Minggu, 16 Maret 2025 - Hari Minggu Prapaskah II
Bacaan I : Kej. 15:5-12,17-18
Bacaan II : Flp. 3:17-4:1
Bacaan Injil : Luk. 9:28b-36
Turun dari Gunung dengan Wajah yang Bercahaya
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Masa Prapaskah bukanlah sekadar musim liturgi yang rutin datang setiap tahun. Ini adalah undangan ilahi untuk naik ke gunung bersama Yesus, seperti Petrus, Yakobus, dan Yohanes dalam kisah transfigurasi. Di sana, di puncak keheningan dan doa, para murid menyaksikan kemuliaan wajah Yesus yang bercahaya, dan mereka mendengar suara Bapa yang berkata: "Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia."
Itulah pesan utama bagi kita hari ini: dengarkanlah Dia. Namun bagaimana mungkin kita dapat sungguh mendengarkan Yesus, jika telinga hati kita dipenuhi kebisingan dunia? Masa Prapaskah inilah saatnya kita mengalihkan perhatian dari riuhnya dunia—dari layar-layar gadget, dari obsesi akan kesuksesan, popularitas, dan kenyamanan—dan kembali membuka ruang bagi Tuhan dalam keheningan hati.
Paus Benediktus XVI berkata,
“Diam bukan hanya tidak berbicara, tetapi suatu ruang batin untuk mendengarkan yang lain - terutama mendengarkan Allah.”
Dan Paus Fransiskus menambahkan, “Prapaskah adalah waktu untuk menyelaraskan kembali hidup kita dengan kompas Injil.”
Dalam masa inilah, Gereja mengajak kita bertumbuh dalam tiga pilar Prapaskah: doa, puasa, dan amal kasih.
Doa adalah napas jiwa. Melalui doa, kita tidak hanya berbicara kepada Tuhan, tetapi membuka hati untuk mendengarkan suara-Nya—suara yang memberi penghiburan, teguran, dan arah.
Puasa bukan sekadar menahan makan, tetapi menahan ego, mendisiplinkan diri, mengosongkan diri dari kesombongan agar kita diisi dengan kerendahan hati Kristus.
Amal kasih adalah buah nyata dari doa dan puasa yang sejati: mengasihi mereka yang paling lemah dan menderita, karena di dalam mereka kita menyentuh wajah Yesus sendiri.
Masa Prapaskah bukan masa menjauh dari dunia, tetapi masa untuk mengubah cara kita hadir dalam dunia. Seperti para murid yang turun dari gunung membawa pengalaman kemuliaan Kristus, kita pun dipanggil untuk membawa cahaya itu ke dalam keluarga, masyarakat, dan dunia yang gelap oleh ketidakadilan dan keputusasaan.
Para Uskup Indonesia dalam pesan Prapaskah beberapa tahun lalu mengingatkan:
“Prapaskah adalah waktu rahmat untuk bertobat, memperbaiki relasi dengan Tuhan dan sesama, serta mengambil bagian dalam misi Kristus menyelamatkan dunia.”
Maka saudara dan saudari sekalian, Mari kita tidak melewatkan masa rahmat ini. Kita naik ke "gunung doa", bukan untuk tinggal di sana, tetapi untuk turun dan menjadi terang. Kita berjumpa dengan Kristus dalam keheningan hati agar dapat menyatakan kasih-Nya dalam keramaian dunia.
Dan ketika Paskah tiba, semoga wajah kita pun—seperti Musa yang turun dari gunung—memancarkan terang, karena kita telah berjumpa dengan Tuhan dan mendengarkan suara-Nya. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Arsip Renungan : (klik untuk membacanya)
Minggu, 9 Maret 2025 - Hari Minggu Prapaskah I
Bacaan I : Ul. 26:4-10
Bacaan II : Rm. 10:8-13
Bacaan Injil : Luk. 4:1-13
MENOLAK GODAAN INSTAN, MEMILIH JALAN HARAPAN
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Masa Prapaskah adalah waktu istimewa bagi kita untuk merenungkan iman, bertobat, dan memperkuat pengharapan kita kepada Tuhan. Tahun ini, Gereja Universal merayakan Yubileum 2025 dengan tema "Pengharapan Tidak Mengecewakan" (Roma 5:5). Pengharapan sejati bukan hanya sekadar optimisme, tetapi kesabaran untuk percaya pada waktu dan cara kerja Tuhan.
Namun, dunia modern menawarkan sesuatu yang berlawanan dengan harapan: mentalitas instan. Segala sesuatu harus cepat, mudah, dan tanpa perjuangan. Itulah sebabnya godaan pertama yang Yesus hadapi di padang gurun menjadi sangat relevan bagi kita hari ini.
1. Godaan Instan: Mengubah Batu Menjadi Roti
"Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah batu ini menjadi roti." (Lukas 4:3)
Iblis menggoda Yesus untuk menggunakan kuasa-Nya agar mendapatkan hasil instan. Setelah berpuasa selama 40 hari, Yesus pasti lapar. Tapi bukankah Tuhan bisa langsung menyediakan roti untuk-Nya? Mengapa harus menunggu?
Godaan ini adalah simbol dari mentalitas manusia yang ingin segala sesuatu cepat dan tanpa usaha.
2. Mentalitas Instan dalam Dunia Modern
Zaman ini, kita hidup dalam era kecepatan, teknologi, dan kecerdasan buatan (AI). Informasi dapat diakses dalam hitungan detik.
Belanja bisa dilakukan hanya dengan klik.
Makanan bisa tiba dalam beberapa menit.
AI bahkan bisa membantu menyelesaikan tugas tanpa berpikir keras.
Semua ini memberi manfaat besar, tetapi juga membentuk budaya serba instan yang menghilangkan kesabaran, perjuangan, dan harapan.
Paus Fransiskus berkata:
"Kita sering kali ingin hasil cepat, tetapi Tuhan bekerja dengan waktu-Nya sendiri. Harapan sejati adalah kesabaran dalam percaya kepada-Nya."
Akibat dari mentalitas instan ini, kita melihat banyak orang kehilangan keutamaan harapan:
Kurang sabar dalam doa, ingin jawaban segera.
Cepat putus asa jika tidak segera melihat hasil.
Enggan bekerja keras, mencari jalan pintas.
Kurang menghargai proses, hanya fokus pada hasil.
Yesus menolak godaan ini dan menjawab: "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4)
Yesus mengajarkan bahwa hidup tidak hanya tentang pemenuhan kebutuhan fisik dan hasil instan, tetapi tentang kesetiaan pada proses Tuhan.
Dalam Bacaan Pertama, Kitab Ulangan (Ul 26:4-10) mengisahkan bangsa Israel yang bersyukur setelah perjalanan panjang dari perbudakan di Mesir menuju tanah terjanji. Mereka tidak mendapatkannya secara instan, tetapi melalui proses yang penuh kesabaran dan pengharapan.
"Harapan bukanlah tentang menunggu dengan pasif, tetapi tentang berjalan dengan iman di tengah ketidakpastian."
Sebaliknya, mentalitas instan meniadakan pengharapan sejati. Orang ingin sukses tanpa usaha keras.
Orang ingin kebahagiaan tanpa pengorbanan.
Orang ingin jawaban tanpa refleksi mendalam.
Namun, harapan mengajarkan kita untuk percaya dan berproses. Dalam Bacaan Kedua, Roma 10:8-13, Rasul Paulus menegaskan bahwa keselamatan datang kepada mereka yang percaya kepada Kristus. Keselamatan bukan hasil instan, tetapi perjalanan iman dan pertobatan.
Paus Benediktus XVI berkata:
"Harapan Kristen berarti percaya bahwa Tuhan sedang bekerja, bahkan ketika kita tidak melihatnya."
4. Belajar dari Yesus: Menolak Jalan Pintas, Memilih Jalan Tuhan
Yesus bisa saja menggunakan kuasa-Nya untuk menghindari penderitaan dan mengambil jalan pintas. Tetapi Ia memilih untuk taat kepada kehendak Bapa, meskipun itu berarti penderitaan dan salib.
Hari ini, kita pun diundang untuk menolak mentalitas instan dan belajar bersabar dalam harapan: Dalam doa: Percaya bahwa Tuhan menjawab di waktu terbaik.
Dalam pekerjaan: Menghargai proses, bukan hanya hasil.
Dalam relasi: Membangun hubungan dengan kasih dan kesetiaan.
Dalam penderitaan: Tidak menyerah, tetapi tetap berjuang dengan iman.
Paus Fransiskus dalam Yubileum Pengharapan 2025 berkata:
"Harapan sejati bukanlah ilusi. Harapan adalah kekuatan yang memberi kita keberanian untuk melangkah dalam iman."
5. Menjadi Saksi Harapan di Dunia Serba Instan
Sebagai umat yang hidup di zaman modern, kita dipanggil untuk menjadi saksi harapan yang sejati: Bersabar dalam perjuangan hidup, percaya bahwa Tuhan bekerja dalam proses.
Mengutamakan nilai-nilai kekal daripada hanya mengejar hasil instan.
Menjadi contoh bagi generasi muda untuk tetap setia dalam iman dan kerja keras.
"Berbahagialah orang yang berharap kepada Tuhan." (Mazmur 146:5)
Santo Agustinus berkata:
"Tuhan terkadang menunda jawaban-Nya bukan karena Ia tidak peduli, tetapi karena Ia ingin membentuk iman kita lebih kuat."
Penutup: Pilih Jalan Harapan, Tolak Mentalitas Instan
Saudara-saudari terkasih, Yesus telah menunjukkan kepada kita jalan yang benar. Maukah kita memilih harapan sejati, atau tetap mencari jalan instan?
Maukah kita bersabar dalam doa, atau menyerah karena tak langsung mendapat jawaban?
Maukah kita menapaki jalan Tuhan, meski itu membutuhkan waktu dan pengorbanan?
Paus Fransiskus berkata:
"Tuhan tidak menjanjikan jawaban instan, tetapi Ia menjanjikan bahwa kita tidak akan berjalan sendirian."
Masa Prapaskah ini, marilah kita meneladani Yesus dalam menolak godaan jalan pintas dan memilih jalan pengharapan sejati. Sebab, pengharapan di dalam Tuhan tidak akan pernah mengecewakan.
Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Rabu, 5 Maret 2025 - Hari Rabu Abu (Pantang & Puasa)
Bacaan I : Yl. 2:12-18;
Bacaan II : 2Kor. 5:20-6:2;
Bacaan Injil : Mat. 6:1-6,16-18
DERMA, DOA, DAN PUASA SEBAGAI WUJUD PEMULIHAN DAN PENDAMAIAN DALAM TAHUN YUBILEUM 2025
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Tahun Yubileum 2025 yang bertema "Peziarah Harapan" adalah panggilan bagi kita untuk mengalami pemulihan dan pendamaian dengan Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan. Dalam tradisi Gereja, setiap Tahun Yubileum adalah momen rahmat untuk pembaruan rohani, di mana kita diajak untuk bertobat, memperbaiki relasi, dan hidup dalam kasih Tuhan yang memperbarui segalanya. Sebagai bagian dari perjalanan menuju pemulihan dan pendamaian, Gereja menekankan tiga praktik utama dalam kehidupan keagamaan, yaitu:
- DERMA (KASIH KEPADA SESAMA)
- DOA (HUBUNGAN DENGAN TUHAN)
- PUASA (PENGUASAAN DIRI DAN PENGORBANAN)
Ketiga hal ini bukan sekadar kewajiban agama, tetapi sarana pemurnian hati yang membawa kita kembali kepada kehendak Tuhan.
Paus Fransiskus dalam Misericordiae Vultus berkata:
"Tahun Suci adalah saat rahmat, di mana hati yang keras dilunakkan, relasi yang retak diperbaiki, dan kasih Tuhan memulihkan semua yang rusak."
Bagaimana ketiga praktik ini menjadi jalan menuju pemulihan dan pendamaian dalam Yubileum 2025?
1. DERMA: MEMULIHKAN KASIH DAN KEADILAN SOSIAL
Dalam Matius 6:3-4, Yesus berkata:
"Apabila engkau memberi sedekah, janganlah tangan kirimu mengetahui apa yang diperbuat tangan kananmu."
Derma bukan hanya sekadar memberi materi, tetapi mewujudkan keadilan, kepedulian, dan belas kasih kepada mereka yang membutuhkan.
Bagaimana derma menjadi sarana pemulihan dan pendamaian?
Pemulihan relasi dengan sesama: Kita menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang menolong mereka yang menderita.
Pendamaian dengan mereka yang tersisih: Derma membantu kita membangun kembali solidaritas dengan kaum miskin dan tersingkir.
Menghidupkan keadilan sosial: Tahun Yubileum selalu menekankan keadilan, penghapusan hutang, dan perhatian kepada kaum tertindas.
Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (FT 119) berkata:
"Setiap tindakan kasih yang kita lakukan adalah langkah menuju dunia yang lebih manusiawi dan lebih adil."
Dalam Yubileum ini, kita dipanggil untuk menjadi lebih murah hati, tidak hanya dengan harta, tetapi dengan kasih dan kepedulian kepada sesama.
2. DOA: MEMULIHKAN HUBUNGAN DENGAN TUHAN
Yesus mengajarkan dalam Matius 6:6:
"Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu, dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi."
Doa adalah napas kehidupan rohani, tempat kita kembali kepada Tuhan dan memperbaiki relasi kita dengan-Nya.
Bagaimana doa membawa pemulihan dan pendamaian?
Pemulihan hubungan dengan Tuhan: Kita menyadari bahwa tanpa Tuhan, kita tidak dapat hidup dengan benar.
Pendamaian dengan diri sendiri: Doa membantu kita menerima kasih dan pengampunan Tuhan, serta berdamai dengan luka-luka batin kita.
Memurnikan hati: Dengan doa, kita belajar untuk tidak hanya meminta, tetapi juga mendengarkan kehendak Tuhan.
Paus Benediktus XVI berkata:
"Doa bukan sekadar berkata-kata kepada Tuhan, tetapi membiarkan Tuhan menyentuh dan mengubah hati kita."
Dalam Yubileum ini, marilah kita memperdalam kehidupan doa kita, agar pemulihan dan damai sejati dari Tuhan memenuhi hati kita.
3. PUASA: MEMULIHKAN DIRI MELALUI PENYANGKALAN DIRI
Yesus berkata dalam Matius 6:16:
"Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik."
Puasa bukan hanya soal tidak makan, tetapi juga menahan diri dari segala sesuatu yang menghambat hubungan kita dengan Tuhan.
Bagaimana puasa membawa pemulihan dan pendamaian?
Pemulihan dari dosa: Puasa membantu kita melawan kelemahan manusiawi yang menjauhkan kita dari Tuhan.
Pendamaian dengan ciptaan: Dengan berpuasa dari konsumerisme, kita belajar untuk hidup lebih sederhana dan menghargai ciptaan Tuhan.
Mengendalikan diri: Puasa melatih kita untuk lebih fokus pada hal-hal rohani daripada hal-hal duniawi.
Santo Yohanes Paulus II berkata:
"Puasa adalah bentuk kasih: ketika kita mengendalikan diri, kita lebih terbuka untuk berbagi dengan orang lain."
Dalam Yubileum ini, kita dipanggil untuk berpuasa bukan hanya dari makanan, tetapi juga dari kebiasaan buruk yang merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.
PENUTUP: MENGHIDUPI YUBILEUM DENGAN PERTOBATAN YANG SEJATI
Saudara-saudari, Tahun Yubileum 2025 adalah kesempatan untuk memperbarui hidup kita dan memperdalam hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.
Derma mengajarkan kita untuk berbagi dan membangun keadilan sosial.
Doa membawa kita kembali kepada Tuhan dan memulihkan jiwa kita.
Puasa melatih kita untuk hidup lebih sederhana dan lebih dekat dengan Tuhan.
Paus Fransiskus berkata dalam Evangelii Gaudium (EG 27):
"Kita tidak dipanggil untuk hidup bagi diri sendiri, tetapi untuk menjadi tanda harapan dan kasih di dunia."
Di Tahun Yubileum ini, mari kita bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku sudah berbuat cukup bagi mereka yang membutuhkan?
Apakah aku sudah benar-benar menjadikan doa sebagai jalan hidup?
Apakah aku bersedia berkorban demi bertumbuh dalam iman dan kasih?
Semoga derma, doa, dan puasa tidak hanya menjadi kewajiban agama, tetapi menjadi jalan menuju pemulihan dan pendamaian sejati di hati kita, dalam keluarga kita, dan di dunia. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 2 Maret 2025 - Minggu Biasa VIII
Bacaan I : Sir. 27:4-7
Bacaan II : 1Kor. 15:54-58
Bacaan Injil : Luk. 6:39-45
"DARI PERBENDAHARAAN HATINYA YANG BAIK,
ORANG MENGELUARKAN YANG BAIK"
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Hari ini kita merenungkan sebuah prinsip penting dalam kehidupan rohani kita: apa yang tersimpan dalam hati kita akan terpancar dalam perkataan dan tindakan kita.
Yesus bersabda dalam Lukas 6:45: "Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaan hatinya yang jahat. Karena dari kelimpahan hati, mulutnya berbicara."
Ayat ini mengajarkan kita bahwa hati kita ibarat sebuah gudang atau perbendaharaan. Apa yang kita simpan di dalamnya akan menentukan kehidupan kita.
1. APA ITU PERBENDAHARAAN HATI?
William Barclay dalam The Daily Study Bible menjelaskan:
"Perbendaharaan hati adalah sesuatu yang telah dikumpulkan secara terus-meneru dalam hatis. Jika hati kita diisi dengan kasih, pengampunan, empati, sukacita dan kebaikan, maka yang keluar pun adalah kasih, pengampunan, sukacita, empati dan kebaikan."
Hati kita bisa diibaratkan sebagai gudang tempat menyimpan segala sesuatu yang kita alami, pikirkan, dan rasakan. Apa yang kita simpan di dalamnya, entah itu kebaikan atau keburukan, akan menentukan bagaimana kita bertindak dan berbicara dalam hidup kita.
Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (EG 77) berkata:
"Jika hati kita penuh dengan kasih, maka perkataan dan perbuatan kita akan mencerminkan kasih itu. Tetapi jika hati kita penuh dengan kepahitan, sakit hati, kekecewaan, marah maka dunia pun akan merasakan getirnya."
Pertanyaannya bagi kita: Apa yang selama ini kita kumpulkan dalam hati kita? Apakah kita menyimpan cinta dan pengampunan, ataukah kebencian dan kepahitan?
2. BAGAIMANA MEMENUHI PERBENDAHARAAN HATI KITA?
Seperti gudang yang perlu diisi dengan barang-barang yang baik, hati kita juga perlu dipenuhi dengan hal-hal yang baik. Apa yang dapat mengisi hati kita dengan kebaikan?
Sabda Tuhan dan doa: Membaca Kitab Suci dan berdoa setiap hari membuat hati kita dipenuhi dengan kebijaksanaan ilahi. Sakramen dan Ekaristi: Mengikuti Ekaristi dan menerima sakramen secara teratur membantu kita mendapatkan rahmat untuk bertumbuh dalam kasih.
Pergaulan yang baik: Bergaul dengan orang-orang yang memiliki iman kuat akan membantu kita menjaga hati tetap bersih.
Melayani sesama: Dengan berbagi kasih kepada orang lain, kita mengisi hati kita dengan kebaikan yang nyata.
Santo Yohanes Maria Vianney berkata: "Jika kita mengisi hati kita dengan Yesus, maka kita tidak akan punya ruang untuk hal-hal duniawi yang sia-sia."
Bagaimana kita mengisi hati kita? Dengan Firman Tuhan, kasih, dan pengampunan, atau dengan kemarahan, dendam, dan kesombongan?
3. PERBENDAHARAAN HATI YANG BAIK DAN YANG BURUK
Yesus membedakan antara hati yang baik dan hati yang jahat.
Perbendaharaan hati yang baik adalah hati yang dipenuhi dengan kasih, kesabaran, kerendahan hati, dan belas kasih.
Perbendaharaan hati yang buruk adalah hati yang dipenuhi dengan kemarahan, iri hati, kesombongan, dan kebencian.
Santo Agustinus berkata: "Hati manusia adalah cermin dari apa yang dia cintai. Jika seseorang mencintai Tuhan, maka hatinya akan dipenuhi terang. Tetapi jika seseorang mencintai dunia lebih dari Tuhan, maka hatinya akan gelap." Apakah hati kita lebih banyak diisi dengan kebaikan atau dengan keburukan?
4. BAGAIMANA MENJAGA PERBENDAHARAAN HATI KITA TETAP BAIK?
Agar hati kita tetap bersih dan penuh kebaikan, kita harus:
Menyingkirkan segala kebencian dan kepahitan: Jangan menyimpan dendam, karena itu hanya akan meracuni hati kita.
Mengampuni dengan tulus: Orang yang tidak mengampuni akan selalu hidup dalam beban yang berat.
Menjaga pikiran tetap positif: Jangan biarkan pikiran negatif merusak hati kita.
Memperbanyak doa dan introspeksi: Berdoa setiap hari dan bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku masih hidup dalam kasih Kristus?
Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est berkata: "Hati yang penuh kasih kepada Tuhan tidak akan mudah dikuasai oleh kejahatan." Bagaimana kita menjaga hati kita tetap bersih? Dengan memeriksa isi hati kita setiap hari dan menyerahkannya kepada Tuhan.
5. BUAH-BUAH DARI PERBENDAHARAAN HATI YANG BAIK
Ketika kita memiliki hati yang dipenuhi kebaikan, maka yang keluar dari hidup kita adalah:
Perkataan yang membangun: Kita tidak akan mudah mencela orang lain, tetapi mengucapkan kata-kata yang menghibur dan menguatkan.
Tindakan kasih: Kita akan lebih sabar, lebih mudah membantu orang lain, dan lebih murah hati.
Sikap pengampunan: Kita tidak akan menyimpan dendam, tetapi selalu memberi kesempatan kedua bagi sesama.
Sukacita sejati: Orang yang hatinya baik akan hidup dalam damai dan kebahagiaan yang sejati.
Paus Fransiskus berkata dalam Fratelli Tutti (FT 223): "Kasih yang sejati akan selalu menghasilkan buah perdamaian dan persaudaraan dalam komunitas kita." Apakah kita sudah menghasilkan buah yang baik dalam kehidupan kita?
PENUTUP: MEMBANGUN PERBENDAHARAAN HATI YANG BAIK
Saudara-saudari terkasih, hari ini kita diundang untuk melihat ke dalam hati kita. Apa yang kita simpan dalam hati kita akan menentukan bagaimana kita berbicara dan bertindak. Jika kita mengisi hati dengan kasih, maka hidup kita akan menghasilkan buah yang baik. Tetapi jika kita membiarkan hati kita dipenuhi kebencian, maka hidup kita akan penuh kegelapan.
Santo Yohanes Paulus II berkata: "Dunia tidak butuh kata-kata kosong, tetapi kesaksian nyata dari hati yang baik."
Hari ini, mari kita bertanya:
Apakah hati kita sudah dipenuhi kasih atau masih menyimpan luka?
Apakah perkataan dan tindakan kita sudah mencerminkan kasih Kristus?
Apakah kita sudah berusaha menghasilkan buah yang baik dalam hidup kita?
Marilah kita mohon rahmat Tuhan, agar hati kita selalu menjadi perbendaharaan kebaikan, dan hidup kita selalu menjadi cerminan kasih Kristus di dunia ini. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 23 Februari 2025 - Minggu Biasa VII
Bacaan I : 1Sam. 26:2,7-9,12-13,22-23
Bacaan II : 1Kor. 15:45-49
Bacaan Injil : Luk. 6:27-38
MENGASIHI SEPERTI YESUS MENGASIHI
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu." (Lukas 6:27)
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini, bacaan liturgi mengajak kita untuk merenungkan kasih yang sejati—bukan kasih yang terbatas hanya pada mereka yang baik kepada kita, tetapi kasih yang mampu mengampuni, merangkul, dan bahkan mengasihi musuh.
Kita sering mendengar bahwa mengasihi adalah perintah utama dalam kehidupan Kristiani. Namun, bagaimana kita bisa mengasihi mereka yang telah menyakiti kita? Bagaimana mungkin kita mengampuni orang yang berbuat jahat kepada kita?
Yesus telah memberikan jawabannya: kasih yang sejati tidak tergantung pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, tetapi pada keputusan kita untuk mencintai seperti Kristus mencintai.
- TELADAN DAUD: KASIH YANG MENOLAK BALAS DENDAM
Dalam bacaan pertama (1 Samuel 26:2,7-9,12-13,22-23), kita melihat Daud memiliki kesempatan untuk membunuh Raja Saul, yang selama ini mengejarnya untuk membunuhnya. Namun, apa yang dilakukan Daud?
> "Tuhan akan membalas setiap orang sesuai dengan kebenarannya dan kesetiaannya." (1 Samuel 26:23)
Daud tidak memilih balas dendam, tetapi memilih kasih. Ia percaya bahwa keadilan sejati adalah milik Tuhan, bukan milik manusia.Paus Benediktus XVI berkata:
> "Memaafkan tidak berarti mengabaikan kejahatan, tetapi menolak untuk membiarkan kejahatan menguasai hati kita."
Betapa sering kita merasa sulit untuk mengampuni? Kita lebih mudah menyimpan dendam daripada memberikan pengampunan. Tetapi hari ini, Daud mengajarkan kita bahwa mengampuni bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan sejati. - MAZMUR: ALLAH ITU MAHA PENYAYANG, DAN KITA DIAJAK UNTUK MENIRU-NYA
Mazmur hari ini (Mazmur 103:1-2,3-4,8,10,12-13) menggambarkan betapa besar kasih dan belas kasih Tuhan.
> "Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia." (Mazmur 103:8).
Kasih Tuhan tidak tergantung pada kebaikan kita. Ia tetap setia, meskipun kita sering kali gagal dan berdosa.Paus Fransiskus berkata:
> "Kasih dan pengampunan adalah jantung Injil. Jika kita tidak tahu bagaimana mengasihi dan mengampuni, kita belum memahami Yesus."
Tuhan mengampuni kita bukan karena kita layak, tetapi karena kasih-Nya yang tak terbatas. Begitu pula kita, dipanggil untuk mengasihi dan mengampuni tanpa batas. - AJARAN YESUS: KASIH YANG MELAMPAUI BATAS MANUSIAWI
Dalam Injil Lukas 6:27-38, Yesus memberikan salah satu ajaran yang paling menantang dalam hidup Kristiani:
> "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu." (Lukas 6:27)
Yesus tidak hanya mengajarkan teori kasih, tetapi menunjukkannya dalam hidup-Nya: Di kayu salib, Yesus mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya:
> "Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34)
Ia makan bersama para pemungut cukai dan pendosa, menunjukkan kasih tanpa syarat. Ia menyembuhkan orang-orang yang dianggap tidak layak oleh masyarakat. Kasih Yesus melampaui logika manusia, karena kasih-Nya tidak bersyarat.Santo Yohanes Paulus II berkata:
> "Kebahagiaan sejati ditemukan bukan dalam membalas dendam, tetapi dalam mengampuni."
Hari ini, Yesus memanggil kita untuk meninggalkan kebencian, membuang dendam, dan memilih kasih. - APA MANFAAT MENGASIHI DAN MENGAMPUNI?
Mungkin kita bertanya, apa gunanya mengasihi mereka yang menyakiti kita?Mengasihi dan mengampuni membebaskan hati kita. Kebencian hanya akan menyakiti kita sendiri.
Mengasihi dan mengampuni membawa sukacita sejati. Kebahagiaan sejati tidak datang dari membalas dendam, tetapi dari hati yang damai.
Mengasihi dan mengampuni membuat kita semakin menyerupai Kristus.
Paus Fransiskus berkata:
> "Tidak ada kekuatan yang lebih besar di dunia selain kasih dan pengampunan." Jika kita ingin menjadi murid Kristus yang sejati, kita harus berani mengasihi tanpa batas. - BAGIAN PRAKTIS: MENGASIHI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Saudara-saudari, bagaimana kita bisa menghidupi ajaran kasih ini? Jika ada orang yang telah menyakiti kita, mari kita berusaha untuk mengampuni. Jika ada orang yang membenci kita, mari kita tetap mendoakan mereka. Jika ada kesempatan untuk membalas dendam, mari kita memilih jalan kasih seperti Daud. Jika kita sendiri merasa sulit mengampuni, mari kita datang kepada Tuhan dan meminta rahmat-Nya.Santo Ignatius dari Loyola berkata:
> "Kasih bukan sekadar perasaan, tetapi tindakan nyata yang mencerminkan hati Allah."
PENUTUP: MARI KITA MENJADI UTUSAN KASIH KRISTUS
Saudara-saudari, Yesus tidak hanya mengajarkan kasih, tetapi Ia sendiri adalah kasih itu.
Apakah kita siap untuk mengikuti jejak-Nya?
Apakah kita mau mengasihi seperti Dia mengasihi?
Apakah kita berani mengampuni seperti Dia mengampuni?
Paus Fransiskus berkata: > "Kasih yang sejati tidak mengenal batas, tidak menuntut balasan, dan selalu siap mengampuni."
Hari ini, marilah kita berkomitmen untuk mengasihi seperti Yesus mengasihi. Jangan biarkan kebencian menguasai hati kita, tetapi bukalah hati untuk kasih Tuhan, karena di sanalah kebahagiaan sejati ditemukan. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 16 Februari 2025 - Minggu Biasa VI
Bacaan I : Yer. 17:5-8
Bacaan II : 1Kor. 15:12,16-20
Bacaan Injil : Luk. 6:17,20-26
DIBERKATILAH ORANG YANG MENGANDALKAN TUHAN
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. Hari ini, kita merenungkan dimana kita menaruh kepercayaan dan harapan dalam hidup ini. Bacaan pertama dari Yeremia 17:5-8 menegaskan perbedaan antara orang yang mengandalkan manusia dan mereka yang mengandalkan Tuhan.
"Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan!" "Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!" (Yeremia 17:5,7) Yeremia menggambarkan mereka yang mengandalkan manusia sebagai semak di padang gurun—kering, tandus, dan tidak berbuah. Sebaliknya, mereka yang mengandalkan Tuhan seperti pohon yang ditanam di tepi air, berakar kuat, daunnya tetap hijau, dan selalu menghasilkan buah, meskipun menghadapi musim kering.
Lalu dalam Injil Lukas 6:17, 20-26, Yesus memberikan Sabda Bahagia, yang menegaskan kembali bahwa kebahagiaan sejati bukan dalam kekayaan dan kepuasan duniawi, tetapi dalam hidup yang bersandar kepada Tuhan. "Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah." "Celakalah kamu yang kaya, karena kamu telah memperoleh penghiburanmu." (Lukas 6:20,24)
Pesan Yesus ini sangat radikal. Dunia mengajarkan bahwa orang kaya, kenyang, dan populer adalah orang-orang yang bahagia. Tetapi Yesus membalikkan pandangan itu: yang miskin, lapar, dan dianiaya demi kebenaran justru lebih diberkati.
1. MENGANDALKAN TUHAN, BUKAN HAL-HAL DUNIAWI
Yeremia dan Yesus mengajarkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah sumber kebahagiaan sejati. Namun dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengandalkan kekuatan sendiri, uang, pekerjaan, koneksi, atau status sosial.
Kita berpikir bahwa dengan uang, kita bisa mengatasi semua masalah.
Kita lebih percaya pada kekuasaan manusia daripada penyelenggaraan Tuhan.
Kita takut kehilangan kenyamanan dunia sehingga mengabaikan nilai-nilai iman.
Paus Benediktus XVI berkata: "Dunia menawarkan banyak janji kosong yang terlihat menggiurkan, tetapi hanya Tuhan yang dapat memberikan keamanan dan kebahagian sejati."
Yesus mengingatkan bahwa mereka yang hanya mengandalkan dunia akan mengalami kekecewaan. Mereka mungkin memiliki segalanya, tetapi tetap merasa kosong dan tidak puas. Sebaliknya, orang yang mengandalkan Tuhan akan memiliki ketenangan dalam segala situasi. Mereka tidak takut dalam kesulitan, karena tahu bahwa Tuhan memegang hidup mereka.
2. HIDUP DALAM KEADILAN DAN KASIH: MENGHIDUPI SABDA BAHAGIA
Sabda Bahagia dalam Injil Lukas menawarkan visi sosial yang lebih konkret tentang Kerajaan Allah. Yesus berkata: "Berbahagialah kamu yang lapar, karena kamu akan dipuaskan." "Celakalah kamu yang kenyang sekarang, karena kamu akan lapar!" Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kepuasan duniawi, tetapi dari solidaritas dengan sesama.
Orang miskin dipuji bukan karena kemiskinan mereka, tetapi karena mereka mengandalkan Tuhan.
Orang kaya diperingatkan bukan karena mereka kaya, tetapi karena mereka sering lupa akan Tuhan dan sesama.
Santo Yohanes Krisostomus berkata: "Jika kamu memiliki lebih banyak dari yang kamu butuhkan, itu bukan milikmu; itu adalah milik mereka yang kekurangan."
Yesus tidak hanya ingin kita menjadi pribadi yang suci secara rohani, tetapi juga menjadi pribadi yang peduli kepada mereka yang lemah, lapar, dan tersingkirkan. Apakah kita sudah peduli terhadap sesama? Apakah kita sudah menggunakan harta, waktu, dan talenta kita untuk menolong mereka yang membutuhkan?
Tahun 2025 adalah Tahun Yubileum, yang diangkat oleh Paus Fransiskus sebagai Tahun Harapan. Dalam bullanya Spes Non Confundit (Harapan Tak Mengecewakan), Paus Fransiskus menegaskan: "Harapan Kristen bukan optimisme kosong, tetapi kepercayaan bahwa Tuhan yang memegang masa depan kita."
Menaruh harapan kita hanya kepada Tuhan.
Mewujudkan harapan itu dalam tindakan kasih dan keadilan.
Menjadi pembawa harapan bagi dunia, terutama bagi mereka yang kehilangan harapan. Di tengah ketidakpastian dunia—krisis ekonomi, konflik sosial, dan penderitaan—Yesus mengajak kita untuk tetap berakar pada Tuhan.
Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menegaskan: "Kita dipanggil untuk membangun masyarakat yang lebih adil, di mana tidak ada seorang pun yang merasa tersingkir atau terbuang."
Jangan takut berbagi dan menolong orang lain. Jangan takut memperjuangkan kebenaran, meskipun dunia mengejek kita. Karena hanya dengan mengandalkan Tuhan, kita akan mengalami kebahagiaan sejati.
KESIMPULAN: PILIHAN ADA DI TANGAN KITA
Hari ini, Tuhan memberi kita dua pilihan:
Menjadi seperti semak di padang gurun—hidup dalam kekeringan rohani karena hanya mengandalkan dunia.
Menjadi seperti pohon di tepi air—berakar dalam Tuhan dan selalu menghasilkan buah kebaikan.
Yeremia telah mengingatkan kita: "Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!" Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan diukur dari harta, kekuasaan, atau pujian dunia, tetapi dari iman dan kepedulian kepada sesama.
Apakah kita siap mengandalkan Tuhan dalam hidup kita?
Apakah kita mau menjadikan Sabda Bahagia sebagai pedoman hidup kita?
Apakah kita bersedia menjadi berkat bagi orang lain? Semoga kita hidup seperti pohon yang berakar dalam Tuhan, tetap hijau di tengah badai kehidupan, dan menghasilkan buah kasih dan keadilan bagi dunia.
Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan! Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 9 Februari 2025 - Misa Biasa V
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu, 2 Februari 2025 - Pesta Yesus Dipersembahkan di Kanisah
Bacaan I : Mal 3:1-4
Bacaan II : Ibr 2:14-18
Bacaan Injil : Luk 2:22-40
Kotbah Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah Tema: "Mataku Telah Melihat Keselamatan yang Datang Daripada-Mu".
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini kita merayakan Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah, sebuah peristiwa yang bukan hanya menandai ketaatan Maria dan Yusuf kepada hukum Tuhan, tetapi juga penggenapan janji Allah tentang keselamatan bagi umat manusia. Di dalam peristiwa ini, kita bertemu dengan Simeon, seorang tua yang saleh dan penuh harapan. Roh Kudus telah berjanji kepadanya bahwa ia tidak akan meninggal sebelum melihat Sang Mesias, yang dinanti-nantikan oleh Israel selama berabad-abad. Ketika akhirnya ia melihat bayi Yesus di Bait Allah, Simeon berseru dengan penuh sukacita: "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, menurut firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari pada-Mu" (Luk 2:29-30).
Ungkapan ini bukan sekadar kegembiraan pribadi, tetapi sebuah kesaksian iman yang penuh harapan. Simeon melihat dalam diri Yesus janji Allah yang digenapi, terang yang menyinari dunia, dan keselamatan yang membawa pengharapan bagi semua bangsa. Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, penderitaan, dan tantangan, apa yang dapat kita pelajari dari iman dan harapan Simeon? Bagaimana kita juga bisa melihat keselamatan Tuhan dalam kehidupan kita?
- Keselamatan yang Dijanjikan, Keselamatan yang Digenapi
Simeon adalah simbol dari pengharapan yang teguh dalam janji Tuhan. Ia tidak hidup dalam keputusasaan, meskipun sudah bertahun-tahun menantikan Mesias. Ia percaya bahwa Allah setia dan bahwa janji-Nya pasti akan digenapi.Bangsa Israel telah lama menantikan Sang Mesias, tetapi kebanyakan orang mengira bahwa Mesias akan datang sebagai seorang raja duniawi yang penuh kuasa.
Namun, Simeon melihat sesuatu yang lebih dalam: bayi kecil yang dihadirkan di Bait Allah ini adalah Terang yang akan menyinari bangsa-bangsa.
Keselamatan ini bukan hanya bagi Israel, tetapi bagi seluruh umat manusia. Dalam kehidupan kita, kita sering kali bertanya-tanya kapan janji Tuhan akan digenapi. Kita mungkin berdoa dan berharap akan pemulihan, keberhasilan, atau jawaban atas persoalan kita. Tetapi apakah kita cukup sabar dan percaya seperti Simeon? Pengharapan dalam Tuhan tidak pernah mengecewakan. Paus Benediktus XVI berkata: "Pengharapan Kristen bukanlah sekadar optimisme, tetapi kepastian bahwa janji Tuhan akan digenapi dengan cara-Nya sendiri, pada waktu-Nya sendiri." Apakah kita memiliki mata iman seperti Simeon yang mampu melihat karya Tuhan dalam hidup kita?
- Terang dalam Kegelapan: Kristus sebagai Sumber Pengharapan
Simeon menyebut Yesus sebagai "Terang bagi bangsa-bangsa" (Luk 2:32). Ini berarti bahwa
Yesus datang untuk membawa pengharapan bagi dunia yang hidup dalam kegelapan.Dosa, penderitaan, ketidakadilan, dan kejahatan sering kali membuat dunia terasa gelap.
Tetapi Kristus adalah terang yang menerangi hati manusia dan menunjukkan jalan menuju kehidupan yang benar.
Terang ini mengundang kita untuk membuat pilihan: hidup dalam terang-Nya atau tetap berada dalam kegelapan dunia? Paus Yohanes Paulus II pernah berkata: "Jangan takut! Buka pintu hatimu bagi Kristus. Ia adalah pengharapan sejati yang tidak akan mengecewakan." Jika kita hidup dalam Kristus, maka tidak ada situasi yang begitu gelap hingga kita kehilangan pengharapan. Kristus telah datang untuk menghidupkan kembali harapan kita, bahkan di saat kita merasa lemah dan putus asa.
- Menjadi Peziarah Harapan dalam Tahun Yubileum 2025 Tahun 2025 adalah Tahun Yubileum, dengan tema Peziarah Harapan. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk merenungkan makna pengharapan dalam hidup kita.
Apakah kita benar-benar hidup sebagai orang yang penuh harapan?
Apakah kita sudah menjadi saksi terang Kristus bagi orang lain?
Apakah kita membawa harapan bagi mereka yang sedang mengalami kegelapan hidup? Paus Fransiskus berkata: "Pengharapan Kristen tidak didasarkan pada ilusi, tetapi pada kepastian bahwa dalam Kristus, hidup kita memiliki makna, dan masa depan kita memiliki harapan." Seperti Simeon, kita dipanggil untuk melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita dan bersaksi kepada dunia bahwa keselamatan telah datang.
- Kesetiaan Maria dan Yusuf: Teladan bagi Kita Maria dan Yusuf menjalankan kehendak Tuhan dengan penuh kesetiaan. Mereka membawa Yesus ke Bait Allah bukan karena mereka mengerti segala rencana Tuhan, tetapi karena mereka percaya kepada-Nya.
Maria akan menghadapi banyak penderitaan, tetapi ia tetap taat pada rencana Allah.
Yusuf, seorang yang sederhana, setia menjalankan tugasnya sebagai pelindung Keluarga Kudus.
Mereka mengajarkan kepada kita bahwa iman sejati bukan berarti selalu mengerti rencana Tuhan, tetapi percaya bahwa rencana-Nya selalu baik. Ketika kita menghadapi tantangan dalam hidup, apakah kita tetap percaya kepada Tuhan seperti Maria dan Yusuf?
- Hidup Sebagai Saksi Pengharapan Simeon melihat keselamatan dalam diri Yesus, tetapi ia juga menubuatkan bahwa Yesus akan menjadi tanda perbantahan dan bahwa Maria akan mengalami penderitaan (Luk 2:34-35).
Artinya, hidup sebagai murid Kristus tidak selalu mudah.
Akan ada kesulitan dan tantangan yang harus kita hadapi.
Namun, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Kita dipanggil untuk menjadi saksi pengharapan di tengah dunia. Bagaimana caranya?
➤ Dalam keluarga: Menebarkan kasih dan kesabaran.
➤ Dalam pekerjaan: Hidup dalam kejujuran dan integritas.
➤ Dalam masyarakat: Membawa terang Kristus bagi yang tertindas dan tersisih. Sebagaimana Simeon melihat keselamatan dalam Yesus, kita juga dipanggil untuk melihat dan membawa keselamatan itu dalam hidup sehari-hari.
Kesimpulan: Mataku Telah Melihat Keselamatan
Saudara-saudari yang terkasih, perkataan Simeon "Mataku telah melihat keselamatan yang datang daripada-Mu" adalah pengakuan iman yang penuh harapan. Ia melihat janji Allah digenapi dalam Kristus.
Ia melihat terang yang akan menyinari dunia.
Ia melihat keselamatan yang membawa pengharapan bagi semua bangsa. Sebagai umat Kristiani, kita dipanggil untuk memiliki pengharapan yang sama.
Maukah kita membuka hati untuk keselamatan yang datang dari Tuhan?
Maukah kita menjadi saksi terang Kristus dalam kehidupan sehari-hari?
Maukah kita hidup sebagai peziarah harapan dalam Tahun Yubileum 2025 ini?
Semoga kita, seperti Simeon, dapat melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita dan bersaksi kepada dunia bahwa keselamatan telah datang dalam diri Yesus Kristus. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu 26 Januari 2025 - Hari Minggu Sabda Allah
Bacaan I : Neh. 8:3-5a,6-7,9-11
Bacaan II : 1Kor. 12:12-30
Bacaan Injil : Luk1:1-4;4:14-21
Kotbah: Sabda Tuhan sebagai Kekuatan Transformasi Hari Minggu Sabda Allah
Pengantar
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. Hari ini, pada Minggu III Masa Biasa, Gereja Katolik merayakan Hari Minggu Sabda Allah. Sebagaimana ditetapkan oleh Paus Fransiskus melalui Motu Proprio Aperuit Illis pada tahun 2019, hari ini adalah undangan bagi kita untuk merenungkan peran Sabda Tuhan dalam hidup kita. Sabda Tuhan bukan hanya teks yang tertulis, tetapi Firman yang hidup, yang memiliki kuasa untuk mengubah hati, menyembuhkan luka, dan memperbarui hubungan kita dengan Allah dan sesama.
- Sabda Tuhan Mengubah Hati
Dalam Surat kepada Orang Ibrani 4:12, kita membaca, "Sabda Allah itu hidup dan kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun!" Firman ini memiliki daya untuk menembus kedalaman hati manusia, mengubah pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Seperti dalam kisah pertobatan Saulus, Sabda Tuhan mengubah seorang penganiaya menjadi rasul besar. Dalam Kisah Para Rasul 9, perjumpaan Saulus dengan Yesus yang bangkit mengubah hidupnya secara total. Ia, yang dulunya mengejar umat Kristen, menjadi pewarta Injil yang paling gigih. Ini menunjukkan bahwa ketika kita membuka hati pada Sabda Tuhan, hidup kita dapat diubahkan menjadi lebih penuh kasih, pengampunan, dan kebijaksanaan. Pertanyaannya bagi kita hari ini: Apakah kita telah memberikan ruang bagi Sabda Tuhan untuk mengubah hati kita? - Sabda Tuhan Menyembuhkan Luka
Mazmur 107:20 berkata, “Ia mengirimkan firman-Nya dan menyembuhkan mereka.” Sabda Tuhan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka batin kita, baik itu akibat dosa, penyesalan, atau trauma. Banyak dari kita membawa beban yang berat dalam hati kita, tetapi Sabda Tuhan hadir untuk memberikan penghiburan dan pemulihan. Dalam Injil, kita melihat bagaimana Yesus menyembuhkan banyak orang hanya dengan kata-kata-Nya. Ketika seorang perwira berkata, “Katakan saja sepatah kata, maka hambaku akan sembuh” (Mat 8:8), ia menunjukkan iman yang dalam pada kekuatan Sabda Yesus. Bagi kita, Sabda Tuhan dalam Kitab Suci dan Sakramen membawa penyembuhan spiritual. Apakah kita bersedia membawa luka-luka kita kepada Tuhan dan membiarkan firman-Nya bekerja dalam hidup kita? - Sabda Tuhan Memperbarui Hubungan dengan Allah
Dosa memisahkan manusia dari Allah, tetapi Sabda Tuhan membawa rekonsiliasi. Dalam Injil Lukas 15, kita membaca kisah anak yang hilang, di mana sang ayah dengan kasih menerima anaknya yang bertobat. Ini adalah gambaran kasih Allah yang selalu siap memulihkan hubungan dengan kita melalui Sabda-Nya. Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh 14:6). Ketika kita merenungkan Sabda Tuhan, kita diarahkan untuk hidup dalam kehendak-Nya, menjadikan Dia pusat hidup kita. - Sabda Tuhan Memperbarui Hubungan dengan Sesama
Sabda Tuhan tidak hanya menghubungkan kita dengan Allah, tetapi juga dengan sesama. Dalam Yohanes 13:34, Yesus memberi kita perintah baru: “Saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Firman Tuhan mengajarkan kita untuk hidup dalam kasih, mengampuni, dan melayani sesama. Ketika Sabda Tuhan menjadi pedoman hidup kita, hubungan dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat kita dapat diperbarui. Sebagai contoh, komunitas Kristen awal dalam Kisah Para Rasul 2:42-47 hidup dalam kasih dan solidaritas, saling berbagi, dan mendukung. - Gereja sebagai Rumah Sabda Tuhan
Gereja adalah rumah di mana Sabda Tuhan didengar, direnungkan, dan dihidupi. Dalam setiap perayaan Ekaristi, kita mendengarkan firman Tuhan melalui bacaan Kitab Suci. Homili adalah kesempatan untuk merenungkan dan mengaplikasikan Sabda itu dalam hidup kita. Paus Fransiskus berkata, “Sabda Tuhan adalah hati dari kehidupan Gereja.” Melalui Sabda Tuhan, Gereja menjadi ruang di mana kita dibentuk menjadi saksi kasih Allah di dunia.
Kesimpulan: Sabda Tuhan, Roh dan Kehidupan.
Saudara-saudari terkasih, Sabda Tuhan memiliki kekuatan untuk mengubah hati, menyembuhkan luka, dan memperbarui hubungan kita dengan Allah dan sesama. Kita dipanggil untuk menjadikan Sabda Tuhan sebagai pusat hidup kita, membaca dan merenungkannya setiap hari, serta menjadikannya pedoman dalam setiap tindakan kita. Marilah kita menjawab undangan Paus Fransiskus untuk hidup dalam terang Sabda Tuhan, yang adalah roh dan kehidupan. Dengan membiarkan firman Tuhan bekerja dalam hidup kita, kita akan menjadi saksi kasih-Nya di dunia ini.
Semoga Sabda Tuhan menuntun kita untuk hidup dalam kasih, pengampunan, dan kebenaran. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap
Minggu 19 Januari 2025 - Hari Minggu Biasa II
Bacaan I : Yes. 62:1-5;
Bacaan II : Tit. 2:11-14; 3:4-7
Bacaan Injil : Lukas. 3:15-16,21-22
"Apa yang Ia Katakan Kepadamu, Buatlah"
Pengantar
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan. Hari ini, kita diajak untuk merenungkan salah satu peristiwa paling berkesan dalam Injil, yaitu mukjizat pertama Yesus di Kana. Peristiwa ini bukan hanya tentang air yang diubah menjadi anggur, tetapi juga tentang bagaimana ketaatan dan iman membuka jalan bagi karya Allah yang luar biasa. Kata-kata Maria kepada para pelayan, “Apa yang Ia katakan kepadamu, buatlah,” adalah pesan mendalam yang mengundang kita untuk mempercayai dan taat kepada kehendak Tuhan.
- Peran Maria dalam Peristiwa di Kana
Maria memainkan peran kunci dalam mukjizat ini. Ketika anggur habis, Maria memperhatikan kebutuhan yang mendesak dan langsung membawa persoalan ini kepada Yesus. Sebagai seorang ibu yang penuh kasih, ia menunjukkan perhatian terhadap kebahagiaan dan kehormatan tuan rumah pesta. Namun, Maria tidak berhenti pada perhatian manusiawi semata. Ia memiliki iman yang mendalam kepada Yesus. Meski Yesus awalnya berkata, “Waktu-Ku belum tiba,” Maria tetap percaya bahwa Yesus akan bertindak. Dengan keyakinan penuh, ia berkata kepada para pelayan, “Apa yang Ia katakan kepadamu, buatlah.”
Maria adalah teladan iman yang teguh. Ia mengajarkan kepada kita bahwa doa dan kepercayaan kepada Yesus adalah kunci untuk melihat mukjizat dalam hidup kita. Paus Fransiskus pernah berkata, “Maria adalah ibu yang tahu bagaimana membawa kebutuhan kita kepada Tuhan dan memercayakan segala sesuatu kepada-Nya dengan penuh iman.” - Perintah Yesus kepada Para Pelayan
Yesus memberikan dua perintah kepada para pelayan: Isi tempayan dengan air. Ini tampaknya perintah yang sederhana, tetapi membutuhkan usaha besar. Tempayan-tempayan itu besar, dan mengisinya berarti kerja keras. Cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta. Perintah ini menuntut keberanian. Para pelayan tidak tahu apa yang akan terjadi. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah tindakan itu akan mempermalukan mereka jika yang mereka cedok hanyalah air.
Perintah Yesus mengajarkan kita bahwa ketaatan kepada Tuhan sering kali melibatkan usaha dan keberanian. Kita mungkin tidak selalu memahami alasan di balik perintah-Nya, tetapi ketika kita melangkah dengan iman, Tuhan bekerja melalui tindakan sederhana kita. - Sikap dan Aksi Para Pelayan
Para pelayan memberikan teladan luar biasa tentang ketaatan. Mereka tidak mempertanyakan atau menunda-nunda perintah Yesus. Meskipun mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi, mereka taat dan melaksanakan perintah dengan setia.
Sikap para pelayan ini mengingatkan kita bahwa iman sejati adalah tentang melakukan kehendak Tuhan, bahkan ketika kita tidak sepenuhnya mengerti rencana-Nya. Ketaatan mereka membuka jalan bagi mukjizat yang tidak hanya memuaskan kebutuhan pesta, tetapi juga menyatakan kemuliaan Yesus sebagai Anak Allah. - Mukjizat yang Kita Alami Ketika Taat pada Sabda Tuhan
Mukjizat di Kana bukan hanya tentang air yang berubah menjadi anggur, tetapi juga tentang transformasi yang terjadi ketika kita taat kepada Tuhan. Dalam kehidupan kita, ada banyak “tempayan kosong” yang membutuhkan campur tangan Allah:
Tempayan hati yang kosong: Ketika kita taat kepada Tuhan, Ia memenuhi hati kita dengan sukacita, damai, dan pengharapan. Tempayan hubungan yang retak: Tuhan mampu memulihkan hubungan yang rusak ketika kita mendengarkan dan melaksanakan sabda-Nya.
Tempayan hidup yang kehilangan arah: Dalam ketaatan kepada Tuhan, kita menemukan tujuan dan panggilan hidup yang sejati.
Paus Benediktus XVI berkata, “Mukjizat Yesus di Kana adalah tanda kasih Allah yang melimpah. Kasih-Nya tidak hanya mencukupi, tetapi juga meluap, membawa sukacita yang melampaui harapan manusia.” - Panggilan untuk Menjadi Pelayan yang Taat
Pesan Maria kepada para pelayan adalah undangan bagi kita semua: “Apa yang Ia katakan kepadamu, buatlah.” Dalam kehidupan sehari-hari, Tuhan berbicara kepada kita melalui sabda-Nya, doa, dan suara hati. Kita dipanggil untuk mendengarkan dan melaksanakan kehendak-Nya dengan setia.
Sebagai pelayan Tuhan, kita diajak untuk:
Peka terhadap kebutuhan sesama: Seperti Maria, kita diajak untuk peduli terhadap mereka yang membutuhkan.
Berani melangkah dalam iman: Seperti para pelayan di Kana, kita dipanggil untuk melaksanakan kehendak Tuhan meskipun kita tidak sepenuhnya mengerti.
Percaya pada kuasa Tuhan: Seperti Maria, kita dipanggil untuk percaya bahwa Tuhan mampu melakukan hal-hal yang melampaui pemahaman kita.
Penutup: Menjadi Bagian dari Mukjizat Tuhan
Saudara-saudari terkasih, mukjizat di Kana mengajarkan kita bahwa Tuhan bekerja melalui ketaatan dan iman kita. Ketika kita taat kepada sabda Tuhan, kita membuka diri untuk karya-Nya yang luar biasa dalam hidup kita.
Mari kita, seperti Maria, para pelayan, dan semua yang hadir di Kana, percaya kepada Yesus dan melaksanakan apa yang Ia katakan kepada kita. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa mukjizat Tuhan tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga dalam hidup kita hari ini. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung
Minggu 12 Januari 2025 - Pesta Pembaptisan Tuhan
Bacaan I : Yes. 40:1-5,9-11
Bacaan II : Tit. 2:11-14; 3:4-7
Bacaan Injil : Lukas. 3:15-16,21-22
"Ia Akan Membaptis Kamu dengan Roh Kudus dan dengan Api"
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, semoga Tuhan memberimu damai dan kebaikan.
Hari ini kita merenungkan kesaksian Yohanes Pembaptis tentang Yesus dalam Injil. Yohanes berkata, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang… Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.” Pernyataan ini bukan hanya pengakuan tentang siapa Yesus, tetapi juga pewartaan tentang misi dan kuasa-Nya untuk mengubah hidup manusia.
Dalam pernyataan Yohanes ini, kita menemukan tiga aspek penting yang dapat kita renungkan: siapa Yesus, apa artinya baptisan dengan Roh Kudus dan api, serta bagaimana kita sebagai murid Kristus dipanggil untuk hidup dalam kuasa Roh Kudus.
- Yesus: Sang Pembaptis dengan Roh Kudus dan Api
Yohanes Pembaptis mengakui bahwa Yesus adalah Dia yang lebih besar dan lebih berkuasa. Yohanes hanya membaptis dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Yesus datang untuk membawa pembaptisan yang lebih mendalam, yaitu dengan Roh Kudus dan api. Ini adalah pembaptisan yang tidak hanya membersihkan dosa, tetapi juga memperbarui hati, menguduskan hidup, dan memberikan kekuatan ilahi.
Yesus, sebagai Sang Mesias, adalah Dia yang menggenapi janji Allah untuk mencurahkan Roh Kudus kepada umat-Nya. Dalam Perjanjian Lama, para nabi seperti Yesaya dan Yehezkiel berbicara tentang Roh Kudus sebagai kuasa yang membarui hati dan membawa manusia lebih dekat kepada Allah. Dalam diri Yesus, janji ini menjadi nyata.
Paus Fransiskus dalam salah satu homilinya menegaskan, “Roh Kudus adalah nafas kehidupan baru yang diberikan Yesus kepada umat-Nya. Roh Kudus tidak hanya membimbing, tetapi juga menyalakan api kasih dalam hati kita.” - Baptisan dengan Roh Kudus dan Api: Pembaruan Total
Apa artinya dibaptis dengan Roh Kudus dan api?
Roh Kudus: Baptisan dengan Roh Kudus adalah pengalaman menerima kehidupan baru dari Allah. Roh Kudus adalah kuasa yang mengubah hati kita, membantu kita memahami sabda Tuhan, dan memampukan kita untuk hidup sebagai murid Kristus. Roh Kudus membawa damai, sukacita, dan pengharapan.
Api: Api dalam Kitab Suci sering kali melambangkan penyucian, kekudusan, dan semangat. Baptisan dengan api berarti bahwa hidup kita dimurnikan dari dosa, dibersihkan dari segala yang menghalangi kasih Allah, dan dinyalakan dengan semangat untuk melayani Tuhan dan sesama.
Baptisan dengan Roh Kudus dan api bukan hanya sebuah simbol, tetapi sebuah pengalaman transformasi total yang membuat kita hidup dalam kasih dan kebenaran Allah. - Hidup dalam Kuasa Roh Kudus
Sebagai orang yang telah dibaptis, kita telah menerima Roh Kudus dalam hidup kita. Namun, panggilan kita tidak berhenti di sana. Kita dipanggil untuk hidup setiap hari dalam kuasa Roh Kudus:
Dalam doa: Roh Kudus adalah penolong kita dalam doa. Ia membantu kita untuk berkomunikasi dengan Allah dan memahami kehendak-Nya.
Dalam tindakan: Roh Kudus memampukan kita untuk mencintai tanpa batas, mengampuni dengan tulus, dan melayani dengan rendah hati.
Dalam kesaksian: Kita dipanggil untuk menjadi saksi kasih Kristus di dunia. Seperti Yohanes Pembaptis, kita harus berani menunjukkan kepada dunia bahwa Yesus adalah Tuhan. Paus Yohanes Paulus II pernah berkata, “Roh Kudus adalah jiwa dari misi Gereja. Tanpa Roh Kudus, semua usaha kita akan sia-sia. Dengan Roh Kudus, kita menjadi saksi yang hidup bagi Injil.” - Tantangan untuk Hidup dalam Kuasa Roh Kudus
Dalam dunia yang sering kali terjebak dalam dosa, ketidakadilan, dan ketidakpedulian, kita dipanggil untuk menjadi pembawa Roh Kudus. Tetapi, ini bukan tugas yang mudah. Dibutuhkan keberanian, ketekunan, dan kasih yang besar untuk hidup sebagai saksi Kristus.
Baptisan dengan Roh Kudus dan api mengingatkan kita bahwa kita tidak pernah sendiri. Roh Kudus adalah kekuatan ilahi yang memampukan kita untuk menghadapi tantangan dunia dengan sukacita dan pengharapan.
Penutup: Menjadi Saksi Yesus dengan Roh Kudus dan Api
Saudara-saudari terkasih, kesaksian Yohanes Pembaptis mengingatkan kita bahwa Yesus adalah Sang Pembaptis dengan Roh Kudus dan api. Dalam Dia, kita menerima hidup baru yang penuh kasih, kekuatan, dan pengharapan.
Marilah kita membuka hati kita untuk menerima Roh Kudus setiap hari, membiarkan api-Nya menyala dalam hati kita, dan menjadi saksi kasih Allah di dunia ini. Dengan demikian, hidup kita akan menjadi tanda nyata dari kehadiran Tuhan yang membawa pembaruan dan keselamatan. Amin.
Mgr. Kornelius Sipayung