketika mereka mendesak, Yesus berdiri dan berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

    Sunyi. Batu-batu dijatuhkan. Dari yang tertua, satu per satu pergi. Tinggal Yesus dan perempuan itu.

    2. Allah Mengampuni, Bukan Menghakimi

    Yesus berdiri dan bertanya: “Di mana mereka? Tidak adakah yang menghukum engkau?” Perempuan itu menjawab: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu Yesus berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi.”

    Saudara-saudari, inilah wajah Allah kita. Bukan Allah yang mencatat dan menghitung dosa kita, tetapi Allah yang membuka lembaran baru. Yesus tidak membiarkan dosa, tapi mengampuni dan mengundang untuk bertobat.

    3. Kita Adalah Perempuan Itu – Dan Juga Farisi Itu

    Dalam hidup, kita pernah berdosa seperti perempuan itu. Kita pernah gagal. Kita pernah jatuh.

    Tapi sering pula, kita berdosa seperti orang Farisi: merasa lebih suci, cepat menghakimi, lambat mengampuni.

    Yesus hari ini berdiri di tengah kita dan berkata, “Kalau engkau tidak berdosa, silakan lempar batu pertama." Kita semua berdosa. Tapi kita semua juga dikasihi.

    4. Pengampunan Adalah Awal, Bukan Akhir

    Yesus tidak hanya menyelamatkan perempuan itu dari hukuman. Ia memberinya arah hidup baru. Kata-Nya, “Jangan berdosa lagi mulai sekarang.”

    Itu bukan perintah keras, tapi undangan penuh kasih, “Aku tahu engkau bisa berubah.” Inilah keadilan ilahi: bukan menghukum, tapi membangun kembali.

    5. Paulus: Dari Penganiaya Menjadi Pewarta Pengampunan

    Bacaan kedua dari surat Filipi memperkuat pesan ini. Paulus dulunya Farisi yang fanatik. Tapi setelah dijamah kasih Kristus, ia berubah. Ia menulis, “Yang lama kulupakan, dan aku berlari menuju yang di depan.” (Flp 3:13)

    Allah memanggil kita bukan karena kita pantas, tapi karena kasih-Nya tidak pernah menyerah.

    6. Tahun Yubileum Pengharapan: Saatnya Memulai Lagi

    Dalam Spes Non Confundit, Paus Fransiskus menulis, “Tuhan tidak bosan memberi kesempatan baru. Dialah Allah yang membukakan pintu.”

    Hari ini kita diundang menjadi seperti Kristus: Bukan melempar batu, tapi merangkul sesama. Bukan mengungkit luka lama, tapi memberi harapan baru. '

    Penutup: Jangan Takut Datang Kembali

    Saudara-saudari, Yesus tidak melihat siapa kamu kemarin. Ia melihat siapa kamu bisa jadi hari ini. Ia tidak tertarik menghukum. Ia ingin menyembuhkan. Maka datanglah kepada-Nya. Terimalah kasih yang mengampuni dan membebaskan. Dan jadilah pembawa harapan di tengah dunia yang penuh penghakiman. “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berdosa lagi.” Itulah sabda kasih. Itulah suara Allah. Dan itulah undangan bagi kita semua hari ini.

     Apakah aku bersedia mengampuni seperti Kristus mengampuni—tanpa mengungkit masa lalu, dan memberi harapan pada masa depan? Para saudara dan saudari, mari beri jawaban singkat pada kolom komentar! Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    30 Maret 2025 - Prapaskah IV

    Minggu, 30 Maret 2025 - Hari Minggu Prapaskah IV

    Bacaan I : Yos. 5:9a,10-12
    Bacaan II :  2Kor. 5:17-21
    Bacaan Injil : Luk. 15:1-3,11-32

    “Bapa yang Tak Pernah Lelah Menunggu: Prapaskah, Ziarah Kembali ke Rumah Kasih”

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Di tengah Masa Prapaskah ini, kita tiba di Minggu yang kerap disebut sebagai Laetare Sunday—Minggu Sukacita. Liturgi mengenakan warna merah muda, sebagai tanda bahwa terang Paskah sudah mulai tampak di ujung jalan pertobatan kita.

    Dan hari ini kita menerima salah satu kabar paling indah dari Injil: Kisah Anak yang Hilang—atau lebih tepat, kisah Bapa yang tak pernah lelah menunggu. Dalam Tahun Yubileum Pengharapan, bacaan ini menjadi pusat kontemplasi kita: Allah bukan hanya Bapa, tapi juga Rumah yang hangat, yang selalu terbuka, dan hati yang tak pernah menutup pintunya.

    1. Bapa yang Tidak Pernah Lelah Menunggu

    Bayangkan sosok Bapa itu: setiap hari menanti, menatap jauh ke jalan, berharap anaknya pulang. Bukan karena sang anak layak, bukan karena ia berhasil memperbaiki semua kesalahan—tetapi cukup karena ia kembali. Bahkan ketika anak itu masih jauh, Bapa sudah berlari menjemputnya. Tak peduli bau babi, tak peduli pakaian compang-camping, tak peduli skrip permintaan maaf yang belum selesai diucapkan.

    Inilah Injil kasih: Allah tidak mencatat daftar dosa, tapi menghitung setiap langkah pulang.

    Seperti dikatakan oleh Paus Fransiskus: “Tuhan tidak pernah lelah mengampuni kita. Tapi kita yang sering lelah untuk datang kepada-Nya dan meminta belas kasih.”

    2. Pertobatan adalah Pulang, Bukan Hukuman

    Dalam budaya manusia, ketika seseorang gagal, ia dihukum. Tetapi dalam Kerajaan Allah, ketika seseorang gagal dan pulang, ia dipeluk.

    Pertobatan sejati bukan hanya perasaan bersalah. Pertobatan adalah keberanian untuk pulang. Dan Bapa surgawi tidak berdiri dengan tangan menyilang menunggu penjelasan. Ia berlari. Ia menghambur. Ia mencium dan menyambut. Pertobatan bukan pintu sempit yang menyiksa, tapi jalan lebar yang penuh pelukan.

    St. Ambrosius berkata: “Allah tidak menunggu kita menjadi layak, tetapi menunggu kita membuka hati.”

    3. Tahun Yubileum: Tahun Pengharapan yang Pulang

    Tahun Yubileum selalu dimaknai sebagai tahun pembebasan, tahun pemulihan, dan tahun pulang. Dalam terang Injil hari ini, Yubileum 2025 menjadi panggilan bukan hanya untuk memperbaiki struktur hidup kita, tapi menyambung relasi yang putus—dengan Tuhan, dengan keluarga, bahkan dengan diri sendiri.

    Kita semua seperti anak yang hilang—pernah menjauh, pernah menyia-nyiakan kasih. Tapi Allah masih setia di ujung jalan.

    St. Yohanes Paulus II mengatakan: “Tidak ada dosa yang lebih besar dari kerahiman Allah. Tidak ada luka yang tak bisa disembuhkan oleh pelukan Bapa.”

    4. Jangan Jadi Anak Sulung yang Tertinggal di Luar Pesta

    Jangan lupa, kisah ini bukan hanya soal anak bungsu. Yesus juga mengangkat cermin kepada mereka yang seperti anak sulung: taat tapi pahit hati. Di gereja, di pelayanan, bahkan dalam hidup doa, kita bisa merasa ‘lebih baik’ dari mereka yang kembali dari kehidupan kacau.

    Tapi Bapa berkata kepada anak sulung, “Engkau selalu bersama-Ku, tapi adikmu ini telah kembali, dan itu adalah sukacita!”

    Sayangnya, banyak orang seperti anak sulung: secara lahiriah dekat dengan rumah Bapa, tapi hatinya jauh dari semangat Bapa. Mereka menjalankan kewajiban agama, tetapi kehilangan sukacita Injil. Mereka tahu semua hukum, tetapi lupa kasih. Mereka setia hadir, tetapi tidak ikut berpesta.

    Paus Benediktus XVI pernah berkata: “Iman Kristen bukan pertama-tama tentang moralitas atau hukum, melainkan tentang perjumpaan dengan Kasih yang mengubah hati.”

    Anak sulung tidak ditolak oleh Bapa. Ia juga diajak masuk. Tapi ia harus memilih: tetap di luar karena kepahitan atau masuk ke dalam karena kasih.

    Penutup: Prapaskah adalah Perjalanan Pulang

    Saudara-saudari terkasih,
    Hari ini Allah berkata, “Anakku, pulanglah. Tak perlu penjelasan panjang. Tak perlu alasan. Aku hanya ingin kau pulang.”
    Dan di Tahun Yubileum Pengharapan ini, mari kita jawab dengan langkah sederhana: kembali ke doa, kembali ke sakramen tobat, kembali ke pelayanan, kembali ke pelukan Bapa.

    Karena kita punya Allah yang tidak pernah lelah menunggu. Dan begitu kita pulang, Ia bukan hanya menyambut, tapi menyembuhkan, memulihkan, dan memahkotai.

    Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    23 Maret 2025 - Prapaskah III

    Minggu, 23 Maret 2025 - Hari Minggu Prapaskah III

    Bacaan I : Kel. 3:1-8a,13-15
    Bacaan II : 1Kor. 10:1-6,10-12
    Bacaan Injil : Luk. 13:1-9

    Penyakit Rohani yang Tak Terlihat: Waspadai, Bertobatlah, dan Berharaplah!

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,

    Dalam Injil hari ini, Yesus menerima kabar dari beberapa orang: bahwa Pilatus telah membunuh orang-orang Galilea dan mencampur darah mereka dengan darah kurban. Sebuah berita yang mengerikan. Tapi yang lebih mengejutkan adalah cara Yesus menanggapinya:

    “Kamu menyangka bahwa mereka lebih berdosa daripada semua orang lain? Tidak! Tetapi jika kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara yang sama.” (Luk. 13:5)

    1. Penyakit Rohani yang Disingkapkan Yesus

    Apa yang sedang Yesus soroti? Ia menyingkapkan sebuah penyakit rohani yang sangat berbahaya dan sering tersembunyi: rasa superioritas religius, kecenderungan cepat menghakimi, dan pembenaran diri melalui dosa orang lain.

    Dalam budaya waktu itu, orang Galilea sering dipandang rendah oleh orang Yudea, terutama mereka yang tinggal di sekitar Yerusalem. Orang Galilea dianggap kurang saleh, lebih sibuk berdagang, dan tidak setaat orang-orang di pusat ibadah. Maka ketika ada tragedi menimpa orang Galilea, mereka langsung dinilai: “Pantas, mereka memang pendosa!”.

    Yesus langsung menggugurkan cara berpikir ini. Ia menyadarkan bahwa bukan hanya orang Galilea yang butuh pertobatan, tapi semua orang! Penyakit rohani bukan milik satu kelompok, tapi bisa bercokol dalam hati siapa saja.

    Paus Fransiskus menyebut ini sebagai “sikap Farisi rohani” — merasa saleh di luar, tetapi hati penuh kebanggaan tersembunyi. Ini bisa menjangkiti siapa saja, bahkan pemuka agama dan orang yang rajin berdoa dan melayani. “Jika kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara yang sama.” (Luk. 13:5)

    2. Mengapa Penyakit Ini Masih Bercokol Sampai Sekarang?

    Karena mudah sekali membandingkan diri dengan orang lain untuk merasa lebih baik. Ketika melihat orang lain jatuh, kita tergoda untuk berkata dalam hati: “Syukurlah itu bukan aku.” Tapi kita lupa bahwa dosa bukan hanya soal tindakan lahiriah, melainkan juga sikap hati yang sombong, keras, dan tidak berbelas kasih.

    St. Teresa dari Avila pernah mengingatkan: “Lebih baik jatuh seribu kali dalam kerendahan hati, daripada berdiri tegak dalam kesombongan rohani.”

    3. Nasihat Yesus dan Obatnya

    Yesus tidak hanya menyalahkan. Ia menawarkan jalan penyembuhan. Dalam perumpamaan pohon ara yang tidak berbuah, Allah digambarkan sebagai pemilik kebun yang sabar. Pohon itu sudah tiga tahun tak berbuah, tetapi masih diberi kesempatan.

    Yesus adalah sang pengurus kebun yang berkata: “Biarkanlah dia tumbuh setahun lagi. Aku akan mencangkul tanahnya dan memberi pupuk.” (Luk. 13:8) Inilah Yubileum Pengharapan kita! Tuhan tidak langsung menghukum. Ia menunggu, membimbing, menyirami dengan sabda dan sakramen, memberi pupuk lewat kasih dan teguran. Tapi jangan menunda, sebab waktu rahmat tidak selamanya terbuka.

    4. Tiga Langkah Menyembuhkan Penyakit Rohani Ini

    Pertama, milikilah kerendahan hati. Jangan merasa lebih benar. Kita semua adalah pendosa yang membutuhkan rahmat.

    Kedua, berhentilah menghakimi. Paus Fransiskus berkata: “Ketika kita menghakimi orang lain, kita kehilangan kesempatan untuk mencintai mereka.”

    Ketiga, bertobatlah sungguh-sungguh. Buka hati pada Allah. Minta Dia menyirami tanah hatimu yang keras, agar bertumbuh buah-buah belas kasih, pengampunan, dan pertobatan sejati.

    5. Penutup: Pertobatan Adalah Kabar Gembira

    Yesus tidak datang membawa vonis, tetapi undangan untuk sembuh. Pertobatan bukan ancaman, tetapi tawaran kasih. Tahun Yubileum ini adalah waktu untuk menggali kembali akar harapan, agar kita dibebaskan dari rasa benar sendiri, dan hidup oleh belas kasih Tuhan.

    St. Yohanes Paulus II berkata: “Tidak ada dosa yang begitu besar sehingga belas kasih Allah tidak mampu menyembuhkannya—asal hati manusia mau bertobat.” Saudara-saudari terkasih, Hari ini, mari kita tinggalkan penyakit rohani yang tersembunyi itu—dan pulang kepada Tuhan dengan hati yang rendah. Agar kita tidak binasa bersama kesombongan kita, tetapi hidup oleh rahmat pengampunan-Nya.

    Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    09 Maret 2025 - Prapaskah I

    Minggu, 9 Maret 2025 - Hari Minggu Prapaskah I

    Bacaan I : Ul. 26:4-10
    Bacaan II :  Rm. 10:8-13
    Bacaan Injil : Luk. 4:1-13 

    MENOLAK GODAAN INSTAN, MEMILIH JALAN HARAPAN

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,

    Masa Prapaskah adalah waktu istimewa bagi kita untuk merenungkan iman, bertobat, dan memperkuat pengharapan kita kepada Tuhan. Tahun ini, Gereja Universal merayakan Yubileum 2025 dengan tema "Pengharapan Tidak Mengecewakan" (Roma 5:5). Pengharapan sejati bukan hanya sekadar optimisme, tetapi kesabaran untuk percaya pada waktu dan cara kerja Tuhan.

    Namun, dunia modern menawarkan sesuatu yang berlawanan dengan harapan: mentalitas instan. Segala sesuatu harus cepat, mudah, dan tanpa perjuangan. Itulah sebabnya godaan pertama yang Yesus hadapi di padang gurun menjadi sangat relevan bagi kita hari ini.

    1. Godaan Instan: Mengubah Batu Menjadi Roti

    📖 "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah batu ini menjadi roti." (Lukas 4:3)

    Iblis menggoda Yesus untuk menggunakan kuasa-Nya agar mendapatkan hasil instan. Setelah berpuasa selama 40 hari, Yesus pasti lapar. Tapi bukankah Tuhan bisa langsung menyediakan roti untuk-Nya? Mengapa harus menunggu?

    Godaan ini adalah simbol dari mentalitas manusia yang ingin segala sesuatu cepat dan tanpa usaha.

    2. Mentalitas Instan dalam Dunia Modern

    Zaman ini, kita hidup dalam era kecepatan, teknologi, dan kecerdasan buatan (AI).
    ✅ Informasi dapat diakses dalam hitungan detik.
    ✅ Belanja bisa dilakukan hanya dengan klik.
    ✅ Makanan bisa tiba dalam beberapa menit.
    ✅ AI bahkan bisa membantu menyelesaikan tugas tanpa berpikir keras.

    Semua ini memberi manfaat besar, tetapi juga membentuk budaya serba instan yang menghilangkan kesabaran, perjuangan, dan harapan.

    📌 Paus Fransiskus berkata:

    "Kita sering kali ingin hasil cepat, tetapi Tuhan bekerja dengan waktu-Nya sendiri. Harapan sejati adalah kesabaran dalam percaya kepada-Nya."

    Akibat dari mentalitas instan ini, kita melihat banyak orang kehilangan keutamaan harapan:

    Kurang sabar dalam doa, ingin jawaban segera.
    Cepat putus asa jika tidak segera melihat hasil.
    Enggan bekerja keras, mencari jalan pintas.
    Kurang menghargai proses, hanya fokus pada hasil.

    Yesus menolak godaan ini dan menjawab: 📖 "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4)

     

    Yesus mengajarkan bahwa hidup tidak hanya tentang pemenuhan kebutuhan fisik dan hasil instan, tetapi tentang kesetiaan pada proses Tuhan.

    3. Harapan Sejati: Kesabaran dalam Perjuangan

    Dalam Bacaan Pertama, Kitab Ulangan (Ul 26:4-10) mengisahkan bangsa Israel yang bersyukur setelah perjalanan panjang dari perbudakan di Mesir menuju tanah terjanji. Mereka tidak mendapatkannya secara instan, tetapi melalui proses yang penuh kesabaran dan pengharapan.

    📌 Santo Yohanes Paulus II berkata:
    "Harapan bukanlah tentang menunggu dengan pasif, tetapi tentang berjalan dengan iman di tengah ketidakpastian."

    Sebaliknya, mentalitas instan meniadakan pengharapan sejati.
    💡 Orang ingin sukses tanpa usaha keras.
    💡 Orang ingin kebahagiaan tanpa pengorbanan.
    💡 Orang ingin jawaban tanpa refleksi mendalam.

    Namun, harapan mengajarkan kita untuk percaya dan berproses. Dalam Bacaan Kedua, Roma 10:8-13, Rasul Paulus menegaskan bahwa keselamatan datang kepada mereka yang percaya kepada Kristus. Keselamatan bukan hasil instan, tetapi perjalanan iman dan pertobatan.

    📌 Paus Benediktus XVI berkata:

    "Harapan Kristen berarti percaya bahwa Tuhan sedang bekerja, bahkan ketika kita tidak melihatnya."

    4. Belajar dari Yesus: Menolak Jalan Pintas, Memilih Jalan Tuhan

    Yesus bisa saja menggunakan kuasa-Nya untuk menghindari penderitaan dan mengambil jalan pintas. Tetapi Ia memilih untuk taat kepada kehendak Bapa, meskipun itu berarti penderitaan dan salib.

    Hari ini, kita pun diundang untuk menolak mentalitas instan dan belajar bersabar dalam harapan:
    ✅ Dalam doa: Percaya bahwa Tuhan menjawab di waktu terbaik.
    ✅ Dalam pekerjaan: Menghargai proses, bukan hanya hasil.
    ✅ Dalam relasi: Membangun hubungan dengan kasih dan kesetiaan.
    ✅ Dalam penderitaan: Tidak menyerah, tetapi tetap berjuang dengan iman.

    📌 Paus Fransiskus dalam Yubileum Pengharapan 2025 berkata:

    "Harapan sejati bukanlah ilusi. Harapan adalah kekuatan yang memberi kita keberanian untuk melangkah dalam iman."

    5. Menjadi Saksi Harapan di Dunia Serba Instan

    Sebagai umat yang hidup di zaman modern, kita dipanggil untuk menjadi saksi harapan yang sejati:
    ✅ Bersabar dalam perjuangan hidup, percaya bahwa Tuhan bekerja dalam proses.
    ✅ Mengutamakan nilai-nilai kekal daripada hanya mengejar hasil instan.
    ✅ Menjadi contoh bagi generasi muda untuk tetap setia dalam iman dan kerja keras.

    📖 "Berbahagialah orang yang berharap kepada Tuhan." (Mazmur 146:5)

    📌 Santo Agustinus berkata:

    "Tuhan terkadang menunda jawaban-Nya bukan karena Ia tidak peduli, tetapi karena Ia ingin membentuk iman kita lebih kuat."

    Penutup: Pilih Jalan Harapan, Tolak Mentalitas Instan

    Saudara-saudari terkasih, Yesus telah menunjukkan kepada kita jalan yang benar.
    💡 Maukah kita memilih harapan sejati, atau tetap mencari jalan instan?
    💡 Maukah kita bersabar dalam doa, atau menyerah karena tak langsung mendapat jawaban?
    💡 Maukah kita menapaki jalan Tuhan, meski itu membutuhkan waktu dan pengorbanan?

    📌 Paus Fransiskus berkata:

    "Tuhan tidak menjanjikan jawaban instan, tetapi Ia menjanjikan bahwa kita tidak akan berjalan sendirian."

    Masa Prapaskah ini, marilah kita meneladani Yesus dalam menolak godaan jalan pintas dan memilih jalan pengharapan sejati. Sebab, pengharapan di dalam Tuhan tidak akan pernah mengecewakan.
    Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    05 Maret 2025 - Rabu Abu

    Rabu, 5 Maret 2025 - Hari Rabu Abu (Pantang & Puasa)

    Bacaan I : Yl. 2:12-18;
    Bacaan II :  2Kor. 5:20-6:2;
    Bacaan Injil : Mat. 6:1-6,16-18

    DERMA, DOA, DAN PUASA SEBAGAI WUJUD PEMULIHAN DAN PENDAMAIAN DALAM TAHUN YUBILEUM 2025

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Tahun Yubileum 2025 yang bertema "Peziarah Harapan" adalah panggilan bagi kita untuk mengalami pemulihan dan pendamaian dengan Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan. Dalam tradisi Gereja, setiap Tahun Yubileum adalah momen rahmat untuk pembaruan rohani, di mana kita diajak untuk bertobat, memperbaiki relasi, dan hidup dalam kasih Tuhan yang memperbarui segalanya. Sebagai bagian dari perjalanan menuju pemulihan dan pendamaian, Gereja menekankan tiga praktik utama dalam kehidupan keagamaan, yaitu:

    1. DERMA (KASIH KEPADA SESAMA) 
    2. DOA (HUBUNGAN DENGAN TUHAN) 
    3. PUASA (PENGUASAAN DIRI DAN PENGORBANAN)

    Ketiga hal ini bukan sekadar kewajiban agama, tetapi sarana pemurnian hati yang membawa kita kembali kepada kehendak Tuhan.

    📌 Paus Fransiskus dalam Misericordiae Vultus berkata:

    "Tahun Suci adalah saat rahmat, di mana hati yang keras dilunakkan, relasi yang retak diperbaiki, dan kasih Tuhan memulihkan semua yang rusak."

    Bagaimana ketiga praktik ini menjadi jalan menuju pemulihan dan pendamaian dalam Yubileum 2025?

    1. DERMA: MEMULIHKAN KASIH DAN KEADILAN SOSIAL

    Dalam Matius 6:3-4, Yesus berkata:

    "Apabila engkau memberi sedekah, janganlah tangan kirimu mengetahui apa yang diperbuat tangan kananmu."

    Derma bukan hanya sekadar memberi materi, tetapi mewujudkan keadilan, kepedulian, dan belas kasih kepada mereka yang membutuhkan.

    💡 Bagaimana derma menjadi sarana pemulihan dan pendamaian?

    ✅ Pemulihan relasi dengan sesama: Kita menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang menolong mereka yang menderita.

    ✅ Pendamaian dengan mereka yang tersisih: Derma membantu kita membangun kembali solidaritas dengan kaum miskin dan tersingkir.

    ✅ Menghidupkan keadilan sosial: Tahun Yubileum selalu menekankan keadilan, penghapusan hutang, dan perhatian kepada kaum tertindas.

    📌 Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (FT 119) berkata:

    "Setiap tindakan kasih yang kita lakukan adalah langkah menuju dunia yang lebih manusiawi dan lebih adil."

    💡 Dalam Yubileum ini, kita dipanggil untuk menjadi lebih murah hati, tidak hanya dengan harta, tetapi dengan kasih dan kepedulian kepada sesama.

    2. DOA: MEMULIHKAN HUBUNGAN DENGAN TUHAN

    Yesus mengajarkan dalam Matius 6:6:
    "Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu, dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi."

    Doa adalah napas kehidupan rohani, tempat kita kembali kepada Tuhan dan memperbaiki relasi kita dengan-Nya.

    💡 Bagaimana doa membawa pemulihan dan pendamaian?

    ✅ Pemulihan hubungan dengan Tuhan: Kita menyadari bahwa tanpa Tuhan, kita tidak dapat hidup dengan benar.

    ✅ Pendamaian dengan diri sendiri: Doa membantu kita menerima kasih dan pengampunan Tuhan, serta berdamai dengan luka-luka batin kita.

    ✅ Memurnikan hati: Dengan doa, kita belajar untuk tidak hanya meminta, tetapi juga mendengarkan kehendak Tuhan.

    📌 Paus Benediktus XVI berkata:

    "Doa bukan sekadar berkata-kata kepada Tuhan, tetapi membiarkan Tuhan menyentuh dan mengubah hati kita."

    💡 Dalam Yubileum ini, marilah kita memperdalam kehidupan doa kita, agar pemulihan dan damai sejati dari Tuhan memenuhi hati kita.

    3. PUASA: MEMULIHKAN DIRI MELALUI PENYANGKALAN DIRI

    Yesus berkata dalam Matius 6:16:

    "Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik."

    Puasa bukan hanya soal tidak makan, tetapi juga menahan diri dari segala sesuatu yang menghambat hubungan kita dengan Tuhan.

    💡 Bagaimana puasa membawa pemulihan dan pendamaian?

    ✅ Pemulihan dari dosa: Puasa membantu kita melawan kelemahan manusiawi yang menjauhkan kita dari Tuhan.

    ✅ Pendamaian dengan ciptaan: Dengan berpuasa dari konsumerisme, kita belajar untuk hidup lebih sederhana dan menghargai ciptaan Tuhan.

    ✅ Mengendalikan diri: Puasa melatih kita untuk lebih fokus pada hal-hal rohani daripada hal-hal duniawi.

    📌 Santo Yohanes Paulus II berkata:

    "Puasa adalah bentuk kasih: ketika kita mengendalikan diri, kita lebih terbuka untuk berbagi dengan orang lain."

    💡 Dalam Yubileum ini, kita dipanggil untuk berpuasa bukan hanya dari makanan, tetapi juga dari kebiasaan buruk yang merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.

    PENUTUP: MENGHIDUPI YUBILEUM DENGAN PERTOBATAN YANG SEJATI

    Saudara-saudari, Tahun Yubileum 2025 adalah kesempatan untuk memperbarui hidup kita dan memperdalam hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.

    💙 Derma mengajarkan kita untuk berbagi dan membangun keadilan sosial.
    💙 Doa membawa kita kembali kepada Tuhan dan memulihkan jiwa kita.
    💙 Puasa melatih kita untuk hidup lebih sederhana dan lebih dekat dengan Tuhan.

    📌 Paus Fransiskus berkata dalam Evangelii Gaudium (EG 27):

    "Kita tidak dipanggil untuk hidup bagi diri sendiri, tetapi untuk menjadi tanda harapan dan kasih di dunia."

    Di Tahun Yubileum ini, mari kita bertanya kepada diri sendiri:
    💡 Apakah aku sudah berbuat cukup bagi mereka yang membutuhkan?
    💡 Apakah aku sudah benar-benar menjadikan doa sebagai jalan hidup?
    💡 Apakah aku bersedia berkorban demi bertumbuh dalam iman dan kasih?

    Semoga derma, doa, dan puasa tidak hanya menjadi kewajiban agama, tetapi menjadi jalan menuju pemulihan dan pendamaian sejati di hati kita, dalam keluarga kita, dan di dunia. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    02 Maret 2025 - Minggu Biasa VIII

    Minggu, 2 Maret 2025 - Minggu Biasa VIII

    Bacaan I : Sir. 27:4-7 
    Bacaan II : 1Kor. 15:54-58
    Bacaan Injil : Luk. 6:39-45

    "DARI PERBENDAHARAAN HATINYA YANG BAIK,
    ORANG MENGELUARKAN YANG BAIK"

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
    Hari ini kita merenungkan sebuah prinsip penting dalam kehidupan rohani kita: apa yang tersimpan dalam hati kita akan terpancar dalam perkataan dan tindakan kita.

    Yesus bersabda dalam Lukas 6:45: "Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaan hatinya yang jahat. Karena dari kelimpahan hati, mulutnya berbicara."

    Ayat ini mengajarkan kita bahwa hati kita ibarat sebuah gudang atau perbendaharaan. Apa yang kita simpan di dalamnya akan menentukan kehidupan kita.

    1. APA ITU PERBENDAHARAAN HATI?

    William Barclay dalam The Daily Study Bible menjelaskan:
    "Perbendaharaan hati adalah sesuatu yang telah dikumpulkan secara terus-meneru dalam hatis. Jika hati kita diisi dengan kasih, pengampunan, empati, sukacita dan kebaikan, maka yang keluar pun adalah kasih, pengampunan, sukacita, empati dan kebaikan."
    Hati kita bisa diibaratkan sebagai gudang tempat menyimpan segala sesuatu yang kita alami, pikirkan, dan rasakan. Apa yang kita simpan di dalamnya, entah itu kebaikan atau keburukan, akan menentukan bagaimana kita bertindak dan berbicara dalam hidup kita.

    Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (EG 77) berkata:
    "Jika hati kita penuh dengan kasih, maka perkataan dan perbuatan kita akan mencerminkan kasih itu. Tetapi jika hati kita penuh dengan kepahitan, sakit hati, kekecewaan, marah maka dunia pun akan merasakan getirnya."
    Pertanyaannya bagi kita: Apa yang selama ini kita kumpulkan dalam hati kita? Apakah kita menyimpan cinta dan pengampunan, ataukah kebencian dan kepahitan?

    2. BAGAIMANA MEMENUHI PERBENDAHARAAN HATI KITA?

    Seperti gudang yang perlu diisi dengan barang-barang yang baik, hati kita juga perlu dipenuhi dengan hal-hal yang baik. Apa yang dapat mengisi hati kita dengan kebaikan? 
    Sabda Tuhan dan doa: Membaca Kitab Suci dan berdoa setiap hari membuat hati kita dipenuhi dengan kebijaksanaan ilahi. Sakramen dan Ekaristi: Mengikuti Ekaristi dan menerima sakramen secara teratur membantu kita mendapatkan rahmat untuk bertumbuh dalam kasih.
    Pergaulan yang baik: Bergaul dengan orang-orang yang memiliki iman kuat akan membantu kita menjaga hati tetap bersih.
    Melayani sesama: Dengan berbagi kasih kepada orang lain, kita mengisi hati kita dengan kebaikan yang nyata.

    Santo Yohanes Maria Vianney berkata: "Jika kita mengisi hati kita dengan Yesus, maka kita tidak akan punya ruang untuk hal-hal duniawi yang sia-sia."
    Bagaimana kita mengisi hati kita? Dengan Firman Tuhan, kasih, dan pengampunan, atau dengan kemarahan, dendam, dan kesombongan?

    3. PERBENDAHARAAN HATI YANG BAIK DAN YANG BURUK

    Yesus membedakan antara hati yang baik dan hati yang jahat.
    Perbendaharaan hati yang baik adalah hati yang dipenuhi dengan kasih, kesabaran, kerendahan hati, dan belas kasih.
    Perbendaharaan hati yang buruk adalah hati yang dipenuhi dengan kemarahan, iri hati, kesombongan, dan kebencian.

    Santo Agustinus berkata: "Hati manusia adalah cermin dari apa yang dia cintai. Jika seseorang mencintai Tuhan, maka hatinya akan dipenuhi terang. Tetapi jika seseorang mencintai dunia lebih dari Tuhan, maka hatinya akan gelap." Apakah hati kita lebih banyak diisi dengan kebaikan atau dengan keburukan?

    4. BAGAIMANA MENJAGA PERBENDAHARAAN HATI KITA TETAP BAIK?

    Agar hati kita tetap bersih dan penuh kebaikan, kita harus:
    Menyingkirkan segala kebencian dan kepahitan: Jangan menyimpan dendam, karena itu hanya akan meracuni hati kita.
    Mengampuni dengan tulus: Orang yang tidak mengampuni akan selalu hidup dalam beban yang berat.
    Menjaga pikiran tetap positif: Jangan biarkan pikiran negatif merusak hati kita.
    Memperbanyak doa dan introspeksi: Berdoa setiap hari dan bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku masih hidup dalam kasih Kristus?

    Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est berkata: "Hati yang penuh kasih kepada Tuhan tidak akan mudah dikuasai oleh kejahatan." Bagaimana kita menjaga hati kita tetap bersih? Dengan memeriksa isi hati kita setiap hari dan menyerahkannya kepada Tuhan.

    5. BUAH-BUAH DARI PERBENDAHARAAN HATI YANG BAIK

    Ketika kita memiliki hati yang dipenuhi kebaikan, maka yang keluar dari hidup kita adalah:
    Perkataan yang membangun: Kita tidak akan mudah mencela orang lain, tetapi mengucapkan kata-kata yang menghibur dan menguatkan.
    Tindakan kasih: Kita akan lebih sabar, lebih mudah membantu orang lain, dan lebih murah hati.
    Sikap pengampunan: Kita tidak akan menyimpan dendam, tetapi selalu memberi kesempatan kedua bagi sesama.
    Sukacita sejati: Orang yang hatinya baik akan hidup dalam damai dan kebahagiaan yang sejati.

    Paus Fransiskus berkata dalam Fratelli Tutti (FT 223): "Kasih yang sejati akan selalu menghasilkan buah perdamaian dan persaudaraan dalam komunitas kita." Apakah kita sudah menghasilkan buah yang baik dalam kehidupan kita?

    PENUTUP: MEMBANGUN PERBENDAHARAAN HATI YANG BAIK

    Saudara-saudari terkasih, hari ini kita diundang untuk melihat ke dalam hati kita. Apa yang kita simpan dalam hati kita akan menentukan bagaimana kita berbicara dan bertindak. Jika kita mengisi hati dengan kasih, maka hidup kita akan menghasilkan buah yang baik. Tetapi jika kita membiarkan hati kita dipenuhi kebencian, maka hidup kita akan penuh kegelapan.

    Santo Yohanes Paulus II berkata: "Dunia tidak butuh kata-kata kosong, tetapi kesaksian nyata dari hati yang baik."

    Hari ini, mari kita bertanya:

    Apakah hati kita sudah dipenuhi kasih atau masih menyimpan luka?
    Apakah perkataan dan tindakan kita sudah mencerminkan kasih Kristus?
    Apakah kita sudah berusaha menghasilkan buah yang baik dalam hidup kita?

    Marilah kita mohon rahmat Tuhan, agar hati kita selalu menjadi perbendaharaan kebaikan, dan hidup kita selalu menjadi cerminan kasih Kristus di dunia ini. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
    23 Februari 2025 - Minggu Biasa VII

    Minggu, 23 Februari 2025 - Minggu Biasa VII

    Bacaan I : 1Sam. 26:2,7-9,12-13,22-23
    Bacaan II : 1Kor. 15:45-49
    Bacaan Injil : Luk. 6:27-38

    MENGASIHI SEPERTI YESUS MENGASIHI

    "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu." (Lukas 6:27)

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini, bacaan liturgi mengajak kita untuk merenungkan kasih yang sejati—bukan kasih yang terbatas hanya pada mereka yang baik kepada kita, tetapi kasih yang mampu mengampuni, merangkul, dan bahkan mengasihi musuh.

    Kita sering mendengar bahwa mengasihi adalah perintah utama dalam kehidupan Kristiani. Namun, bagaimana kita bisa mengasihi mereka yang telah menyakiti kita? Bagaimana mungkin kita mengampuni orang yang berbuat jahat kepada kita?

    Yesus telah memberikan jawabannya: kasih yang sejati tidak tergantung pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, tetapi pada keputusan kita untuk mencintai seperti Kristus mencintai.

    1. TELADAN DAUD: KASIH YANG MENOLAK BALAS DENDAM 
      Dalam bacaan pertama (1 Samuel 26:2,7-9,12-13,22-23), kita melihat Daud memiliki kesempatan untuk membunuh Raja Saul, yang selama ini mengejarnya untuk membunuhnya. Namun, apa yang dilakukan Daud? 
      > "Tuhan akan membalas setiap orang sesuai dengan kebenarannya dan kesetiaannya." (1 Samuel 26:23)
      Daud tidak memilih balas dendam, tetapi memilih kasih. Ia percaya bahwa keadilan sejati adalah milik Tuhan, bukan milik manusia.

      📌 Paus Benediktus XVI berkata:
      > "Memaafkan tidak berarti mengabaikan kejahatan, tetapi menolak untuk membiarkan kejahatan menguasai hati kita."
      Betapa sering kita merasa sulit untuk mengampuni? Kita lebih mudah menyimpan dendam daripada memberikan pengampunan. Tetapi hari ini, Daud mengajarkan kita bahwa mengampuni bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan sejati. 

    2. MAZMUR: ALLAH ITU MAHA PENYAYANG, DAN KITA DIAJAK UNTUK MENIRU-NYA
      Mazmur hari ini (Mazmur 103:1-2,3-4,8,10,12-13) menggambarkan betapa besar kasih dan belas kasih Tuhan.
      > "Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia." (Mazmur 103:8).
      Kasih Tuhan tidak tergantung pada kebaikan kita. Ia tetap setia, meskipun kita sering kali gagal dan berdosa.

      📌 Paus Fransiskus berkata:
      > "Kasih dan pengampunan adalah jantung Injil. Jika kita tidak tahu bagaimana mengasihi dan mengampuni, kita belum memahami Yesus."
      Tuhan mengampuni kita bukan karena kita layak, tetapi karena kasih-Nya yang tak terbatas. Begitu pula kita, dipanggil untuk mengasihi dan mengampuni tanpa batas.

    3. AJARAN YESUS: KASIH YANG MELAMPAUI BATAS MANUSIAWI
      Dalam Injil Lukas 6:27-38, Yesus memberikan salah satu ajaran yang paling menantang dalam hidup Kristiani:
      > "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu." (Lukas 6:27)
      Yesus tidak hanya mengajarkan teori kasih, tetapi menunjukkannya dalam hidup-Nya: Di kayu salib, Yesus mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya:
      > "Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34)
      Ia makan bersama para pemungut cukai dan pendosa, menunjukkan kasih tanpa syarat. Ia menyembuhkan orang-orang yang dianggap tidak layak oleh masyarakat. Kasih Yesus melampaui logika manusia, karena kasih-Nya tidak bersyarat.

      📌 Santo Yohanes Paulus II berkata:
      > "Kebahagiaan sejati ditemukan bukan dalam membalas dendam, tetapi dalam mengampuni."
      Hari ini, Yesus memanggil kita untuk meninggalkan kebencian, membuang dendam, dan memilih kasih. 

    4. APA MANFAAT MENGASIHI DAN MENGAMPUNI?
      Mungkin kita bertanya, apa gunanya mengasihi mereka yang menyakiti kita?
      ✅ Mengasihi dan mengampuni membebaskan hati kita. Kebencian hanya akan menyakiti kita sendiri.
      ✅ Mengasihi dan mengampuni membawa sukacita sejati. Kebahagiaan sejati tidak datang dari membalas dendam, tetapi dari hati yang damai.
      ✅ Mengasihi dan mengampuni membuat kita semakin menyerupai Kristus.

      📌 Paus Fransiskus berkata:
      > "Tidak ada kekuatan yang lebih besar di dunia selain kasih dan pengampunan." Jika kita ingin menjadi murid Kristus yang sejati, kita harus berani mengasihi tanpa batas. 

    5. BAGIAN PRAKTIS: MENGASIHI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI 
      Saudara-saudari, bagaimana kita bisa menghidupi ajaran kasih ini? Jika ada orang yang telah menyakiti kita, mari kita berusaha untuk mengampuni. Jika ada orang yang membenci kita, mari kita tetap mendoakan mereka. Jika ada kesempatan untuk membalas dendam, mari kita memilih jalan kasih seperti Daud. Jika kita sendiri merasa sulit mengampuni, mari kita datang kepada Tuhan dan meminta rahmat-Nya.

      📌 Santo Ignatius dari Loyola berkata:
      > "Kasih bukan sekadar perasaan, tetapi tindakan nyata yang mencerminkan hati Allah." 

    PENUTUP: MARI KITA MENJADI UTUSAN KASIH KRISTUS

    Saudara-saudari, Yesus tidak hanya mengajarkan kasih, tetapi Ia sendiri adalah kasih itu.

    💙 Apakah kita siap untuk mengikuti jejak-Nya?
    💙 Apakah kita mau mengasihi seperti Dia mengasihi?
    💙 Apakah kita berani mengampuni seperti Dia mengampuni?

    📌 Paus Fransiskus berkata: > "Kasih yang sejati tidak mengenal batas, tidak menuntut balasan, dan selalu siap mengampuni."

    Hari ini, marilah kita berkomitmen untuk mengasihi seperti Yesus mengasihi. Jangan biarkan kebencian menguasai hati kita, tetapi bukalah hati untuk kasih Tuhan, karena di sanalah kebahagiaan sejati ditemukan. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    16 Februari 2025 - Minggu Biasa VI

    Minggu, 16 Februari 2025 - Minggu Biasa VI

    Bacaan I : Yer. 17:5-8
    Bacaan II : 1Kor. 15:12,16-20
    Bacaan Injil :  Luk. 6:17,20-26

    DIBERKATILAH ORANG YANG MENGANDALKAN TUHAN

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. Hari ini, kita merenungkan dimana kita menaruh kepercayaan dan harapan dalam hidup ini. Bacaan pertama dari Yeremia 17:5-8 menegaskan perbedaan antara orang yang mengandalkan manusia dan mereka yang mengandalkan Tuhan.

    "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan!" "Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!" (Yeremia 17:5,7) Yeremia menggambarkan mereka yang mengandalkan manusia sebagai semak di padang gurun—kering, tandus, dan tidak berbuah. Sebaliknya, mereka yang mengandalkan Tuhan seperti pohon yang ditanam di tepi air, berakar kuat, daunnya tetap hijau, dan selalu menghasilkan buah, meskipun menghadapi musim kering.

    Lalu dalam Injil Lukas 6:17, 20-26, Yesus memberikan Sabda Bahagia, yang menegaskan kembali bahwa kebahagiaan sejati bukan dalam kekayaan dan kepuasan duniawi, tetapi dalam hidup yang bersandar kepada Tuhan. "Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah." "Celakalah kamu yang kaya, karena kamu telah memperoleh penghiburanmu." (Lukas 6:20,24)

    Pesan Yesus ini sangat radikal. Dunia mengajarkan bahwa orang kaya, kenyang, dan populer adalah orang-orang yang bahagia. Tetapi Yesus membalikkan pandangan itu: yang miskin, lapar, dan dianiaya demi kebenaran justru lebih diberkati.

    1. MENGANDALKAN TUHAN, BUKAN HAL-HAL DUNIAWI

    Yeremia dan Yesus mengajarkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah sumber kebahagiaan sejati. Namun dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengandalkan kekuatan sendiri, uang, pekerjaan, koneksi, atau status sosial.

    ✅ Kita berpikir bahwa dengan uang, kita bisa mengatasi semua masalah.

    ✅ Kita lebih percaya pada kekuasaan manusia daripada penyelenggaraan Tuhan.

    ✅ Kita takut kehilangan kenyamanan dunia sehingga mengabaikan nilai-nilai iman.

    📌 Paus Benediktus XVI berkata: "Dunia menawarkan banyak janji kosong yang terlihat menggiurkan, tetapi hanya Tuhan yang dapat memberikan keamanan dan kebahagian sejati."

    Yesus mengingatkan bahwa mereka yang hanya mengandalkan dunia akan mengalami kekecewaan. Mereka mungkin memiliki segalanya, tetapi tetap merasa kosong dan tidak puas. Sebaliknya, orang yang mengandalkan Tuhan akan memiliki ketenangan dalam segala situasi. Mereka tidak takut dalam kesulitan, karena tahu bahwa Tuhan memegang hidup mereka.

    2. HIDUP DALAM KEADILAN DAN KASIH: MENGHIDUPI SABDA BAHAGIA

    Sabda Bahagia dalam Injil Lukas menawarkan visi sosial yang lebih konkret tentang Kerajaan Allah. Yesus berkata: "Berbahagialah kamu yang lapar, karena kamu akan dipuaskan." "Celakalah kamu yang kenyang sekarang, karena kamu akan lapar!" Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kepuasan duniawi, tetapi dari solidaritas dengan sesama.

    ✅ Orang miskin dipuji bukan karena kemiskinan mereka, tetapi karena mereka mengandalkan Tuhan.

    ✅ Orang kaya diperingatkan bukan karena mereka kaya, tetapi karena mereka sering lupa akan Tuhan dan sesama.

    📌 Santo Yohanes Krisostomus berkata: "Jika kamu memiliki lebih banyak dari yang kamu butuhkan, itu bukan milikmu; itu adalah milik mereka yang kekurangan."

     

    Yesus tidak hanya ingin kita menjadi pribadi yang suci secara rohani, tetapi juga menjadi pribadi yang peduli kepada mereka yang lemah, lapar, dan tersingkirkan. Apakah kita sudah peduli terhadap sesama? Apakah kita sudah menggunakan harta, waktu, dan talenta kita untuk menolong mereka yang membutuhkan?

    3. MENGANDALKAN TUHAN DI TAHUN YUBILEUM 2025

    Tahun 2025 adalah Tahun Yubileum, yang diangkat oleh Paus Fransiskus sebagai Tahun Harapan. Dalam bullanya Spes Non Confundit (Harapan Tak Mengecewakan), Paus Fransiskus menegaskan: "Harapan Kristen bukan optimisme kosong, tetapi kepercayaan bahwa Tuhan yang memegang masa depan kita."

    Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk:

    ✅ Menaruh harapan kita hanya kepada Tuhan.

    ✅ Mewujudkan harapan itu dalam tindakan kasih dan keadilan.

    ✅ Menjadi pembawa harapan bagi dunia, terutama bagi mereka yang kehilangan harapan. Di tengah ketidakpastian dunia—krisis ekonomi, konflik sosial, dan penderitaan—Yesus mengajak kita untuk tetap berakar pada Tuhan.

    📌 Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menegaskan: "Kita dipanggil untuk membangun masyarakat yang lebih adil, di mana tidak ada seorang pun yang merasa tersingkir atau terbuang."

    Jangan takut berbagi dan menolong orang lain. Jangan takut memperjuangkan kebenaran, meskipun dunia mengejek kita. Karena hanya dengan mengandalkan Tuhan, kita akan mengalami kebahagiaan sejati.

    KESIMPULAN: PILIHAN ADA DI TANGAN KITA

    Hari ini, Tuhan memberi kita dua pilihan:

    ❌ Menjadi seperti semak di padang gurun—hidup dalam kekeringan rohani karena hanya mengandalkan dunia.

    ✅ Menjadi seperti pohon di tepi air—berakar dalam Tuhan dan selalu menghasilkan buah kebaikan.

    Yeremia telah mengingatkan kita: "Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!" Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan diukur dari harta, kekuasaan, atau pujian dunia, tetapi dari iman dan kepedulian kepada sesama.

    💙 Apakah kita siap mengandalkan Tuhan dalam hidup kita?

    💙 Apakah kita mau menjadikan Sabda Bahagia sebagai pedoman hidup kita?

    💙 Apakah kita bersedia menjadi berkat bagi orang lain? Semoga kita hidup seperti pohon yang berakar dalam Tuhan, tetap hijau di tengah badai kehidupan, dan menghasilkan buah kasih dan keadilan bagi dunia.

    Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan! Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    09 Februari 2025 - Minggu Biasa V

    Minggu, 9 Februari 2025 - Misa Biasa V

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    02 Februari 2025 - Pesta Yesus Dipersembahkan di Kanisah

    Minggu, 2 Februari 2025 - Pesta Yesus Dipersembahkan di Kanisah

    Bacaan I : Mal 3:1-4
    Bacaan II :  Ibr 2:14-18
    Bacaan Injil : Luk 2:22-40

    Kotbah Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah Tema: "Mataku Telah Melihat Keselamatan yang Datang Daripada-Mu".

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini kita merayakan Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah, sebuah peristiwa yang bukan hanya menandai ketaatan Maria dan Yusuf kepada hukum Tuhan, tetapi juga penggenapan janji Allah tentang keselamatan bagi umat manusia. Di dalam peristiwa ini, kita bertemu dengan Simeon, seorang tua yang saleh dan penuh harapan. Roh Kudus telah berjanji kepadanya bahwa ia tidak akan meninggal sebelum melihat Sang Mesias, yang dinanti-nantikan oleh Israel selama berabad-abad. Ketika akhirnya ia melihat bayi Yesus di Bait Allah, Simeon berseru dengan penuh sukacita: "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, menurut firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari pada-Mu" (Luk 2:29-30).

    Ungkapan ini bukan sekadar kegembiraan pribadi, tetapi sebuah kesaksian iman yang penuh harapan. Simeon melihat dalam diri Yesus janji Allah yang digenapi, terang yang menyinari dunia, dan keselamatan yang membawa pengharapan bagi semua bangsa. Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, penderitaan, dan tantangan, apa yang dapat kita pelajari dari iman dan harapan Simeon? Bagaimana kita juga bisa melihat keselamatan Tuhan dalam kehidupan kita?

    1. Keselamatan yang Dijanjikan, Keselamatan yang Digenapi 
      Simeon adalah simbol dari pengharapan yang teguh dalam janji Tuhan. Ia tidak hidup dalam keputusasaan, meskipun sudah bertahun-tahun menantikan Mesias. Ia percaya bahwa Allah setia dan bahwa janji-Nya pasti akan digenapi.
      ✔ Bangsa Israel telah lama menantikan Sang Mesias, tetapi kebanyakan orang mengira bahwa Mesias akan datang sebagai seorang raja duniawi yang penuh kuasa.
      ✔ Namun, Simeon melihat sesuatu yang lebih dalam: bayi kecil yang dihadirkan di Bait Allah ini adalah Terang yang akan menyinari bangsa-bangsa.
      ✔ Keselamatan ini bukan hanya bagi Israel, tetapi bagi seluruh umat manusia. Dalam kehidupan kita, kita sering kali bertanya-tanya kapan janji Tuhan akan digenapi. Kita mungkin berdoa dan berharap akan pemulihan, keberhasilan, atau jawaban atas persoalan kita. Tetapi apakah kita cukup sabar dan percaya seperti Simeon? Pengharapan dalam Tuhan tidak pernah mengecewakan. Paus Benediktus XVI berkata: "Pengharapan Kristen bukanlah sekadar optimisme, tetapi kepastian bahwa janji Tuhan akan digenapi dengan cara-Nya sendiri, pada waktu-Nya sendiri." Apakah kita memiliki mata iman seperti Simeon yang mampu melihat karya Tuhan dalam hidup kita?  
    2. Terang dalam Kegelapan: Kristus sebagai Sumber Pengharapan 
      Simeon menyebut Yesus sebagai "Terang bagi bangsa-bangsa" (Luk 2:32). Ini berarti bahwa
      Yesus datang untuk membawa pengharapan bagi dunia yang hidup dalam kegelapan.
      ✔ Dosa, penderitaan, ketidakadilan, dan kejahatan sering kali membuat dunia terasa gelap.
      ✔ Tetapi Kristus adalah terang yang menerangi hati manusia dan menunjukkan jalan menuju kehidupan yang benar.
      ✔ Terang ini mengundang kita untuk membuat pilihan: hidup dalam terang-Nya atau tetap berada dalam kegelapan dunia? Paus Yohanes Paulus II pernah berkata: "Jangan takut! Buka pintu hatimu bagi Kristus. Ia adalah pengharapan sejati yang tidak akan mengecewakan." Jika kita hidup dalam Kristus, maka tidak ada situasi yang begitu gelap hingga kita kehilangan pengharapan. Kristus telah datang untuk menghidupkan kembali harapan kita, bahkan di saat kita merasa lemah dan putus asa.
    3. Menjadi Peziarah Harapan dalam Tahun Yubileum 2025 Tahun 2025 adalah Tahun Yubileum, dengan tema Peziarah Harapan. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk merenungkan makna pengharapan dalam hidup kita.
      ✔ Apakah kita benar-benar hidup sebagai orang yang penuh harapan?
      ✔ Apakah kita sudah menjadi saksi terang Kristus bagi orang lain?
      ✔ Apakah kita membawa harapan bagi mereka yang sedang mengalami kegelapan hidup? Paus Fransiskus berkata: "Pengharapan Kristen tidak didasarkan pada ilusi, tetapi pada kepastian bahwa dalam Kristus, hidup kita memiliki makna, dan masa depan kita memiliki harapan." Seperti Simeon, kita dipanggil untuk melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita dan bersaksi kepada dunia bahwa keselamatan telah datang. 
    4. Kesetiaan Maria dan Yusuf: Teladan bagi Kita Maria dan Yusuf menjalankan kehendak Tuhan dengan penuh kesetiaan. Mereka membawa Yesus ke Bait Allah bukan karena mereka mengerti segala rencana Tuhan, tetapi karena mereka percaya kepada-Nya.
      ✔ Maria akan menghadapi banyak penderitaan, tetapi ia tetap taat pada rencana Allah.
      ✔ Yusuf, seorang yang sederhana, setia menjalankan tugasnya sebagai pelindung Keluarga Kudus.
      ✔ Mereka mengajarkan kepada kita bahwa iman sejati bukan berarti selalu mengerti rencana Tuhan, tetapi percaya bahwa rencana-Nya selalu baik. Ketika kita menghadapi tantangan dalam hidup, apakah kita tetap percaya kepada Tuhan seperti Maria dan Yusuf? 
    5. Hidup Sebagai Saksi Pengharapan Simeon melihat keselamatan dalam diri Yesus, tetapi ia juga menubuatkan bahwa Yesus akan menjadi tanda perbantahan dan bahwa Maria akan mengalami penderitaan (Luk 2:34-35).
      ✔ Artinya, hidup sebagai murid Kristus tidak selalu mudah.
      ✔ Akan ada kesulitan dan tantangan yang harus kita hadapi.
      ✔ Namun, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Kita dipanggil untuk menjadi saksi pengharapan di tengah dunia. Bagaimana caranya?
      ➤ Dalam keluarga: Menebarkan kasih dan kesabaran.
      ➤ Dalam pekerjaan: Hidup dalam kejujuran dan integritas.
      ➤ Dalam masyarakat: Membawa terang Kristus bagi yang tertindas dan tersisih. Sebagaimana Simeon melihat keselamatan dalam Yesus, kita juga dipanggil untuk melihat dan membawa keselamatan itu dalam hidup sehari-hari. 

    Kesimpulan: Mataku Telah Melihat Keselamatan

    Saudara-saudari yang terkasih, perkataan Simeon "Mataku telah melihat keselamatan yang datang daripada-Mu" adalah pengakuan iman yang penuh harapan.
    ✔ Ia melihat janji Allah digenapi dalam Kristus.
    ✔ Ia melihat terang yang akan menyinari dunia.
    ✔ Ia melihat keselamatan yang membawa pengharapan bagi semua bangsa. Sebagai umat Kristiani, kita dipanggil untuk memiliki pengharapan yang sama.
    ✔ Maukah kita membuka hati untuk keselamatan yang datang dari Tuhan?
    ✔ Maukah kita menjadi saksi terang Kristus dalam kehidupan sehari-hari?
    ✔ Maukah kita hidup sebagai peziarah harapan dalam Tahun Yubileum 2025 ini?

    Semoga kita, seperti Simeon, dapat melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita dan bersaksi kepada dunia bahwa keselamatan telah datang dalam diri Yesus Kristus. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    26 Januari 2025 - Hari Minggu Sabda Allah

    Minggu 26 Januari 2025 - Hari Minggu Sabda Allah

    Bacaan I : Neh. 8:3-5a,6-7,9-11
    Bacaan II : 1Kor. 12:12-30
    Bacaan Injil : Luk1:1-4;4:14-21

    Kotbah: Sabda Tuhan sebagai Kekuatan Transformasi Hari Minggu Sabda Allah

    Pengantar

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. Hari ini, pada Minggu III Masa Biasa, Gereja Katolik merayakan Hari Minggu Sabda Allah. Sebagaimana ditetapkan oleh Paus Fransiskus melalui Motu Proprio Aperuit Illis pada tahun 2019, hari ini adalah undangan bagi kita untuk merenungkan peran Sabda Tuhan dalam hidup kita. Sabda Tuhan bukan hanya teks yang tertulis, tetapi Firman yang hidup, yang memiliki kuasa untuk mengubah hati, menyembuhkan luka, dan memperbarui hubungan kita dengan Allah dan sesama.

    1. Sabda Tuhan Mengubah Hati 
      Dalam Surat kepada Orang Ibrani 4:12, kita membaca, "Sabda Allah itu hidup dan kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun!" Firman ini memiliki daya untuk menembus kedalaman hati manusia, mengubah pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Seperti dalam kisah pertobatan Saulus, Sabda Tuhan mengubah seorang penganiaya menjadi rasul besar. Dalam Kisah Para Rasul 9, perjumpaan Saulus dengan Yesus yang bangkit mengubah hidupnya secara total. Ia, yang dulunya mengejar umat Kristen, menjadi pewarta Injil yang paling gigih. Ini menunjukkan bahwa ketika kita membuka hati pada Sabda Tuhan, hidup kita dapat diubahkan menjadi lebih penuh kasih, pengampunan, dan kebijaksanaan. Pertanyaannya bagi kita hari ini: Apakah kita telah memberikan ruang bagi Sabda Tuhan untuk mengubah hati kita? 
    2. Sabda Tuhan Menyembuhkan Luka 
      Mazmur 107:20 berkata, “Ia mengirimkan firman-Nya dan menyembuhkan mereka.” Sabda Tuhan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka batin kita, baik itu akibat dosa, penyesalan, atau trauma. Banyak dari kita membawa beban yang berat dalam hati kita, tetapi Sabda Tuhan hadir untuk memberikan penghiburan dan pemulihan. Dalam Injil, kita melihat bagaimana Yesus menyembuhkan banyak orang hanya dengan kata-kata-Nya. Ketika seorang perwira berkata, “Katakan saja sepatah kata, maka hambaku akan sembuh” (Mat 8:8), ia menunjukkan iman yang dalam pada kekuatan Sabda Yesus. Bagi kita, Sabda Tuhan dalam Kitab Suci dan Sakramen membawa penyembuhan spiritual. Apakah kita bersedia membawa luka-luka kita kepada Tuhan dan membiarkan firman-Nya bekerja dalam hidup kita? 
    3. Sabda Tuhan Memperbarui Hubungan dengan Allah 
      Dosa memisahkan manusia dari Allah, tetapi Sabda Tuhan membawa rekonsiliasi. Dalam Injil Lukas 15, kita membaca kisah anak yang hilang, di mana sang ayah dengan kasih menerima anaknya yang bertobat. Ini adalah gambaran kasih Allah yang selalu siap memulihkan hubungan dengan kita melalui Sabda-Nya. Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh 14:6). Ketika kita merenungkan Sabda Tuhan, kita diarahkan untuk hidup dalam kehendak-Nya, menjadikan Dia pusat hidup kita. 
    4. Sabda Tuhan Memperbarui Hubungan dengan Sesama 
      Sabda Tuhan tidak hanya menghubungkan kita dengan Allah, tetapi juga dengan sesama. Dalam Yohanes 13:34, Yesus memberi kita perintah baru: “Saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Firman Tuhan mengajarkan kita untuk hidup dalam kasih, mengampuni, dan melayani sesama. Ketika Sabda Tuhan menjadi pedoman hidup kita, hubungan dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat kita dapat diperbarui. Sebagai contoh, komunitas Kristen awal dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 hidup dalam kasih dan solidaritas, saling berbagi, dan mendukung. 
    5. Gereja sebagai Rumah Sabda Tuhan 
      Gereja adalah rumah di mana Sabda Tuhan didengar, direnungkan, dan dihidupi. Dalam setiap perayaan Ekaristi, kita mendengarkan firman Tuhan melalui bacaan Kitab Suci. Homili adalah kesempatan untuk merenungkan dan mengaplikasikan Sabda itu dalam hidup kita. Paus Fransiskus berkata, “Sabda Tuhan adalah hati dari kehidupan Gereja.” Melalui Sabda Tuhan, Gereja menjadi ruang di mana kita dibentuk menjadi saksi kasih Allah di dunia. 

    Kesimpulan: Sabda Tuhan, Roh dan Kehidupan.

    Saudara-saudari terkasih, Sabda Tuhan memiliki kekuatan untuk mengubah hati, menyembuhkan luka, dan memperbarui hubungan kita dengan Allah dan sesama. Kita dipanggil untuk menjadikan Sabda Tuhan sebagai pusat hidup kita, membaca dan merenungkannya setiap hari, serta menjadikannya pedoman dalam setiap tindakan kita. Marilah kita menjawab undangan Paus Fransiskus untuk hidup dalam terang Sabda Tuhan, yang adalah roh dan kehidupan. Dengan membiarkan firman Tuhan bekerja dalam hidup kita, kita akan menjadi saksi kasih-Nya di dunia ini.

    Semoga Sabda Tuhan menuntun kita untuk hidup dalam kasih, pengampunan, dan kebenaran. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap

    19 Januari 2025 - Hari Minggu Biasa II

    Minggu 19 Januari 2025 - Hari Minggu Biasa II

    Bacaan I : Yes. 62:1-5;
    Bacaan II : Tit. 2:11-14; 3:4-7 
    Bacaan Injil : Lukas. 3:15-16,21-22

    "Apa yang Ia Katakan Kepadamu, Buatlah"

    Pengantar

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. Hari ini, kita diajak untuk merenungkan salah satu peristiwa paling berkesan dalam Injil, yaitu mukjizat pertama Yesus di Kana. Peristiwa ini bukan hanya tentang air yang diubah menjadi anggur, tetapi juga tentang bagaimana ketaatan dan iman membuka jalan bagi karya Allah yang luar biasa. Kata-kata Maria kepada para pelayan, “Apa yang Ia katakan kepadamu, buatlah,” adalah pesan mendalam yang mengundang kita untuk mempercayai dan taat kepada kehendak Tuhan.

    1. Peran Maria dalam Peristiwa di Kana 
      Maria memainkan peran kunci dalam mukjizat ini. Ketika anggur habis, Maria memperhatikan kebutuhan yang mendesak dan langsung membawa persoalan ini kepada Yesus. Sebagai seorang ibu yang penuh kasih, ia menunjukkan perhatian terhadap kebahagiaan dan kehormatan tuan rumah pesta. Namun, Maria tidak berhenti pada perhatian manusiawi semata. Ia memiliki iman yang mendalam kepada Yesus. Meski Yesus awalnya berkata, “Waktu-Ku belum tiba,” Maria tetap percaya bahwa Yesus akan bertindak. Dengan keyakinan penuh, ia berkata kepada para pelayan, “Apa yang Ia katakan kepadamu, buatlah.” 
      Maria adalah teladan iman yang teguh. Ia mengajarkan kepada kita bahwa doa dan kepercayaan kepada Yesus adalah kunci untuk melihat mukjizat dalam hidup kita. Paus Fransiskus pernah berkata, “Maria adalah ibu yang tahu bagaimana membawa kebutuhan kita kepada Tuhan dan memercayakan segala sesuatu kepada-Nya dengan penuh iman.” 
    2. Perintah Yesus kepada Para Pelayan 
      Yesus memberikan dua perintah kepada para pelayan: Isi tempayan dengan air. Ini tampaknya perintah yang sederhana, tetapi membutuhkan usaha besar. Tempayan-tempayan itu besar, dan mengisinya berarti kerja keras. Cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta. Perintah ini menuntut keberanian. Para pelayan tidak tahu apa yang akan terjadi. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah tindakan itu akan mempermalukan mereka jika yang mereka cedok hanyalah air. 
      Perintah Yesus mengajarkan kita bahwa ketaatan kepada Tuhan sering kali melibatkan usaha dan keberanian. Kita mungkin tidak selalu memahami alasan di balik perintah-Nya, tetapi ketika kita melangkah dengan iman, Tuhan bekerja melalui tindakan sederhana kita. 
    3. Sikap dan Aksi Para Pelayan 
      Para pelayan memberikan teladan luar biasa tentang ketaatan. Mereka tidak mempertanyakan atau menunda-nunda perintah Yesus. Meskipun mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi, mereka taat dan melaksanakan perintah dengan setia. 
      Sikap para pelayan ini mengingatkan kita bahwa iman sejati adalah tentang melakukan kehendak Tuhan, bahkan ketika kita tidak sepenuhnya mengerti rencana-Nya. Ketaatan mereka membuka jalan bagi mukjizat yang tidak hanya memuaskan kebutuhan pesta, tetapi juga menyatakan kemuliaan Yesus sebagai Anak Allah. 
    4. Mukjizat yang Kita Alami Ketika Taat pada Sabda Tuhan 
      Mukjizat di Kana bukan hanya tentang air yang berubah menjadi anggur, tetapi juga tentang transformasi yang terjadi ketika kita taat kepada Tuhan. Dalam kehidupan kita, ada banyak “tempayan kosong” yang membutuhkan campur tangan Allah: 
      Tempayan hati yang kosong: Ketika kita taat kepada Tuhan, Ia memenuhi hati kita dengan sukacita, damai, dan pengharapan. Tempayan hubungan yang retak: Tuhan mampu memulihkan hubungan yang rusak ketika kita mendengarkan dan melaksanakan sabda-Nya. 
      Tempayan hidup yang kehilangan arah: Dalam ketaatan kepada Tuhan, kita menemukan tujuan dan panggilan hidup yang sejati. 
      Paus Benediktus XVI berkata, “Mukjizat Yesus di Kana adalah tanda kasih Allah yang melimpah. Kasih-Nya tidak hanya mencukupi, tetapi juga meluap, membawa sukacita yang melampaui harapan manusia.”  
    5. Panggilan untuk Menjadi Pelayan yang Taat 
      Pesan Maria kepada para pelayan adalah undangan bagi kita semua: “Apa yang Ia katakan kepadamu, buatlah.” Dalam kehidupan sehari-hari, Tuhan berbicara kepada kita melalui sabda-Nya, doa, dan suara hati. Kita dipanggil untuk mendengarkan dan melaksanakan kehendak-Nya dengan setia. 
      Sebagai pelayan Tuhan, kita diajak untuk: 
      Peka terhadap kebutuhan sesama: Seperti Maria, kita diajak untuk peduli terhadap mereka yang membutuhkan.
      Berani melangkah dalam iman: Seperti para pelayan di Kana, kita dipanggil untuk melaksanakan kehendak Tuhan meskipun kita tidak sepenuhnya mengerti.
       Percaya pada kuasa Tuhan: Seperti Maria, kita dipanggil untuk percaya bahwa Tuhan mampu melakukan hal-hal yang melampaui pemahaman kita.

    Penutup: Menjadi Bagian dari Mukjizat Tuhan

    Saudara-saudari terkasih, mukjizat di Kana mengajarkan kita bahwa Tuhan bekerja melalui ketaatan dan iman kita. Ketika kita taat kepada sabda Tuhan, kita membuka diri untuk karya-Nya yang luar biasa dalam hidup kita.

    Mari kita, seperti Maria, para pelayan, dan semua yang hadir di Kana, percaya kepada Yesus dan melaksanakan apa yang Ia katakan kepada kita. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa mukjizat Tuhan tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga dalam hidup kita hari ini. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung

    12 Januari 2025 - Pesta Pembaptisan Tuhan

    Minggu 12 Januari 2025 - Pesta Pembaptisan Tuhan

    Bacaan I : Yes. 40:1-5,9-11
    Bacaan II : Tit. 2:11-14; 3:4-7 
    Bacaan Injil : Lukas. 3:15-16,21-22

    "Ia Akan Membaptis Kamu dengan Roh Kudus dan dengan Api"

    Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.

    Hari ini kita merenungkan kesaksian Yohanes Pembaptis tentang Yesus dalam Injil. Yohanes berkata, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang… Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.” Pernyataan ini bukan hanya pengakuan tentang siapa Yesus, tetapi juga pewartaan tentang misi dan kuasa-Nya untuk mengubah hidup manusia.

    Dalam pernyataan Yohanes ini, kita menemukan tiga aspek penting yang dapat kita renungkan: siapa Yesus, apa artinya baptisan dengan Roh Kudus dan api, serta bagaimana kita sebagai murid Kristus dipanggil untuk hidup dalam kuasa Roh Kudus.

     

    1. Yesus: Sang Pembaptis dengan Roh Kudus dan Api
      Yohanes Pembaptis mengakui bahwa Yesus adalah Dia yang lebih besar dan lebih berkuasa. Yohanes hanya membaptis dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Yesus datang untuk membawa pembaptisan yang lebih mendalam, yaitu dengan Roh Kudus dan api. Ini adalah pembaptisan yang tidak hanya membersihkan dosa, tetapi juga memperbarui hati, menguduskan hidup, dan memberikan kekuatan ilahi.
      Yesus, sebagai Sang Mesias, adalah Dia yang menggenapi janji Allah untuk mencurahkan Roh Kudus kepada umat-Nya. Dalam Perjanjian Lama, para nabi seperti Yesaya dan Yehezkiel berbicara tentang Roh Kudus sebagai kuasa yang membarui hati dan membawa manusia lebih dekat kepada Allah. Dalam diri Yesus, janji ini menjadi nyata.
      Paus Fransiskus dalam salah satu homilinya menegaskan, “Roh Kudus adalah nafas kehidupan baru yang diberikan Yesus kepada umat-Nya. Roh Kudus tidak hanya membimbing, tetapi juga menyalakan api kasih dalam hati kita.” 
    2. Baptisan dengan Roh Kudus dan Api: Pembaruan Total
      Apa artinya dibaptis dengan Roh Kudus dan api?
      Roh Kudus: Baptisan dengan Roh Kudus adalah pengalaman menerima kehidupan baru dari Allah. Roh Kudus adalah kuasa yang mengubah hati kita, membantu kita memahami sabda Tuhan, dan memampukan kita untuk hidup sebagai murid Kristus. Roh Kudus membawa damai, sukacita, dan pengharapan.
      Api: Api dalam Kitab Suci sering kali melambangkan penyucian, kekudusan, dan semangat. Baptisan dengan api berarti bahwa hidup kita dimurnikan dari dosa, dibersihkan dari segala yang menghalangi kasih Allah, dan dinyalakan dengan semangat untuk melayani Tuhan dan sesama.
      Baptisan dengan Roh Kudus dan api bukan hanya sebuah simbol, tetapi sebuah pengalaman transformasi total yang membuat kita hidup dalam kasih dan kebenaran Allah. 
    3. Hidup dalam Kuasa Roh Kudus
      Sebagai orang yang telah dibaptis, kita telah menerima Roh Kudus dalam hidup kita. Namun, panggilan kita tidak berhenti di sana. Kita dipanggil untuk hidup setiap hari dalam kuasa Roh Kudus:
      Dalam doa: Roh Kudus adalah penolong kita dalam doa. Ia membantu kita untuk berkomunikasi dengan Allah dan memahami kehendak-Nya.
      Dalam tindakan: Roh Kudus memampukan kita untuk mencintai tanpa batas, mengampuni dengan tulus, dan melayani dengan rendah hati.
      Dalam kesaksian: Kita dipanggil untuk menjadi saksi kasih Kristus di dunia. Seperti Yohanes Pembaptis, kita harus berani menunjukkan kepada dunia bahwa Yesus adalah Tuhan. Paus Yohanes Paulus II pernah berkata, “Roh Kudus adalah jiwa dari misi Gereja. Tanpa Roh Kudus, semua usaha kita akan sia-sia. Dengan Roh Kudus, kita menjadi saksi yang hidup bagi Injil.” 
    4. Tantangan untuk Hidup dalam Kuasa Roh Kudus
      Dalam dunia yang sering kali terjebak dalam dosa, ketidakadilan, dan ketidakpedulian, kita dipanggil untuk menjadi pembawa Roh Kudus. Tetapi, ini bukan tugas yang mudah. Dibutuhkan keberanian, ketekunan, dan kasih yang besar untuk hidup sebagai saksi Kristus.
      Baptisan dengan Roh Kudus dan api mengingatkan kita bahwa kita tidak pernah sendiri. Roh Kudus adalah kekuatan ilahi yang memampukan kita untuk menghadapi tantangan dunia dengan sukacita dan pengharapan.
      Penutup: Menjadi Saksi Yesus dengan Roh Kudus dan Api
      Saudara-saudari terkasih, kesaksian Yohanes Pembaptis mengingatkan kita bahwa Yesus adalah Sang Pembaptis dengan Roh Kudus dan api. Dalam Dia, kita menerima hidup baru yang penuh kasih, kekuatan, dan pengharapan.
      Marilah kita membuka hati kita untuk menerima Roh Kudus setiap hari, membiarkan api-Nya menyala dalam hati kita, dan menjadi saksi kasih Allah di dunia ini. Dengan demikian, hidup kita akan menjadi tanda nyata dari kehadiran Tuhan yang membawa pembaruan dan keselamatan. Amin.

    Mgr. Kornelius Sipayung

    RELATED ARTICLES

    INFORMASI KAM

    Klik gambar ini untuk info selengkapnyaspot_img

    JADWAL USKUP & VIKJEN

    KALENDER LITURGI